
by Titikoma

Sebuah Pilihan
Hari itu masih sangat pagi, matahari pagi belum lagi menampakkan diri dari tidur malamnya, udara masih terasa basah oleh embun pagi yang masih menyelimuti Kota Gudeg, Yogyakarta. Telepon di ruang tengah rumah Pak Brata berbunyi nyaring. Tergopoh-gopoh seorang wanita tua menghampiri telepon yang sudah dua kali berbunyi, dia adalah Mbok Darmi, pembantu di rumah itu yang sudah berpuluh tahun ikut bekerja di rumah keluarga Pak Brata.
“Assalamu’alaikum. Selamat pagi, sugeng enjing... Hallo...,” sapa Mbok Darmi begitu mengangkat gagang telepon dengan ramahnya.
“Wa’alaikumsalam. Mbok Darmi ini aku Pras, temannya Runi. Masih ingat ndak sama aku?" jawab suara dari seberang telepon yang ternyata Prasetyo.
“Woo... lha nggih masih tho Mas bagus. Mas Pras mau bicara dengan Mba Runi ya. Sebentar Mbok Darmi panggilkan njih...,” kata Mbok Darmi tanpa menunggu jawaban Pras, lalu meletakkan gagang telepon di meja dan segera menuju kamar Seruni yang masih tertutup rapat.
“Nuwun sewu Mba Runi, ini ada telepon dari Mas Pras,” suara Mbok Darmi sambil mengetuk pintu kamar Seruni.
“Iya Mbok Darmi, Runi segera keluar,” jawab Seruni dari dalam kamarnya. Sebetulnya dia sudah bangun dari tadi sejak sebelum azan subuh, usai salat subuh karena hari ini libur dia melanjutkan tidurnya.
Runi segera keluar kamar dan bergegas menuju meja telepon.
“Assalamu’alaikum Mas Pras ya, gimana kabarnya Mas? Kok tumben pagi-pagi bisa ke wartel?” tanya Seruni, karena setahunya tempat tugas Pras katanya sangat jauh dari kota.
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah kabar baik. Ya, bisa dong, Mas sudah di Yogja...,” jawab Pras
“Haa... beneran nih Mas Pras? Mas jangan bohongi Runi dong. Betulan Mas Pras sudah pulang ke Yogja? Kok ngga ngasih kabar ke Runi sih?” ujar Runi kegirangan mendengar Pras ada di Yogja sekarang, sampai-sampai kantuknya hilang seketika.
“Betul Runi, ini Mas sudah di rumah Budhe Wati. Tadi malam baru sampai Yogya. Sengaja Mas tidak memberi kabar, biar jadi kejutan ulang tahun Runi. Happy Birthday ya...” kata Pras.
“Terima kasih Mas, aku sendiri malah lupa kalau hari ini ulang tahunku. Karena padat sekali kegiatanku di sekolah bulan ini,” jawab Runi berbunga-bunga.
Dan siangnya Pras bertandang ke rumah Runi bersama dengan orang tua angkatnya, keluarga Pak Sumantri. Seruni dan Pras sudah cukup lama kenal, saat sama-sama lulus kuliah mereka pun memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Kedua orang tua Runi pun merestui hubungan mereka.
Setelah lulus, Pras memutuskan untuk memilih berkarier menjadi anggota TNI. Ia mendaftar pendidikan perwira karier dengan tekad dan keyakinan yang kuat berjibaku bersaing dengan ribuan pendaftar dari seluruh Indonesia, sehingga berbagai ujian saringan untuk masuk pendidikan perwira karier di Akademi Militer (AKMIL) Magelang dapat ia tuntaskan dengan hasil yang sangat memuaskan.
Setelah menjalani pendidikan selama sembilan bulan di AKMIL, Pras dilantik sebagai Perwira Karir berpangkat Letnan Dua. Pendidikan Pras belum selesai karena ia harus menempuh pendidikan kecabangan Infanteri di Bandung selama beberapa bulan. Dari sanalah kemudian Pras langsung penempatan tugas ke daerah Kodam I/Bukit Barisan di Sumatera Utara. Sudah hampir tiga tahun mereka tidak bertemu, sejak Pras ditugaskan di Pulau Sumatera di wilayah Kodam I Bukit Barisan. Di sebuah tempat yang namanya tidak tertera di buku peta Indonesia, sungguh membuat Seruni khawatir, “Daerah macam apa Pras ditugaskan?” tanya Seruni dalam hati.
Dan betul saja sebulan setelah ditugaskan Pras baru bisa berkirim kabar lewat telepon milik Babah Aseng, seorang saudagar kaya, satu-satunya orang yang memiliki telepon di kota itu, yang jaraknya sekitar 5 km dari kompi tempat Pras bertugas dengan melewati perkebunan sawit milik perusahaan yang sangat luas. Oleh sebab itu, mereka lebih memilih berkomunikasi lewat surat agar lebih leluasa dalam bercerita, dan bisa dibaca berulang-ulang bila kerinduan menerpa.
Sebenarnya Pras bukan orang Yogya asli, melainkan dari daerah Solo, tapi sejak kedua orang tuanya meninggal saat Pras kelas lima Sekolah Dasar dan Winda adiknya kelas satu Sekolah Dasar diasuh oleh keluarga Pak Sumantri, beliau adalah kakak kandung ibunya Pras, ya... hanya keluarga itu yang dimiliki Pras. Kebetulan suami istri itu, Pak Sumantri dan Bu Wati sudah lebih dari dua puluh tahun menikah tidak dikaruniai putra sehingga mereka merawat dan mengasuh Pras dan Winda dengan sangat baik layaknya merawat buah hati mereka sendiri, begitu pula Pras dan Winda sangat menyayangi suami-isteri itu dengan
sepenuh hati.
Begitulah, siang itu Pras datang bersama Pak Sumantri dan istrinya ingin meminang Seruni untuk dijadikan istri dan segera akan diboyong ke tempat tugasnya. Sebetulnya niat Pras ini sudah 6 bulan yang lalu diutarakan di dalam suratnya pada Seruni. Dan anehnya justru semakin hari dirinya makin bimbang untuk memutuskannya, bukan karena dia tidak mencintai Pras, tapi ada hal lain yang membuatnya ragu. Sejak lahir hingga saat ini, Seruni belum pernah jauh dari kedua orang tuanya, dia adalah anak satu-satunya keluarga Pak Brata yang selalu mendapat kenyamanan hidup yang dapat dikatakan lebih dari cukup. Sanggupkah ia hidup jauh dari mereka? Bagaimana dengan orang tuanya jika ia pergi dari rumah? Pasti mereka akan kesepian.
Bagaimana dengan kariernya sebagai guru di sebuah sekolah swasta yang sudah memasuki tahun kelima dan sekarang sedang pada posisi yang sangat bagus karena prestasi kerjanya selama ini, dan sedang dipromosikan menjadi Wakil Kepala Sekolah Bagian Kesiswaan. Sanggupkah ia nanti mendampingi Pras di daerah yang belum pernah ia jamah sama sekali tanpa sanak saudara? Sanggupkah ia mendampingi Pras yang memiliki tugas sebagai salah satu pimpinan di kompinya? Yah, begitu banyak yang dipikirkan membuatnya semakin menjadi ragu. Belum lagi, ia merasa asing dengan kehidupan di keluarga militer yang konon penuh dengan aturan yang ketat.
Di dalam keluarganya belum ada yang menikah dengan prajurit, sehingga seperti apa dan bagaimana situasi lingkungan yang dihadapi Seruni sama sekali tidak punya gambaran. Tapi di sisi lain ia sangat mencintai Pras, karena dalam hidupnya, hanya Pras yang berhasil mendapatkan hatinya. Sehingga berpikir beralih ke lain hati sama sekali tidak ada dalam kamus hidupnya, dan setali tiga uang demikian pula dengan Pras.
Berhari-hari Runi yang periang, tiba-tiba menjadi pendiam dan lebih suka mengurung dirinya dalam kamar, makan pun tak enak, tidur tak nyenyak, di sekolah pun tiba-tiba seperti kehilangan semangat. Semakin ia memikirkan masa depannya bersama Pras, makin ia merasa gelisah. Kegelisahan Runi segera terbaca oleh ibunya. Sehingga suatu sore, disambanginya Seruni dalam kamar tidurnya.
“Ada apa tho Nduk? Ibu perhatikan beberapa hari ini sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu. Ada apa, biasanya kan kamu selalu cerita sama Ibu?” tanya Bu Brata pada Seruni.
Seruni tidak segera menjawab, ia ragu untuk menceritakan masalah yang menghantuinya beberapa hari itu, tapi kepada siapa lagi ia hendak mencurahkan keresahan hatinya ini jika bukan kepada ibunya. Akhirnya diceritakannya semua apa yang mengusik ketenangannya selama ini. Beruntung Seruni memiliki orang tua yang bijaksana, melihat kegalauan hati yang dialami oleh putri semata wayangnya itu, suatu sore mereka mengajak Seruni untuk bertemu dengan teman sekolah bapaknya, Pak Toto namanya yang kebetulan seorang Perwira TNI yang sudah pernah ditugaskan di daerah nun jauh di pelosok wilayah Indonesia dan selalu didampingi oleh istri yang selalu menguatkannya.
Dan sore itu Seruni sengaja diberi kesempatan ngobrol berdua saja dengan Bu Diyah, istri Pak Toto. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Seruni untuk bertanya segala hal tentang seluk beluk hidup di lingkungan keluarga besar militer. Dan Bu Diyah memang seorang wanita yang luar biasa, setidaknya itu menurut pandangan Seruni. Wanita yang sabar, tegar dan penuh kasih sayang pada suami dan anak-anaknya. Seruni bersyukur sudah dipertemukan dengan Bu Diyah yang mampu mengurangi rasa khawatirnya selama ini. Apa yang disampaikan Bu Diyah membukakan pandangannya ternyata kehidupan dalam keluarga militer tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya.
Esok harinya ayahnya kembali menanyakan keputusan Seruni, saat mereka sedang duduk santai di ruang tengah sambil minum teh hangat dan pisang rebus yang disajikan Mbok Darmi malam itu.
“Gimana Nduk, apa kamu masih bimbang untuk menerima Pras menjadi suamimu? Bapak sama Ibumu mendukung keputusanmu, asal kamu punya alasan yang kuat. Karena perkawinan itu untuk selamanya, jadi harus dipikirkan betul-betul agar mantep menjalaninya,” tanya Pak Brata kepada Seruni dengan penuh kasih sayang.
“Nggih, Bapak. Alhamdulillah Seruni sampun mantep dengan keputusan Runi sekarang. Setelah ngobrol dengan Bu Diyah kemarin sore, Runi seperti dibukakan mata dan hati Seruni
tentang kehidupan yang dijalani oleh prajurit TNI. Memang tidak mudah sepertinya, tapi Runi yakin bisa menjalaninya, asal mau belajar. Dan seharusnya Runi bangga bakalan menjadi seorang prajurit yang mempunyai tugas mulia menjaga negara ini. Jadi…” Seruni sengaja tidak melanjutkan kata-katanya, dia ingin orang tuanya tambah tegang mendengar keputusannya itu.
“Jadi apa keputusanmu Nduk?” tanya bapak dan ibunya bersamaan seperti sedang paduan suara.
“Bismillahirrahmanirrahiim, keputusan Runi siap menjadi pendampingnya Mas Pras,” jawab Runi dengan mantap.
“Alhamdulillah... akhirnya kita bakalan punya mantu ya Pak ne,” mereka bertiga pun berpelukan, menyatu dalam rona kebahagiaan.
Mbok Darmi yang sedari tadi duduk di dekat pintu ikut menyimak sambil menginang, tak terasa ikut merasa pancaran kebahagiaan keluarga itu, tanpa disadarinya air mata haru mengalir di sudut matanya. Ya, Mbok Darmi sudah ikut keluarga itu sudah sejak awal Bapak dan Bu Brata menikah, sejak keluarga itu masih mengawali usaha kerajinan batik, dari pegawainya hanya tiga orang sampai puluhan dan kini sudah punya pabrik kain batik sendiri, sehingga ia turut merasakan pasang surut usaha keluarga Pak Brata. Bahkan pernah dia tidak dibayar selama tiga bulan karena usaha Pak Brata mengalami pailit, tapi Mbok Darmi tetap memilih setia pada keluarga itu.
Akhirnya pertemuan dua keluarga itu berjalan dengan lancar. Runi menjawab langsung pertanyaan bapaknya tentang pinangan Pras siang itu dengan keyakinan. Dan inilah awal perjalanan hidup Runi bersama Pras yang begitu berwarna dimulai.