just open your heart
Just Open Your Heart

Just Open Your Heart

Reads
42
Votes
0
Parts
4
Vote
by Titikoma

The New Bos

“Mut, bos baru bakal datang hari ini,” ucap Jun setelah berhasil menarik tubuh Muthia ke sudut ruangan administrasi kantor.

Muthia baru saja habis melakukan absen sidik jari ketika lengannya disambar dari belakang oleh Juni Adhisti, sahabatnya sekaligus data entry kantornya.

Muthia bekerja pada sebuah leasing multifinance nasional. Kantor pusatnya tentu saja berada di Jakarta, sedang kantor yang dia tempati saat ini hanya kantor cabang yang berada di Kota Berau, Kalimantan Timur. Sebuah kota yang mengalami perkembangan cepat dengan kekayaan alamnya yang begitu luas. Kantornya melayani kredit multiguna yang membiayai pembelian melalui kredit untuk produk elektronik, motor, dan mobil. Dia hanya seorang marketing lapangan elektronik yang selalu disibukkan dengan mencari konsumen dan dikejar target tiap bulannya. Terkadang membuat stres jika target bulanan tidak terpenuhi, tapi dia mencintai pekerjaannya sebagai seorang marketing.

“Tua, orangnya?” tanya Muthia cuek. “Aku nggak ikut nyambut, mau tiduran aja di rumah. Lagi malas cari konsumen hari ini.”

Jun mendorong kepala Muthia dengan jari telunjuknya. “Semua karyawan mesti nyambut bos baru, tau! Hargain dikit bos baru kamu,” tukas Jun. cemberut. “Orangnya masih muda. Paling beda dua tahun dari kita.”

“Beruntung ya dia, masih muda sudah menduduki jabatan BM,” Muthia berjalan pelan. Jun berusaha untuk mengikutinya di samping. “Aku saja sudah 5 tahun kerja di sini, jabatan belum naik-naik.”

Juni menarik rambut Muthia yang hari ini sengaja diikatnya ekor kuda. Rambutnya lurus dengan warna dark brown hingga ke punggungnya. “Kamu aja yang nggak mau naik jabatan, dodol!”

Muthia nyengir. Dia memang tidak menyukai bekerja di kantor. Baginya bekerja di lapangan akan lebih membuatnya bebas tanpa ikatan waktu. Hanya turun pagi hari, ikut briefing, keluar kantor mencari konsumen atau duduk di dealer, atau bisa juga dia hanya menghabiskan waktunya di rumah dan tiduran. Sore hari kembali lagi ke kantor dan absen pulang. Baginya itu pekerjaan yang menyenangkan.

Lagipula, menjadi marketing memberikannya kesempatan bertemu banyak orang. Mengenal orang-orang baru. Punya banyak kenalan. Dan tentu saja, mungkin bagi sebagian orang pekerjaan marketing terlihat rendah, tapi dia menghasilkan lebih banyak pendapatan ketika bekerja di bidang ini. Setiap transaksi yang terjadi, dia bisa mendapatkan uang tambahan seratus ribu, sehari saja dia kadang dapat melakukan transaksi minimal 3-5 orang. Kalikan saja sendiri berapa perbulannya! Itu masih diluar gaji, bonus dan tunjangan lain, belum lagi traktiran konsumen atau dealer-dealer…. Jadi, sebaiknya berpikir ulang jika menganggap sebelah mata pekerjaan marketing itu.

 Langkah Muthia terus melaju menuju ke arah pantry. Dia membutuhkan segelas teh hangat. Tidak, dia tidak suka memulai harinya dengan segelas kopi seperti yang lain. Teh dan aromanya di pagi hari lebih menenangkan baginya.

“Kamu mau teh?” tanya Muthia pada Juni yang sudah duduk di kursi dengan menopangkan tangannya ke meja kayu yang berada di tengah-tengah ruangan pantry. Ada lima kursi kosong lain di sana yang mengelilingi meja.

“Boleh,” suara yang menyahut berat dan agak serak. Bukan serak parau, tapi keseksi. Dan itu bukan suara Juni.

Seorang lelaki muncul di ambang pintu. Dia tersenyum lebar menatap lurus ke arah Muthia. Tubuhnya tinggi, atletis dan proporsional. Mungkin sekitar 182 cm. Dari kemeja hitamnya yang tergosok rapi dan lengan baju yang tergulung hingga ke siku, otot-otot lengannya  begitu kekar. Padat dan berisi. Bahkan kain yang membungkus lengan itu begitu pasrah dan mengikuti setiap lekukan ototnya. Belum lagi kemeja slim fit yang membungkus tubuhnya, dada bidangnya terlihat menyembul pas.

Membuat jemari tidak tahan untuk menyentuh dan merabanya. Perutnya pasti six pack.Entahlah, tapi yang pasti datar. Tak ada lekukan cembung di bagian pinggangnya. Bahkan seperti tak ada lemak menempel yang mengganggu keindahan tubuhnya. Pinggangnya juga langsing, begitu menggoda untuk melingkarkan lengan di sana.

“Maaf…” mata Muthia memicing menyelidik.

“Boleh aku mendapatkan teh hangat juga?” ulang lelaki itu. Sekarang dia sudah duduk di samping Juni.

Mata Muthia masih melihat lelaki itu duduk miring dengan menyilangkan kaki kanan di atas paha kirinya. Betisnya terlihat lebih panjang.

“Aku… Angkasa…” Muthia mendengar suara itu berbicara. Sepertinya dia berbicara dengan Juni. Karena saat ini dia sudah membalikkan tubuhnya untuk mengambil gelas baru. Entah apa yang membuatnya menurut saja, mungkin karena hari ini dia sedang tidak memiliki mood untuk protes.

“Kamu mau apa Jun?” tanya Muthia lagi tanpa berbalik. Suaranya agak meninggi. Sengaja, untuk memutuskan perkenalan Juni dan Angkasa yang sedang berlangsung.

“Kopi aja deh…” jawab Juni.

“Wah, jangan-jangan kamu bos baru itu, ya? Kamu… eh, maksudnya Bapak…”  Muthia mendengar suara Juni yang grogi. Bisa saja tebakan Juni benar terhadap Angkasa, tapi Muthia sedang malas untuk ikut menanggapi. “Tapi bukannya… seharusnya datang siang ini?” tanya Juni lagi.

“Aku datang malam tadi, sengaja mau melihat situasi pagi kantor.”

Muthia sudah berbalik dan menyerahkan kopi punya Juni. Dia hanya tertunduk memperhatikan gelas yang disorongnya. Tidak berniat memandangi lebih lekat sosok bos baru yang ada di hadapannya. Bahkan ketika dia menyodorkan cangkir teh dengan kepulan asap milik Angkasa, dia tidak mengalihkan pandangannya.

“Jun, aku ke atas, ya?” Muthia memegangi gelas tehnya. Menghirup aromanya dan menyeruputnya sedikit. Dia bener-benar membutuhkan aroma menenangkan ini. “Oh, ya, selamat datang dan senang berkenalan dengan Bapak. Aku… Muthia, marketing di sini,” Muthia berbicara tanpa ekspresi dan tanpa melihat langsung ke wajah Angksa.

Dia bukannya tidak sopan. Oke, dia memang tidak sopan. Hanya saja hari ini, keinginan untuk beramah tamah sedang menguap dari dirinya. Dia hanya ingin menyingkir, sendiri. Pikirannya sedang kusut.

Muthia berjalan melintasi Angkasa dan Juni. Berjalan dengan ketukan sepatu berirama lambat. Tatapannya lurus ke depan, tidak memedulikan dua orang yang sedang mengawasi gerakannya. Yang dia inginkan hanya menjauh dan menyendiri.

Beberapa teman sekerja yang berpapasan dengannya dan menyapa, hanya dibalasnya dengan senyuman hambar. Di tengah lorong dia berbelok dan menaiki tangga menuju lantai ke dua. Dia ingin menuju atap kantor yang berada di lantai 3. Biasanya memang di waktu jam kerja tidak ada yang menaiki wilayah itu. Di sana tempat para petinggi kantor berada, Branch Manager dan kredit analis. Sedangkan di lantai dua ditempati ruangan untuk para kolektor dan ruangan Bro atau head marketing. Di lantai satu terdapat ruangan administrasi, ruangan pertemuan dan pantry.

Lorong di lantai 3 tampak sepi. Muthia membelokkan tubuhnya ke kanan, menuju bagian belakang lantai. Di sana terdapat pintu yang akan mengantarnya ke bagian atap. Tempatnya lumayan luas, bisa untuk bersantai. Ada kursi panjang yang sengaja diletakkan di sana. Terkadang di sana karyawan berkumpul hanya untuk melepaskan penat, dan juga hanya jika tidak ada BM di kantor.

Muthia membuka pintu kayu yang membatasi ruangan dengan atap yang bisa juga dikatakan serambi atap itu. Tubuhnya disambut angin segar pagi hari. Sejenak dia menutup matanya dan merasakan kesejukan menerpanya.

Kaki Muthia melangkah keluar, ditutupnya kembali pintu di belakangnya dan dia berjalan ke arah kiri atap menuju kursi panjang berada. Diletakkannya gelas yang berisi teh hangat di kursi dan dia pun duduk di sampingnya. Tubuhnya disandarkan ke tembok. Kakinya dibiarkan terentang ke depan. Lengan kirinya terjuntai dan tangan sebelahnya diletakan di atas perutnya.

Untuk beberapa menit Muthia hanya terdiam dan memandang kosong ke depan. Beberapa kali dia menghembuskan napas berat. Terkutuk cinta itu! Rasanya menyakitkan bukan karena ditolak, tapi mencintai sepihak dan diberikan harapan untuk memiliki. Namun, hanya dia yang pontang-panting membangun singgasana cinta, sementara pihak yang dicintai malah asyik kesana-kemari mengobral nafsu dan ego diri. Tapi Muthia juga tidak dapat melepas cinta itu.

Tubuh Muthia tersentak. Tangannya sigap melepas tasnya yang sedari tadi tersampir di bahunya. Membuka resletingnya dan mengobok-obok tasnya yang didominasi berkas-berkas aplikasi pengajuan kredit dan invoice pengambilan barang ke dealer. Dia mencari handphone-nya, dan ketika tangan itu menggenggam kuat Samsung Pro J-nya, ada napas yang tertahan sejenak.

Jemari Muthia lincah membuka kombinasi smartphone-nya. Menekan aplikasi Whatsapp dan memilih chat dengan nama Dear. Namun tubuh Muthia lemas, tak ada balasan chat yang diharapkannya. Hanya chat-nya yang terakhir yang bahkan belum dibuka sama sekali.

Dear, dimana?

Muthia tergugu melihat layar ponselnya. Dengan kesal dimasukannya kembali smartphone itu ke dalam tas. Lalu dia mengaduk kembali tasnya. Mencari rokok dan korek yang biasa dibawanya. Dengan gemetar menahan marah dan sedih, dia mengambil sebilah rokok dari dalam kemasannya, menyulutkan api ke ujung rokok dan mengisapnya dalam.

Dia kembali menyandarkan bahu dan kepalanya ke tembok. Tasnya dibiarkan teronggok begitu saja di lantai. Pandangannya kembali menatap hampa ke depan. Asap mengepul di wajah dan di hadapannya setiap kali Muthia menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Namun dia tidak terganggu. Tidak peduli.

“Kamu tahu?Rokok membuatmu susah hamil nantinya.”

Muthia tersentak. Tubuhnya langsung menegak. Kepalanya menoleh ke arah kanan ke tempat asal suara tadi berbicara.

Angkasa sudah berada di sana. Berdiri dan bersandar di ambang pintu. Wajahnya tidak menilai atau menghakimi. Bahkan terkesan santai. Dia tersenyum ketika tatapan Muthia bertemu dengan pandangannya.

“Sejak kapan Bapak di sini?” tanya Muthi. Ekspresi terkejutnya sudah hilang.

“Tidak lama,” jawab Angkasa. Dia kembali melemparkan senyumnya. Oh Tuhan, senyumannya benar-benar menggoda. “Hanya sempat melihat kamu melemparkan handphone ke dalam tas.”

Muthia mengangkat alisnya. Kepalanya kembali dipalingkan ke depan. Kembali mengisap rokok dan menghembuskannya panjang. Menyilangkan kedua tangannya di dada. Dia sudah tidak peduli lagi dengan kehadiran Angkasa. Lagi pula dia tidak ambil pusing dengan anggapan Angkasa tentang kebiasaannya.

“Apa kamu selalu sedingin ini?”

Muthia kembali terperanjat. Namun kali ini dia tidak perlu mengubah posisi duduknya.

“Tidak,” jawab Muthia malas.

Angkasa mengawasi tingkah Muthia yang kaku. Ketika tadi dia tidak sengaja melihat Muthia melintasi ruangan Kepala Administrasi, hatinya tergoda. Tapi siapa yang tidak akan tergoda dengan dirinya? Tubuh Muthia memang tidak terlalu tinggi, mungkin hanya sekitar 163 cm, tapi tubuhnya proporsional. Wajahnya yang putih dan halus dengan sapuan make-upsimple tampak pas dengan bentuk wajah ovalnya. Keningnya tidak begitu lebar dan terdapat alis lebat dengan lengkungan rendah menghias cantik di atas kelopak matanya.

Matanya besar dengan bulu mata panjang dan lentik. Hidungnya bangir dan lurus. Bibirnya yang terpoles lipstick warna peach begitu sensual dengan bibir bawah yang terukir lebih tebal dari bagian atasnya. Dagu bulatnya terbentuk apik dengan rahang yang tampak tidak semetris walau tidak mengurangi kecantikannya. Tidak, dia bukan hanya cantik, tapi manis!

“Kita akan segera memulai briefing, turunlah…” Angkasa hanya menangkap anggukan kecil.

Bahkan saat wajah Muthia sendu seperti sekarang ini, wajah manisnya masih menawan. Angkasa benar-benar penasaran. Namun jam di pergelangan tangannya menunjukkan waktu yang tidak tepat. Sudah jam 8. Waktunya memulai kerja pagi ini. Memperkenalkan dirinya dan mengenal timnya.

***


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices