Menolak Jatuh Cinta

Reads
85
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Lo Itu Cuma Mantannya (maretha Agnia)

 Aku punya teman Teman sepermainan Kemana ada dia selalu ada aku Lagu Ratu berjudul Teman Tapi Mesra mengalun indah di telingaku. Lagu itu pula yang membuyarkan seluruh mimpi indahku. “Aduh, siapa sih yang pagi-pagi nelpon aku? Ganggu aku tidur aja!” gerutuku. Dengan mata terpejam tanganku meraba-raba mencari HP. Tak berapa lama HP telah berhasil kugenggam. Cepat-cepat menekan tombol Answer. Aku sudah hapal pencetan tombol HP jadi tanpa melihat pun aku tahu letak tombol answer. “Halo,” sapaku ramah. “Halo juga. Kamu baru bangun ya Maretha cantik? Sudah baca Koran Jerman News hari ini belum?” Aku hapal betul suara orang yang menelponnya. Tak lain tak bukan adalah Gerald. “Belum, aku nggak suka baca Koran. Sukanya baca novel.” “Pokoknya kamu hari ini wajib baca Jerman News titik. Kalau nggak aku bakal bilang ke paman dan meminta beliau untuk nggak menerima naskahmu lagi.” Barulah aku sadar penerbit yang selama ini menerbitkan novel-novelku adalah milik pamannya Gerald. Ishh … Gerald apa-apaan sih? Main ngancem aja! Daripada dipecat mending aku turutin kemauannya. Zaman sekarang nyari penerbit susah. Apalagi penerbit itu sudah berjasa mengorbitkanku menjadi novelis internasional. Dengan berat hati aku beranjak dari tempat tidur. “Halo Meretha, kamu masih ada di sana kan?” terdengar suara Gerald. Aku baru ingat telponnya belum mati. “Iya, aku mau keluar dulu. Nyari Koran yang kamu maksud.” Aku melangkan kaki ingin keluar kamar. Namun ternyata begitu di depan pintu aku merasa menginjak sesuatu. Aku menundukkan kepala. Wah, aku  langsung bersyukur sesuatu yang kuinjak adalah Koran yang kuinginkan. Aku garuk-garuk kepala yang tak gatal. Siapa yang naroh Koran di depan pintu kamarku? Apa Maretha sudah pulang ke rumah? Tadi malam Maretha minta izin menginap di rumah temannya. “Ret!” teriakku keras. Namun tak ada jawaban. Berarti Maretha belum pulang. Kalau bukan dia yang meletakkan Koran itu di depan pintu terus siapa dong? Mendadak bulu kudukku berdiri. Ahh… entah lah. Siapun yang meletakkan Koran ini aku mengucapkan terima kasih karena aku nggak perlu susah payah mencari Koran. Kuambil Koran tersebut di lantai. Lalu kubawa ke tempat tidur lagi. Aku meraih HP ingin menelpon Gerald untuk memberitahukan dia bahwa aku sudah mendapatkan Koran itu. Eh, tahunya sambungan telpon darinya masih tersambung. Bagus deh kalau begitu, jadi aku nggak perlu keluar pulsa untuk nelpon dia. Kutempelkan telpon ke telinga. “Halo, Gerald kamu masih hidup?” “Iya, gimana dah dapet korannya?” “Dah, aku harus buka Koran yang halaman berapa?” “Kamu buka halaman 10, nah kamu baca bagian iklan yang letaknya paling bawah sebelah kanan.” Aku langsung membalik-balikan Koran mencari halaman 10. Begitu sudah dapat halaman 10 aku mengedarkan pandangan ke bagian iklan. Dan mataku langsung melotot melihat iklan di Koran ini. DICARI Seorang wanita bernama Maretha Agnia. Dia berusia 25 tahun dan berprofesi sebagai novelis internasional harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya pada Saya. Dia telah mencuri seluruh hati saya. Saya mencarinya untuk dipersunting menjadi istri saya. Maretha Agnia, will you merry me? Buat yang membaca iklan ini. Tolong doakan saya agar lamaran saya diterima. Gerald  Aku geleng-geleng kepala melihat iklan baris itu. Gerald tak pernah berubah. Selalu aja ada ide untuk mewujudkan impiannya. Aku akui usahanya kali ini cukup mengesankan. Tapi tetap saja usahanya itu tak bisa mengubah isi hatiku. Di hatiku hanya ada nama Gerhard Errando. Aku punya teman Ponsel di tanganku berdering lagi. Tanpa melihat siapa yang menelpon aku menggeser layar. Lalu kutempelkan ponsel itu ke telinga. “Iya, Gerald. Aku dah baca iklan baris koran dari kamu kok.” “Hah? Iklan baris? Aku nggak pernah masang iklan baris di koran,” jawab seseorang di seberang telepon. Mendengar suaranya barulah aku sadar, yang menelpon bukan Gerald melainkan Gerhard. “Sorry, aku pikir kamu Gerald.” “Emang dia ngirim iklan baris apa?” “Nggak apa. Udah lupain aja. Nggak penting juga kok. Oh iya kamu nelpon aku pagi-pagi ada apa?” “Cuma mau minta kamu nyetel tv, Jerman tv.” “Emang ada acara apa di Jerman tv?” “Udah, kamu lihat aja.” “Oke, bentar.” Aku melangkahkan kaki menuju ruang tv. Untung remotenya tak disembunyikan Maretha. Klik. Dalam sekejap tv menyala. Ternyata acara musik. Tak berapa lama muncullah Gerhard dengan berpakaian rapi. Lalu dia duduk di belakang piano. Jari-jarinya siap menari lincah tut-tut piano. Dari intro nada yang dimainkannya aku tahu lagu Sunshine Becomes You. Melihat aksi Gerhard, mengingatkanku pada Alex Hkirano. Bagi pencinta novel pasti tahu siapa Alex Hirano. Gerhard bukan hanya main piano, dia juga bisa menyanyi. sekian lamanya dalam sepiku menanti hiasi di hatiku  hanya bersamamu ku temukan segala harapan yang ku impikan you’re the light of my life you’re the light of my love you’re the light in my sky you’re my only one you’re the lighting i need you’re the light shining down all my life sunshine becomes you “Lagu ini saya persembahkan untuk gadis cantik bernama Maretha Agnia. Dialah Matahariku. Maretha, will you marry me?” ucap Gerhard seusai melakukan aksinya di layar kaca. Mataku berkaca-kaca. Repleks tanganku menutup mulut. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku shock sekaligus bahagia. Mimpi apa aku semalam jadi pagi-pagi dilamar dua cowok ganteng? Andai Maretha ada di sini, dia pasti meledekku abis-abisan. “Woy!” Maretha mengagetkanku. Ya, dia pulang dari rumah temannya setengah jam yang lalu. “Kenapa lu senyum-senyum sendiri? Pasti lagi tingkah Gerhard dan Gerald tadi pagi ya?” “Loh, kok lu tau?” “Apa sih yang gue nggak tau dari lu. Tadi pagi gue juga baca koran Jerman News dan nonton channel Jerman tv. Terus di antara lamaran dua cogan itu siapa yang bakal lu terima?” Maretha bertanya balik. “Tanpa gue bilang pun, lu pasti dah tau jawabannya.” Ting ... tong Bel appartement berbunyi. Maretha bangkit dari tempat duduk dan bersiap membuka pintu. Namun secepat kilat aku menahan tangannya. “Biar gue aja yang buka pintu. Yang dateng pasti Gerald atau Gerhard, mereka nanyain jawaban gue.” Maretha menganggukkan kepala. Betapa terkejutnya aku melihat tamu yang datang. Dia bukan Gerald ataupun Gerhard, melainkan Cicilia. “Lu ngapain ke sini?” tanyaku sambil melotot. “Gue ke sini cuma mau memperingatkan lu untuk menjauhi Gerhard. Sampai kapanpun dia akan jadi milik gue.” “Hahaha.” Aku tertawa terbahak-bahak. “Kasihan banget nih cewek kudet bin ketinggalan info.” Cicilia menaikkan alis sebelah kiri. “Maksud lu?” “Nih, gue kasih tau ya, denger baik-baik! Pagi tadi Gerhard melamar gue make piano plus nyanyi lewat tv. Dia romantis banget. Bentar lagi dia akan jadi milik gue.” Aku sengaja manas-masi dia. Mata Cicilia melotot bahkan hampir keluar. “Walaupun dia sudah melamar lu, gue pastiin lu nggak akan nikah sama Gerhard. Dia milik gue, titik.” Aku mengukir senyum licik. “Kita liat saja nanti siapa yang akan berjodoh dengan Gerhard. Tapi siap-siap patah hati ya.” “Yang ada lu siap-siap patah hati.” Dia berteriak mengancam lalu beranjak pergi dari appartement Maretha. Baguslah, jadi aku tak perlu capek capek mengusirnya. Dalam hati aku cemas memikirkan kata-kata Cicilia. Gimana kalau ternyata aku yang patah hati menyaksikan Gerhard dan Cicilia bersatu? Aku menggelengkan ,kepala, tak ingin hal itu jadi nyata. Secepatnya aku memberikan jawaban ‘Ya’ ke Gerhard biar dia tak direbut oleh Cicilia.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices