
by Titikoma

Rayuan
Langit sudah mulai gelap saat Muthia sudah kembali lagi ke kantor. Suasana sudah sangat sepi. Hanya tertinggal dua motor yang salah satunya miliki Juni yang masih terparkir, serta mobil kantor yang biasa digunakan Angkasa. Bergegas dia memasuki kantor dan menuju ke ruangan Juni. Saat berada di ambang pintu, dia melihat Juni sedang mengobrol dengan Angkasa, bahkan mereka berdua tidak menyadari sama sekali kedatangan Muthia di sana.
Dehaman kecil dikeluarkan Muthia untuk menginterupsi keasyikan mereka. Dan itu berhasil. Mereka berdua menoleh secara bersamaan. Juni memasang wajah cemberut, tetapi Angkasa malah memberikan senyuman lebar.
“Kenapa kamu lama sekali?” Juni berdiri lalu menuju ke arah muthia dan mengambil berkas yang disodorkan padanya. “Ini sudah mau malam, tau!”
Muthia mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali dan cengengesan tidak jelas, berusaha menurunkan rajukan Juni. “”Iya, maaf…” celoteh Muthia dan mengiringi Juni yang berjalan ke meja kerjanya. “Kalau gitu cepat kerjakan, biar kita cepat pulang! Aku traktir bakso, deh…”
“Deal,” Juni tersenyum riang. Dia sudah mulai memegang cursor mouse dan memperhatikan berkas Muthia. “Kamu temani Pak Angkasa dulu, tadi dia sudah berbaik hati nggak membiarkan aku bengong sendiri.”
Muthia memalingkan lehernya dan menatap Angkasa sejenak. Dia sedang bermain dengan gadget-nya dan serius membaca sesuatu di layar ponselnya. Tidak lama suara dering telepon berbunyi, membuat Muthia merasa tenang. Dia sudah tidak tahu harus mengobrol tentang apa pada bos barunya. Dia bukan sosok yang tidak mudah bergaul, bahkan Muthia memiliki banyak teman yang beragam, tetapi untuk sementara dia enggan untuk beramah-tamah dengan Angkasa. Dia masih bisa membayangkan dalam benaknya, saat Angkasa memergokinya memperhatikannya dengan seksama. Itu benar-benar memalukan.
Dengan memberi kode bahwa dia harus mengangkat teleponnya, Angkasa melangkah ke luar ruangan. Hati Muthia benar-benar lega. Segera dia berjalan ke arah kursi bekas Juni tadi duduk dan menghempaskan bokongnya. Dia begitu lelah dan merasa gerah. Ingin rasanya dia diguyur air saat ini untuk menyegarkan tubuhnya.
Tangan Muthia bergerak mengambil smartphone yang berada di kantong depan celananya. Membuka bagian kamera dan melakukan selfie dengan mengambil pose wajah yang separuh tersembunyi di antara kedua tangan. Hanya menampilkan bagian mata hingga kepala atas saja. Tadinya dia berencana untuk menge-post foto tersebut di Instagram-nya, tapi rayuan untuk memejamkan mata sesaat seakan lebih menggoda. Dimatikannya ponsel itu dan diletakan di depannya, setelah itu dia menenggelamkan kepalanya tertelungkup dengan bertopang pada kedua tangannya yang terlipat.
Rasanya dia sudah hampir saja menyibak tirai mimpi saat hidungnya mencium sesuatu yang menenangkan. Aroma teh yang berpadu dengan aroma kopi, menelusup penciumannya tiba-tiba. Dia pun mengangkat kepalanya dan mendapati sebuah cangkir berisi teh hangat berada di samping ponselnya. Ia pun semakin menegakkan tubuhnya dan melihat ke arah sekitarnya.
Pandangannya kemudian bertabrakan dengan mata Angkasa yang sedang memperhatikannya. Bahkan dia merasa tidak terganggu saat Muthia mendapatinya sedang memperhatikan dirinya, malah Muthia-lah yang merasa salah tingkah dibuatnya.
“Sejak kapan Bapak di situ?” Muthia berusaha menyembunyikan kekikukannya.
“Tidak lama,” jawab Angkasa. Tatapannya tidak beralih sedikitpun memandangi Muthia dengan seksama. “Itu teh buat kamu,” Angkasa menunjukkan cangkir yang berada di hadapan Muthia. “Minumlah.”
“Mail yang membuat?” Muthia menyebutkan nama office boy kantor. “Dia belum pulang juga?”
Angkasa menggeleng dan tersenyum kecil, “Aku yang membuatnya, dia sudah pulang dari tadi.”
Kening Muthia berkerut. Dia merasa heran. Ditelengkannya kepalanya sedikit dengan mata melirik ke arah cangkir teh yang sudah menggoda penciumannya itu.
“Dalam rangka apa?” selidik Muthia. “Ada guna-gunanya, ya?”
Angkasa tertawa lebar. Kesempatan itu dimanfaatkan Muthia untuk menghirup teh yang diperuntukkan padanya.
“Mut, jangan kebiasaan ngasal bicara,” tegur Juni. “Jaga tuh mulut!”
“Kan cuma bercanda, Jun…” Muthia berdalih. “Lagian Pak Bos juga gak marah. Iya, kan Pak?”
Perlahan Angkasa meredakan tawanya. Dia pun berdeham kecil sebagai tanda bahwa tawanya sudah berakhir.
“Jika bisa memenangkan hatimu secara wajar, kenapa harus dengan guna-guna?”
Muthia setengah terbelalak. Tiba-tiba saja rasa gerah kembali dirasakannya. Dadanya saja langsung berdegup kencang dengan pipi yang tiba-tiba memanas. Ya Tuhan, aku mohon pipiku jangan memerah. Dialihkannya pandangannya ke samping, bertingkah mengambil cangkir teh dan meminumnya lambat. Sempat dia mencuri pandang dari balik cangkir ke arah Angkasa, dan dia mendapati Angkasa sedang memandangnya lekat. Muthia semakin menundukkan kepalanya.
