Just Open Your Heart

Reads
53
Votes
0
Parts
4
Vote
by Titikoma

Konfrontasi

   Muthia melihat seorang ibu memakai jilbab orange sedang duduk di hadapan meja pelayanan kantor. Dia tampak sedang asyik menandatangani berkas putih aplikasi pengajuan kredit. Di depannya, seorang lelaki berambut keriting dengan tubuh kurus dan mengenakan seragam merah Fast Kredit dengan logo kuning biru di bagian dadanya, sedang menunjuk ke beberapa bagian form aplikasi kredit.

Dia baru saja sampai dan memarkirkan motornya kemudian berjalan memasuki kantor. Jam memang baru menunjukan pukul 4 sore, sengaja dia datang ke kantor lebih cepat satu jam sebelum jam pulang karena punya janji dengan konsumennya. Dia juga hanya ingin duduk saja di ruang tunggu kantor yang biasa digunakan para konsumen untuk menunggu giliran pembayaran kredit. Setidaknya ruang tunggu itu adem karena AC, sedang diluar cuaca begitu panas.

Sebenarnya Muthia hanya ingin melewati saja mereka berdua, mengambil air di pantry dan kembali lagi ke ruang tunggu. Matanya melihat sekilas ke arah ibu itu dan merasa mengenalinya, namun tak pernah sampai ke pikirannya di mana pernah melihat wanita itu. Langkah Muthia sudah hampir terlewati ketika lengannya disentuh dengan pelan.

“Mba Muthia,” panggil ibu itu dengan ramah. Langkah Muthia terhenti. Berbalik dan memandangi ibu itu dengan tersenyum ramah.

“Akhirnya Mba datang juga,” lanjut Ibu itu. “Tadi saya sudah berniat menunggu Mba, tapi kata Mas ini, Mba gak bisa datang. Jadi dia mau bantu. Katanya proses kreditnya sama saja, sama dia atau sama Mba.”

Muthia tertegun namun bibirnya tetap mengembangkan senyum. Kemudian pandangannya dialihkan kepada lelaki yang berada di depannya. Memandangnya dengan sorot mata tajam. Rahangnya terkatup rapat. Lelaki di depannya berusaha untuk menghindari pandangannya dari Muthia. Berpura-pura sibuk dengan kertas yang berada di tangannya. Sebelum dia kembali mengarahkan pandangannya kembali kepada ibu itu, dia sempat melihat lelaki yang lebih muda empat tahun di depannya itu mencoret sesuatu.

“Iya Bu. Pengajuan kredit Ibu masih tetap diproses kok, tidak masalah siapa yang mengurusnya,” suara Muthia terdengar lembut, begitu berbeda dengan hatinya yang bergemuruh. “Ibu jadi ngambil I-Phone 7-nya?”

“Syukurlah,” Ibu itu terdengar lega. Tidak memahami situasi janggal yang sedang terjadi. “Iya, jadi. Masnya sudah saya kasih tahu angsuran bulanan yang sudah Mba Muthia hitungkan.”

“Oke, Ibu lanjut ya, saya masuk dulu. Haus.”

Ibu itu tertawa renyah dan mempersilakan Muthia berlalu.

Langkah Muthia cepat menuju ke arah pantry. Dia langsung membuka lemari es, mengambil botol minuman warna hijau yang bertuliskan namanya. Menegak isinya dengan beberapa kali teguk.

Lebih dari separuh isi botol minuman yang berukuran 600ml itu telah berpindah ke perutnya. Diletakannya dengan kasar botol itu di atas meja. Tangan kanannya tegak di atas meja, sedang tangan kirinya mengacak pinggang. Dia sedang berusaha menenangkan amarahnya. Kemarahan benar-benar terpancar dari sorot matanya. Napasnya memburu dengan dada yang turun naik dengan cepat.

Sial. Randi kali ini tidak akan dia lepaskan. Sudah sering kali dia mendengar jika lelaki itu merebut konsumen sesama marketing. Selama ini mereka hanya diam dan mencibir di belakang. Membicarakan dengan jengkel atas apa yang sudah dia lakukan. Muthia terkadang curiga, beberapa kali konsumennya pernah direbut olehnya, namun dia tidak memiliki bukti secara langsung. Kali ini berbeda, dia punya kesempatan untuk menyerang langsung dan memberikan pelajaran pada si keriting itu.

Muthia mendengar suara langkah kaki berirama di lorong. Segera dia keluar dari pantry dengan kemarahan yang sudah tidak bisa dibendungnya lagi. Berdiri di tengah-tengah lorong dan mendapati Randi terdiam memandangnya.

Hentakan kaki Muthia berat dan kasar. Dia maju dengan dorongan amarah yang mengitari auranya. Matanya melotot tajam. Tak membiarkan pandangannya lepas sedikitpun dari Randi.

Ah, mungkin hawa kebencian itu membuat Randi mengerut. Tubuhnya kini sudah tersandar ke dinding dengan Muthia yang berada di hadapannya. Jarak mereka hanya beberapa senti saja, bahkan dia dapat merasa dengusan napas Muthia menyapa dagunya.

“Aku hanya membantumu, Mut…” Randi mengangkat tangannya yang memegang kertas aplikasi kredit. Membuatnya terlihat oleh mata Muthia. “Di situ tertulis marketing-nya namamu.”

Muthia yang ingin menyemburkan amarahnya, menahan diri dan merebut kertas dari tangan Randi. Matanya menelusuri setiap tulisan yang ada hingga pandangannya terhenti di sudut kanan bawah. Di kolom nama marketing tertulis namanya, Muthiara Anggraini. Tapi tunggu, sebelum namanya tertulis, sudah ada coretan tebal di atas dua kata. Goretannya begitu rapat dan penuh penekanan dalam.

“Awas kalau kamu berani ngambil konsumenku lagi!” Muthia menghentakkan dengan kasar kertas di tangannya ke dada Randi. “Nggak peduli sekalah apa aku melawan laki-laki, aku pasti menghajarmu!” geram Muthia.

Muthia meninggalkan Randi dengan sudut mata penuh kebencian. Tatapannya masih memancarkan ancaman sebelum akhirnya dia berbalik dan menuju ke ruang administrasi.

Muthia tidak menyadari, ada tatapan milik Angkasa yang sedang mengamati kejadian tadi. Dia tadi berencana hendak keluar, tapi diurungkannya dan berhenti di ujung tangga terakhir saat mendapati Muthia menghimpit tubuh Randi yang tampak gugup.

Wanita itu selalu saja terlihat menyemburkan kemarahan. Tapi wajahnya semakin menarik, bahkan saat tak ada senyum di bibirnya yang hari ini terpoles warna salem.

Baru tiga hari Angkasa di sini dan Muthia selalu menggebrak harinya dengan cara tidak terduga. Kemarahannya membuatnya semakin penasaran.

Oh, God, wanita itu …

***

                “Yaelah Mut, kok bisa aplikasi sampai kucel begini, ganti!” Juni mengembalikan kertas aplikasi yang diserahkan Muthia ke mejanya. “Mana ada coretan tebal gini lagi.”

Muthia menyandarkan tubuhnya dengan bertopang pada bahu kirinya.

“Itu aplikasi Randi, tadi dia ngambil konsumenku dengan rayuan busuknya!” tukas Muthia. Dia sedang berusaha mengontrol kemarahannya yang masih tersisa. “Untung saja ketahuan, kalau nggak, namanya yang tertera di sana.”

“Jadi coretan ini seharusnya nama Randi?”

“Sudah gak bisa dibaca kan, itu. Tapi aku yakin itu nama dia.”

“Kamu ngelabrak dia, ya?” Juni menggerakkan sedikit posisi duduknya. Tubuhnya kini sepenuhnya menghadap Muthia dengan punggung tegak penuh antusias.

Muthia mengangguk. Dengan masih berusaha menguasai kegeramannya, dia menceritakan dengan detail semua yang terjadi. Nada suaranya benar-benar kesal. Terkadang dia terlihat mendelik ke arah Juni sambil terus berbicara dengan nada jengkel. Matanya yang memang besar saat melotot dengan saraf yang menegang begitu, seperti membuat bola matanya mau keluar. Belum lagi hari ini dia mengulaskan eyeshadow dengan tema smookey, makin membuat dia lebih mengerikan.

Juni sendiri pendengar yang baik. Dia tidak memotong sedikitpun perkataan Muthia ataupun balik bertanya seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang penasaran. Tapi mulutnya tidak terhindar dari berkata, “Oh” panjang ataupun berdecak gemas. Di akhir cerita Muthia, gantian dia yang bergumam tidak jelas sambil membalikkan tubuhnya kembali menghadap komputer.

“Bikin kesal banget ya, tu orang,” sungut Juni, tangannya kembali menari di atas mouse. “Tapi tetap saja kamu harus ganti aplikasimu, Mut.”

“Jun, ini sudah waktunya mau pulang,” Muthia tidak percaya. Setelah apa yang diceritakannya, Juni masih memintanya mengganti aplikasi miliknya—bukan milik Randy yang diberikannya. “Rumah Ibu itu jauh, Jun. Kamu lihat, alamatnya di Teluk Bayur. Perlu 45 menit baru sampai ke sana.”

Muthia menyodorkan kertas aplikasi ke hadapan Juni. Menunjukkan bagian yang bertuliskan alamat pemohon kredit.

Juni mengangguk, “Aku tahu, karena itu kamu mesti buru-buru,” dia menoleh pada Muthia dengan tersenyum lebar. “Aku tungguin kamu di sini, sekalian input data.”

Muthia mau protes, tapi begitu mendengar Juni mau menunggunya, dia hanya cemberut. Menghentakkan kakinya sekali dan berbalik pergi. Ketika berjalan keluar, dia berpapasan dengan Angkasa yang berjalan dengan tangan dimasukkan ke kantong celananya. Dia  tersenyum lebar, membuat Muthia sejenak terpana. Benar-benar hanya sesaat, karena langkahnya tidak terhenti. Dan dia hanya mengangguk membalasnya.

Melewati Angkasa, tidak kuasa mata Muthia terpejam sejenak. Hidungnya mencuat, menikmati aroma maskulin yang menyebar di sepanjang lorong. Wangi yang terhirup olehnya seakan menggelitik tenggorokannya, melekat hingga membuat otaknya menebak-nebak merek dan paduan aromanya. Bahkan, hingga dia menyalakan motornya, Muthia tidak bisa mengalihkan konsentrasinya dari parfum yang terekam dipikirannya.

Mata Muthia memperhatikan lorong tempat dia berpapasan dengan Angkasa tadi, mengingat jelas sosok Angkasa yang tersenyum padanya. Apa, dia tersenyum? Kenapa aku baru sadar… Dengan menghembus napas berat, Muthia kembali memikirkan pekerjaannya. Dia harus bergegas.

***


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices