
by Titikoma

Tragedi Foto Prawedding (gerhard Errando)
H-7 dari pernikahanku dengan Cicilia. Harusnya hari ini kami sudah terbang ke Indonesia sebab Cicilia ingin pernikahan diadakan di kediaman orangtuanya yakni Bogor, ternyata berubah rencana. Kami justru terbang ke Beijing. Si calon istriku mendadak ingin foto prawedding di tembok Cina. Aku sempat berdebat dengan Cicilia karena aku ingin foto wedding di Indonesia saja. Di Indonesia juga banyak tempat indah, tapi percuma cewek selalu benar dan selalu menang. Tak ada pilihan lain selain menuruti permintaannya. Pesawat Garuda Airlines yang kami tumpangi mendarat di bandara Internasional Ibu Kota Beijing ( Beijing Shoudu Guoji Jichang). Bandara Ibu Kota yang berlokasi di Distrik Chaoyang, 32 km dari pusat kota Beijing ini termasuk bandara terbesar di Beiijng. Aku dan Cicilia melanjutkan perjalanan menuju hotel di tengah pusat kota Beijing. Istirahat semalam sebelum kami melanjutkan perjalanan inti menuju Tembok Cina. Aku menutup wajahku dengan masker ketika turun dari taksi. Polusi yang berat memang selalu menjadi ciri dari kota Beijing. Beda tipis dengan Jakarta, pikirku. Cicilia sedang mengisi buku tamu hotel. Aku hanya duduk di kursi tamu lobby hotel. Tempat wisata di Beijing cukup menarik. Ada Museum Kuno atau di sebut juga dengan Kota Terlarang. Ada Kuil Tiantan biasa disebut Kuil Langit. Terdapat juga gerbang Tian An Men yang sudah berdiri sejak tahun 1417. Aku membolak-balik brosur wisata yang terdapat di meja tamu. Kalau saja ini honeymoon, pasti aku sudah datangi seluruh tempat wisata itu, gumamku di hati. Cicilia menoleh padaku lalu ia kembali berbicang dengan gadis setengah cowok. Dia resepsionist hotel ini. Hatiku mengatakan gadis itu lesbian terbukti daritadi mata sipitnya terus tak berkedip menatap Cicilia. Mana tatapannya genit pula. Aku segera beranjak menghampiri Dimas. “Xi wang nin manyi zhu zai zheli.”[3] Ucap si mata sipit sambil mengerjap genit pada Cicilia “Xie xie..”[4] Cicilia menjawabnya dengan tersenyum ramah dalam bahasa Mandarin. Tak kusangka, kemampuan bahasa Mandarin Cicilia lumayan baik. Hemm, aku mendengus kesal. Di depan aku saja cewek itu masih berani bergenit ria dengan Cicilia. Tak tahu apa kalau aku ini calon suaminya? Aku dan Cicilia naik lift untuk menuju kamar kami di lantai tiga. Hotel King Parkview bintang tiga ini bertarif Rp. 527.094,- untuk semalamnya. Lumayan murah dibanding hotel-hotel lain di kota Beijing ini. Akhirnya kami memesan dua kamar untuk dua malam. Besok lusa sudah harus pulang ke Indonesia. Pagi di kota Beijing, tak beda dengan di Jakarta. Jalanan penuh polusi. Asap kendaraan sudah seperti kabut. Aku tetap memakai masker jika keluar hotel. Mencegah hal-hal yang tak di inginkan. Dari pusat kota Beijing kami mengambil jarak yang terdekat untuk sampai kesana. Aku dan Cicilia dengan berkendara mobil sewaan dari hotel mengambil jarak tempuh ke sisi Badaling. Mobil terus melaju menyusuri jalan tol. Dalam waktu kira-kira 1,5 jam kami sudah sampai di Tembok Besar Cina. Aku berdecak kagum setelah sampai di atas tembok. “Subhanallah! Amazing! Sebuah pemandangan alam yang sangat memukau dan menyejukan hati,” ujarku. “Wonderfull!” ucap Dimas yang berdiri di sampingku. Aku dan Dimas saling pandang dalam senyum. 3.=Semoga anda puas menginap di sini. 4 = Terima Kasih Guide wisata mulai menceritakan sejarah Tembok Besar Cina padaku. Cicilia pun mulai sibuk mengambil foto dengan kamera SLR-nya. Tembok yang membentengi kekaisaran Cina dari serangan bangsa Mongolia dari arah utara ini terbentang dari Tiongkok Barat hingga ke propinsi Liaoning Tiongkok Timur Laut, Negara Cina. Sungguh dramatis karena pembangunan tembok ini menelan jutaan korban manusia. Tembok ini telah mulai dibuat sebelum Dinasti Qin berkuasa. Dan terakhir pembuatan tembok dilanjutkan lagi pada jaman Dinasti Ming. Aku terpaku. Begitu semangatnya rakyat Cina untuk pembuatan tembok ini hingga tak memikirkan jutaan nyawa manusia sebagai taruhannya. Aku melihat Biconvex Pulley (kereta kecil yang berjalan di atas rel). Ada beberapa orang di dalamnya sedang menuju ke atas tembok. Aku dan Cicilia naik Sky Lift ( kereta gantung) untuk sampai di atas tembok ini tadi. Kembali kulepas pandangku ke sepanjang Tembok Besar Cina ini. Lagilagi kumemuji nama Tuhan. Kalau bukan atas ridho Allah mana mungkin tembok yang panjangnya 6.400 km ini dapat berdiri? Dibutuhkan waktu ratusan tahun dengan korban jutaan nyawa manusia dalam pembuatannya. “Apa foto praweddingnya bisa dimulai sekarang?” tanya Mr. Lee. “Boleh.” Mr. Lee melangkahkan kakinya. Di tembok Cina ini memang ada sebuah tendan khusus ruang ganti dan ruang makeup bagi yang ingin melakukan foto prawedding di sini. Aku dan Cicilia mengekor Mr. Lee di belakang. Sesampai di ruang ganti, aku dan Cicilia langsung didandani ala pengantin Cina oleh Mrs. Shu. Aku mengenakan jubah Labuh sedangkan Cicilia memakai baju Cheongsam. Di Beijing dikenal dengan nama ‘Qipao’ yang digunakan bangsa Manchu. Sebutan Cheongsam lebih dikenal dalam artian pakaian panjang dengan lengan lebar dan kain longgar. Selesai makeup kami kembali ke tembok Cina. Fotografer prawedding mulai memberikan pengarahan akan pose-pose yang harus kami lakukan selama pemotretan. Pose pertama aku dan Cicilia berdiri di tepi tembok dengan posisi aku memeluk Cicilia dari belakang. Satu lagi dalam pose tangan kami saling berpegangan. Lima pose telah diambil untuk foto praweeding kami dengan latar tembok Besar Cina. Rasanya aku tak sabar untuk melihat hasilnya. Aku jadi teringat kisah cinta Ahei dan Ashima. Cerita legenda yang popular di negeri Cina. Ashima telah diculik oleh anak laki-laki seorang raja iblis dan memaksa Ashima untuk menikahinya. Mengetahui hal tersebut, 105 103 kemudian kekasihnya Ahei, pergi menyelamatkan Ashima dengan busur sihir dan anak panahnya. Ahei dan para penculik bersaing menyanyikan lagu selama tiga hari dan tiga malam. Akhirnya Ahei menang dan tahan lebih lama dari pada lawannya. Namun sayangnya dalam perjalanan pulang, Ashima dihanyutkan oleh banjir dan menjadi apa yang di kenal saat ini sebagai batu Ashima. Berdiri disana dengan mengenakan pakaian tradisional, menjinjing sebuah keranjang dan memandang ke arah kejauhan. Kisah itu kubaca di mbah gugel kemarin malam. Kisah cinta yang berakhir tragis. Pengorbanan memang tak selamanya berakhir kebahagiaan. Aku berharap kisah cintaku dengan Cicilia tak berakhir tragis seperti kisah Ahei dan Ashima. “Gerhard, awas!” Cicilia tiba-tiba berteriak kencang. Aku menoleh ke belakang. Lampu kamera pemotretan bersiap jatuh mengenaiku. Anehnya Cicilia justru malah mendorongku. Hingga akhirnya aku terpental. Bruk! Lampu kamera itu jatuh tepat mengenai tubuh Cicilia. Aku bergegas menghampiri. Kepala Cicilia banyak mengeluarkan. “Cicilia, bangun. Pernikahan kita tinggal seminggu. Kamu jangan ninggalin aku.” Aku mengguncang-guncang. Sesaat kemudian orang-orang datang menghampiri kami. Mereka membantuku membawa Cicilia menuju rumah sakit terdekat. Aku mondar-mandir di depan ruang UGD. Pikiran kalut, hati harap-harap cemas menunggu dokter keluar sedangkan mulut tiada hentinya berdoa agar Cicilia baik-baik saja. Kenapa semua jadi seperti? Harusnya aku yang kena lampu kamera itu. Aku menjambak rambut sendiri. Orang yang kunanti akhirnya keluar juga dari ruang UGD. Aku menghampiri dokter. “Gimana Dok keadaan calon istri saya?” Raut wajah dokter berubah jadi mendung. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, namun takdir berkata lain. Saudari Cicilia tak bisa diselamatkan.” Aku menggeleng. “Dokter pasti bercanda kan?” tanyaku sambil mengguncang tubuh dokter.. Dokter di depanku hanya dia. Ya, sudah aku sudah aku sendiri yang memastikan ucapannya benar atau tidak. Kuterobos ruang UGD. Seketika bola mataku melihat mayat terbujur kaku dengan penutup kain putih. Pelan-pelan kubuka kain putih itu. Nampaklah wajah Cicilia pucat pasi. Bibirnya melengkungkan senyuman manis. “Cil, bangun! Jangan tinggalin aku! Pernikahan kita tinggal seminggu lagi. Bukankah pernikahan ini yang kamu tunggu?” Aku teriak-teriak sambil mengguncang tubuh Cicilia. Berharap ada keajaiban seperti di sinetron-sinetron. Siapa tahu tangan Cicilia sebentar lagi bergerak. Sepuluh menit telah berlalu. Keajaiban itu tak kunjung datang. “Saudara Gerhard, yang sabar ya. Ikhlaskan saudari Cicilia agar dia bisa pergi dengan tenang. Oh ya sebelum saudari Cicilia mengembuskan napas terakhir, dia menitipkan surat kepada saya. Saya rasa surat ini untuk anda.” Dokter itu menyerahkan sepucuk surat. Aku menerima dengan bergetar. Langsung saja kubaca suratnya. Dear calon suamiku tercinta Mungkin saat kamu baca surat ini, aku sudah nggak ada. Kamu tahu tadi malam aku mimpi buruk. Mimpi mengenakan baju pengantin. Kata orang jika mimpi mengenakan baju pengantin tandanya akan meninggal. Tadinya di mobil aku pengen cerita soal mimpi itu ke kamu tapi kamu pasti bilang, “mimpi Cuma bunga tidur.” Ya udah nggak jadi bilang deh. Oh iya kalau aku udah nggak ada kamu jangan sedih ya dan pernikahan kita tetep terlaksana. Carilah mempelai wanitanya. Maretha Agnia. Aku tahu kamu sampai detik ini masih mencintainya, kini aku ikhlas kalian bersatu. Jika kamu bertemu dengan Maretha, sampaikan permintaan maafku ke dia. Salam cinta, Cicilia. Tubuhku lemas. Dengan sendirinya merosot ke lantai. Air mata semakin seras mengalir. Kupeluk surat dari Cicilia. “Cil, kenapa kamu ninggalin aku secepat ini? Jika kamu ingin aku bersatu dengan Maretha, aku akan memenuhinya. Selamat jalan. Tunggu aku di surga.”