Sial, kenapa aku bertingkah seperti remaja bau kencur?!
Muthia meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja. berusaha untuk menguasai dan mengontrol dirinya. Samar, dia berusaha menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Dia harus mampu bersikap biasa. Kembali dia melirik Angkasa yang ternyata masih betah memandanginya.
“Bapak kenapa belum pulang?” Muthia berbasa-basi.
“Tadi menemani Juni,” Angkasa merubah posisi duduknya. Menyandarkan ke sandaran kursi. “Tapi, sebenarnya aku sedang menunggu kamu.”
Hati Muthia kembali menderu-deru. Refleks dia menggaruk kepala belakangnya. Jengah. Dia memalingkan kepalanya ke arah Juni. Sepintas dia melihat sudut bibir Juni yang tampak tersenyum, walau tetap mengalihkan pandangannya dari arah layar komputer.
Angkasa benar-benar tidak berusaha untuk menyembunyikan gombalannya. Dia mengatakan semua itu tidak dengan suara sangat pelan, yang hanya bisa didengar mereka berdua. Ia berbicara dengan volume suara yang biasa dan intonasi santai. Ahh, dia pasti sudah terbiasa melakukan hal ini pada semua wanita. Dia mengatakan hal itu tanpa beban.
“Jun, masih lama selesainya?” Muthia berusaha mengalihkan suasana.
“Bentar lagi,” sahut Juni tanpa memperlambat gerak kerjanya. “Kamu temani aja dulu Pak Angkasa.”
Bahkan Juni juga mendukung situasi ini. Dasar Kuccrut! Dia melah cengengesan.
Rasa canggung ini harus cepat-cepat dienyahkan. Muthia tidak ingin menjadi sosok yang terdesak oleh rasa malu seperti ini. Angkasa memang bosnya, dia juga mempunyai tubuh dan tampang yang hot, tapi bukan berarti dia bisa menggodanya seperti itu. Dan kenapa juga dia harus merasa tergoda. Tapi kharismanya memang susah tertolak. Shit, apa aku mengatakan hal itu?
“Apa Bapak akan berhenti memperhatikanku seperti itu?” serang Muthia.
“Ini kesempatanku untuk memandangimu lebih dekat, kenapa aku harus mengakhirinya?”
What, dia mengakuinya. Muthia mencengkeramkan tangannya ke kursi yang didudukinya. Benar-benar, Angkasa tidak berusaha untuk mengelak kalau dia memperhatikannya. Padahal Muthia sengaja melancarkan pertanyaan itu untuk menumbuhkan rasa tidak nyaman padanya. Eh, jawabannya malah membuatnya gemas.
“Bapak tau, kalau aku merasa tidak nyaman?”
“Saat kamu memandangiku begitu lekat, aku tidak merasa terganggu,malah menikmatinya,” Angkasa mencodongkan tubuhnya ke depan. Wajahnya kini sudah tinggal beberapa senti saja dari Muthia. “Kenapa kamu tidak menikmatinya saja sepertiku?”
Pikiran Muthia berteriak tidak karuan. Dia meringis. Ingin rasanya dia mencari kain gorden dan menyembunyi wajahnya sekarang juga. Tapi dia malah semakin tidak berani bergerak, bahkan hanya untuk menarik helaan napasnya saja rasanya dia harus melakukannya secara tertahan-tahan. ini benar-benar memalukan.
“Stop, Pak…” Muthia berusaha mengakhiri dominasi Angkasa. “Bapak sadar diri, malu sama istri Bapak.”
Berhasil. Angkasa menarik dirinya. Muthia bernapas lega.
“Well, kalau itu caramu untuk mengetahui bahwa aku sudah punya istri atau belum, aku belum memilikinya,” Angkasa tersenyum jahil. Dia mengerling nakal. “Aku juga belum punya kekasih.”
Pendingin di ruangan Juni sebenarnya bekerja dengan sangat baik, bahkan saat ini temperaturnya berada di enam belas derajat celsius, tetapi Muthia malah berkeringat. Dia merasakan beberapa tetes keringat menyusuri sela rambutnya di bagian pelipis. Tengkuk dan bagian belakangnya saja terasa lembap.
“Aku tidak bermaksud menanyakan hal itu…” sergah Muthia. Suaranya keluar dengan irama yang tersekat. Saat itu juga suara handphone-nya berbunyi mengeluarkan lagu When you tell me that you love me milik Diana Ross. Dia tahu siapa yang menelepon, lagu itu khusus di pasangnya untuk panggilan satu orang. Seperti layar smartphone yang menunjukkan nama My Dear.
Senyum Muthia lebar mengembang. Dia buru-buru mengambil ponselnya dan berlari ke luar ruangan. Sangat jarang El meneleponnya terlebih dahulu. Rasa rindu sudah begitu menyeruak di hatinya. Ini pasti jawaban dari rasa kangennya.
Perubahan yang sangat cepat. Tentu saja Angkasa menangkap ekspresi luar biasa bahagia yang dipancarkan dari wajah Muthia. Dia menggigit bibir bawahnya menimbang sesuatu. Jemarinya mengusap-usap dagunya beberapa kali.
“Siapa pacar Muthia, Jun?”
Hentakan jemari Juni pada keyboard terhenti sejenak. Dia merasa kaget dengan pertanyaan Angkasa, namun ada rasa geram juga dalam hatinya. Dia juga sangat hafal dengan deringan lagu itu milik siapa.
“Hanya lelaki yang tidak bisa menghargai Muthia.”
***