Menolak Jatuh Cinta

Reads
94
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Lebih Baik Menghindar (maretha Agnia)

 Sial, gara-gara ban mobilku pecah di jalan aku jadi terlambat satu jam sampai di Holstenter. Aku berharap Gerhard masih setia menungguku di tempat ini. Aku menoleh ke kanan kiri, menemukan sosoknya. Pandanganku tertuju ke tempat tak jauh dari dua menara berbentuk bulat dan melengkung masuk. Tampak sosok Gerhard di sana bersama dua orang. Satu pria dan satunya wanita. Buru-buru aku ke sana. Langkahku terhenti begitu melihat dua orang bersama Gerhard secara dekat. Astaga, itukan Gibriel Alexander dan Restyani Ananda Putri? Ngapain mereka di sini? “Kalian aja yang jalan-jalan. Gue mau nunggu pujaan hati di sini. Res, jagain sepupu gue ya. Jangan sampe dia melakukan hal konyol lagi. Bye.” Indera pendengaranku bisa menangkap yang diucapkan Gerhard. Seketika tenggoranku tercekat. Jadi Gerhard itu sepupunya Gibriel? Air mata menetes begitu saja dari pelupuk mataku. Niatku datang ke Holstentor untuk memberikan jawaban atas Gerhard langsung berubah. Aku justru berbalik arah dan meninggalkan tempat ini dengan setengah hati yang terluka. Adegan tadi siang terus terbayang. Hal itu juga yang membuat hati sekaligus pikiranku kacau. Ting ... Tong! Ting ... tong! Aku menekan bel appartement dua kali saking tak sabar Maretha membuka pintu. Ya, detik ini yang aku inginkan adalah buru-buru masuk kamar dan menangis di pelukan guling. Tak berapa lama pintu terbuka. Pandangan Maretha terheran-heran. “Lu kenapa? Pulang-pulang kok nangis? Siapa yang bikin lu nangis?” Maretha membombardir dengan beberapa pertanyaan. Sayang, pertanyaannya tak ada satu pun yang kujawab. Aku meneloyor masuk ke appartement dan buru-buru menuju kamar. Sesampa kamar, niat menangis di pelukan guling aku batalkan. Aku malah membuka lemari pakaian, mengangkat koper lalu memasukkan pakaian-pakaianku  ke koper. “Nind, kalau gue nanya itu dijawab dong. Jangan bikin gue penasaran. Ini lagbi ngapain lu beres-beres pakaian segala.” Aku menghentikan aktivitas beres-beres, lalu mendekati Maretha. Refleks aku memeluknya erat. “Ret, ternyata Gerhard itu sepupunya Gibriel Alexander. Hiks.” Aku menangis di pelukan Maretha. Dia mengelus pundaknya. “Lu yang sabar ya. Terus gimana hubungan lu sama Gerhard?” Aku melepas pelukan Maretha. “Ntahlah. Tadi gue buru-buru pergi. Gue belum siap ketemu Gibriel dan Resty.” “Ya, gue ngerti perasaan lu. Lu ngapain make beres-beres pakaian? Emang lu mau pergi kemana?” “Cepat atau lambat dia pasti pasti akan tau siapa gue. Ketika hal itu terjadi dia akan marah besar, bahkan menjebloskan gue ke penjara. Jadi gue pikir lebih menghindar darinya mulai dari sekarang. Gue pengen pergi ke tempat yang susah ditemukan Gerhard.” “Terus lu dah punya tujuan mau kemana?” Aku menggeleng lemah. Raut wajah Maretha terlihat serius berpikir. Sesaat kemudian wajahnya kembali cerah menang kupon belanja. “Aha, gue baru inget. Gue punya temen, rumahnya dah lama nggak dihuni. Di Daerah Mosel, bisa dikatakan kota terpencil di Jerman. Nggak jauh dari perkebunan anggur. Nah, rumahnya itu minimalis terus di mata orangorang angker. Lu mau nggak tinggal di sana?” Aku mengangguk pasti. “Gue mau kok tinggal di sana. Paling kalau ketemu mbak kunti ntar aku ajakin kenalan biar bisa jadi riset novel horor.” “Yeee ... dikit-dikit dijadiin novel. Ya udah gue telpon temen dulu. Lu lanjutin beres-beres aja.”  Aku beruntung teman Maretha berkenan meminjamkan rumahnya yang kosong kepadaku. Dengan begitu aku tak perlu repot mencari rumah. Aku melihat sekeliling isi rumah. Rumah ini terdiri dari 2 lantai. Bagian bawah ruang tamu dijadikan satu dengan ruang keluarga. Terus dapur sempit, wc dan kamar mandi. Sedangkan lantai 2 ada dua kamar dan balkon. Benar yang dikatakan Maretha kesan ‘suram angker’. Terlebih saat memasuki rumah ini aku merasakan energi negatif. Lama-lama akan terbiasa. Paling kalau nanti ‘mereka’ memunculkan diri, aku ajak kenalan buat diajakan riset novel horor. “Gimana lu suka kan sama rumah ini?” tanya Maretha. “Suka nggak suka, nggak ada pilihan lain kan?” “Lu tenang aja, kalau ada rumah yang lebih bagus gue bakal kasih tau lo. Eh, gue masih jadi manager lu kan?” “Hmmm ... gimana ya?” Aku berpikir keras, bingung mengatakan hal ini atau tidak ke Maretha. “Sebenarnya gue mau minta sesuatu lagi sama lu.” “Minta apa? Selama gue bisa bantu, pasti gue penuhi permintaan lu.” “Tapi janji ya lu jangan syok?” “Apaan sih? Bikin gue kepo aja. Iya, deh gue janji.” Aku mengembuskan napas berat. “Gue minta lu bikinin jadwal confrensi pers. Gue mau mengumumkan pada media bahwa gue mengundurkan diri dari dunia literasi.” Mata Maretha melotot. “Hah? Serius lu mau melalukan itu? Segitunya menghindari Gerhard, sampe mundur dari dunia literasi.” “Selagi gue masih jadi public figur, Gerhard gampang nemuin gue. Cepet atau lambat media bakal tau kesalahan gue di masa lalu. Jika media tahu, pasti bakal heboh. Karir gue hancur. Orang-orang bakal ngebully gue. Istilahnya mundur lebih terhormat daripada dipecat.” “Lu bener juga sih. Okelah ntar gue atur jadwalnya. Gue pulang dulu ya. Daah.” Maretha mengatur jadwal konfrensi pers hari ini. Kebetulan bertepatan launching novel terbaruku. Hmmm ... bisa dibilang merupakan launching novel terakhir. Di depan mataku para wartawan sudah menduduki kursi masing-masing. Mereka sudah siap melempariku dengan pelbagai pertanyaan. “Mbak Maretha kan sudah melahirkan 100 novel, mengapa tiba-tiba mundur dari dunia literasi? Apa Mbak Maretha tidak sayang melepas karir yang sudah jadi besar?” wartawan dari stasiun televisi lah pertama melempari pertanyaan ke aku. Hmmm … sudah aku duga mereka pasti menyayangkan aku mundur dari dunia literasi. Bukan Cuma wartawan, keluarga dan para sahabat pun menyayangkan atas keputusanku. Jangankan mereka, aku sendiri pun berat melakukan ini. Melepas karir yang sudah 3 tahun ditekuni tentu tak semudah dibayangkan. Namun aku tak pilihan lain. “Maaf, saya nggak bisa menjawab alasan mundur dari dunia literasi secara detail. Yang pasti karena suatu hal di masa lalu.” Aku menjawab pertanyaan wartawan itu dengan tenang. “Apakah sesuatu di masa lalu itu akan mengancam karir di masa depan jika tak mundur.” Pertanyaan wartawan satu ini benar-benar menohok. Aku melirik Maretha di samping. Lirikan mataku seolah menanyakan, “Gimana nih Ret? Gue jawab nggak?” “Maaf, saudara-saudara wartawan semua. Waktu konfrensi pers sudah habis. Semua kekurangan mohon dimaklumin. Terima kasih atas kehadiran kalian.” Aku dan Maretha bangkit dari tempat duduk. Terus ngacir meninggalkan ruang konfrensi pers. Aku berharap jawabanku bisa diterima oleh wartawan, keluarga, sahabat dan pastinya para Maretha Holic, sebutan pembaca novelku.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices