
by Titikoma

Dua Mata Saya
Sebuah mobil sedang meluncur di jalanan kota. Taman kota terlihat cukup ramai, banyak anak di taman tersebut, tertawa dan bermain. Seorang anak laki-laki tersenyum melihat dari dalam mobil, ia terlihat senang dengan pemandangan tersebut.
Anak laki-laki itu bernama Raihan. Dia berusia 10 Tahun. Terlihat masih sangat polos, dan baru pertama melihat dunia luar karena dia memiliki penyakit Rheumatoid arthritis (RA) adalah suatu penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan dan kerusakan pada sendi dan jaringan lainnya di tubuh. Maka dari itu orang tua Raihan melarang Raihan keluar rumah agar Raihan tidak capek dan stres.
Ayah sambal menyetir melihat Raihan dari kaca spion tengah. “Ada yang menarik?” tanya ayahnya.
Di sebelah ayahnya, terlihat perempuan tersenyum melihat tingkah laku Raihan. Perempuan itu Ibu Raihan. Berusia 25 tahun. Cantik dan punya pesona.
Raihan lalu duduk kembali ke posisi yang benar. Ia kemudian duduk terdiam, tampak malu setelah ditegur. “Loh? Kok duduk lagi?”
“Ga papa. Lihat-lihat lagi saja.”
Ayah melihat Raihan dari spion tengah. Raihan kemudian pelan-pelan bergerak ke jendela dan melihat-lihat kembali.
Mobil masuk ke daerah pemukiman dengan pohon-pohon di kiri kanan yang tinggi menjulang. Raihan masih terpukau memandang pemandangan di luar.
Ayah dan Ibu melihat ke arah Raihan, lalu mereka saling memandang dengan senyum bahagia di wajah mereka dan bergenggaman tangan.
Terlihat suasana rumah yang rapih, mewah dan hommie. Namun, terasa sepi hingga pintu depan terbuka. Terlihat Ayah, Ibu dan Raihan berdiri di ambang pintu. Wajah Raihan tampak terpukau menatap interior rumah yang mewah.
“Nah, gimana? Suka ngga?”
Raihan mengangguk pelan. Ibu tersenyum menatap Raihan yang terlihat polos. Sang Ayah kemudian mengajak Raihan masuk ke rumah baru. “Sini, ikut Ayah!”
Ayah dan Ibu berjalan masuk, sedangkan Raihan masih berdiri terdiam beberapa saat masih menggendong tasnya.
Ayah, Ibu dan Raihan berjalan menuju dapur.
“Nah, ini dapur. Wilayah kekuasaan Ibu,” celetuk Ayah.
“Ih, Ayah bisa aja,” sahut Ibu tersenyum manis.
Ayah kemudian menunjuk ke salah satu ruangan. “Nah, di sana ruang makan.”
Mereka berjalan ke arah ruang makan. Raihan tampak terpukau dengan ruang makannya.
“Nanti malam kita makan di sini,” ujar Ibu.
Ayah kembali menunjuk ke ruangan lain. “Kalau itu ruang tamu...lalu itu ruang TV Nah, di sana akan jadi wilayah kekuasaan kita, kita bisa main PS di sana. Ok ga tuh?”
Raihan mengangguk sambil tersenyum sedikit. Senyum pertama yang ia tunjukkan karena potensi yang bisa ia lakukan di rumah baru ini.
Ayah, Ibu, dan Raihan melanjutkan berjalan ke arah tangga menuju lantai 2. Saat menuju tangga mereka melewati sebuah ruangan yang pintunya tertutup. RAIHAN berhenti tepat di depan pintu yang tertutup itu. Wajahnya terlihat penasaran.
“Oh, kalau itu ruang kerja Ayah,” ucap Ibu menjelaskan.
“Iya. Nanti kamu juga akan tahu.” Sang Ayah bernapas sejenak. Lalu, kembali melanjutkan langkah. “Tapi sekarang kita ke atas dulu aja.”
“Kamu pasti ga sabar lihat kamar kamu kan?” sahut Ibu.
Mereka melanjutkan berjalan menaiki tangga ke lantai 2. Rasa penasaran Raihan membuat ia tidak bisa melepaskan pandangan dari pintu tersebut.
Mereka menaiki tangga menuju lantai 2
“Kamu hati-hati ya kalau naik turun tangga ini,” pesan ayahnya.
Raihan menganggukkan kepalanya menandakan ia paham. Mereka berjalan menyusuri lorong di lantai 2 menuju kamar Raihan.
Pintu terbuka. Terlihat sebuah kamar laki-laki yang terdapat banyak mainan, komik yang tertata rapih dan bersih.
Ibu jongkok di sebelah Raihan. “Nah bagaimana? Kamu suka kamar ini?”
Raihan terdiam kagum dengan suasana sebuah kamar idaman anak seusianya. Ekspresinya langsung menunjukkan perasaan malu. Dia bersembunyi di sebelakang ibunya.
Ayah Raihan mengerutkan kening. “Loh? Kok malu? Ini kamar kamu.”
Perlahan Raihan melangkahkan kakinya masuk ke kamar.
“Ayo masuk, tuh banyak mainan.” Ibu Raihan menarik tangan Raihan.
“Ada komik juga tuh, kamu suka baca komik nggak?” tanya ayahnya
Raihan menggelengkan kepala.
“Wah, masa nggak suka? Kamu belum belum baca komik yang keren kali, nih.” Ayah kemudian masuk dan mengambil komik dan mengajak Raihan untuk membaca.
“Sini tuh lihat, bagus kan?”
Raihan ikut melihat komik Volt yang ditunjukkan oleh Ayah. Ibu sambil memperhatikan tingkah anaknya yang mulai antusias tertarik.
“Gimana? Bagus? Keren kan gambarnya? Nah, kalau ini superhero favorit aku nih.”
Raihan akhirnya ikut membaca komik itu, wajahnya tampak senang dengan yang ia baca. Bola mata Raihan bergerak ke kan dan kiri menikmati gambar-gambar di komik yang ia pegang. Ibu juga ikut menemani Raihan membaca komik. Raihan mulai merasakan nyaman dengan keluarga barunya.
***
Raihan sudah di dalam kamar mandi yang letaknya di dalam kamar Raihan. Air mengucur dari keran mengisi bathtub. Ibu menyiapkan sabun dan handuk untuk Raihan. Ayah menyaksikan dari pintu.
“Nah, sekarang kamu mandi di sini, pakai sabun yang ini ya, wanginya enak. Dan ini handuknya.” Ibu memberikan handuk warna biru ke Raihan. Lalu, berjalan keluar kamar mandi. “Mandi sendiri bisa kan? Ibu mau siapin makan malam.”
Ibu lalu berjalan menghampiri Ayah yang berdiri di pintu.
“Abis mandi kamu ke bawah ya. Kita makan malam bersama,” sambung ayahnya.
Ayah dan Ibu kemudian keluar kamar dan meninggalkan Raihan sendiri. Ia kemudian bersiap mandi, ia membuka baju dan masuk ke bathtub.
Raihan berendam di bak mandi yang sudah terisi air hangat itu, dikelilingi busa berlimpah. Dasar anak kecil, ia tak bisa menahan diri untuk bermain air. Ia menyelam, lalu muncul kembali ke permukaan. Hal ini ia lakukan beberapa kali.
Menyelam. Muncul. Menyelam. Muncul. Hingga satu saat, RAIHAN muncul ke permukaan dengan mata tertutup busa sabun. Matanya terasa pediah karena sabun. Samar-samar ia melihat ada dua sosok anak kecil yang berdiri di dekat pintu kamar mandi. Ia terkejut dan merinding. Ia buru-buru membilas mata dengan air. Pandangannya mulai jelas. Ternyata yang dilihat adalah Ibu yang sedang menunggu Raihan mandi.
“Udah selesai belum mandinya? Nanti makanannya keburu dingin lho.”
***
Ibu sudah menyiapkan makanan, Ayah sudah duduk di ruang makan. Raihan baru datang.
“Nah, dah wangi dan cakep! Sini ... sini ...” Ibu menggandeng Raihan ke meja makan.
Raihan duduk dan terpaku dengan makanan mewah dihadapannya. Ia pertama kali melihat makanan begitu banyak dan sepertinya lezat. Raihan terharu dan sempat mengeluarkan air mata.
Ayah dan Ibu melihat ekspresi Raihan yang terharu, kemudian Ibu mencairkan suasana.
“Makan yang banyak ya, biar kenyang, biar sehat,” ujar Ibu.
Ayah berdiri mengambil piring dan nasi untuk Raihan. “Ayo, ga usah malu-malu.”
Raihan kemudian makan, sambil diperhatikan kedua orang tua barunya.
“Ayo nambah lagi.” Ibu mengambil nasi untuk Raihan.
Raihan menggeleng malu. “Nggak usah, terima kasih. Udah kenyang.”
Ibu mengambil sebuah gelas jus, menuangkan jus wortel ke dalam gelas untuk diminum Raihan. “Nih, minum jus biar sehat mata kamu.”
“Biar bersinar kayak Superman,” celetuk Ayah mencba melucu. Mata Ayah mengerling ke arah Ibu. “Buat Ayah mana?”
“Ih, ambil sendiri. Manja amat,” sahut Ibu.
Ayah memanyunkan bibir pura-pura mengambek. “Galak.”
Ayah dan Ibu tertawa. Raiham perlahan juga tertawa melihat interaksi dari keluarga barunya.
Detik demi detik terus bergulir. Tak terasa Ayah, Ibu dan Raihan selesai makan malam. Lalu, mereka lanjut saling bercerita di ruang tengah. Tiba-tiba Raihan menguap.
Ayah yang menyadari. “Ngantuk ya?”
Raihan mengangguk.
“Kalau begitu kamu naik ke kamar terus tidur ya. Jangan lupa gosok gigi dulu.”
Raihan kemudian berjalan menuju kamar. Meninggalkan Ayah dan Ibu.
Raihan masuk kamar mandi pelan-pelan. Ia menengok ke segala arah. Terasa sunyi dan senyap. ia mengambil sikat gigi dan mulai menyikat giginya. Sesaat ia merasa gelisah selama menyikat giginya. Ia berkali- kali melihat sekitar, ia merasa ada yang memperhatikan.
Raihan berkaca pada lemari kaca di atas wastafel tempat ia menyikat gigi. Ia membuang busa dari mulutnya, kembali ia berkaca. Ia kemudian meraih handuk kecil di samping wastafel, melap mulut dan wajahnya.
Tidak terjadi apa-apa, tidak ada penampakan apa-apa.
“Mungkin perasaanku saja,” batin Raihan.
Raihan buru-buru keluar dari kamar mandi. Lalu, ia berjalan ke jendela, ia melihat langit malam. Bulan purnama bersinar terang. Bosan memandang suasana malam yang kian sepi, ia kemudian naik ke tempat tidur, ia bersiap untuk tidur.
Raihan mematikan lampu kamar. Entah kenapa ia merasa gelisah.Iia miring ke kanan, kemudian miring ke kiri. RAIHAN melihat ke arah kamar mandi. Ia merasakan sesuatu. Kegelisahannya tidak hilang.
Ia kembali mencoba tidur lagi. Ia masih gelisah hingga sulit untuk tidur.
Di sudut kamar terdapat kursi baca di dekat jendela, gelap. Raihan tidak bisa melepaskan pandangan dari sudut tersebut, ia merasa ada yang memperhatikan.
Tiba-tiba dari kursi itu tampak sesosok bayangan hitam seperti bergerak bangun dari kursi baca yang sedang ia perhatikan. Raihan kaget bukan kepalang.
Cepat-cepat RAIHAN menyalakan lampu di samping tempat tidurnya.
Ternyata hanya ada sweater dia berwarna gelap yang diletakkan di sandaran kursi dan tidak ada apa-apa. RAIHAN melihat sekitar. sepi tapi suram.
Raihan membiarkan lampunya menyala lalu ia menarik selimut. memaksakan diri untuk menutup mata.
***
Raihan membuka mata. Dari luar cahaya pagi menyinari kamar, ia akhirnya bisa melihat jelas seperti apa kamarnya di bawah sinar matahari pagi. Pandangannya kembali tertuju ke kursi baca. Perasaannya masih trauma akibat semalam. Ia mengucek-kucek matanya. Terlalu kencang hingga sedikit merah. Ia bangun, rambutnya masih berantakan. ia berjalan menuju pintu.
Raihan berjalan keluar kamar menuju tangga. Jalannya masih sempoyongan karena baru bangun tidur. Menuju tangga untuk turun dan menuju ruang makan. Terlihat Ayah dan Ibu sudah berada di ruang makan.
“Pagi, Sayang. Akhirnya bangun juga. Yuk, sarapan bareng.” Ibu menyapa Raihan.
Ayah menyeruput kopi. “Gimana tidurnya? Nyenyak.”
Raihan tidak menjawab. Ia tidak ingin Ayah dan Ibu tahu apa yang dialaminya tadi malam. Ia tidak mau membuat mereka khawatir.
Raihan duduk di kursi pelan-pelan. Sementara itu Ibu menyiapkan telur dadar dan potongan daging asap.
“Nah, makan yang banyak ya,” ujar Ibu.
Raihan mulai makan. Ayah dan Ibu memperhatikan seperti saat makan malam.
Ayah melihat keanehan pada Raihan. “Loh? Mata kamu kenapa? Kok merah?”
Ibu kaget. Yang tadinya menyuap sarapan, seketika buru-buru meletakkan sendok dan garpu ke piring. “Hah? Mana? Kamu sakit?”
“Ho.. ngga kok ... tadi abis kucek- kucek waktu baru bangun,” ucap Raihan santai.
“Haduh ... Ayah, di mana obat matanya?”
“Ada di kotak obat.” Ayah langsung mengambil obat mata dari kotak obat yang terletak di ujung ruang makan.
“Nggak papa kok, kan baru bangun juga.”
Ibu melotot. “Eh, ga boleh gitu. Masa baru satu malam aja terus kamu sudah sakit begini. Harus diobatin dulu ya.”
Ayah kembali sambil membawa obat matanya. “Ini ... mana biar Ayah bantu tetesin.”
Ayah kemudian meneteskan obat matanya. Raihan kemudian mengedipkan mata agar obatnya bekerja.
Raihan kemudian melanjutkan makannya.
Ayah mengangkat tangan kirinya. “Wah, sudah jam tujuh. Ayah juga harus berangkat ke kantor dulu.”
Ibu mengunyah roti. Lalu, menelannya. “Dah harus jalan? Bakal pulang jam berapa?”
“Iya, persiapannya masih banyak, tapi seharusnya ngga sampai malam.”
“Jadi bisa kan malam ini?”
“Bisa kok. Ayah jalan dulu ya.”
Ayah mencium Ibu dan Raihan dulu. Ayah berjalan keluar dapur menuju keluar rumah. Raihan memperhatikan sambil makan.
Ayah sudah pergi dan tinggal Raihan dan Ibu di dapur. Dari tadi Ibu selalu menatap Raihan. Raihan sedikit tidak nyaman diperhatikan Ibu.
“Mmm ... Bapak kerja apa?” Raihan memberanikan diri bertanya ke Ibu.
“Kok Bapak? Kaku banget. Ayah juga kaku. Ya ... panggi Papa aja.”
“Papa ... kerja apa?” Raihan mengulang pertanyaannya.
“Papa kerja di pemerintahan, ngurus banyak surat-surat.”
“Lalu, Mama kerja Apa?”
“Mama selain ngurus rumah, ngurus bisnis online juga.”
HP Ibu tiba-tiba bunyi.
“Nah ...sebentar Ya, mama angkat telpon dulu.”
Raihan juga sudah selesai makannya. ia melihat IBU mulai repot dengan HP-nya. Ibu memandang Raihan. “Raihan, kalau kamu sudah selesai makan, boleh ke kamar buat main game atau baca komik.”
Raihan mengangguk kemudian menuju kamar.
***
Sore hari pukul 17.00.
Raihan sedang bermain game di ruang TV, tiba-tiba TV-nya mendadak mati. Ia bengong dan mencoba mencari remote TV. Ketika menemukan remote, ia menyalakan TV kembali. Ia kembali mengambil joy stick dan bermain lagi.
Di tengah-tengah permainan, TV mati lagi. Raihan mulai kesal. Ia mengambil remote, mengarahkan ke televisi yang mati. Ia kaget saat melihat ada pantulan sosok anak tanpa rahang di TV yang belum menyala.
Raihan melihat ke belakang dan tidak menemukan siapapun, pelan-pelan ia melihat ke televisi lagi dan hantunya perlahan mendekat ke belakang kepalanya hingga mendekati lehernya. HANTU GA ADA RAHANG.
Wajah Raihan memucat karena takut. Ia mencoba melihat ke belakang. Tiba-tiba muncul Ayah.
“Hi Raihan, kamu kenapa? Kok maen game TV-nya nggak dinyalain?”
Raihan masih melihat-lihat sekitar. Panik. Ayah menyadari keanehan Raihan, Ayah kemudian mendekat dan memeluk Raihan.
“Yuk ... main ma Ayah.”
Ayah menyalakan TV kemudian bermain game dengan Raihan.”
***
Raihan sedang membaca komik. tidak lama kemudian ia menguap karena mengantuk dan bersiap untuk tidur. Ia mencoba tidur, tapi kembali merasakan kegelisahan yang sama seperti malam sebelumnya.
Raihan mencoba berpikir positif bahwa itu hanya perasaannya saja. Ia mulai memejamkan mata. Tiba-tiba terbangun karena mendengar suara tangisan anak kecil. Ia bangun dan bingung, ia melihat sekitar dan tidak melihat siapa-siapa kemudian mengintip keluar kamar. ia membuka pintu pelan-pelan dan mengintip keluar. Lorong lantai 2 terlihat gelap, sepi.
RAIHAN kemudian menutup pintunya masih ketakutan. Dari bawah celah pintu terlihat bayangan mendekat. Kenop pintu mulai bergerak. Raihan berlari sembunyi ke bawah tempat tidur.
Pintu kamar terbuka, terlihat sepasang kaki melayang memasuki kamar. Raihan menutup mulut dan hidungnya agar tidak kedengaran. Ia bernapas sangat kencang karena takut. Kaki yang melayang mendekat. Melayang sesaat.
Kaki yang melayang kemudian bergerak ke arah pintu kembali untuk keluar.
Raihan bergerak sedikit sehingga menimbulkan bunyi. Kaki yang melayang kemudian menuju tempat tidur. Ia menutup mata saking takutnya.
Saat ia membuka mata ia melihat hantu tanpa hidung. Saking takutnya. Ia tidak bisa bersuara lagi, tubuhnya bergetar hebat. Ia keluar dari bawah tempat tidur lari menuju pintu kamar dan keluar.
Karena meleng, Raihan tidak melihat arah larinya, kakinya tersandung kemudian ia terjatuh dan terbentur pintu.
“GUBRAK!”
Semua gelap.
***
Raihan membuka mata. Hal pertama yang ia lihat adalah lampu. Begitu terang. Sorotnya jatuh tepat di wajahnya. Ia mengedip-ngedipkan mata. Lalu ia melihat Ayah dan Ibu berdiri disamping tempat tidur sedang menatap dirinya.
Raihan mencoba bergerak, tapi sulit. Saat ini ia menyadari bahwa dirinya dalam kondisi terikat terbaring di sebuah meja yang biasa digunakan oleh tukang jagal. Ia tak bisa bergerak.
Raihan mulai menangis.
“Kamu membuat anak kami sempurna,” ucap Ayah.
Raihan mencoba melihat ke sekeliling. Di pojokan ada sebuah meja. Di atasnya terdapat sebuah cleaver, pisau jagal yang luar biasa besar, disertai gergaji dan pisau-pisau lain yang lebih kecil. Di bawah meja itu terdapat sebuah baskom yang luar biasa besar.
Lalu, pandangannya terhenti di sudut ruangan. Berdiri 2 hantu yang ia lihat sebelumnya. Raihan ketakutan lalu membuang pandangannya ke sebelah. Ternyata ada seorang anak seusianya terbaring di ranjang. Terlihat jelas wajah mayat anak pria tanpa mata yang terbaring.
Ayah kemudian menceritakan kejadian sebulan yang lalu.
***
Ayah dan Ibu di dalam mobil, kali ini dengan anak mereka, seorang anak pria. Ayah dan Ibu sedang bertengkar. Anak mereka diam dengan wajah ketakutan duduk di bangku belakang.
Karena pertengkaran hebat, Ayah tidak fokus menyetir. Ia tidak melihat ke depan hingga tiba-tiba sebuah sinar dari truk mendekat cepat ke arah mobil mereka, dan...
BLAAAAAARRRR!
Kecelakaan tak bisa dihindari. Mobil oleng ke sana kemari. Hingga terpental jauh.
Ayah dengan susah payah keluar dari dalam mobil yang sudah terbalik. Lampu mobil masih menyala menyorot ke arah Ibu yang menangis sambil memeluk anak mereka yang kondisi wajahnya sudah berlumuran darah. Sepotong kaca menancap di mata anak pria itu. Tangan anak terjuntai ke tanah karena sudah tidak bernyawa.
Ayah dengan langkah pincang berjalan tertatih-tatih menghampiri istri dan anaknya. Dan wajahnya langsung shock begitu ia melihat kondisi anaknya.
***
“Setelah kecelakaan itu terjadi, kami ke dukun sakti untuk membangkitkan kembali anak kami. Dukun itu mengatakan anak kami bisa hidup jika kami menemukan bola mata yang cocok untuk anak kami. Bola mata dari anak laki-laki berkelainan khusus. Kami sudah lama mencari anak itu. Hingga akhirnya seseorang merekomendasikan kami untuk mengadopsimu. Terima kasih, Raihan,” tutur Ayah melanjutkan ceritanya sebelum mencongkel bola mata Raihan.
Satu jam proses pencongkelan mata. Mayat anak Ayah dan Ibu kini terlihat sudah memiliki mata. Ayah dan Ibu kemudian memeluk dan menciumi mayat itu dengan penuh kasih sayang.
Dan dari balik tubuh Ayah dan Ibu, di sudut ruangan mulai terlihat hantu tanpa hidung berdiri bersebelahan dengan hantu tanpa mulut dan kemudian di sebelahnya terlihat hantu Raihan yang sudah tidak memiliki mata.