Menolak Jatuh Cinta

Reads
90
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Gibriel Come Back (gerhard Errando)

 WOY, BURUAN BUKA PINTU! Mulutku mengucapkan sumpah serapah begitu membaca sms yang baru masuk. Nomornya saja tak dikenal, masa minta aku buka pintu appartemen? Buka tidak ya? Takutnya ketika pintu kubuka ternyata rampok. Atau malah orang mau membunuhku? Aku bergidik ngeri membayangkan hal itu terjadi. Satu sisi jika aku tak membukakan pintu, ternyata yang datang temanku atau orang memberi job kerjaan. Rezeki sayang disia-siakan kan? Setelah pergulatan batin, akhirnya aku memberikan diri untuk membuka pintu appartemen. Ketika pintu terbuka, mulutku pun ikut terbuka. Berkali-kali mengerjap mata, namun pandanganku tetap sama. Orang yang aku rindukan akhirakhir ini ada di depan mataku. Siapa lagi kalau bukan Gibriel Alexander? Dia bersama istrinya. “Lu Gibriel kan? Gue mimpi nggak sih?” tanyaku terbengong-bengong. Cowok di depan yang kuyakini sebagai Gibriel tersenyum jahil. Lalu dia mencubit lenganku. “Gimana? Sakit nggak?” Aku meringis seraya mengusap lengan bekas cubitannya itu. “Iya, bener. Sakit.” “Berarti lu nggak mimpi.” Repleks aku memeluknya erat. “Gibriel, gue kangen banget sama lu. Lu kenapa ke Jerman nggak ngasih tau gue? Gue kan bisa jemput kalian di bandara.” “Sengaja mau ngasih kejutan buat lu. Kami nggak disuruh masuk nih? Capek tau, bawa barang banyak gini.” “Sorry, gue lupa. Saking bahagianya. Yuk, masuk!” Gibriel dan istrinya aku persilakan duduk di sofa. Aku mengedarkan pandangan ke 2 koper besar dan beberapa kardus yang mereka bawa. “Banget banget bawaan kalian. Emang berapa lama di Jerman?” 61 59 “Rencananya sih gue sama Resty mau menetap di Jerman. Bosen di Indonesia. Gimana pun Jerman tanah kelahiranku. Boleh nggak sementara kami tinggal di appartemen lu.” “Jangankan sementara, selamanya pun boleh. Asal bantuin gue bayar sewa appartement aja.” “Soal itu mah gampang.” “Eh, sampai lupa. Kalian pasti haus dong setelah menempuh perjalanan panjang. Kalian mau minum apa?” “Apa aja boleh. Asal yang dingin.” “Oke, tunggu bentar.” Lima menit kemudian aku kembali ke ruang tamu dengan membawa 2 jus mangga dingin. Seketika aku melihat Gibriel lagi serius memandangi fotoku bersama Maretha. “Tarrra ... nih minumannya datang.” “Ger, cewek di foto ini siapa?” “Dia cewek yang gue suka. Namanya Maretha Agnia. Gimana cantikkan?” “Masih cantik istri istri gue.” Gibriel mencibir. “Gue perhatiin mata, hidung, bibirnya mirip sama Anindya Maharani.” “Gue sudah mastiin Maretha dan Anindya itu wajahnya beda banget.” “Bisa aja kan dia operasi plastik terus ganti nama?” Aku diam membeku. Kata-katanya sungguh menohok. Tapi ada benarnya juga. Sesaat kemudian aku menggeleng. Berusaha meyakinkan hati bahwa Maretha Agnia dan Anindya Maharani adalah dua orang berbeda.  Pukul 07.00 Aku, Gibriel dan Resty sarapan bersama di meja makan. Suasana seperti ini mengingatkanku akan kenangan beberapa tahun yang lalu. Waktu itu aku, Gibriel dan Vindy rebutan roti. Kak Gabriella yang menengahi pertengahan. Aku senyum-senyum sendiri ingat kenangan itu. Ah, andai mereka masih ada pasti sekarang tambah seru. “Woy, lu kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Gibriel membuka pembicaraan. “Gue keinget kenangan masa lalu. Lu masih inget nggak dulu kita plus Vindy sering banget rebutan roti pas sarapan?” Raut wajah Gibriel berubah menjadi mendung. “Ingetlah. Kenangan itu nggak akan terlupakan sampai kapanpun.” Aku tahu saat ini pasti hati Gibriel sedih lagi karena ingat adik kesayangannya yang sudah dipanggil Tuhan. “Sorry, gue nggak bermaksud bikin lu sedih lagi.” Aku jadi merasa bersalah. Gibriel menyunggingkan senyum dipaksakan. “Iya, nggak apa. Santai aja. Lu hari ini ada acara apa?” Dia mengalihkan topik pembicaraan. “Ntar sore makeup pemain film hollywood.” “Kalau pagi sampai siang ini jadwal lu ngapain?” “Paling ke Gabriella’s salon atau ngulet di kasur.” “Daripada lu ngulet di kasur, mending lu temenin gue dan Resty jalanjalan muter-muter Jerman.” “Ogah, ah. Ntar gue jadi obat nyamuk di antara kalian.” Aku memanyunkan bibir. “Hahaha. Muka lu manyun tambah jelek tauuu.” Aku semakin dongkol dibuatnya. “Kalau nggak ada lu nggak rame. Biar lu nggak jadi obat nyamuk, gimana kalau lu ajakin cewek yang lu suka itu. Anggep aja double date.” Mataku berbinar begitu mendengar usulan Gibriel. Tumben dia memberikan usul yang brilian. Kebetulan roti di tanganku sudah habis. Buru-buru aku meneguk air di gelas depan. Setelah itu aku menyambar ponsel pintar untuk mengirim pesan WA ke Maretha. Untung dia lagi online. Aku : Pagi Maretha. Pagi ini kamu sibuk nggak? Maretha : Pagi juga. Hari ini sih paling nulis novel. Ada apa? Aku : Aku mau ngajakin kamu jalan-jalan, bisa? Sekalian aku maiu mempertemukan kamu sama kakak sepupuku. Maretha : Boleh. Kita ketemu dimana? Aku : di Holstentor. Maretha : Oke, 30 menit lagi aku ke sana. Oh iya aku mau sekalian memberikan jawaban atas lamaranmu, siapin mental ya. Hahaha. Jantungku berdebar-debar. Kira-kira Maretha akan memberikan jawaban apa ya? Menerima atau menolak? Ah, aku makin tak sabar bertemu dengannya. Jika hari libur aku selalu menyempatkan diri mengunjungi Holstentor yang merupakan salah satu dari dua gerbang kota yang adalah sisa dari kota Lubeck. Gerbang kota ini jelas sudah sangat tua karena diketahui bahwa pembangunannya saja dilakukan di tahun 1464 dan kini sudah beralih fungsi menjadi sebuah museum. Obyek wisata di Jerman yang layak untuk disambangi adalah museum Holstentor. Dijamin para pengunjung akan puas setelah melihat arsitekturnya yang unik. Bila mencermatinya, akan tahu bagian mana yang dianggap begitu unik, yakni dua menara berbentuk bulat dan melengkung masuk. Bagian tersebutlah yang menjadi simbol kota Lubeck. Pada bahasa Jerman, arti dari Holstentor sendiri adalah gerbang Holsten dan sesampainya di sini. Siapapun boleh mengabadikan gerbang besar yang didirikan dari batu bata merah ini. Holstentor memang disebut sebagai gerbang, namun sebenarnya bangunan bergaya gothic ini bisa juga dianggap sebagai benteng. Aku sengaja membawa Gibriel dan Resty ke tempat ini biar sekalian nostalgia. “Gib, lu inget nggak waktu kecil lu pernah minta roti sama pasangan muda di sana.” Jari telunjukku ke arah dua menara berbentuk bulat dan melengkung masuk. “Untuk melancarkan aksi, lu memasang muka melas dan bilang belum makan selama 2 hari. Ekspresi wajah lu benar-benar kacau. Hahaha.” Aku tertawa terbahak-bahak mengenang kejadian itu. Gibriel yang kuledek hanya memanyunkan bibir. “Kampret, lu. Please deh jangan bongkar aib masa kecil gue di depan Resty. Gue malu tauuu. Kayak lu nggak punya aib masa kecil aja.” “Apa coba aib masa kecil gue?” “Lu pernah main bola tapi akhirnya bola yang lu tendang mendarat di kepala nenek-nenek?” “Udah, jangan saling buka aib. Nggak baik tauuu. Mending kita jalan-jalan aja yuk!” Resty menengahi perdebatan kami. “Kalian aja yang jalan-jalan. Gue mau nunggu pujaan hati di sini. Res, jagain sepupu gue ya. Jangan sampe dia melakukan hal konyol lagi. Bye.” “Beres.” Mereka pun berlalu dari hadapanku.  Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sudah satu jam berada di Holstentor, namun Maretha belum juga menampakkan batang hidungnya. Memang dia mampir kemana dulu? Aku mengirimkan pesan WA lagi ke dia. Ret, kamu dimana? Aku sudah ada di Holstentor loh. Detik demi detik terus bergulir. Tanpa terasa sudah dua jam berada di sini. Maretha tak kunjung datang. Pesan WA-ku pun belum dibalas. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Ini aneh. Tak seperti biasanya. Sesibuk apapun dia pasti balas pesan WA-ku. Paling lama balasnya setengah jam. Mendadak firasatku jadi tak enak. Hatiku seolah mengatakan terjadi sesuatu dengannya. Untuk memastikan keadaannya, aku harus mendatanginya di appartemen. Sebelum pergi dari Holstentor, aku mengirimkan pesan WA dulu ke Gibriel biar dia tak panik mencariku. Gib, sorry banget. Gue mesti pulang duluan. Ada hal penting yang harus gue kerjain.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices