
by Titikoma

Ceritaku
Mereka perempuan-perempuan kekar negeri ini. Bertudung kain lusuh, berbalut baju penuh noda. Apa yang lebih penting dari kehidupan keluarga dibanding dengan kecantikan yang istimewa. Tak ada lagi kesempatan berbalur wewangian. Allahu akbar… Allahu akbar… Azan subuh berkumandang dari ujung mushola kampungku. Aku baru bangun setelah mama membangunkanku yang entah sudah berapa kali membangunkan. “Nada, Kana! Bangunnn!” teriak mamak membangunkanku dari arah dapur. Mamak sudah berada di dapur jauh sebelum azan berkumandang. Salat malam tak lepas ia tunaikan sebelum menghidupkan tungku di dapur. Meski sudah ada kompor, mamak enggan meninggalkan warisan leluhur, yang konon berakibat tidak baik. Mamak selalu bilang masakan dari atas tungku lebih enak dibanding dengan masakan di atas kompor maupun alat penanak nasi. Aku membangunkan Kana, adik yang hanya selisih dua tahun denganku. “Kana, bangun. Nanti dimarahin Mamak lho!” bujukku. Dengan malas aku menuju ke kamar mandi, dan tak lupa singgah sejenak di depan penghangat badan, api di dalam tungku yang sudah dibuat mamak. Bau asap yang menempel di baju maupun tubuh mungil ini aku tak peduli. Aku memainkan bara api dengan menggunakan salah satu kayu bakar. Aku tak pernah habis pikir di usiaku yang akan mendekati dewasa ini mengapa mamak tak pernah bangun kesiangan? Selalu mendahului kami. Menyiapkan segala kebutuhan pagi hari dan tradisi minum teh pagi. Aku menuju pancuran, mengambil air wudu. Serasa ada air es yang menerpa tubuhku. Salat adalah kewajiban yang ditanamkan bapak dan mamak. Bapak menjadi imam salat subuh kali ini, kami biasa selalu berjamaah karena mushola hanya terletak di samping rumah, meski itu juga bukan mushola keluarga tapi mushola umum. Mamak kembali ke dapur, melanjutkan tugas mulia yang sedikitpun tak pernah mengeluh karenanya. Bapak berada di ruang tamu, menyeduh teh dengan tangannya sendiri. Setahuku sudah lama mamak tidak membuatkan teh untuk bapak. Alasan bapak sederhana dan membuatku 2 jatuh cinta. “Pak, kenapa Bapak tidak mau dibuatkan teh oleh Mamak?” “Bukan tidak mau, Nada. Tapi, Bapak merasa tidak perlu dilayani sedemikian istimewa oleh Mamakmu. Mamak sudah terlalu sibuk, menyiapkan segala kebutuhan kita. Kalau hanya untuk membuat teh atau kopi Bapak bisa buat sendiri. Tidak perlu merepotkan Mamakmu, Bapak selalu yakin cinta tidak hanya selalu dibuktikan dengan secangkir kopi ataupun teh.” “Tapi Pak, katanya seorang perempuan itu harus melayani suami,” bantahku. “Bukannya Mamakmu lebih dari sekedar melayani? Mamakmu telah menemani Bapak bekerja. Harusnya Bapak membuat Mamakmu nyaman di rumah, mengurusmu dan mengurus dirinya. Tapi Bapak masih membiarkan Mamakmu ikut ke ladang, untuk bersama-sama dengan bapak motong[1] karet” jawab bapak, dengan sesekali melemparkan pandangannya ke arah foto keluarga berwarna hitam putih. Mamak keluar dengan membawa sepiring camilan pagi. Pagi ini mamak membawa sepiring kemplang. Kemplang makanan yang terbuat dari parutan ubi kayu, lalu agar bisa digoreng, parutan yang sudah diambil sarinya dicampur dengan tepung lalu digoreng. Mamak bisa membuat aneka camilan yang bahannya murah meriah dan selalu enak. Dari kerupuk legendar, kerupuk dari nasi sisa tapi belum busuk, yang dicampur dengan pengawet makanan yang bernama legendar dan beberapa bumbu dapur. Atau membuat nasi campur tepung sagu, dan rasanya tidak kalah dengan empek-empek Palembang. Mamak, entah sejak kapan aku memanggil ibuku dengan sebutan mamak. Terasa hangat dan indah di telingaku. Saat yang sama teman sebayaku ada yang memanggil ibunya dengan sebutan mama, mamah, ibu, bunda. Sepertinya dari awal memang mamak telah mengajarkanku dan Kana adikku untuk memanggil dengan sebutan mamak. Suatu saat aku pernah bilang dengan mamak, bahwa temanku ada yang memanggil mamaknya dengan sebutan ibu. “Mak, temanku manggil temannya dengan panggilan ibu lho.” “Terus kamu pingin manggil Mamak, ibu?” tanggap mamak terkekeh. 3 “Buat apa kamu manggil Mamak ibu. Mamak hanya petani karet, kerjaannya di ladang[2] kok mau dipanggil ibu. Panggilan ibu hanya untuk ibu-ibu pegawai atau orang kaya saja,” ucap mamak sambil terus mengaduk nasi. Mentari mulai meninggi, mengajak siapapun untuk terus berbenah diri. Mengajak siapapun untuk menggantung mimpi di langit yang tinggi. Menunaikan tugas dengan tulus hati. Bapak mengasah pisau sadapnya, sedang Kana sudah kupastikan hanya pura-pura mandi di sumur belakang rumah. “Kana sini, Mamak cek. Mandi beneran nggak?” mamak mulai mengecek suhu badan Kana. Hahaha dan kalian tau apa yang terjadi? Yang Kana mandikan hanya wajah, kedua tangan dan kedua kakinya saja. Tak ayal Kana mendapat jeweran pada telinganya. Aku sebagai anak tertua di rumah ini harus mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring, menyapu dan mencuci baju sendiri. Bukan karena mamak tidak mampu mengerjakannya, tapi mamak mengajarkanku untuk bertanggung jawab atas diriku sendiri dan memberi pelajaran bahwa perempuan itu harus terampil dan lincah. Aku mengenakan seragam sekolahku. Setelah memaksakan mandi dengan air sumur. Menimba airnya untuk mengencangkan otot tanganku. Nasi dan sayur sudah tertata di bawah tudung nasi. Aku sarapan dengan adikku, Kana. Sedangkan mamak membawa nasi untuk bekal ke kebun karet. Mamak dan bapak tidak terbiasa sarapan pagi, entah apakah mungkin sebuah kebiasaan masa lalu, di mana hidup begitu sulit kala itu? Aku memandang mamak, yang rapi dengan balutan kerudung cokelatnya yang sudah ada bercak getah karet. Memakai baju lengan panjang dilengkapi celana oblong panjang dan sepatu boot. Tak lupa tas gendong berada di atas punggungnya yang sudah begitu banyak menanggung beban. Sesendok nasi dan sayur kangkung pagi ini serasa tersedak di tenggorokanku. Aku mengerti betapa cinta mamak pada kami melebihi rasa cinta pada dirinya sendiri. Bagaimana Tuhan menciptakan hubungan yang indah pada kami. Aku menyalami mamakku yang akan ke ladang duluan. Ya, aku dan Kana yang melepas kepergian mamak dan bapak. Bukan mamak yang mengantarkan kami hingga depan pintu ketika kami akan sekolah. 4 Aku mengerti bahwa ada banyak cinta di dunia ini. Cinta yang kadang lebih terasa dari sebuah sikap dan dari hanya sekedar kata-kata. Seperti ribuan gerak yang sudah mamakku buat untukku, untuk Kana dan untuk bapak, itu cinta yang tak bisa aku balas, meski akan kusuguhkan segunung emas maupun permata. Di kampung ini, ibu-ibu yang berprofesi sama dengan mamakku tidak hanya sedikit. Hampir semua ibu-ibu di sini akan menuju ladang karet t iap paginya. Sibuknya, sukarnya aku percaya tidak jauh dari kesibukan mamakku, menyiapkan segala kebutuhan keluarga di rumah. Pada pagi hari rumah-rumah akan tertutup pintunya dikarenakan tak ada pemiliknya di rumah, sedangkan anak-anak mereka sekolah, dengan harapan kehidupan mereka menjadi lebih baik dibanding dengan kehidupan orang tuanya. Aku mengenakan seragam abu-abuku. Aku berada di tingkat terakhir di salah satu sekolah di daerah ini. Artinya tahun ini adalah tahun terakhirku di sekolah. Aku dan Kana menunggu mobil datang. Bukan mobil pribadi tapi mobil angkutan umum yang membawa kami ke kota. Sedangkan mamak dan bapak menuju belantara hutan karet untuk membiayai sekolahku dan Kana. [1] Motong adalah istilah untuk menyadap karet, yakni proses mengambil getah dari batang karet. [2] Ladang adalah sebutan lain untuk kebun karet. 5 LAKI-LAKI ITU BERNAMA SAKHA Sepanjang perjalanan menuju sekolah berjejer rapi pohon karet. Jalan yang kami lalui bukan jalan aspal halus. Tapi jalan aspal yang sudah penuh lubang, entah kapan terakhir kali ada perbaikan untuk akses jalan ke kampungku. Rompok nama daerah yang terkenal rawan di kampungku. Tidak sedikit warga yang telah menjadi korban di sana. Aku kini melewatinya, daerah terawan di sini. Jalan rusak parah, tak ada satupun rumah di sini. Di kejauhan aku melihat motor Satria berwarna hitam akan mendahului mobil tambang yang kami naiki. Dia anak bos getah karet kampung ini. Ya, dia satu sekolah denganku. Sakha namanya, anak konglomerat kampungku. Juragan tanah yang tanahnya berhektar hektar, bisa dipastikan ladang karet milik warga setengahnya milik orang tua Sakha. Tak heran jika teman seusianya menggunakan angkutan umum kalau dia menggunakan motor pribadi. Aku masih menikmati semilirnya angin kampungku. Kampung harapan semua warga, di mana kami menyambut mentari tentang rindu dan cinta, tentang mimpi dan doa. Seperti aku memandangnya pagi ini. Memandang punggung kekar memangku tas ransel hitam miliknya. Pandanganku semakin kabur bersama angin yang menerpa wajah bulatku. Hari semakin siang, kembali ke rumah adalah harapan yang paling nyata ada dalam pandangan. Sudah kubayangkan sayur santan dan gorengan ikan asin buatan mamak melayang-layang di depan penglihatan. Kulirik Sakha masih asyik dengan buku yang entah apa judulnya. Mataku semakin berat di jam terakhir kali ini. Apalagi kami diberi tugas oleh guru kami yang tengah menjalani dinas di luar kota. Mataku sayu, dan mulai kuletakkan kepala di atas meja. Brakkkkk!!! Kudengar suara membangunkan tidurku dengan paksa. “Pulang nggak? Kamu ketinggalan mobil angkutan tuh,” ujar Sakha di hadapanku tanpa menatapku. Spontan aku kabur mengejar mobil angkutan satu-satunya, tak menghiraukan Sakha. Parahnya Kana yang satu sekolah denganku tidak mencari kakaknya yang notabenenya aku saudara kandungnya… haha. Adik atau apa sih dia? Pikirku tak ada habisnya. Ini bukan yang pertama 6 kali aku ditinggal angkutan umum. Takdir buruk siapa yang bisa menolak? Akupun sama, siang ini mobil angkutan meninggalkanku. Kurogoh saku baju, hanya tersisa dua lembar uang seribuan. Uang itu tak akan cukup membuatku pulang dengan ojek pengkolan pasar. Aku terus menyusuri trotoar jalan yang tak apik lagi. Sayup namun pasti kudengar suara motor Satria milik Sakha, dengan gagah dan enjoynya dia meninggalkanku. Aku tak sakit hati karena aku pernah menolaknya saat aku tertinggal angkutan umum tempo hari. Tak ada alasan yang pasti, aku hanya tak biasa dibonceng motor oleh cowok, apalagi Sakha. Sambil terus memainkan ujung tas, aku berjalan tanpa melihat ke arah depan. Gedubrakkkkkss… aku menabrak Sakha. Menabrak punggungnya yang sedang menggendong tas besar. “Nada kamu nggak lihat? Aku sedang isi bensin?” ujarnya panik dan dingin, terlihat ada bensin yang tumpah di bajunya. Segera ia lepas baju putih yang menyisakan Sakha dengan kaos pendek berwarna putih dan melempar bajunya ke arahku. “Cuci bajuku, dan antar ke rumahku” ujarnya penuh amarah. Aku masih tertunduk. Bagaimana bisa aku berurusan dengan anak gedongan seperti Sakha. Argghhhh… Sepulang sekolah, nasi tak lagi terasa ingin kumakan. Selepas salat zuhur, langkahku menuju kali pinggir kebun karet milik warga. Meski sudah ada sumur, warga tetap memilih mencuci di sungai karena tidak perlu capek menimba air. Begitupun denganku, aku memilih ke sungai untuk sementara menjadi dewi air yang sedang nyuci baju. Entahlah mungkin warga akan menganggap mencemari lingkungan karena busa sabun dari pencucian baju. Tapi, di sana aku menemukan kebersamaan dan keindahan yang mungkin tidak dimiliki warga lain. Baju satu keluarga sudah ada di dalam ember, pun dengan baju putih milik Sakha sudah ada di sana. Akan kurendam ia dengan pemutih dan akan kusiram pewangi banyak-banyak. Biar dia menyangka bahwa aku memang benar-benar wanita, meski sebenarnya aku agak tomboi hahaha. Aku terkekeh sendiri melihat bayanganku di permukaan sungai. Banyaknya ibu-ibu mencuci baju pun tak kuanggap ada, serasa aku sedang dilanda rasa gila. 7 Sabun Kompas batangan benar-benar tidak mirip sabun, bagaimana bisa mamak hanya menyetok sabun batangan yang sama sekali tidak harum, meski busanya juga melimpah. Tapi tak apa, pewangi satu renteng sudah kuambil dari lemari, pewangi pun hanya digunakan untuk baju-baju tertentu. Sementara aku menyelesaikan cucian satu ember, aku jemur baju Sakha pada batang kecil pohon karet. Kaki kecilku menyibak ilalang hijau, sesekali ada yang sedikit perih di kakiku akibat goresan ilalang yang lumayan tajam, meski rok panjang sudah membalutnya. Angin tampak menerpa baju anak terkaya di kampung karetku. Betapa tekstur kain miliknya dan milikku sungguh bagaikan langit dan bumi perbedaannya. Aku mengerti terpaan cobaan dalam hidupnya sebagai anak bos karet kampung ini, seperti terpaan angin pada baju putihnya. Meski di kampung, Sakha memiliki perpustakaan pribadi yang sangat luas dan banyak koleksi buku bacaannya. Sedangkan aku hanya bisa membeli buku setahun sekali, itupun kalau dapat angpau saat lebaran. Di toko buku tengah pasar milik Pak Firman. Toko buku satu-satunya di daerah sini. Tentunya dengan harga yang sangat tinggi. Setiap habis lebaran toko ini penuh dengan siswa sma sepertiku, siswa berkecukupan, tidak berlebih. Sebelum matahari tenggelam aku harus sampai rumah Sakha. Aku mengayuh sepeda karatan milik bapak. Sepeda ini bersejarah, sejarah perjalanan keluarga menuju ekonomi yang lebih baik. Hingga akhirnya tahun 2000 bapak bisa membeli sepeda motor pertamanya, yakni motor Kharisma. Kukayuh sepedaku dengan lamban, masih ingat bagaimana aku harus membersihkan baju Sakha sendiri di sungai pinggir kebun karet. Sesekali dedaunan pohon berharga ini mengenai lenganku. Teringat adegan saat kecilku setiap kali kejatuhan daun karet, maupun daun pohon lainnya setelahnya diludahi. Karena akan mendatangkan malapetaka. Entah yang mempopulerkan berita mistik tersebut pada anak-anak usia kecil kami. Kini aku membiarkannya, mencoba merasakan guratan demi guratan daun karet yang telah banyak memberi jalan pada warga ini. Rumah Sakha tetap bisa terlihat dari balik pepohonan karet yang ditanam pada pekarangan rumahnya. Rumah itu paling indah dan mewah di perkampungan karet ini. Selain Sakha, aku adalah saksi hidup proses bisnis keluarga Sakha. Dulu sekali ayah Sakha memulai bisnis sebagai penjual 8 sayur keliling, hingga beberapa tahun kemudian keluarganya mendirikan warung kecil di rumah. Hingga waktu semakin merangkak maju, usaha dan bisnis orang tua Sakha tidak bisa dibendung. Toko selalu bertambah t iap tahunnya. Mobil truk untuk mengangkat getah sudah berpuluh puluh. Mobil pribadi? Jangan tanya, Sakha pun sudah memilikinya, konon katanya uang dari hasil membantu orang tuanya ia tabungkan dan menjadi wujud mobil pribadi. Berbicara masalah tanah, orang tua Sakha adalah juragannya, setiap ada warga yang ingin menjual ladangnya, jika ditawarkan pada orang tua Sakha sudah bisa dipastikan bakal diambil tanahnya dengan penawaran berapa pun, selama tidak melebihi jauh harga pasaran. “Permisi Pak, Sakhanya ada?” aku bertanya dengan tukang kebun milik keluarga Sakha. “Tuan Sakhanya masih di pabrik Neng. Ada yang perlu Bapak bantu?” Pak Ujang menawarkan bantuan. “Gini Pak, tolong ini berikan pada Sakha ya,” aku menyerahkan paper bag berisi baju Sakha yang sudah wangi dan selesai kusetrika. Tidak lama kemudian aku undur diri. Kukayuh sepeda tua melewati jalan berlubang menuju rumah. Angin menerpaku dengan sangat kencang. Sekencang degupan jantungku karena dikejar kawanan anjing milik Pak Yuri. Benar saja mereka benar-benar marah padaku, hingga aku mengeluarkan tenagaku untuk menghindari anjing yang lebih mirip dengan serigala. 9 JALAN MERAH Perjalanan menuju kebun karet harus melalui jalan bertanah merah. Nyawa tak jarang banyak terkorbankan karena ulah manusia yang mengaku bertuhan namun tak berperikemanusiaan. Kampungku sedang gempar karena ketidakamanan ketika warga akan menuju kebun karetnya. Begitupun aku merasa was-was dengan kondisi emak dan bapakku yang harus melewati jalan merah yang cukup panjang menuju ladang ini. Pagi itu bapak dan mamak sudah siap ke ladang. “Mau ke ladang Mak?” “Iya, ke mana lagi. Sumber utama ekonomi kita dari kebun karet,” mamak menjawab sembari memakai sepatu ladangnya. “Dari desa kan sudah dihimbau untuk tidak ke ladang dulu Mak?” “InsyaAllah nggak masalah, Da. Niat yang baik, akan mendapat perlindungan terbaik. Pasrahkan semua pada Allah,” Bapak menyambut. Aku melesat menuju kamar, mengganti bajuku dengan pakaian ke ladang. Mamakku begitupun sama dengan mamak-mamak anak di daerahku. Tiap harinya menuju ladang karet. Berbaju buruk yang harusnya ia tanggalkan. Jalan menuju ladang belum ada pembangunan di sepanjang jalan. Jalan masih beralaskan tanah merah, kau tahu jika musim penghujan tiba? Kau harus super hati-hati melewatinya, oleng sedikit ban motormu akan tergelincir tanpa bicara sebelumnya. Hari ini aku ikut ke ladang bersama mamak dan bapak. Hari Mingguku bukan berjalan mondar mandir mengelilingi mal, tapi senam jantung tepat di belakang mamakku. Sedangkan bapak di depan sendiri dengan motornya membawa peralatan memanen getah. Aku di belakang mamak memeluknya dengan erat, bau khas badannya memaksaku untuk terus mendekapnya penuh lekat. Kukencangkan pegangan saat motor kami mulai melewati jalan licin nan curam. Jantungku semakin cepat berdegup, saat motor kami meliuk-liuk melewati jalan merah ini. Dari arah kaca spion tampak dua orang pengendara motor dengan menggunakan helm serba tertutup. “Mak, sepertinya ada orang yang mengikuti kita,” aku semakin erat memeluk mamak. Mamak sedikit mulai mengawasi pengendara di belakangku melalui kaca spion. Hingga tidak lama kemudian, mamak menambah kecepatan motornya di jalan licin ini. Tempat ini emang 10 incaran para perampok, tidak sedikit warga yang menjadi korban, aku pun tak pernah menyangka akan menjadi salah satu target. Mamak semakin tak bisa mengendalikan kecepatan motor yang kami tumpangi. Bapak pun sudah menghilang dari penglihatan. Entah sudah berapa ratus tahmid dan tasbih kukulum dalam pasrah. Hingga dengan t iba-tiba mamak menginjak rem motor. Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttt… Kami berhenti saat ada kerumuman orang di pinggir jalan karena ada truk macet. Kutatap lekat wajah bapak di sana masih mencoba membantu mobil yang tidak bisa bergerak. Dari kejauhan tampak dua pengemudi motor tadi tampak kebingungan dan menepikan motornya di kebun karet milik orang, dan kami pun tak pernah bisa menyaksikan siapa pelakunya. Jalan ini tanahnya bertekstur padat dan berwarna merah, jika hujan tiba jalan ini akan sangat licin. Jadi sudah menjadi hal yang tidak mengherankan jika tiap hari ada saja mobil truk ataupun mobil Jeep yang tidak bisa melanjutkan perjalanan dan harus melalui bantuan dari para laki-laki kokoh kampung karet ini. Medan yang curam dan identik terjal juga dimanfaatkan oleh para aksi penjahat curanmor. Maupun pencurian hasil ladang milik warga. Ada isu bahwa jalan merah ini akan dijadikan jalan utama untuk pengangkutan batu bara di Kecamatan Limun. Hingga bisa saja jalan ini diperbaiki dan akan mempermudah warga menuju ladang masing-masing. Namun sepertinya kabar itu hanya sekedar kabar angin, yang akan berlalu begitu saja. Kami melanjutkan perjalanan yang memacu adrenalin ini. Sesekali ada beberapa batu besar sengaja diletakkan di tengah jalan maupun di pinggiran jalan untuk menahan tanah merah agar tidak menjadi kubangan air dan berlubang yang akan menyulitkan petani karet terutama para pemilik mobil besar. Motor yang kami tumpangi sudah sampai di ladang. Tampak beberapa orang membersihkan bagian ladang milik bapak yang tepat di pinggiran jalan. Ternyata ada yang membuat jalan darurat tanpa permisi dipindah ke tanah milik bapak. “Lho Bang, kenapa jalannya pindah ke tanah saya?” 11 “Jalan utama rusak parah Pak, jadi sementara pindah ke tanah ini,” jawab salah satu dari mereka. “Ya nggak bisa gitu dong Bang. Meski untuk kepentingan umum harusnya ada izin dulu dari pihak Abang. Nggak main serobot aja,” bapak berargumen. Suasana semakin memanas, padahal gumpalan awan hitam tampak menggantung di bibir langit. Yang membuat jalan merah ini semakin parah tak terbendung, ya akibat para pemilik mobil besar. Harusnya orang yang lebih kaya tidak melakukan hal demikian pada orang yang lebih lemah. Lebih-lebih yang bermasalah dengan bapak ini penduduk asli tanah ini. Sedangkan keluarga kami berkumpul dalam naungan suku Jawa. Ada banyak kabar beredar bahwa penduduk asli secara turun-temurun merasa bahwa tanah nenek moyang mereka direbut oleh para pendatang yang melalui program transmigrasi. Jadi hal seperti ini bukan hanya kali ini saja, entah hanya kebetulan semata, masalah selalu saja melibatkan orang luar dan orang dusun. Sebutan dusun sebagai julukan warga keturunan asli tanah karet. 12 REZEKI YANG TERTUKAR Rezeki sudah dituliskan pada setiap insan, sejak 4 bulan di dalam kandungan. Jangan pernah takut porsi rezekimu berkurang karena kehilangan. Karena Allah akan memberikan rezeki lain dari arah yang lain pula. Siang itu adalah jadwal bapak dan mamakku memanen getah di ladang. Cuaca sangat bersahabat meski harga getah semakin jauh dari harga 10.000. Nominalnya terus saja menurun ke nilai 6000-7000 rupiah. Keadaan ini membuat petani karet harus banyak bersabar. Karena keadaan harga yang terus menurun, banyak warga yang harus menjual ladangnya karena harus menutup utang tertentu, yang biasanya utang bisa mengandalkan hasil panen karet. Bos getah kampung ini juga turut serta menentukan harga karet, banyak isu yang beredar harga getah murah karena bos getah lagi banyak utang yang harus dicicil. Bos getah itu ayah Sakha. Terlepas dari segala isu yang beredar, aku sama sekali tidak mengerti mengapa harga getah tidak naik-naik juga, padahal sudah lewat dari satu tahun. Murah atau pun mahal getah karet para petani karet juga harus ke ladang, menyadap karet untuk menghidupi keluarganya. Menghidupi keluarga banyak macamnya, seperti bapak dan mamakku yang pergi ke ladang, atau mereka yang bekerja di kantoran. Mamak sudah sampai di ladang. Diletakkannya bekal makan yang dibungkus dengan daun pisang. Hingga tidak lama kemudian. “Bapaaakkkkkk…” Mamak menjerit memanggil Bapak “Ada apa Mak? Pagi-pagi kok udah teriak-teriak!” “Ya Allah, Pak…. getah kita diambil orang,” Mamak mulai berlarian mencoba memeriksa wadah lainnya. Bapak pun sama berlarian, mengelilingi semua area ladang untuk memastikan bahwa ini hanya mimpi atau memang benar kenyataan. Benar saja semua getah di dalam mangkoknya sudah tak ada sisa. Mamak terduduk lesu di bawah pohon karet, tak ada air mata di sana, tapi bapak menyadari kegelisahan istrinya. “Sudahlah Mak. Biarkah saja, memang bukan rezeki kita.” 13 “Pak, kita harus bayar koperasi minggu depan. Belum lagi dengan utang harian kita pada bos getah,” Mamak mulai serak. “Mak, jangan ragukan Allah yang telah membuat kita hidup dengan baik sejauh ini. Masih untung hanya getah kita yang hilang, daripada dengan ladang milik orang lain yang habis terbakar karena ulah orang yang t idak bertanggung jawab,” bapak mulai ceramah panjang. Mamak mulai tersadar, diiringi istighfar panjangnya dengan lirih. Setelah mamak dan bapak tidak jadi memanen getah, kabar sama pun terjadi pada tetangga kebun. Getah mereka sama-sama raib, dirampas orang yang entah apa motifnya. Kabar ini memicu emosi warga, dan melaporkannya kepada polisi pendamping desa. Karena warga benar benar seperti dijajah, beberapa waktu yang lalu pun dua sepeda motor diambil paksa oleh pencuri yang masih berada di jalan padat penduduk.