separuh dzrah
Separuh Dzrah

Separuh Dzrah

Reads
55
Votes
0
Parts
4
Vote
by Titikoma

Memulai Kenangan

 Magrib kali ini menjadi magrib pertama bagiku setelah 8 tahun aku melanjutkan mondok di Pulau Jawa. Kedatanganku karena Umi dan Abah memintaku untuk menemui beliau di pesantren. Sebelum aku menemui keduanya, aku keliling asrama barang sekejap. Di sana pun aku merasa agak canggung berada di tengah para santri. Serasa semua ratusan pasang mata itu menyerbuku. Benar saja pesantren pertamaku ini sudah banyak berubah. Dulu pesantren ini hanya memiliki tiga ruang kelas yang terbuat dari papan, berlantaikan semen sekadarnya. Sedangkan jendela pun apa adanya, dibuat dengan tujuan agar ayam tidak masuk, ditutup menggunakan beberapa bambu yang sudah dipotong mirip membuat pagar, jeruji bambu pun dijadikan tirainya. Keinginanku mondok hanya karena melihat Abah kyai mengaji di masjid kampung. Aku merasa ada magnet tersendiri yang membuatku akhirnya memilih Nurul Jadid menjadi pesantren pertama. Tak banyak cita-cita, aku hanya ingin menjadi guru agama seperti bapak, yang mengajar ngaji di masjid kampung. Masih terekam dengan jelas saat aku harus menangis ketika tidur malam mulai menjelang. Aku peluk foto mamak dan bapak sebagai penekan rasa rindu yang menggebu. Anak lulusan SD sepertiku tak pernah menyangka kalau mondok tak semudah kata guru ngaji di surau. Aku harus tidur di atas lantai dingin, yang kini semua sudah tersulap dengan kasur tebal nan empuk. Mandi harus antri, makan semua dibatasi. Tetes air mata selama kurang lebih 1.095 hari selalu mengiringi saat kedua orang tuaku menjenguk ataupun saat aku pulang ke rumah. Aku ke pesantren menggunakan mobil angkutan umum desa yang menuju daerah terdekat pesantren, sepertinya mamak yang tengah mendekapku erat belum juga ikhlas melepas anak pertamanya. Bayangan itu terus menyesaki pikiranku, meski saat ini aku sudah akan mengerjakan salat magrib. Allohu akbar-Allohu akbar… Aku terkesiap saat iqomah mulai dilantunkan santri putri, dan seorang ustadz menjadi imam. Ia mulai mengangkat tangannya beserta takbir 3 panjangnya. Sedangkan beberapa santri di belakang masih saja ribut dengan senangnya. Ya semua mulut berbicara, dan baru akan berhenti saat surat Al fatihah mulai menuju penghujung surat.. Saat salam terakhir dalam salat mulai terdengar, di sana juga akan mulai terdengar suara mirip orang jualan ikan asin di pasar singkut, pasar terbesar dan teramai di Kabupaten Sarolangun. Meski dengan lantangya sang imam salat memimpin wiridan, tak mampu memusnahkan suara suara saling berbisik dari para bibir santri putri. Ada juga yang memilih menidurkan mulutnya meski matanya tak tertidur. Diam bagai patung bernapas, sedang di sisi lain tepat di depang tiang musala santri putri terhuyung-huyung karena didera kantuk hebat. Padahal sebelumnya ia tidak merasakan kantuk yang berarti. Ia merasa diguna-guna saat wiridan mulai dibaca dan merasuk dalam telinganya. Sedangkan aku hanya mengikuti wiridan yang sama sekali tak berubah di pesantren pertama ini. Sesekali aku hanya bisa memandang anak-anak dengan berbagai sikapnya. Tak ada yang mengenaliku, sepertinya aku sudah terlalu tua, jadi anak-anak yang pernah menemuiku dulu tak lagi di sini. Tanah ini, tiang-tiang penyangga ini mengenalinya dengan baik. Saat badan kecilku berada di majelis ilmu pertama. Malam semakin larut, pengajian malam sudah mulai usai. Sedang Karima masih berada di kamar adiknya, menunggu waktu sowan ke Abah Yai. Entah mengapa saat sowan ke ndalem aku merasa seperti kerbau yang dicocok hidungnya, tak bergerak tak banyak bicara, kecuali Abah dan Umi menanyakannya terlebih dahulu. Itulah yang ia rasakan dan lakukan selama ini. “Nduk, sampean mau ngajar di sini?” Umi menawarkan padaku agar turut mengajar di pesantren. Aku dilanda rasa bingung, untuk saat ini aku hanya ingin bersama kedua orang tua. Setelah sekian lama sekolah, aku pikir kinilah saatnya aku mendermakan sedikit bakti pada kedua orang tua yang telah mengasihi. Meski begitu, Abah dan Umi pun sudah seperti kedua orang tua untuknya. Kepalang tanggung, aku hanya bisa berucap. “Belum tahu Umi, saya sudah melamar mengajar di kampung,” aku menjawab pertanyaan Bu Nyai kharismatik tersebut dengan gemetar. 4 “Oh, ya sudah. Besok kalau mau ngajar di sini tinggal bilang dengan Umi dan Abah,” runtuh sudah seluruh keringat ini. Bagaimana guru bisa sebaik itu, meski darah tak bersambung, mungkinkah karena hati yang terus terulur lalu membaur? Aku paham, yang perlu gadis sepertiku lakukan adalah segera pulang dan membawa kabar ini kepada kedua orang tua. Motor Vario merah aku tarik gasnya dengan keras. Saat bersamaan awan hitam mengikuti dengan nyaman. Sedang jauh di depan sana, angin mulai menyapu pohon karet yang berjajar rapi di pinggiran jalan tak beraspal. Kadang aku berpikir, ingin menjadi Dewan Perwakilan Rakyat saja agar tanah di mana aku dilahirkan ini bisa merasakan jalan beraspal. Namun, jangankan menjadi anggota legislatif, untuk menjadi guru honor kontrak daerah saja siapapun harus berani membayar puluhan juta, tepatnya di angka dua puluh juta ke atas. Aneh bukan? Di tanah penghasil karet terbesar di Indonesia ini, harus mengemis ke pejabat pemerintah agar mendapatkan gaji tetap bulanan. Jika ingin kaya di tanah ini, cukup kau goreskan pisau sadapmu pada ribuan bahkan triliyunan pohon karet tanah ini. Jika ingin mendedikasikan diri menjadi guru, maka terimalah dan belajarlah tulus atasnya. Karena apa? Engkau akan menemukan saat tetesan keringatmu tak lagi menjadi tetesan uang. *** 5 Aku bingung memilih mengajar di kampung atau di pesantren. Kebingunganku harus menolak salah satu orang-orang yang aku hormati. Meski begitu, ada banyak pilihan di dunia ini. Kita pun harus memilihnya dengan tanpa tawaran, pun terkadang ada banyak keadaan yang membuat manusia tidak bisa memilih, apalagi memaksa. “Mak, gimana nih. Umi menawariku mengajar di Nurul Jadid?” aku tak tahan untuk menyampaikan gundah gulana ini. “Bagaimana lagi Nduk, Mamak sudah bilang dengan Bu Harsono supaya membantumu bisa masuk ke SMP Mekar Sari.” “Ya, sudahlah Mak, saya ambil yang di sini saja dulu,” tutupku. Pada titik inilah kisahku pada masa lalu sedang dimulai kusampaikan pada kalian. Bagaimana aku melarikan diri ke tanah Jawa, hingga pada akhirnya kembali ke Sumatera. Pergilah untuk menuju cahaya Cahaya yang selama ini kau nanti Terbanglah menuju mimpi Naikkan doa pada pemilik langit dan bumi Ketika badai datang menghadang Tetaplah di sana menyelesaikan segalanya Hanya pada Tuhanmu lah tempatmu mendoa


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices