
by Titikoma

Kembali Ke Mantan (gerhard Errando)
Aku harap-harap cemas menunggu kedatangan Gibriel kembali ke kamar tempat dimana aku tidur selama seminggu ini. Tiga puluh menit yang lalu aku meminta cowok itu menghadap dokter untuk menanyakan hari ini boleh pulang atau nggak. Seenak-enaknya kamar VVIP tetap saja lebih enak kamar rumah sendiri. Eh, kamar rumah appartement. Aku kan belum punya rumah di Jerman. Aku jadi penasaran Gibriel ngomongin apa aja ke dokter makanya tak kunjung kembali ke sini? Atau jangan-jangan Gibriel sekalian pedekate ke dokter? Berbagai pertanyaan jelek berkecamuk di pikiranku. Awas aja kalau dia berani pedekate sama dokter, aku adukan ke Resty. Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Muncullah Gibriel. Pucuk dicinta ulampun tiba. “Apa kata dokter? Gue dah boleh pulang kan hari ini?” “Iya, lu dah boleh pulang. Tapi...” raut wajah Gibriel berubah mendung. “Tapi apa? Please, deh jangan bikin gue penasaran.” “Tapi gip di kaki dan tangan lu lum boleh dilepas. Mana besok gue dah mulai kerja di kantor penerbitan. Terus siapa coba yang nyuapin lu makan, ngelap badan lu, sampai bantuin lu ke kamar mandi? Resty? Ogah. Nggak rela gue istri kesayangan merawat cowok lain.” “Yaelah, gitu aja kok repot. Tinggal cari suster aja buat ngerawat gue. Beres kan?” “Lu punya kenalan nggak yang berprofesi sebagai suster? Suster di rumah sakit ini pada sibuk.” “Hmmm ... siapa ya?” aku berpikir keras. Di saat seperti ini aku pengen Maretha Agnia yang jadi suster merawatku. Tapi itu tak mungkin terjadi. “Kenapa mesti bingung sih? Aku mau kok jadi suster merawat Gibriel selama beberapa hari.” Terdengar suara cewek di dekat pintu kamar. Aku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata pemilik suara itu Cicilia. “Kamu siapa? Selama aku di Jerman lum pernah liat kamu,” ucap Gibriel. Cicilia melangkah maju. Begitu dekat dengan aku, dia mengulurkan tangan ke Gibriel. “Perkenalkan namaku Cicilia. Aku ...” “Dia temenku, Gib.” Aku sengaja memotong ucapan Cicilia sebelum dia mengatakan bahwa dia itu mantanku. Gibriel menjabat tangan Cicilia. “Kalau gitu kamu saya terima jadi suster Gerhard. Dia pasti cepat sembuh kalau dirawat cewek secantik kamu.” Aku dongkol bukan main mendengar ucapan Gibriel. Cepat sembuh apanya. Yang ada aku bakal baper tiap hari jika dirawat sama mantan. Huh, menyebalkan. Walaupun aku sudah pulang ke appartement, tetap saja rasa bosan terus bergelanyut di hidupku. Gip di kaki dan tangan kanan ini benar-benar menyiksaku. Aktivitasku sangat amat terbatas. Selama tiga hari berturutturut, aktivitasku hanya main HP dan laptop di tempat tidur. Mau jalanjalan kemana coba? Ke toilet aja mesti dibantu. Untungnya ada Cicilia. Dari jam 7 pagi sampai 6 sore dia menyuapiku makan, lap badanku, membantuku ke toilet bahkan menemani aku mengobrol. Aku tak habis pikir, apa yang membuatnya rela jadi suster merawatku. Apa dia masih sangat mencintai? Jika cinta kenapa selingkuh sama Franco? “Cil, aku bosan.” Aku bersuara pelan. “Kamu mau aku bawa jalan-jalan ke taman? Aku telpon kak Gibriel dulu ya, dibolehin nggak kamu keluar rumah.” “Aku nggak pengen jalan-jalan.” “Terus maunya apa dong biar nggak bosen.” “Aku maunya main game sama kamu.” Cicilia meraih laptopku di atas meja. “Kamu mau main game apa? Bola, coc, atau criminas case?” “Gimana kalau kita main truth or dare aja?” “Boleh. Siapa takut.” Aku dan Cicilia swit. Dalam hitungan ketiga aku mengeluarkan jari telunjuk. Hal itu membuatku kalah. Cicilia lah yang berhak mengajukan pertanyaan ‘truth or dare’ kepadaku. “Hayo, kamu milih truth or dare?” tanya Cicilia. “Maunya sih milih dare. Tapi ntar kamu minta aku melakukan aneh-aneh. Kan tahu sendiri aku sekarang nggak bisa ngapa-ngapain.” “Tenang, aku akan minta kamu sesuai kemampuanmu kok.” “Baiklah. Aku milih dare. Kamu mau minta apa?” “Bentar.” Cicilia mengambil HP-nya dari saku kemeja. Dia kemudian senyum-senyum sendiri. Jelang beberapa detik dia memperlihatkan sebuah foto di HP-nya kepadaku. Foto itu seketika membuat raut wajahku jadi masam. “Astaga, itukan fotoku. Kenapa jadi jelek gini sih?” “Jelek apanya? Cantik tauuu. Nih, liat rambutmu panjang bergelombang, liptiks warna puchia, alis cetar membahana dan bulu mata anti badai. Hahaha.” Dia tertawa terbahak-bahak. Firasatku mulai tak enak. Aku yakin Cicilia akan minta aku berhubungan dengan foto itu. “Nah, aku minta kamu upload foto ini ke akun instagrammu dengan ‘Hei, jeng. Eike lagi jomblo loh, ada yang mau jadi pacarku?’” Dugaanku benar. Ingin sekali aku menolak permintaannya, namun sisi lain tak tega. Biar bagaimanapun selama tiga hari dia yang ikhlas merawatku tanpa mengeluh. Takutnya jika aku tak memenuhi permintaannya dia akan mengambek. Lebih parah tak mau merawatku lagi. Bisa berabe. Cari suster susah. “Oke deh. Aku penuhi tantanganmu. Apa sih yang nggak buat kamu.” “Aku kirim fotonya ke WA-mu ya.” Ting! Pasti foto yang dikirim Cicilia sudah masuk ke WA-ku. Aku meraih ponsel pintar yang bertengger manis di meja samping tidur. Kusimpan foto itu, lalu kuupload ke intagram. Dalam beberapa detik foto itu bertengger di beranda instagram. Aku sudah tak peduli dengan komentar-komentar yang masuk nanti. Yang penting Cicilia bahagia. Tak ada salahnya kan membahagiakan mantan? “Aku dah memenuhi tantanganmu. Sekarang giliranku yang mengajukan pertanyaan. Kamu milih truth or dare?” “Milih truth aja deh.” Inilah saat yang aku tunggu-tunggu sedaritadi. “Oke, kamu jawab yang jujur apa yang membuatnya rela jadi suster merawatku?” “Yaelah, kenapa mesti nanya lagi toh? Jawabannya dah jelas, aku melakukan itu karena masih sangat mencintai kamu.” “Kalau kamu masih cinta sama aku, kenapa kamu selingkuh sama Franco notabennya sebagai sahabatku sendiri?” “Itu mah emosi sesaat. Abis aku sebel, di HP-mu penuh foto-foto Maretha. Jadi aku pikir sebelum kamu ninggalin aku demi Maretha, aku dah punya cadangan. Biar nggak terlalu patah hati. Tapi apa yang aku lakukan justru membuatku kehilangan kamu. Aku benar-benar menyesal.” Bukan hanya Cicilia saja yang menyesal. Di hatiku pun muncul rasa bersalah sekaligus rasa menyesel. Ya, aku menyesal mengagumi Maretha. Orang kukagumi tak sebaik yang kukira. Dia sama sekali tak peduli kepadaku. Bagiku sekarang kebahagiaan itu simpel yakni saat tangan kanan dan kaki terbebas dari gip. Aku hari ini dinyatakan sembuh total. Dengan begitu aku bisa bebas kemanapun dan ingin melakukan apapun. Tentu saja aku ingin merayakan kesembuhan ini dengan seseorang yang spesial. Siapa lagi kalau bukan Cicilia? Ya, sejak Maretha meninggalkanku, aku jadi sadar orang spesial di hati adalah Cicilia. Terbukti saat aku kena musibah dia masih setia merawatku dengan ikhlas. Cewek seperti itu rugi jika disia-siakan. Masalah dia selingkuh dengan Franco, aku sudah memaafkannya. Lagian itu terjadi juga karena kesalahanku. Tak seharusnya aku mengagumi wanita lain di saat menjalin asmara dengan Cicilia. Masakan sudah siap tersaji. Sekarang tinggal merias meja agar suasana makan malam terasa romantis. Hiasannya sendiri aku ingin simpel saja. Cukup menabur kelopak mawar putih di atas meja makan sampai membentuk simbol love. Di dalam simbol love tertulis ‘I Love Cicilia’ Setelah semua kurasa beres. Buru-buru aku mengirimkan pesan WA ke Cicilia. Cicilia, kamu bisa datang ke apparmentku nggak? Aku habis jatuh nih, kakiku berdarah lagi. Muncul centang 2 berwarna biru yang artinya pesanku sudah dibaca. Ting! Ponsel pintar berbunyi. Ada balasan dari Cicilia. Oke. Aku ke sana sekartang juga! 10 menit kemudian Ting ... tong! Bel appartement berbunyi. Itu pasti Cicilia yang datang. Gibriel dan Resty tak mungkin. Sejak Gibriel diterima kerja di kantor penerbitan, mereka berdua pindah dari appartmentku. Buru-buru aku membukakan pintu. Benar, Cicilia yang datang. Dia malah bengong seperti sapi ompong. Aku mengibaskan tangan ke mata Cicilia. “Hello, kok bengong sih?” “Katanya abis jatuh kok bisa berdiri sih? Itu artinya...” “Yup, artinya aku sembuh total. Aku sengaja WA kamu seperti tadi biar kamu mau datang ke sini. Aku mau kasih kamu kejutan spesial.” “Ih, kamu jahat deh,” ucapnya sambil memukul lenganku. “Daripada kamu mukul-mukul aku terus, mending kamu ikut aku. Aku ingin memperlihatkan kejutan yang lain. Kamu pasti suka.” Aku menutup mata Cicilia dulu menggunakan kedua telapak tanganku. Lalu aku menuntun langkahnya menuju meja makan. Sesampai di meja makan aku melepas telapak tangan dari matanya. “Aku hitung sampai tiga ya. Dalam hitungan ketiga kamu buka mata pelanpelan.” 1...2...3 Dia mulai membuka mata. Sesaat kemudian dia mengerjap mata berkalikali. “Aku nggak salah liat kan? Ini kamu yang bikin?” Aku mengangguk pasti. “Gimana? Kamu suka?” “Suka banget.” “Aku tahu aku salah karena tak seharusnya aku mengagumi wanita lain di saat menjalin asmara denganmu. Maka dari itu aku itu aku ingin menebus kesalahanku hari ini. Cicilia, kamu nggak kembali ke pelukanku? Kali ini aku akan menikahimu. Kamu tinggal pilih mau menikah tanggal berapa.” Tes! Satu air mata jatuh dari pelupuk mata Cicilia. Aku heran kok dia malah menangis. Aku itu paling tak bisa melihat cewek menangis di depan mata. Segera kuusap air matanya. “Kok nangis sih? Nggak suka ya balikan sama aku?” Dia menggeleng pelan. “Ini air mata kebahagiaan tauuu. Aku nggak nyangka dilamar sama kamu hari ini.” “So, jawabanmu apa?” “Jelaslah aku nggak bisa nolak kamu.” Aku langsung memeluk dan mengecup keningnya. Kata orang kembali ke mantan itu sama saja seperti membaca novel yang sudah berkali-kali dibaca. Endingnya sudah hapal. Bakal nyesek. Tapi itu tak berlaku bagiku. Hatiku mengatakan kembali pada Cicilia endingnya pasti bahagia.