Nyanyian Hati Seruni

Reads
96
Votes
0
Parts
6
Vote
by Titikoma

Menunggu

Pagi masih sangat dingin, suasana sekitar rumah Seruni pun masih sangat lengang, kabut tipis menghiasi alam sekitar. Beberapa pekerja pabrik batik milik keluarga Pak Brata mulai datang satu per satu, mereka melakukan pekerjaannya masing-masing tanpa harus menunggu komando, semua pekerjaan itu sudah bertahun-tahun mereka lakukan, sehingga mereka sudah hafal dan terbiasa dengan tugasnya masing-masing.

Seperti yang telah direncanakan, pagi itu dengan penerbangan pertama dari Yogya, Seruni berangkat menuju Medan. Dengan diantar oleh kedua orang tuanya ke bandara, Seruni akhirnya memberanikan diri pergi seorang diri ke Medan, sebuah tempat yang sama sekali belum pernah ia kunjungi. Saat akan masuk ke boarding room, Seruni memeluk ibu dan bapaknya erat, seakan sedang meminta kekuatan untuk melangkahkan kakinya meninggalkan kota kelahirannya yang begitu ia cintai.

“Ati-ati  ya Nduk, Bapak dan Ibu selalu mendoakan kamu. Semoga semua urusannmu nanti diberi kemudahan dan kelancaran,”  kata ibunya sambil memeluk erat anak kesayangannya itu.

“Nggih Bu, nyuwun pangestunipun,” balas Runi.

Usai berpamitan, Seruni bergegas masuk ke boarding room. Tak lama menunggu para penumpang dipersilakan naik ke pesawat.

***

Jam menunjukkan pukul 13.35 WIB saat Seruni tiba di Bandara Polonia, Medan. Cuaca sangat cerah. Begitu keluar dari pintu pesawat, Seruni disambut suhu udara yang sangat panas. Setelah mengurus bagasiny,a Seruni melangkah ke pintu keluar, di sana sudah banyak para penjemput menunggu, Seruni menebarkan pandangannya mencari sosok Bang Ucok yang akan menjemputnya...

Akhirnya dia menemukan seorang anak muda dengan secarik karton putih yang bertuliskan namanya. Seruni agak ragu, karena apa yang dilihatnya sungguh beda dengan ciri-ciri yang diberikan ayahnya tentang Bang Ucok. Tapi keraguan itu terbaca oleh orang dengan karton putih itu.

“Mba Seruni yang dari Yogya ya... perkenalkan saya Rey, anak Pak Ucok. Maaf Bapakku tak bisa jemput karena tadi tiba-tiba Opungku masuk rumah sakit. Mana kopornya biar aku bawakan?” kata pemuda itu yang ternyata bernama Rey, anak Bang Ucok, teman Bapaknya.

Logat Bataknya sungguh kental, meski demikian Rey pemuda yang sopan dan ramah.

“ Eh... iya betul saya Seruni, “ kata Seruni masih sedikit ragu, tapi tetap saja ia mengikuti instruksi yang diberikan oleh Rey.

“Mba Seruni mau langsung ke Asahan atau mau istirahat dulu di Medan baru besok ke lokasi?” tanya Rey saat sudah di mobil.

“Sebaiknya langsung saja deh Rey, karena waktu saya sangat terbatas,” jawab Seruni.

“Lokasi tugas Mas Pras jauh ya... kira-kira berapa jam perjalanan dari sini?” tanya Seruni lagi.

“Sekitar 4-5 jam Mba. Itu jika kita tidak terjebak macet, kadang kalau kesorean diperbatasan daerah Tanjung Morawa sering macet,” kata Rey sambil mengarahkan mobilnya ke luar area bandara.

Rey ternyata seorang mahasiswa Unversitas Sumatera Utara (USU) semester akhir, di sela waktu kuliah kadang ia membantu ayahnya menjadi sopir taxi/travel antar kabupaten. Pendapatannya itu ia kumpulkan untuk modal usahanya nanti. Sebetulnya Bang Ucok seorang pengusaha jasa sewa angkutan yang cukup berhasil, tapi seperti bapaknya ia tidak suka memanjakan anaknya.

Sepanjang perjalanan mereka ngobrol dengan asyiknya, terutama tentang daerah yang ia lewati. Sebuah pemandangan yang baru dan sangat menakjubkan, setiap keluar kota kabupaten pemandangan berganti dengan hamparan kebun sawit  atau rambung (kebun karet)  yang sangat luas di kiri dan kanan jalan. Menurut Rey, perkebunan itu sebagian besar milik perusahaan sawit yang tersebar di seluruh daerah Sumatra Utara.

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan panjang, sekitar 5 jam akhirnya Seruni tiba di alamat yang diberikan oleh Pras. Sebuah rumah sederhana dengan halaman yang tidak begitu luas, namun cukup asri dengan berbagai tanaman bunga yang sangat indah dan tampak sangat terawat. Pintu rumah itu memang sengaja dibuka untuk menyambut kedatangan Seruni. Betul saja, begitu mobil Rey berhenti di halaman rumah, sepasang suami istri yang sudah berusia lanjut tampak keluar dari dalam rumah menyambut kedatangan Seruni dengan ramahnya.

“Mbak ini pasti Seruni calonnya Mas Pras ya...?” kata Bu Mahmud menyambut kedatangan Seruni sembari mempersilakan Seruni dan Rey masuk.

Suami istri itu bernama Bapak dan Bu Mahmud, beliau pensiunan pegawai perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerah ini, beliau keturunan orang Jawa, orang biasa menyebutnya dengan Pujakesuma singkatan dari Putra Jawa kelahiran Sumatera. Beliau memiliki sepasang anak, namun semua sudah menikah. Anaknya yang paling besar Sarjana Pertanian yang bekerja di perusahaan yang sama tempat ayahnya bekerja. Anak keduanya Mbak Reni yang baru saja menikah dengan Mas Doni yang juga seorang anggota TNI-AD dan kebetulan abang angkatan Mas Pras. Seruni sangat bersyukur dipertemukan dengan keluarga Pak Mahmud, ia merasa seperti berada di tengah-tengah keluarganya sendiri karena keramahan penghuni rumah itu.

Malam itu mereka tampak asyik berbincang-bincang dengan santai di ruang tengah sambil menikmati kacang rebus buatan istri Pak Mahmud, sementara itu Rey sudah kembali ke Medan setelah beristirahat sebentar. Obrolan semakin seru dengan datangnya Mbak Reni beserta suaminya, Mas Doni. Mereka tinggal di rumah dinas yang letaknya hanya sekitar 5 kilo meter dari rumah ini. Mbak Reni banyak menceritakan lika-liku saat ia mengurus administrasi pernikahan, penuh kisah yang seru juga, dan ternyata Mbak Reni juga pernah mengalami perasaan yang sama, putus asa, kesal tapi berakhir bahagia bila semua sudah dilalui.

“Tidak apa-apa Dik, semua istri tentara pernah mengalami, ikuti saja petunjuk yang diberikan, Adik pasti bisa. Dibawa santai saja, memang saat menjalaninya kadang kita jengkel, sebal dan ingin marah bawaannya. Tapi yakinlah itu nanti akan menjadi kenangan yang indah untuk kita kenang,” nasihat Reni kepada Seruni.

“Iya Mbak Reni, saya pun berusaha berpikir positif saja tentang semua ini. Saya menjadikan ini sebagai ujian keteguhan niat saya untuk menjadi istri tentara dan ujian kesabaran, semoga saya bisa Mbak,” kata Seruni bersemangat.

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, Mbak Reni berpamitan untuk kembali ke asrama. Mas Doni sedari tadi sudah datang menjemput Mbak Reni. Dan bincang-bincang santai malam itupun berakhir, mereka masuk kamar masing-masing untuk beristirahat, terutama Seruni yang sejak lepas subuh tadi sudah mengawali perjalanan panjangnya. Tubuh yang lelah membuat Seruni bisa tidur dengan cepat, meski gerahnya udara malam itu cukup membuatnya tidak nyaman, tapi rasa lelah yang amat sangat membuat hal itu tak lagi dirasakannya.

***

Tok... tok... tok...

“Nak Seruni, bangunlah Nak, sudah siang ini,” suara Bu Mahmud di depan kamar tempat Seruni tidur.

Suara ketukan pintu Bu Mahmud membangunkan Seruni dari tidurnya. Dengan mata yang masih berat, dipaksakannya dirinya bangkit dari tempat tidur untuk menjawab panggilan Bu Mahmud. Hari itu memang ia sedang berhalangan sehingga tidak punya kewajiban menjalankan salat lima waktu.

“Iya, Bu. Terima kasih,” kata Seruni begitu pintu kamarnya terbuka.

Dilihatnya Bu Mahmud sudah tampak rapi dan cantik dengan baju kurung khas Melayu warna hijau muda dan selembar selendang tipis segi empat panjang dikenakan menjuntai menutupi sebagian kepalanya.

“Nak, Ibu mau ke pajak dulu diantar Bapak. Nanti kalau mau sarapan pagi sudah Ibu siapkan lontong sayur di atas meja makan,” kata Bu Mahmud.

“Pagi-pagi gini mau ngapain ke kantor pajak Bu?” tanya Runi keheranan.

“Oh... maaf, bukan kantor pajak. Pajak itu kalau di sini untuk istilah pasar. Ibu mau belanja dulu,” kata Bu Mahmud, menjelaskan.

Setelah Ibu dan Pak Mahmud pergi, Seruni berniat kembali ke tempat tidurnya, tapi niat itu diurungkan karena dari ruang tamu terdengar suara telepon berdering. Karena di rumah itu sendiri terpaksa ia beranikan diri menerima telepon. Dan ternyata itu dari Pras, yang mengabarkan akan datang menjemput Seruni untuk diajak datang ke Markas Batalyon untuk menghadap Komandan Batalyon, mumpung ia belum kembali ke kompinya yang lumayan jauh. Seruni segera bergegas untuk bersiap-siap.

Pukul sepuluh tepat Pras sudah datang menjemput Seruni, bersamaan dengan sampainya Bu Mahmud dari pasar. Sekalian mereka sarapan pagi bersama dengan menu lontong sayur, yang pertama kali bagi Seruni menikmatinya. Dan menurut informasi Bu Mahmud, itu salah satu makanan khas orang di sini. Seruni menikmati hidangan sarapan pagi dengan lahap, setelah itu ia berpamitan kepada Bapak dan Ibu Mahmud untuk pergi bersama Pras.

***

Tibalah Seruni di sebuah bangunan peninggalan zaman Belanda yang berhalaman luas, dengan hamparan cangkang kelapa sawit yang tebal, sehingga membuat orang pasti akan merasakan agak kesulitan melangkah di atasnya. Di pintu masuk sisi sebelah kanan terdapat bangunan kecil  yang ternyata adalah pos jaga. Di dalamnya terlihat ada seorang prajurit berpakaian lengkap dengan membawa senapan berdiri tegak, siap menyambut siapapun yang memasuki halaman bangunan  yang ternyata adalah kantor markas Batalyon.

Sesampainya di kantor mereka tidak langsung bertemu dengan komandan, tetapi sesuai tradisi di satuan ini, kami harus menghadap sejumlah perwira seksi, untuk perkenalan dan juga menjawab sejumlah pertanyaan dari beliau serta yang sudah pasti nasihat untuk kami berdua. Seruni jadi teringat masa OSPEK di kampusnya saat pertama masuk kuliah dulu, dia harus menghadap senior hanya untuk minta tanda tangan dengan terlebih dahulu melaksanakan permintaan yang “aneh-aneh” dari mereka. Tapi Seruni bersyukur karena di kantor ini semua berjalan normatif, hanya waktu menghadap berbeda-beda, ada yang pembawaannya tegang, santai, ada juga pejabat yang hobi melemparkan banyolan-banyolan yang bikin mereka tertawa.

Seperti sudah janjian mereka semua meminta Seruni untuk menghadap kepada istri mereka masing-masing di rumah sebelum nanti mereka melanjutkan jenjang di atasnya (Korem).

Setelah menunggu hampir 2 jam untuk menghadap Komandan Batalyon (Danyon) akhirnya mereka dipersilakan masuk ke ruangan Danyon, yang berada di ruangan paling besar di bagian depan. Merekapun segera masuk dengan mengetuk pintu dan memberi hormat terlebih dahulu. Dalam ruangan tampak seorang laki-laki dengan postur tubuh yang tinggi besar dengan kumis melintang di atas bibirnya, wajahnya tampak sedikit garang. Dan ternyata beliau tak lain adalah komandan di batalyon ini. Seruni agak sedikit tegang dibuatnya, ia mengatur napasnya untuk menenangkan diri.

“Silakan duduk,” ujar Pak Danyon dengan sangat ramah.

Beliau menjabat tangan Seruni dan Pras dengan penuh kekeluargaan. Luar biasa, dengan sikap ramahnya itu membuang jauh prasangka buruk tentang lelaki itu, ia pun merasa lebih tenang. Dan selanjutnya, kami berbincang-bincang dengan santai, beliau lebih banyak memberikan gambaran bagaimana kehidupan prajurit, terutama bagian-bagian yang tidak enaknya. Seruni paham saja dengan apa yang disampaikan beliau, mungkin bertujuan agar Seruni lebih siap menghadapi kondisi seperti itu dan mampu mengatasinya nanti. Tapi ada pesan yang selalu menjadi semangat dalam diri Seruni yang selalu diingatnya. Bahwa menjadi pendamping seorang prajurit itu butuh mental yang kuat, dia yang akan menjadi sandaran ketika suami sedang mendapat tugas berat.

“Jadilah istri yang mampu memotivasi suami dalam tugas, jangan selalu berkeluh kesah, hadapi yang ada dengan rasa ikhlas untuk ibadah dan mengabdi pada negeri, karena salah satu pendukung yang sangat berarti bagi seorang prajurit adalah istrinya,” nasihat Danyon,

Sorenya, usai menunaikan salat asar, Seruni diantar Pras untuk menemui istri para Perwira Seksi, yang kebetulan sore itu mereka ada kegiatan olahraga di halaman kantor Persit (Persatuan Isteri Prajurit). Saat tiba di sana, sudah banyak ibu-ibu pengurus dan anggota Persit untuk melaksanakan kegiatan olahraga. Pras memperkenalkan Seruni kepada istri Danyon yang sedang duduk di bangku kayu pinggiran lapangan voli. Beliau langsung mengajak Seruni untuk ikut gabung melakukan senam bersama mereka, Seruni dengan senang hati menerima tawaran itu, diliriknya beberapa anggota tampak berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya saat Ibu Ketua (Isteri Danyon) mengandengnya untuk turun kelapangan.

Runi menyalami ibu-ibu yang ada di dekatnya dengan tersenyum ramah untuk mencairkan suasana yang agak kurang nyaman. Usai senam, Ibu Ketua memperkenalkan Seruni kepada ibu-ibu anggota yang hadir. Setelah itu mengajak Seruni dan beberapa pengurus masuk ke ruang tamu kantor Persit.

Di ruangan itu kembali Seruni dihujani berbagai pertanyaan tentang dirinya, keluarganya, kesiapan untuk jadi anggota Persit, hingga pengetahuan tentang Persit. Untungnya Seruni sudah mendapatkan informasi tentang Persit dari Bu Diyah beberapa hari sebelum berangkat ke Medan, menyanyikan lagu hymne dan mars Persit tak lupa Bu Diyah juga membekalinya dengan buku saku AD/ART Persit yang terbaru dan ini sangat bermanfaat setidaknya untuk sore ini, bahkan Bu Diyah juga mengajari beberapa kebiasaan atau etika di Persit.

 Dan betul saja, seperti sedang menghadapi tes wawancara melamar kerja, selain mendapatkan berbagai pertanyaan, Seruni juga diminta untuk menyanyikan sebait lagu Mars Persit. Yah, betul-betul mirip OSPEK. Untungnya dengan tenang dan penuh percaya diri Seruni mampu menjawab dan melakukan perintah para senior yang ada di ruangan itu dengan baik. Dan terakhir Ibu Ketua memberikan nasihat yang cukup panjang, intinya mengingatkan agar Seruni menjadi pendamping suami dan juga anggota Persit yang mempunyai loyalitas yang tinggi pada satuan. Akhirnya pengarahan dari Ibu Ketua selesai, Seruni memohon izin. Rasa lega yang luar biasa, dua tahap sudah terlewati.

Menurut Pras, ada beberapa jenjang yang harus dihadapi lagi, yaitu lanjut ke Korem (Komando Resert Militer) yang berada di Kota Pematang Siantar yang bisa ditempuh perjalanan darat kurang lebih 3 jam perjalanan. Di kantor itu mereka harus menghadap ke beberapa seksi sebelum menghadap Danrem. Beberapa seksi yang harus mereka datangi antara lain seksi Intelijen, di sana Seruni diminta untuk menjawab seratus soal tentang mental ideologi, pada seksi Bintak untuk mereka berdua mendengarkan nasihat perkawinan. Setelah itu barulah mereka bisa menghadap kepada Danrem.

Usai urusan di kantor Korem itu mereka harus melanjutkan ke Kodam yang berada di Kota Medan untuk menghadap Pangdam. Di sini mereka tidak terlalu banyak seksi yang harus ia datangi, namun sangat sulit untuk dapat diterima dan bisa menghadap Pangdam, karena beliau selalu padat kegiatan setiap harinya. Sehingga harus mendaftar dalam agenda Pangdam, itu pun jadwal Seruni dan Pras sudah tiga kali mengalami reschedule (pengaturan jadwal). Setelah menunggu waktu panggilan dari Kodam cukup lama, akhirnya tepat sebulan menunggu, Pras di telepon dari ajudan Pangdam bahwa besok pagi jam 06.00 kami harus sudah siap menunggu di depan ruang kerja pangdam.

Mendadak! Kata itu seolah memang sudah tidak asing dengan orang-orang di asrama, sering perintah kegiatan besok pagi disampaikan jam sepuluh atau jam sebelas malam. Tapi nampaknya personil di sini sudah sangat terbiasa dengan hal itu, mereka menghadapinya dengan tenang. Sangat berbeda dengan Seruni yang kadang masih mengeluh saat menerima perintah mendadak, seperti malam itu ada perintah ke Kodam saat waktu sudah sore, sehingga membuatnya agak terburu-buru dalam persiapan.

***

Udara dinginnya pagi Kota Medan tidak lagi dirasakan Pras dan Seruni. Dengan langkah Pras panjang-panjang membuat Seruni harus kadang setengah berlari. Memang ia agak terlambat datang ke tempat itu. Tapi ia lega saat sampai di ruang tunggu Pangdam jam tujuh lewat, ternyata pasangan lain yang hendak menghadap Pangdam belum sampai.

Meski sudah dijadwalkan mereka tidak bisa langsung menghadap panglima, karena beliau mendapatkan tugas mendampingi tamu dari Swedia di rumah Gubernur. Kembali kesabaran dan kesungguhan Pras dan Seruni diuji. Pukul empat sore barulah ajudan memberi kabar jika setengah jam lagi kami diperintah untuk bersiap-siap diterima di ruangan beliau.

Setelah menunggu sangat lama, akhirnya enam orang pasangan dipersilakan masuk. Pangdam meminta kami memperkenalkan diri kemudian dilanjutkan mendengarkan nasihat dari Pangdam.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices