nyanyian hati seruni
Nyanyian Hati Seruni

Nyanyian Hati Seruni

Reads
72
Votes
0
Parts
6
Vote
by Titikoma

Chapter 6

Pengumuman, kepada seluruh ibu-ibu anggota Persit diminta segera berkumpul di lapangan untuk melaksanakan olahraga, demikan pengumuman yang sekian kalinya diserukan kepada seluruh ibu-ibu oleh petugas jaga.

Jadwal olahraga untuk ibu-ibu di kompi ini adalah dua kali seminggu, hari Rabu sore dan hari Jumat pagi. Kegiatan olahraga di hari Rabu sore adalah volly ball, sedangkan setiap hari Jumat pagi, kegiatan olahraga diisi oleh kegiatan senam bersama seluruh personil kompi.

Seruni segera melipat mukenanya dan kemudian mengganti baju dengan kostum olahraga.  Sebagai istri perwira, ia berusaha mendisiplinkan diri untuk tidak datang terlambat, karena secara moral ia harus mampu menjadi contoh bagi istri anggota lainnya. Meski rasa kantuk masih melanda, Seruni tetap melangkahkan kakinya ke lapangan. Udara di luar masih terasa menggigit di kulit karena panasnya, maklum saat itu sedang masuk bulan kemarau, udara kering dan cuaca sangat panas, matahari terasa begitu dekat di atas kepala.

Sesampainya di lapangan dilihatnya baru beberapa ibu anggota yang datang bersama anak-anak mereka yang masih balita, lengkap dengan bekal minuman dan makanan ringan untuk anak mereka, agar saat ibunya main bola voli anaknya tidak rewel. Sebagaian besar keluarga anggota kompi adalah pasangan muda, sehingga setiap acara kumpul ibu-ibu pasti diramaikan oleh anak-anak. Di asrama ini tidak satu keluarga pun memiliki pekerja rumah tangga, sehingga semua pekerjaan domestik dikerjakan sendiri oleh para istri, dari urusan memasak, mencuci hingga mengurus anak-anak.

Seruni menyapa mereka satu per satu serta menanyakan kabar mereka. Dan mereka menyambut Seruni dengan penuh hormat. Sambil menunggu ibu-ibu yang lain mereka mengobrol santai, duduk di bangku kayu di pinggir lapangan voli.

“Gimana Ibu sudah kerasan tinggal di sini?” tanya Bu Pane, istri Bamin yang tinggal di belakang rumahnya.

“Alhamdulillah. Saya sedang adaptasi di sini, terutama dengan cuaca yang sangat panas dan sunyinya tempat ini terlebih jika malam tiba,” jawab Seruni.

“Hehehe... betul Bu, aku juga dulu begitu, pertama di sini aku alergi air dan cuaca di sini, maklum tempatku di daerah Sibolangit sana udaranya sejuk. Sampai berbulan-bulan aku diserang biang keringat, tapi akhirnya bisa sembuh sendiri. Aku sudah tinggal di kompi ini hampir 10 tahun, makin lama rasanya semakin betah. Dulu, kalau malam aku sering menangis tak betah, sepi kali di sini. Sekarang mending listrik sudah terpasang, dulu masih pakai genset kompi yang bertenaga besar, sehingga kami harus berbagi listrik dengan yang lain. Kata orang, kompi kita ini tempat jin buang anak. Hahahaha... ,” kata Bu Pane diiringi derai tawa ibu-ibu anggota yang duduk di sekitar dan ikut mendengarkan percakapan mereka.

“Tempat jin buang anak? Gimana maksudnya?” tanya Seruni lagi.

“Itu istilah orang sini kalo bilang daerah angker Bu,” kata Bu Pane.

“Ibu kalau malam bisa tidur kan Bu?” gantian bu Eko bertanya.

“ Alhamdulillah juga, kalau masalah tidur saya termasuk golongan pelor,” jawab Seruni.

“Hah, apa itu pelor Bu?” tanya Bu Eko.

“Pelor itu singkatan dari nempel molor, kalau urusan tidur saya paling tidak bermasalah, hehehhe. Emang kenapa Bu Eko?” kata Seruni.

“Syukurlah kalau begitu. Ibu bisa tidur kan di rumah itu? Ibu enggak takut tinggal sendiri di rumah itu? Kalau Ibu butuh teman kalau malam, bisa saja nanti saya minta tolong ibu-ibu yang belum punya anak,” kata Bu Pane, membuat hatinya tergelitik untuk berbalik tanya.

“Sejauh ini saya masih bisa tidur dengan mudah, apalagi seminggu ini saya survei di sekitar rumah yang banyak rumput liarnya. Memangnya kenapa Bu, ada apa dengan rumah saya?” tanya Seruni menyelidik.

“Ehmmm, gimana ya... saya tidak berani bercerita tentang rumah itu, takut Ibu jadi enggak berani tinggal sendiri,” kata Bu Pane ragu-ragu.

“Nggak apa-apa Bu Pane. Ceritakan saja, sudah terlanjur. Kalau gak tuntas ceritanya nanti saya malah betul-betul tidak bisa tidur,” kata Seruni meyakinkan Bu Pane agar mau cerita tentang rumah yang ia tempati, hatinya mulai tidak enak.

Akhirnya Bu Pane menceritakan perihal rumah itu. Konon, rumah itu berhantu. Terbukti beberapa orang yang tinggal di situ tidak betah karena sering diganggu oleh kejadian aneh. Kata mereka yang pernah tinggal di situ jika malam sering ada suara-suara aneh dari bagian rumah itu. Dulu ada Danton yang tinggal di situ, tapi hanya bertahan sebulan, karena anaknya yang balita sering sakit-sakitan, katanya sih diganggu penunggu rumah itu. Makanya rumah itu selalu kosong karena tidak ada yang berani tinggal di sana. Dan baru akhir-akhir ini saja ada orang yang mau menempati rumah itu lagi, Seruni dan Pras.

Seruni hanya mendengarkan cerita itu dengan penuh perhatian. Setelah Bu Pane selesai bercerita, Seruni hanya berkomentar, “Bu Pane, saya sangat percaya dengan adanya makhluk halus, apapun namanya. Karena memang itu ada, bukankah kita hidup berdampingan dengan mereka, selama kita tidak saling mengganggu dan mengusiknya, Insya Allah semua baik-baik saja. Oh ya terima kasih ceritanya,” kata Seruni mengomentari cerita Bu Pane.

Tiba-tiba datang seorang ibu anggotayang lain, Seruni sepertinya baru melihatnya. Ibu yang bertubuh mungil dengan rambut dipotong sangat pendek itu mendekati Seruni,  kata ibu anggota namanya Bu Sofyan. Ia berkata, “Izin Ibu, tadi saya dapat pesan dari Ibu Ketua, katanya beliau sedang tidak enak badan. Jadi Ibu diminta menggantikan beliau,” kata si ibu tadi.

“Oh ya, terima kasih ya Bu,” namun orang yang menyampaikan berita itu sudah menghilang berbaur dengan ibu-ibu yang lain.

“Ayo, ibu-ibu kita olahraga voli. Jumlah kita banyak jadi dibagi empat tim, nanti mainnya gantian. Dan seperti biasa ibu-ibu yang tidak main jangan lupa dengan tugas pengambil bola,” kata Seruni memberi arahan kepada peserta yang hadir.

Ibu-ibu yang tadinya duduk berkelompok-kelompok segera berdiri untuk mencari kelompok yang sesuai dengan hatinya. Yang lainya, bertugas sebagai pengambil bola.

Usai olahraga sore, Seruni segera kembali ke rumahnya. Karena hari sudah hampir magrib, suasana semakin gelap. Sudah dua malam ini, Seruni tinggal sendiri di rumah itu, karena Pras dan hampir seluruh personil sedang melaksanakan latihan luar di daerah Parenggehan sebagai persiapan tugas operasi ke perbatasan Papua.

Nasib Seruni kurang beruntung sore itu, karena begitu sampai rumah ternyata listrik padam, padahal ia belum mandi karena berkeringat setelah ikut bermain voli bersama ibu-ibu anggota. Sedang di rumah ia tidak memiliki lampu penyimpan energi atau lampu minyak, bahkan lilin pun ia tidak punya. Ia bingung harus beli dimana karena kedai kompi hanya buka di pagi hingga siang hari. Akirnya ia memberanikan diri berjalan ke rumah Bu Pane yang berada di belakang rumahnya untuk meminjam lilin.

“Ini Bu, lilinnya silakan pakai saja, saya masih ada  stok satu kotak lagi. Ibu, maaf izin Ibu, kalau Ibu takut, malam ini tidur di sini saja,” kata Bu Pane sembari menyerahkan satu kotak lilin dan korek api.

“Terima kasih Bu Pane tawarannya, tapi saya lebih suka pulang ke rumah saja, belum mandi nih, gerah rasanya,” tolak Seruni dengan lembut.

Saat sampai rumah suasana sudah benar-benar gelap. Dihidupkannya lilin yang baru dipinjamnya dari Bu Pane. Usai mandi, Seruni segera melaksanakan kewajibannya salat magrib dan membaca satu lembar Al-Quran, karena gelap matanya kurang jelas membaca huruf-huruf dalam lembarnya.

Malam itu memang begitu gelap, ia sama sekali tidak bisa melihat apa-apa di luar sana dari kaca jendela ruang tamu. Suara lolongan anjing yang menyayat, dan suara burung malam menambah seramnya suasana. Saat sedang menikmati makan malamnya seorang diri di bawah temaram cahaya lilin, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara benturan keras di jendela kaca di ruang makan. Saking terkejutnya, piring makan yang dipegangnya hampir saja terlepas dari pegangan tangannya. Dadanya berdegup kencang, ia jadi ingat obrolan sore tadi di pinggir lapangan voli bersama-sama ibu-ibu tadi sore. Pikirannya pun mulai terpengaruh oleh cerita itu, membuat naik bulu kuduknya. Pikiran-pikiran buruk pun mulai bermunculan dalam kepalanya, yang justru menambah rasa takutnya. Kali ini ia benar-benar ketakutan. .

Seruni hanya terdiam, tak bergerak, nasi di mulutnya pun terasa sangat sulit ditelan. Dalam hati ia menyesal karena sudah menolak tawaran Bu Pane untuk numpang tidur di rumahnya. Ia hanya bisa pasrah, mulutnya komat kamit membaca ayat-ayat Al-Quran yang terhafal olehnya, sambil berdoa memasrahkan dirinya pada perlindungan Allah dan berharap punya keberanian lebih agar bisa mengatasi ketakutannya. Dan ternyata dia berhasil, lama-kelamaan ia punya keberanian untuk beranjak dari tempat ia duduk dan memberesi perkakas makannya. Setelah masuk waktu isya, ia segera melaksanakan salat dan masuk ke kamarnya untuk mencoba tidur.

Direbahkannya tubuh di tempat tidur, ia berusaha untuk bisa tidur, tapi matanya tidak juga bisa terpejam. Udara yang sangat gerah malam itu membuat Seruni tidak bisa tidur, meski sudah mencoba berkipas-kipas tetap saja matanya tidak bisa terpejam. Cerita Bu Pane membuatnya makin ketakutan. Dan saat itu kembali benturan keras pintu ruang tamu dan pintu ruang sebelah kamar tidurnya tertutup sendiri, yang membuat Seruni terkejut untuk kedua kalinya, untung saat itu listrik segera menyala. Sehingga dia bisa memutar kaset murotal di ruang tidurnya,  Seruni mendengarkannya dengan khidmat sambil terus berdoa hingga ia pun terlelap.

Keesokan paginya, saat mentari pagi mulai membagi cahayanya yang terang kepada  seluruh penghuni alam, Seruni segera bangun dan langsung mengecek ke belakang rumah tempat suara benturan itu berasal. Ia penasaran apa yang telah terjadi semalam. Dan ternyata ada bangkai burung hantu yang tergeletak di bawah jendela, ternyata suara keras semalam berasal dari burung hantu yang menabrak jendela kaca ruang makan.  Dan ia pun kemudian ke teras rumah, tidak ada apa-apa di sana. Ia menduga mungkin ada binatang lain yang menabrak pintu kamar tamunya karena di sana ia mendapati beberapa helai bulu burung yang berserakan. Ia ingin menertawakan dirinya sendiri dengan apa yang dialaminya tadi malam. Mulai hari itu ia tidak akan bersikap bodoh lagi

. Ya, Seruni bertekad berusaha berpikir realistis, ia tidak mau dihantui oleh pikiran-pikiran negatif yang akan merugikan dirinya.

Saat Pras pulang keesokan harinya, Seruni menceritakan kejadian yang dialaminya saat mati lampu. Pras malahan tertawa terpingkal-pingkal mendengarkan cerita Seruni.

“Makanya istriku sayang, jangan mudah mendengarkan informasi dari ibu-ibu anggota yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ini baru awalnya, nanti berikutnya akan Runi dengar cerita yang aneh-aneh dari mereka. Cukup didengar saja, tapi jangan ditelan bulat-bulat informasinya. Mas juga waktu pertama tinggal di rumah, anggota yang lain juga cerita tentang rumah berhantu itu. Tapi sebagai orang yang beriman kita punya Allah tempat memohon pertolongan dan paling penting kita tidak mengusik keberadaan mereka,” kata Pras menanggapi cerita Seruni.

“Iya, Mas pras memang betul. Mengapa harus takut, kan ada Allah yang selalu menemani kita. Kalau pun makhluk itu ada, kita harus percaya akan hal itu. Yang penting tidak mengganggu satu sama lain,” balas Seruni.

“Nah, istriku memang hebat. Tidak salah kalau aku memilihmu untuk menjadi pendampingku,” kata Pras sambil mencium pipi Seruni.

Seruni pun tersipu malu.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices