
by Titikoma

Undangan Pernikahan (maretha Agnia)
7 Bulan kemudian Gerald lagi-lagi memberiku sebuah kejutan. Kejutan yang dia berikan hari ini adalah mengajakku seharian jalan-jalan ke tempat indah yang belum pernah kudatangi selama berada di Jerman. Puas dan bahagia, dua kata itulah menggambarkan perasaanku. Kembali pulang ke rumah tepat pukul empat sore. Aku mengobok-obok tas mencari kunci rumah. Tiba-tiba mataku menangkap sepucuk kertas berwarna biru muda dan bersampul plastic terselip di bawah pintu. Aku penasaran, jongkok dan meraih kertas itu. Aku tersenyum simpul, ternyata kertas yang terselip di bawah pintu adalah undangan. Terselip Tanya di hati, “Siapa yang mengirimkan undangan? Dan ini undangan pernikahannya siapa coba?” Di depan undangan sama sekali nggak tertulis nama kedua mempelai yang menikah hanya inisial kedua mempelai. Inisialnya C & G. Temantemanku yang berinisial G itu Gibriel, Gerald, dan Gerhard. Gibriel? Tak mungkin. Dia sudah sah jadi suami Resty. Resty tak mungkin mengizinkan dia menikah lagi. Lantas ini undangan siapa? Tak mungkin dong orang yang tidak dikenal mengundangku ke pesta pernikahannya? Rasa penasaran semakin menggebu. Kusobek sampul plastic yang menyelimuti undangan. Dan langsung kubaca isi undangan tersebut. Yang akan melangsungkan pernikahan : Cicilia Setyawati Binti Jordi Setyawan Dengan Gerhard Errando Bin Delano Alexander Pernikahan Dilangsungkan Pada : Hari, Tanggal : Minggu, 07 Juli 2017 Waktu : 09.00 WIB Tempat : Perum Bukit Golf Arcadia Housing Blok E5 no 21 Leuwinaggung Gunung Putri Bogor 16963 Duar! Hatiku disambar petir membaca nama yang tertulis di undangan ini. Berulang kali aku menggosok berharap penglihatanku salah lihat namun hasilnya tetap sama. Nama yang tertulis di undangan tak berubah, tetap Gerhard. Ini mimpi buruk bagiku. Tanpa terasa menetes air mata ini dari pelupuk mataku. Dadaku sesak, hatiku perih membaca nama mempelai pria di undangan ini. Gerhard Errando, nama pria yang singgah di hatiku selama 1 tahun terakhir, pria yang pernah melamarku lewat acara tivi nasional Jerman. Kini aku harus menerima kenyatan pahit, kenyataan bahwa dia akan menikah dengan wanita lain untuk 3 minggu lagi. Aku memang menginginkannya menikah dengan wanita lain karena aku sadar tak pantas bersamanya. Dia terlalu baik untukku. Terlebih rasa bersalahku terhadap sepupunya, Gibriel Alexander. Tapi tak secepat ini juga kali. Aku masih sangat mencintainya dan belum siap dia jadi milik wanita lain. Aku meremas undangan ini, lalu kubuang jauh-jauh. Semakin lama aku melihat undangan ini, hatiku semakin perih. Lebih baik undangan in dilenyapkan dari hadapanku. Drrrt … Drrrt! HP-ku bergetar dari balik saku kemeja. Aku mengambil HP itu. Di layar HP ada 2 pesan diterima secara bersamaan. Satu persatu aku mulai membaca pesan yang masuk. Pesan yang pertama kubaca dari Cicilia. From : Cicilia. Hay, Maretha. Lu sudah menerima undangan dari gue? Sekarang terbukti kan ucapan gue itu bener. Gue lah jodohnya Gerhard. Sekarang selamat menikmati kebaperanmu, Maretha. Oh ya jangan lupa dateng ke pernikahan kami biar tambah baper. Pesan kedua dari Ivana. Ret, lo baik-baik aja kan? Baru aja gue baca undangan pernikahan dari Gerhard, gue takut lo kenapa-napa. Ret, lo yang sabar ya. Mungkin inilah jalan terbaik buat lo dan Gerhard. Lagipula lo kan juga sudah punya Gerald. Jangan sampai kebahagiaan lo sama Gerald rusak gara-gara sang mantan. Mendadak pikiranku melayang ke masa 9 bulan yang lalu, saat terakhir kali bertemu Cicilia. “Nih, gue kasih tau ya, denger baik-baik! Pagi tadi Gerhard melamar gue make piano plus nyanyi lewat tv. Dia romantis banget. Bentar lagi dia akan jadi milik gue.” Aku sengaja manas-masi dia. Mata Cicilia melotot bahkan hampir keluar. “Walaupun dia sudah melamar lu, gue pastiin lu nggak akan nikah sama Gerhard. Dia milik gue, titik.” Aku mengukir senyum licik. “Kita liat saja nanti siapa yang akan berjodoh dengan Gerhard. Tapi siap-siap patah hati ya.” “Yang ada lu siap-siap patah hati.” Dia berteriak mengancam lalu beranjak pergi dari appartement Maretha. Baguslah, jadi aku tak perlu capekcapek mengusirnya. Dalam hati aku cemas memikirkan kata-kata Cicilia. Gimana kalau ternyata aku yang patah hati menyaksikan Gerhard dan Cicilia bersatu? Stop, ingat masa lalu. Yang lalu biarlah berlalu. Aku menghapus air mata yang membanjiri pipi. Benar kata Maretha, aku harus mengikhlaskan Gerhard. Mungkin inilah jalan terbaik. Aku tak ingin gara-gara undangan sang mantan kebahagiaanku hari ini rusak. Aku buru-buru masuk kamar. Lalu menyetel lagu Sheila on 7 berjudul Berhenti Berharap dengan kencang. Hanya lagu itu yang pas dengan suasana hatiku saat ini. Aku berhenti berharap Menunggu datangnya gelap Sampai nanti suatu saat, tak ada cinta kudapat Kenapa ada derita, bila bahagia tercipta Kenapa ada sang hitam jika putih menyengkan. Aku pulang, tanpa dendam Kuterima kekalahanku Aku pulang, tanpa dendam Kusalutkan kemenanganmu Sambil mendengarkan lagu, jari-jariku menari lincah mengetik balasan sms untuk Cicilia dan Maretha. Selamat menempuh hidup baru ya Cicilia. Aku akui kamulah pemenangnya mendapatkan cinta Gerhard. Aku pasti dateng kok. Kamu nggak akan liat kebaperanku, karena aku datengnya sama calon suamiku. Sekalian mau anter undang ke kalian. Sent to Cicilia. Iya, tenang aja gue nggak apa kok. Lagian gue kan sudah lama melepas Gerhard. Thanks ya atas perhatian lu. Sent to Maretha Agnia Aku sengaja mengirimkan sms seperti itu, sengaja menunjukkan pada mereka berdua bahwa aku wanita yang kuat. Walau lidahku berkata ‘nggak apa-apa’ tapi tetap saja hati ini nyesek terbawa perasaan. Rasa aneh sudah sembilan bulan lenyap, ntah mengapa kini kembali menyusup di sudut hatiku. Aku sendiri heran dari sekian ratusan juta bahkan miliaran pria di dunia, kenapa harus dia yang memiliki kunci hatiku? Dua hari yang lalu aku kembali bertemu dengan Gerhard di sebuah butik gaun pengantin. Dia bersama Cicilia, mungkin melakukan fiting gaun pengantin. Aku ke butik itu juga sama seperti Gerhard. Jarak pernikahanku dengan pernikahan Gerhard hanya 10 hari. Aku memilih tanggal 17-07- 2017. Tentu saja mempelai prianya si Gerald. Mungkin inilah yang dinamakan takdir. Saat aku sudah berusaha semaksimal mungkin menghindari dia, bukannya menghilang cinta itu semakin mendekat dan menguat di hatiku. Aku harus bagaimana? Andai Doraemon benar ada di dunia, akan kudatangi walau di belahan bumi manapun. Aku ingin minta Doraemon untuk mengeluarkan alat ajaib yang mampu menghilangkan rasa bersarang di hati dalam waktu singkat. Aku benci dengan perasaan itu, sebab bisa menenggelamkanku dalam luka lama. Aku merasakan seseorang menyentuh pundak, sesaat menoleh ke sebelah kanan. Ternyata Maretha Agnia, sahabat yang tak pernah lelah membantuku. Tanpa dia aku tak akan bisa bertahan di Jerman selama satu tahun. Aku menjadi novelist best seller internasional pun berkat meminjam namanya. “Lu ngapain bengong di depan laptop? Mikirin dia lagi?” Dia pasti sudah membaca sinopsis novel baruku. Walaupun aku sudah mengumumkan mundur dari dunia literasi, tapi bukan berarti berhenti berkarya dong? Sejak lima bulan lalu aku memutuskan jadi ghost writer penulis novel ternama. Karakter tokoh novel baru yang kugarap mengingatkanku akan sosok Gerhard. Itulah sebabnya mengapa lebih suka bengong di depan laptop. Pertanyaan dia hanya kujawab dengan satu anggukan kecil. “Masalah lu sebenarnya simpel, lu cukup mengakui bahwa lu cinta sama dia. Dengan begitu baru lu bisa pelan-pelan melepas dia.” Maretha memang jago dalam menasehati orang yang sedang dilanda kegalauan cinta. Aku mendesah napas berat. “Mengakui cinta itu nggak sesimpel yang kamu bayangkan, Ret. Akan ada bahaya besar siap merebut apa yang kumiliki sekarang jika aku melakukan itu.” “Huft, susah juga kalo gitu. Berarti lu nggak ada pilihan lain selain pasrah dengan takdir. Gue selalu yakin pada akhirnya cinta tak akan pernah bisa menyakiti siapapun.” Aku terdiam. Apa yang dikatakan Maretha ada benarnya. Aku tak punya pilihan lain selain pasrah pada takdir