cahaya menembus senesta
Cahaya Menembus Senesta

Cahaya Menembus Senesta

Reads
42
Votes
0
Parts
3
Vote
by Titikoma

Chapter 2

“Kita tidak mampu menghentikan penyakit itu datang! Hanya bisa mencegahnya, sebab dalam tubuh terdapat zat yang menerima rangsangan dari berbagai bentuk virus yang masuk,” sahut Khadijah meyakinkan,

Ruqayyah diam, ia tak mampu berkata-kata, hanya saja sesekali menganggukkan kepala. Di tempat itu memang terkesan sepi, kedua perempuan itu hanyut mengingat masa lalu yang mereka jalani, bahagia bersama sang suami. Tapi kali ini, keduanya telah menjanda, mau tidak mau perjuangan hidup mereka masih panjang dan tanggungan hidup akan semakin banyak, apalagi keduanya memiliki gadis belia yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

            “Dulu, saya pernah mengidap asma!”

            “Asma? Penyakit apa itu?” tanya Ruqayyah sigap.

Khadijah tersenyum, sepertinya ia ingin menjelaskan secara detail penyakit asma yang pernah menyerangnya 20 tahun yang lalu.

            “Asma adalah penyakit pernapasan yang sangat mengganggu, hal ini ditandai dengan terganggunya saluran pengeluaran udara yang mengakibatkan timbulnya suara desahan serak, tapi bukan berarti desahan yang anak bayi keluarkan itu asma,” jelas perempuan itu tersenyum.

            “Jadi?” timpal Ruqayyah. Ia ingin mengetahui jenis penyakit yang baru ia dengar saat itu.

            “Biasanya anak bayi mengeluarkan desahan bukan berarti asma, akan tetapi bronchitis namanya,” terang Khadijah. Ia mendapatkan penjelasan seperti ini dari seorang dokter yang pernah datang ke desa mereka dalam rangka penelitian, jadi selama itu ia bertanya tentang penyakit asma, sebab dulu ia pernah menderita dan sungguh menyiksa.

            Khadijah berdiri sambil membetulkan pakaiannya, sedikit kusut. Perempuan itu masuk ke dalam rumah dan mengambil tumpukan buku, sambil memberikannya kepada Ruqayyah.

            “Nah, kalau ingin tahu lebih jelas lagi tentang penyakit asma, baca buku ini!” Khadijah memberikan buku itu.

Ruqayyah pun dengan sigap memegang sambil membuka halaman pertama.

Asma Bronkhotis dapat menyerang manusia pada usia berapa pun, mula dari bayi, hingga berusia 90 tahun. Telah diperkirakan bahwa penyakit ini telah terjadi 10 persen pada anak-anak dan 5 persen menyerang orang dewasa. Sekitar 1,5 persen kasus terjadi pada usia 10-an tahun. Pada masa anak-anak perbandingan kasus yang menyerang adalah anak laki-laki dan perempuan dua banding satu.

Anak-anak yang menderita asma, terlihat sedang berjuang untuk bernapas. Sebenarnya, masalah yang terjadi adalah ketika mereka berusaha untuk mengeluarkan udara pernapasan karena saluran pernapasan di bronchikecil terhambat yang disebabkan oleh lendir. Dan biasanya penyakit asma ini bisa parah ketika di malam hari. Asma yang terjadi pada anak-anak, batuk, dan mengeluarkan suara desahan yang serak sering terjadi berulang-ulang dan disertai dengan demam dan sulit bernapas. Kesulitan pernapasan pada penderita yang masih kecil tidak menyerang dalam bentuk penyerangan batuk yang hebat. Anak kecil yang terserang asma biasanya memiliki badan yang kurus. Dada mengembang dengan parah dan tidak berbentuk serta pernapasan brochi terdengar di paru-paru. Anak kecil yang terkena asma cenderung sangat bergantung pada orang lain dan kehilangan kepercayaan diri. Dia mungkin cenderung merasa khawatir yang berlebihan dibandingkan dengan anak-anak yang lainnya, dan dia menjadi tertarik dengan reaksi dan ketakutan-ketakutannya sendiri. Yang paling dasar ketakutannya adalah ketika ia sedang tidur, ia sangat takut pada saat itu pernapasannya berhenti.

            Penyebab munculnya penyakit asma pada dasarnya disebabkan banyak faktor. Akan tetapi, bagi kebanyakan anak-anak, asma adalah alergi yang mengakibatkan terjadinya reaksi pada sistem terhadap cuaca, obat-obatan, parfum, dan berbagai bentuk gangguan yang jenisnya berbeda-beda antara anak yang satu dengan anak yang lainnya. Alergi terhadap debu adalah perihal yang sangat sering dihadapi oleh anak kecil, beberapa dari mereka sangat alergi dengan berbagai jenis debu, seperti halnya debu kapas, tepung, kertas, serbuk, bulu binatang, jamur, dan serangga, khususnya lagi binatang kecoak. Biasanya makanan-makanan yang menimbulkan  alergi adalah tepung, telur, susu, cokelat, buncis, kentang, daging, dan ikan.

            Asma mungkin merupakan akibat dari zat kimia di dalam tubuh yang tidak normal yang menyerang enzim-enzim sistem atau merupakan akibat dari kurangnya kerja otot pada paru-paru. Seringkali asma diawali dari kombinasi antara faktor alergi maupun non alergi termasuk tensi emosi, polusi udara, infeksi, dan faktor keturunan. Telah diperkirakan bahwa ketika kedua orang tua menderita asma atau demam, 75 sampai 100 persen kasus yang terjadi, anak cucunya akan menderita asma juga.

Ruqayyah sibuk membaca bahan yang diberikan oleh Khadijah.

            “Bagaimana dengan pengobatannya?” kali ini Khadijah yang bertanya. Ruqayyah tersenyum, sepertinya ia tidak mau melewatkan materi tentang kesehatan itu begitu saja.

Kemudian dengan sigap, perempuan itu kembali membacanya.

Cara alami untuk mengobati asma terdiri dari pemberian rangsangan agar berfungsinya organ saluran pengeluaran, melakukan pola diet yang benar untuk membuang zat-zat yang tidak normal di dalam tubuh serta membangun lagi tubuh yang lemah karena penyakit ini.

            Anak-anak harus dibawa setiap pagi untuk berjemur di bawah cahaya matahari yang lembut dan hangat agar selalu mengeluarkan keringat dan merangsang kulit dan meredakan gangguan yang menyerang paru-paru. Kamar tidur anak kecil harus terbebas dari asap rokok, begitu pun juga di dalam rumah, tidak boleh ada serangan apa pun, salah satunya adalah rokok di dalam rumah, karena asap rokok akan membuat penderita menjadi semakin parah. Emosi di dalam rumah juga dapat memperburuk penderita asma. Dan yang terpenting dari itu semua adalah orang tua harus tetap tenang dan tidak marah-marah, jika anak mereka menderita asma.

           Diet yang benar juga sangat berperan dalam usaha penyembuhan penyakit asma. Idealnya, makanan yang dimakan oleh penderita harus mengandung karbohidrat, lemak, dan protein dalam jumlah  yang sangat terbatas yang akan menambah asam dalam makanan. Selain itu, makanan-makanan tersebut harus mengandung alkali yang cukup dan itu dapat diperoleh dari makanan-makanan seperti buah-buahan segar, sayur-sayuran hijau, dan makanan-makanan yang berkecambah. Makanan-makanan yang cenderung menghasilkan dahak seperti beras, gula, miju-miju, dan dadih serta makanan-makanan yang sulit dicerna harus dibatasi. Makanan yang terakhir dimakan sebelum tidur harus diberikan waktu jarak selama dua jam.

            Anak-anak yang menderita asma sebaiknya memakan makanan lebih sedikit dari biasanya dan harus makan dengan pelan serta menguyahnya sampai lembut. Mereka harus meminum 6 sampai 8 gelas per hari, akan tetapi harus dihindari meminum apa pun sambil makan. Rempah-rempah, cabai, dan asam-asam, teh dan kopi harus dihindari. Madu merupakan obat yang baik untuk menyembuhkan asma. Konon, sebotol madu yang diletakkan tepat di bawah hidung penderita asma dan dia menghirup udara di atas botol madu tersebut akan membuat pernapasan menjadi lebih mudah dan lebih dalam. Dampaknya akan lebih terasa dalam jangka waktu selama satu jam atau lebih. Madu berfungsi untuk membantu penyembuhan asma, dapat dikonsumsi apakah dengan cara menghirup udara yang mengalir di atasnya, meminumnya, atau dengan mencampurnya ke dalam teh atau kopi.

  

          Kunyit merupakan obat yang efektif untuk menyembuhkan asma bronchitis. Setengah sendok teh kunyit yang telah dihaluskan, dicampur dengan setengah gelas susu lalu diberikan kepada penderita sebanyak 2 atau 3 kali sehari. Madu sangat baik sekali dikonsumsi dalam keadaan perut sedang kosong. Bawang juga dapat berfungsi sebagai obat asma. Satu siung bawang putih dipanaskan ke dalam 15 ml air susu dan dapat dikonsumsi pada saat-saat awal asma.

    

        Sebagai pencegahan penyakit asma, maka pihak orang tua yang menderita suatu jenis alergi harus mengambil tindakan pencegahan yang khusus terhadap anak-anak mereka. Bayi yang mendapatkan susu botol lebih rentan terkena asma dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan susu dari ibu. Memberikan makanan yang salah pada bayi serta sereal, daging, jagung, susu, dan lain-lain sebelum mereka mencapai usia 10-12 bulan. Makanan-makanan tersebut dapat menyebabkan alergi karena bayi menderita kekurangan enzim yang diperlukan untuk pencernaan sebelum mencapai usia tersebut. Bayi sebaiknya mendapatkan air susu ibu setidaknya sampai berusia 8 bulan, karena ini adalah cara alami untuk mendapatkan gizi yang dibutuhkan.

            Sebagai tindakan pencegahan lainnya adalah memanaskan susu sebelum diberikan kepada bayi, membatasi pemberian makanan yang dapat menyebabkan alergi seperti telur, tepung, ikan, dan biji cokelat, menjaga lingkungan anak-anak agar terus terhindar dari debu (polusi udara) dan dari tempat yang lembab, menjaga anak-anak dari binatang piaraan dan melakukan langkah-langkah untuk mencegah timbulnya bakteri dan infeksi karena virus.

            “Nah, kalau begitu setidaknya kita sudah tahu dan paham kalau menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan itu sangat penting dan paling utama.”

            “Benar sekali,” sahut Ruqayyah yang terakhir kali.

Hingga akhirnya ia kembali memberikan kertas itu kepada Khadijah. Mereka maish menikmati udara di sore hari ini, sambil memerhatikan anak-anak mereka bermain ria. Terlihat jelas Hasnah dan Inem bermain lompat tali di bawah sana, sebuah lapangan kecil, tempat bermain anak-anak di desa itu.

***

Pagi itu hujan agak deras, pepohonan melambai lebih kencang, suara angin bersahutan seiring suara petir menyambar, kilauan putih menyala di atas awan yang berwarna gelap. 

"Ma, atap rumah bocor!" suara gadis kecil berumur 12 tahun terdengar pelan, matanya menatap sayu mengarah ke atap rumah, sedikit lebih terang ia lihat. Lobang kecil ternyata menjadi penyebab percikan air dari atas jatuh persis di hadapannya.

"Ayo, pindah sebelah sini," sahut Khadijah sambil menggeser sebuah tempayan persis di jatuhan air itu.

"Ma, aku takut?" suara parau Hasnah terdengar sedikit lebih lembut.

"Tidak apa-apa Sayang. Jangan takut, ada Mama," bujuk perempuan itu, sambil mengelus pundak anak perempuannya lembut.

"Kapan Papa pulang, Ma?" kembali gadis kecil itu bertanya. 

Sesaat suara gemuruh terus bersahutan, hingga akhirnya Hasnah memeluk sebegitu erat tubuh Khadijah, sang Mama.

"Sayang, semua akan baik-baik saja. Tidak akan terjadi apa-apa," Khadijah terus berupaya menenangkan Hasnah, dia tak akan membiarkan anak perempuannya ketakutan dan dilanda kepiluan setelah sang suami meninggalkan mereka di tempat itu.

Keheningan pun terjadi, yang terdengar hanya suara debur air hujan berjatuhan ke atap rumah, tak sedikit air yang tertampung di atas tempayan yang sebelumnya Khadijah sediakan tidak jauh dari tempat mereka duduk.

"Hasnah, bangun Sayang!" Khadijah menggosok lembut pundak sang anak. Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB. Hujan sudah reda, awan sudah mulai cerah. Hari itu hari Minggu, Hasnah libur sekolah, ia hanya bisa membantu Khadijah mengupas kulit bawang merah milik Paman Karim, setelah itu bawang-bawang tersebut dikembalikan lagi ke gudang. Sambil menggosok kedua bola matanya, Hasnah duduk sedikit membungkuk.

"Ayo, cuci muka sana!" tegas Khadijah.

Hasnah masih terkesan pelan, mukanya kusut, matanya sedikit merah. Ia mendongakkan pandangan ke langit-langit rumah, tak ada lagi ia dengar suara deguman petir dan rintik hujan deras yang menyerbu beraturan atap rumah yang ia tempati.

"Sana, cuci muka!" desak Khadijah yang kedua kali.

Tanpa pikir panjang, Hasnah berdiri, ia merapikan rok dan baju yang ia kenakan. Sedikit menunduk gadis kecil itu pun beranjak ke kamar mandi. Sebelum ia masuk, Hasnah terlebih dahulu membaca doa, kemudian melangkahkan kakinya yang kiri. Hingga akhirnya yang terdengar hanya percikan air dari dalam, seakan gadis kecil itu berniat ingin menghilangkan kekusutan raut wajahnya yang kusam.

"Hasnah, Mama keluar sebentar. Tunggu di rumah!"

"Iya, Ma," jawabnya dari dalam kamar mandi.

Khadijah keluar dengan membawa sebakul bawang merah yang sudah dibersihkan, ia ingin mengantarkan hasil kerjanya itu ke Paman Karim, seorang pengusaha bawang di tempat itu.

"Semoga upah kerja saya satu minggu ini bisa dibayarkan,” sahutnya dalam hati. Ia sangat berharap upah itu ia terima, sehingga biaya keperluan yang ia butuhkan dengan sang anak bisa terpenuhi.

Sambil melangkah pelan, Khadijah mulai meninggalkan rumah, di halaman rumah yang ia tempati sedikit menampung air pengaruh hujan beberapa menit yang lalu. Awan sudah cerah, akan tetapi di ufuk Timur masih terlihat mendung, sepertinya arah hujan yang mengguyur tempat tinggal mereka beralih ke ufuk Timur.

"Bismillah," sahutnya dalam hati. Hingga berlalu pergi.

Di rumah, Hasnah merapikan tempayan yang berisi air tampungan hujan, ia membuangnya ke bak belakang. Sewaktu-waktu bisa ia gunakan untuk menyiram bunga di depan rumah. Kemudian Hasnah mulai mengeringkan lantai disebabkan percikan air yang sempat jatuh di area lantai.

Gadis kecil itu memang sudah mandiri, ia dilatih Khadijah menjadi sosok gadis kecil yang mengerti tentang kondisi mereka saat itu. Papanya yang selama ini menyayanginya kini telah tiada, pergi untuk selamanya. Namum, terkadang Hasnah belum paham betul kondisi Papanya yang kini telah tiada, ia masih saja mengira kalau Papanya berada di tempat lain, yang sewaktu-waktu bisa pulang menemuinya bersama sang Mama.

Setelah mengeringkan lantai, Hasnah membuka jendela rumah, berderet atap rumah tetangga kelihatan. Rumah yang mereka tempati sedikit lebih tinggi dibanding dengan rumah yang lain, sehingga ia bisa leluasa melihat ke arah bawah. Meskipun tidak begitu tinggi, namun gadis kecil itu mampu menikmati senyup angin yang berdesir lembut usai diguyur hujan sedari tadi.

"Kau sendirian Khadijah?" tanya Paman Karim, usai melihat kedatangan perempuan itu.

"Iya, Pak," dengan anggukan kepala, perempuan itu meyakinkan.

"Bagaimana kondisi anakmu?"

"Alhamdulillah baik," jawabnya.

"Syukurlah. Titip kirim salamku padanya."

Hanya anggukan kepala yang Khadijah perlihatkan. Diiringi senyum simpulnya.

"Ayo, silakan masuk."

"Terima kasih Pak."

"Ayo, jangan sungkan, anggap rumah sendiri," Paman Karim begitu mengistimewakan para pekerjanya yang datang ke rumahnya. Bukan hanya Khadijah, seluruh karyawan baik itu karyawan tetap dan lepas, sama ia perlakukan dengan baik jika sudah berada di rumahnya. Lelaki itu beranggapan bahwa mereka yang butuh pekerjaan adalah orang yang patut dihormati, dan orang yang datang ke rumahnya dia anggap sebagai tamu, yang harus ia layani semaksimal mungkin.

"Terima kasih Pak," sahut Khadijah pelan.

Kembali segurat senyum melingkar di bibir Paman Karim.

"Ayah, Ayah. Hari ini aku akan ke kota sama Ibu," seorang anak kecil sebaya dengan Hasnah berlari dari kamar, kemudian mendekati Paman Karim.

"Alif sayang, senang dong pergi sama Ibu?" suara Paman Karim begitu manja melihat tingkah laku anak lelakinya. Sambil tersenyum lelaki itu mencubit pipi sang anak.

"Ayo pergi sana! Ayah lagi ada pekerjaan," tegas Paman Karim. Alif pun berdiri kemudian berlari kecil meninggalkan mereka berdua.

"Tunggu dulu!"

Alif berhenti sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya seiring membalikkan badan.

"Kalau Alif nanti ke kota, jangan lupa bawa oleh-oleh buat Hasnah," Paman Karim mengingatkan.

Khadijah menundukkan kepala, ia tak habis pikir Paman Karim sebaik itu pada putrinya.

"Tidak usah repot-repot, Pak," tukasnya pelan.

"Tidak masalah Khadijah. Mereka kan masih anak-anak, jadi wajar kalau kita ajari dan didik, bahkan biasakan dengan tanggung jawab dan rasa berbagi."

Khadijah kembali menundukkan kepala. Alif tersenyum, kemudian kembali berjalan.

"Bagaimana tadi?" Paman Karim bertanya.

"Alhamdulillah Pak, saya sudah menyelesaikan pekerjaan ini," Khadijah memberikan hasil kerjanya.

"Kasim, Kasim…" Paman Karim memanggil seseorang. 

"Iya, Pak. Ada yang bisa dibantu?" sahut lelaki tua yang datang dari dalam gudang. Sepertinya ia sedang mengerjakan sesuatu.

"Amankan ini!” tegas Paman Karim, dengan suara lembut.

"Dan berikan kewajiban atas upaya Khadijah, menyelesaikan pekerjaan ini," pintanya dengan suara jelas.

"Alhamdulillah ya Allah…" bisik Khadijah dalam hati.

"Saya sangat suka dengam hasil kerjamu Khadijah. Kau adalah perempuan yang tegar," Puji lelaki itu.

"Itu sudah kewajibanku Pak, untuk menggantikan peran suami dalam menafkahi keluarga," jawab Khadijah.

"Saya turut bersalah dalam hal ini," ucap sendu lelaki itu. Ia kembali mengingat tragedi kecelakaan yang menimpa suami dari perempuan yang ada di hadapannya.

"Jangan diungkit kembali Pak. Itu sudah menjadi takdir Allah. Saya ikhlas menerima semua itu," bibir Khadijah tersenyum, meski dalam hatinya begitu berkecamuk.

"Saya merasa berdosa, Khadijah."

"Tidak Pak, Anda tidak bersalah dalam hal ini. Semua sudah diatur oleh yang Kuasa."

"Syukurlah kalau begitu. Silakan temui Pak Kasim," Paman Karim yang pertama memperlihatkan wajah cerah, kini wajahnya sayu, seakan ada beban yang ia sembunyikan. Setetes air mata menetes dari  bola matanya, namun ia tak perlihatkan di depan Khadijah. Perempuan itu sudah duluan beranjak dari tempat duduknya semula. Ia begitu bergembira ingin mendapatkan dan menerima upah hasil jerih payahnya selama seminggu terakhir.

Setelah menerima upah, batinnya pun tak henti-hentinya mengucap syukur, ia berharap mampu memberikan yang terbaik untuk menutupi kebutuhannya dengan sang buah hati.

***

"Sayang, ayo bangun. Kau akan sekolah hari ini," suara Khadijah pelan membangunkan Hasnah. Perempuan paruh baya itu tak mau melewatkan masa-masa istimewa yang anaknya hadapi. Ia harus belajar dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya, sebab perempuan itu sadar betapa susah dan sedihnya perempuan yang tak mampu menduduki pendidikan tinggi, selain ingin memandirikan sang buah hati, ia juga berharap di kemudian hari taraf kehidupan sang buah hatinya jauh lebih baik dan bahagia dibanding dengan kehidupannya saat ini.

"Ayo Sayang, bangun!" kali ini perempuan itu berbisik persis di telinga Hasnah.

"Kau harus menjadi yang terbaik," sambungnya.

"Dokter?"

"Apa pun yang kau mau. Dan sanggup melakukan itu," segurat senyum menghiasi wajah Khadijah.

"Papa bilang, aku akan menjadi pengacara," sahut Hasnah sambil mengangkat pundaknya. Ia sekarang sudah duduk.

"Apa pun itu, asal baik untukmu dan mampu membantu orang lain. Banyak sekali yang membutuhkan bantuan kita di luaran sana," ujar Khadijah.

"Ayo, sekarang mandi. Jangan biarkan mentari lebih dulu tersenyum. Kita harus mendahuluinya," tambah perempuan itu meyakinkan.

"Siap Ma," tegas Hasnah sambil berdiri, kemudian ia masuk ke dalam kamar mandi seperti biasa. Setelah bangun gadis kecil itu tak lupa berdoa. Begitu juga tatkala masuk ke kamar mandi, ia terus mendahulukan kaki kiri, seraya membaca doa.

"Alhamdulillah ya Allah. Engkau masih memberikan kami nikmat hidup," puji Khadijah sambil membuka jendela rumahnya. Meski masih gelap gulita, namun perempuan itu sudah sibuk dengan aktivitasnya di dalam rumah. Mulai dari menyiapkan pakaian dan sarapan buat anak tercinta.

"Suamiku. Aku tahu kau ada di sini, kau melihat kesibukan yang kulakukan. Bahkan melihat apa yang kuberikan kepada anakmu," suara Khadijah lembut, matanya tak henti memandangi foto suaminya yang terpajang di dinding rumah.

"Aku akan menjaga buah hatimu, seperti kau dulu menjaga diriku," sahutnya lagi. Selang beberapa menit, perempuan itu masih sibuk dengan aktivitasnya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.

"Khadijah, assalamu alaikum…" suara sapaan itu sangat jelas.

"Waalaikum salam…" jawabnya. Sambil berjalan pelan, perempuam itu pun sigap mendekati pintu.

"Bu Ruqayyah! Ada apa Bu sepagi ini? Tumben."

"Maaf, Khadijah. Saya ingin ketemu dengan Hasnah," ucap perempuan yang barusan tiba itu.

"Masuk dulu, Hasnah sedang mandi. Ada apa ya Bu?"

Sambil berjalan pelan kedua perempuan itu pun duduk santai.

"Begini. Inem lagi sakit, jadi tidak bisa masuk sekolah hari ini. Saya ingin minta tolong sama Hasnah untuk mengabari Bu guru."

"Oh, ya. Sudah dibawa ke Dokter?" 

"Belum Khadijah. Tidak ada dana," sahut Ruqayyah sendu. Khadijah menundukkan kepala. Ia sadar apa yang dikatakan oleh Ruqayyah begitu sulit baginya. Sambil berdiri dan meninggalkan perempuan itu, Khadijah masuk ke dalam kamarnya.

"Bu, tolong segera Inem dibawa ke puskesmas, belikan obat. Ini ada sedikit biaya, semoga membantu," tawar Khadijah.

"Tidak usah Bu," mata Ruqayyah berkaca-kaca.

"Tidak apa-apa Bu, ini sudah kewajiban saya untuk membantu. Semoga dengan biaya yang sedikit ini, Allah sembuhkan penyakit Inem, dan kembali bersekolah."

Ruqayyah menundukkan kepala, ia menggenggam uang yang diberikan oleh Khadijah.

"Ayo Bu, segera belikan obat. Biar pesan Ibu saya sampaikan sama Hasnah."

Ruqayyah menganggukkan kepala, "Terima kasih atas bantuanmu ini. Semoga Allah menggantinya sepuluh kali lipat, bahkan ratusan kali lipat!" pinta doa Ruqayyah.

"Aamin. Insya Allah…" senyum simpul terlihat jelas di bibir Khadijah. Akhirnya perempuan itu pun berlalu. Khadijah kembali menyelesaikan pekerjaannya kembali.

"Siapa Ma?" Hasnah keluar dari dalam kamar mandi.

"Inem."

"Kenapa Inem, Ma?" tanya Hasnah.

"Sayang, hari ini Inem tidak bisa masuk sekolah, karena sakit."

"Jadi, yang berangkat sekolah Hasnah sendirian dong Ma," ucap Hasnah sambil merapikan perlengkapan sekolah yang akan ia bawa. Hanya anggukan kepala yang diperlihatkan perempuan itu. Biasanya Hasnah dan Inem selalu berangkat sekolah dengan berjalan kaki. Walaupun ada beberapa anak cowok, akan tetapi yang membuat Hasnah nyaman ketika berangkat bersama sahabatnya itu. Meskipun terkadang tawaran berangkat bersama datang dari Alif, putra Paman Karim.

"Tidak apa-apa Sayang, kita doakan agar Inem segera sembuh dan kembali sekolah seperti biasa. Nanti setelah tiba di sekolah, titip kirim salam dari Inem ya, Sayang," Khadijah memberi pesan agar Hasnah mampu menyampaikannya kepada ibu guru di sekolah.

"Iya, Ma," jawab Hasnah penuh dengan keyakinan.

"Ayo sarapan. Setelah itu Mama akan antar kamu ke depan."

Hasnah mulai melahap makanan yang disediakan Khadijah, kemudian ia sudah siap berangkat ke sekolah. Sebelum melangkahkan kaki yang kanan, gadis kecil itu terlebih dahulu berdoa, kemudian ia menyalam tangan sang Mama dan memeluknya erat. 

***

Hari itu, Hasnah berangkat ke sekolah tanpa ditemani Inem. Sahabatnya itu sedang sakit setelah Hasnah mendapatkan informasi dari Ibu Ruqayyah. Dan gadis kecil itu berharap besok ia sudah kembali bersama sahabatnya, kembali menikmati masa-masa indahnya duduk di bangku sekolah.

"Bagaimana liburan kalian anak-anak?" suara bu guru terdengar jelas. Perempuan berpakaian putih dibalut rok hitam itu menyapa dengan suara yang begitu jelas. Ia berjalan dua langkah menuju tempat duduk anak-anak. Sejumlah 27 siswa menjawab penuh semangat, namun ada juga di antara mereka yang hanya diam sambil menundukkan kepala.

"Bagi yang tidak menjawab, berarti liburannya begitu menyenangkan. Saking senangnya ingin mengulangnya kembali. Makanya tidak ada jawaban," sahut bu guru sambil mengumbar senyum.

Para siswa tersenyum simpul, seakan mereka tahu maksud dan tujuan bu guru mengeluarkan pernyataan seperti itu.

"Siapa yang tidak hadir pada hari ini?" sambungnya bertanya. Hasnah mengacungkan tangan, ia sigap untuk menyampaikan pesan dari mamanya.

"Silakan, Hasnah," bu guru mendekat.

"Inem, Bu guru. Dia tidak masuk karena sakit," ucapnya. Hening sesaat usai pernyataan itu Hasnah lontarkan. Teman-temannya saling memandang, mengingat Inem adalah sosok siswa yang aktif masuk ke sekolah.

"Ibunya datang ke rumah tadi pagi Bu, dan sekarang Inem sudah dibawa ke rumah sakit."

"Syukurlah," tegas bu guru.

"Nah, kalau begitu mari sama-sama kita doakan agar Inem segera sembuh, dan kembali aktif belajar bersama kita di sini," tambah bu guru penuh khidmat.

"Amiin…" tegas anak-anak sambil menundukkan kepala. Setelah itu, proses belajar mengajar pun hari itu berjalan dengan lancar. Hasnah tetap berusaha membangkitkan minat belajarnya, meskipun hari itu tak sebaik hari kemarin di saat Inem ada di sisinya.

Sekolah itu adalah salah satu tumpuan hidup masyarakat yang berdomisili di tempat itu. Sekolah yang tidak begitu megah, akan tetapi sudah banyak lulusan dari sekolah itu menjadi orang sukses, bahkan menjadi pengusaha. Tanpa terkecuali Paman Rahim, salah satu pengusaha kaya di tempat itu. Suara riuh para siswa terdengar begitu hiruk. Merek sangat menikmati desiran angin di tempat itu, kesenangan dan keceriaan yang tidak mereka temukan setelah pulang ke rumah. Sebab setiba di rumah, anak anak bukannya bermain dan bersuka cita, akan tetapi membantu orang tua mereka pergi ke ladang. Dan itu sudah menjadi rutinitas mereka, bahkan telah membudaya di tempat itu, kecuali hari libur tak ubahnya hari Minggu.

"Siapa di sini yang ingin menjadi pejabat?" suara bu guru kembali terdengar. Kali ini perempuan itu memberikan pertanyaan bagi siswa yang sudah siap pulang ke rumah setelah sekian jam mengikuti pelajaran yang ia berikan pada hari itu.

"Apa gunanya kami jadi pejabat Bu guru?" salah seorang siswa bertanya, seakan ia ingin tahu apa fungsi pejabat yang bu guru sebutkan.

Perempuan mulia itu tersenyum, ia merasa berhasil membangkitkan respons dan semangat anak-anaknya sebelum kembali ke rumah.

"Iya, Sayang. Ketika di antara kalian ada yang menjadi pejabat. Maka bangunan sekolah kita lebih dipedulikan, jalan ke sekolah lebih dibaguskan, dan transportasi ke sekolah kita lebih diutamakan," jawab bu guru tanpa ragu. Anggukan beberapa kali yang diperlihatkan sebagian anak-anak, yang lainnya hanya sibuk memandangi wajah bu guru yang oval.

"Jadi, apakah kalian mengerti?"

"Mengerti Bu guru!" jawab anak-anak serempak.

"Jadi, siapa di antara kalian yang berniat jadi pejabat?" tanya bu guru yang kedua kalinya.

Seluruh anak-anak mengacungkan tangan.

Akhirnya mulut bu guru tersenyum bangga. "Untuk menjadi seorang pejabat, maka kita harus rajin belajar!"

"Siap Bu guru," sahut anak-anak penuh semangat. Hingga akhirnya proses belajar mengajar hari itu usai. Dan anak-anak pun riang gembira kembali ke rumah masing-masing.

Sebelum Hasnah memutuskan pulang, gadis kecil itu ingin menghabiskan perjalanannya bersama Alif, ia tak lagi canggung terhadap anak pengusaha di kampungnya itu, Dalam benak pikirnya kebersamaan semasa kecil itu takkan bisa diulang kembali, meskipun awal pertama persahabatan mereka dimulai dengan rasa kebencian. Pasalnya Alif sebagai anak orang terkemuka dan terpandang di desa itu, terkesan angkuh. Akan tetapi, seiring waktu berjalan, Paman Karim sebagai orang tua terus mengingatkan Alif, jika perilaku yang ia cerminkan itu bukanlah perilaku terpuji.

"Hasnah, tunggu!" suara bu guru terdengar samar, namun jelas. Hasnah berhenti sejenak, ia menoleh ke belakang, sambil tersenyum ia menunggu langkah kaki bu guru yang hendak mendekatinya.

"Iya Bu," sahutnya meyakinkan.

"Kita akan pulang bersama, Ibu ingin melihat kondisi Inem," seolah bu guru saat itu mengkhawatirkan kondisi siswinya yang barusan Hasnah kabarkan sedang sakit. Hasnah menganggukkan kepala, ia begitu senang dengan pengakuan bu guru. Akhirnya ia putuskan untuk tidak pulang bersama Alif dan kawan-kawannya yang lain.

Sebelum berangkat ke rumah Inem, bu guru sempat berkunjung ke rumah Khadijah, di sana wanita itu hanya membereskan beberapa kantong plastik berukuran besar, sepertinya ia baru saja menyelesaikan pekerjaan yang ia lakukan setiap harinya.

“Assalamu ‘alaikum…” Hasnah datang sambil tersenyum.

“Waalaikum salam… ada Bu guru,” sambut Khadijah ramah. “Ayo silakan masuk!”

“Tidak usah Bu, saya hanya ingin memastikan kondisi Inem.”

“Khadijah tersenyum, ia begitu takjub dengan perilaku ibu guru yang sedang berdiri di depannya ini.

“Nah, kalau begitu saya ikut,” tutur Khadijah.

“Ayo Nak!” panggilnya menimpali. Hasnah pun keluar dari dalam rumah, ia sudah mengganti pakaiannya. Kali ini Hasnah memakai pakaian warna biru. Meski pakaian itu sudah terkesan kusam, namun masih sangat layak dipakai. Wajahnya terlihat lebih segar, sebab setelah masuk ke dalam rumah, Hasnah masuk ke kamar mandi membersihkan mukanya dari debu-debu jalanan. Selama perjalanannya bersama dengan bu guru, tak sedikit debu yang menempel di wajahnya.

“Sudah mandi?”

“Belum Ma,” sahutnya tersenyum.

“Ya sudah, ayo kita ke rumah Inem,” ajak Khadijah. Hanya anggukan kepala yang diperlihatkan gadis kecil itu. Hingga akhirnya mereka pun berjalan dengan santai menuju rumah Inem. Meskipun rumah Inem tidak jauh dari kediaman Khadijah, akan tetapi mereka butuh waktu agar sampai ke sana, karena lika-liku jalan dan banyaknya bebatuan yang akan mereka lewati. Sesekali hanya usapan lembut yang diperlihatkan Hasnah, ia menyapu keningnya yang berkeringat. Sedangkan Khadijah terus berbicara dengan bu guru. Sepertinya perempuan itu terus menanyakan bagaimana kondisi putrinya selama berada di sekolah.

“Dia anak yang baik,” sahut bu guru sambil berjalan pelan.

“Dialah satu-satunya yang kumiliki saat ini.”

“Saya yakin, dia akan menjadi anak yang sukses. Seluruh pelajaran yang saya berikan mampu ia ikuti sesuai dengan tahap perkembangan dan kemampuan yang ia miliki,” penjelasan bu guru membuat bibir Khadijah tersenyum.

“Apakah Ibu tidak mau menikah lagi?”

“Entahlah. Setelah kepergian suamiku, tak pernah tersirat di dalam hati ini membuka hati.”

“Jangan bilang seperti itu, suatu saat Allah membuka pintu hati itu, bagaimana?”

“Jika demikian, maka takdir akan kupenuhi,” sahutnya meyakinkan.

Khadijah dan Bu Guru terus berbicara, Hasna yang berjalan sedikit lebih jauh di depan terkesan tak mendengar apa yang mamanya bicarakan dengan bu guru, hingga akhirnya perjalanan mereka sampai di depan rumah Inem.

“Assalamu alaikum…”

“Wa ‘alaikum salam…” jawaban dari dalam rumah. Sambil terdengar suara langkah kaki, kemudian pintu terbuka lebar.

“Tante…” Panggil Hasnah.

“Hasnah,” Ruqayyah menyambut penuh kegembiraan.

“Sendirian?”

Hasnah menggelengkan kepala. Pertanda bahwa kedatangannya ke tempat itu bukan hanya dirinya.

“Ada Mama dan Bu guru,” sambil menunjuk ke arah belakangnya. Ruqayyah baru bisa melihat Khadijah dan bu guru yang berjalan pelan dan mulai mendekat.

“Bu guru… Khadijah,” sapa Ruqayyah penuh gembira, ia pun menyambut kedatangan tamunya itu hangat.

“Ayo, silakan masuk!” ajaknya lembut. Mereka hanya saling mengumbar senyuman. Setelah sampai di dalam rumah, barulah bu guru menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke tempat itu.

“Sejak kapan Inem sakit?” bu guru memulai pembicaraan.

“Sebenarnya baru kemarin.”

“Sudah diperiksa?”

Hanya anggukan kepala yang diperlihatkan oleh Ruqayyah.

“Hasnah, kamu ikut juga ke sini?” ucapan lembut terdengar dari mulut Inem, gadis kecil yang menjadi teman dekatnya.

“Aku ingin tahu kondisimu, Inem.”

 “Semoga cepat sembuh ya, dan kita kembali ke sekolah.” sahut bu guru memberikan semangat.

“Amin, terima kasih Bu guru,” jawab Inem. Sepertinya dari rona wajah gadis itu sudah terkesan membaik. Meskipun Ruqayyah tidak menceritakan asal mula kenapa Inem bisa demam seperti itu, namun Khadijah dan bu guru sudah bisa memahami bahwa penyakit demam itu bisa diidap oleh siapa saja, termasuk anak-anak.

“Dua hari lagi kita akan ujian, jadi untuk anak-anak Ibu tetap jaga kesehatan ya.” nasihat bu guru ini seakan memberikan semangat baru bagi Inem. Semoga dua hari ke depan ia bisa mengikuti ujian yang diberikan oleh bu guru cantik itu kepada dirinya, begitu juga teman-temannya yang lain.

Tidak lama di tempat itu, akhirnya Bu Guru, Hasna, dan Khadijah memutuskan untuk pamitan, mereka berharap agar Inem cepat sembuh dan diberikan kesabaran bagi Ruqayyah, hingga nanti Inem kembali beraktivitas seperti biasanya, salah satunya kembali mengikuti pembelajaran yang akan dilaksanakan di sekolah.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices