separuh dzrah
Separuh Dzrah

Separuh Dzrah

Reads
60
Votes
0
Parts
4
Vote
by Titikoma

Chapter 4

 Menyeberang Pelabuhan Bhakauni adalah hal yang siapapun menyukainya, kecuali aku yang sejak tadi kaki ini bergetar. Bagaimana t idak jika ini adalah kali pertama aku menunggangi kapal feri, jikapun pernah itu saat aku di dalam kandungan dan bayi umur 4 bulan. Itupun sejarah dari kakek. Namun keindahan laut yang memisahkan Sumatera dan Jawa ini begitu menyilaukan matan yang tak sipit namun begitu bundar seperti orang yang tiap hari melotot. Begitu yang sering kawan-kawanku bilang. “Woi Karima, biasa sajalah kalau nengok awak. Macam orang marah bae,” kata anak asli kampungku, yang menggunakan bahasa kental daerahnya. Namun aku adalah gadis pendiam, tak mudah menyesuaikan diri dengan tempat baru. Jika pun aku harus pindah haluan menuju Jawa adalah pilihan yang sulit dan menantang. Di usia yang baru menuju 14 tahun, bukanlah hal mudah melepaskan diri di pulau orang. Meski masih sama Indonesia. Namun bapak selalu bicara, janganlah susah jika berjauhan dengan orang yang kau cintai, jika tujuanmu mulia menuntut ilmu. Percayalah kau masih berada di bawah langit yang sama dan berada di atas bumi yang sama. Kita masih bisa bertemu dalam balutan-balutan doa malam nan panjang. Darinya jangan merasa sendirian di atas muka bumi ini, karena setiap orang yang kau temui adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Itu artinya kalian bisa berbagi cinta dan bantuan tanpa melihat mereka dari mana asalnya. Lebih-lebih kalian mempunyai kesamaan negara, bukankah akan membuat kita merasakan kebersamaan. Hari kian menepi, sedang sedari tadi aku belum berhenti memuntahkan semua yang ada dalam perut. Meski sebenarnya sudah tak ada apapun dalam lambung ini yang bisa kumuntahkan. Aku adalah penderita mabuk t ingkat nasional. Bagaimana tidak, hanya mendengar akan naik mobil atau sejenis dengan mobil aku akan muntah-muntah terlebih dahulu, jauh sebelum kaki menaiki mobil. Jika sudah sampai di mobil, siaplah aku bernapas menggunakan mulut, t idak menggunakan hidung karena aku benar-benar tidak tahan dengan bau mobil. Maka selama 2 hari perjalanan ini aku sudah menghabiskan 11 berkantong-kantong plastik, hanya untuk menyalurkan hobi mengenaskan, mabuk. Kalian bisa tebak, hanya dengan naik bis dan mabuk, aku bisa kehilangan berat badan hingga 2 kilo. Padahal untuk menaikkan berat badan satu kilo saja aku harus melakukan usaha yang luar biasa. Aku selalu percaya bahwa mabuk adalah penyakit turunan dari mamak. “Bapak, saya lebih seneng jika bis ini macet di jalan,” aku bicara pada bapak sambil berbisik ketika bis berhenti di rumah makan. “Huss, ngomong kok nggak dijaga. Gimana nanti kalau ada yang denger, bisa diturunin tengah jalan kamu!” Bapak mengacak kerudung bagian depan milikku, lalu tawa tampak riang di sana. Aku memang aneh, meski aku mabuk akut di mobil, jika turun bis aku sudah bisa lari kencang. Langit biru ini sudah berbeda dengan langit yang kupandang sebelumnya. Bis sudah berhenti di Terminal Wates. Untuk mengusir mual dan pusing, aku diajak membeli bakso oleh bapak. “Ayo di makan baksonya, biar segeran dikit.” “Iya Pak, seger nih,” ujarku sambil mengunyah bundaran bakso tersebut. “Karima, mendaftar sekolah itu seperti kamu membeli bakso ini. Jika kamu tidak menghabiskannya, kamu yang rugi. Habis atau tidak habis, kamu harus tetap membayarnya. Sama juga dengan sekolah, jika kamu t idak bisa betah di sini, kita yang akan rugi. Rugi waktu, rugi biaya dan rugi kesempatan. Darinya, betah-betahlah di sini, ya nak,” bapak memberikan nasihat yang lebih panjang daripada biasanya. Di sudut mata besarku menitik tetesan bening. Aku sadar bahwa setelah ini, aku harus berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. *** 12 Ya, jalan di sini lebih lebar daripada jalan tanah di kampung, pun banyak lampu merah di sana-sini. Selama di kampung aku tak pernah menemukan yang namanya lampu merah. Bukankah itu sangat tragis? Untuk pertama kalinya aku bisa melihat pesawat dalam jarak yang lebih dekat dibanding di kampung. Jika dikampung aku hanya bisa melihat pesawat kecil nyaris tak tampak karena tertutup awan, sambil berteriak minta uang bersama teman teman. Ah aku memang tak pernah mengerti bahwa tak ada satupun penghuni pesawat yang bakal mendengar ocehanku ini. Sedang di tanah keraton ini aku bisa melihat pesawat dengan jelas, dan suara yang lebih keras. Tower, untuk pertama kalinya aku bisa melihat tower berterali besi di dekat pesantren yang bakal aku tinggali. Untuk pertama kalinya juga aku bertemu dengan orang-orang baru, dari berbagai daerah negeri ini. “Hai, anak baru ya? Siapa namanya Mbak” salah satu santri berkerudung merah menyambutku dengan gembira. Belum sempat menjawab sudah berhamburan santri yang mendekati. Secara bergantian mereka bersalaman dan menyebutkan namanya. Itu pun percuma, karena aku t idak mungkin mengingatnya. Namun, ada rasa bahagia dalam hati ini, bahwa kehadiranku di tempat ini diterima dengan sangat baik. Lalu aku pun bergegas mandi, bergegas t idur karena esok aku sudah harus mendaftar sekolah yang berada di luar pesantren. Sedangkan bapak tidur di ruang tamu pesantren. Ayah, genggamlah tanganku sampai akhir Mencari keindahan dunia yang pernah kau kata Meski jangan sekali-kali kau lupa Bahwa dunia ini fana Ayah, bagaimana aku bisa melupakan segala cintamu Jika cintamu telah menyatu dalam darahku Maka biarkan aku menjadikanmu Tumpuan kekuatan tanpa batas waktu 13 MENDAFTAR BERSAMA BAPAK Pagi-pagi sekali aku sudah siap dengan seragam putih biru milikku. Bapak yang menginap di kamar tamu sudah menunggu di depan gerbang pesantren lebih awal. “Gimana Karima? Tidurnya nyenyak?” “lumayan Pak, nyamuknya tidak sebanyak nyamuk di kampung,” kami tertawa bersama. Menuju calon sekolah yang hanya beberapa meter saja jaraknya. Aku melihat gedung bertingkat dengan cat merah hati dipadukan bagian atas cat berwarna cream. SMK Tamansiswa, konon sekolah ini dulu diprakarsai oleh pahlawan pendidikan nasional, meski ini sekolah cabang. Tampak patung Ki Hajar Dewantara terpasang megah di dekat gerbang sekolah. Calon siswa baru juga mulai berlalu-lalang, namun ada hal yang aneh yang bisa aku rasakan. Bahwa mereka, anak-anak yang sedang mendaftar t idak lagi diantar orang tuanya, namun bersama teman-teman sebayanya. Saat sampai di meja pendaftaran semua mata tertuju padaku, bukan karena aku terlalu cantik tapi karena ada pemandangan aneh, aku bersama bapak. Saat yang sama, yang lainnya mendaftar bersama teman temannya. “Pak, boleh minta formulir pendaftaran?” bapak meminta form pendaftaran pada petugas. Perkara form pendaftaran saja aku tak berani meminta, bukan karena aku gagap tapi karena aku masih terlalu dini untuk berpisah dengan bapak. Kubaca tuntas formulir pendafataran, ada berbagai jurusan di sana. Salah satunya ada teknik otomotif, pikirku di sana akan banyak cowok ganteng dan kece. Aku segera menyadarkan diri, mengarahkan ujung pena pada pilihan Manajemen Bisnis Akuntansi. Yah, itu jurusan yang pada akhirnya kupilih, meski aku sama sekali tak pernah berpikir akan mengambil jurusan aneh ini. Jurusan yang selama ini terekam hanya jurusan IPA dan IPS. Kenapa dari dulu guru di kampung tak pernah memberi tahu akan ada jurusan kayak di film-film kayak gini? *** 14 Aku tak banyak bicara saat bapak memutuskan akan segera kembali ke kampung. Semalaman aku sudah tidak nyenyak tidur. Sebelum bapak pulang aku ditraktir bakso, entah mengapa selalu bakso. Di kampung memang bakso adalah makanan terenak, tak pernah kutemui makanan favorit-elite kecuali bakso. Warung bakso ini terletak di sebelah selatan gerbang pesantren. Tidak membutuhkan waktu lama kami menghabiskan makanan beraroma mengesankan ini. Lagi-lagi mungkin karena kami dari kampung. Sedang sedari tadi pasangan muda di sampingku belum selesai mengunyah bakso yang hanya beberapa gelintir, bagaimana tidak lama, jika makan satu pentol bakso ngobrolnya bisa berpentol-pentol tak berujung. Aku bisa pastikan bahwa kuah bakso tersebut sudah jauh dari kata hangat. Dari dulu bapak selalu melarang ngobrol ketika sedang makan, tidak sopan dan bisa membuat proses makan menjadi lama, karena banyak hal yang perlu dilakukan. “Nak, hati-hati menggunakan uang. Baik-baik di sini dalam membawa diri!” pesan bapak yang membuatku hanya bisa mengangguk tanpa mengucap apapun, bulir-bulir bening tertahan di pelupuk mata. Aku tak ingin membuat bapak sedih ketika nanti pulang, namun tetap saja aku tak bisa. Kupeluk tubuhnya yang mulai menua, kuraih punggung tangannya untuk kucium mengharap restunya. Bis yang menuju ke Wates sudah tiba, luruhlah semua pertahananku, saat tadi hanya setetes, kini air mata itu bak air terjun tak terbendung. Aku membiarkan mata ini menatap bis tersebut hingga tak berujung, rasanya aku ingin kembali lagi bersama bapak. Meski aku tahu hal tersebut tak pernah mungkin. Langkahku gontai menuju asrama, menenggelamkan muka pada bantal adalah pilihan terbaik saat ini. Aku memang lebih suka t idur untuk mengusir rasa sakit maupun kesedihan, dan hal tersebut cukup ampuh bagiku. Azan asar telah berkumandang, bermodalkan dobrakan pengurus aku bisa bangun. Meski sisa-sisa kesedihan belum sepenuhnya menghilang. Aku tahu harus segera melupakan kesedihan ini, bukan berarti aku harus melupakan bapak, bukan? Tek tek tek suara dari arah tangga bagian bawah asrama berbunyi. “Mbak… makan sore,” panggil mbak-mbak dari arah sana. 15 Aku turut mengambil nasi beserta sayur yang berada di mangkuk. Semuanya sudah dibagi masing-masing, tahu menjadi penghias nasi sore ini. Mulai kumakan nasi yang porsinya cukup banyak. Cukup banyak untuk santri yang kerjanya tidak berat. Sayur santan berisikan sawi putih menjadi pelengkap. Saat sayur mulai menempel di lidahku, rasanya aku sedang makan kolak buatan mamak di rumah, manis rasanya. Akupun terheran, aku yang terbiasa dengan sayur asin dan pedas merasa bahwa ada kesalahan dalam racikan bumbu pada sayur ini. Bayangan wajah bapak masih sangat jelas, pun sama masih terasa sakit untuk kubayangkan melepas kepergian bapak di bis tadi. Meski sayur ini cukup manis, namun tak cukup mengobati rasa pahit di hatiku. Jangan berlari jauh di depanku Karena aku tak akan bisa mengejarmu Jangan juga kau jauh di belakangku Karena aku ingin engkau ada di sampingku Berjalan bersamaku menggenggam doa Berlari bersamaku mendekap asa Terbang bersamaku membawa rencana Sujud bersamaku memasrahkan usaha Ada harap yang Tuhan tunda Meski begitu, itu bukan urusan kita Kau pernah berkata dengan sederhana Tak perlu ikut campur apa yang bakal Tuhan kata 16 SELAMAT PAGI KAKAK Kini bajuku telah berganti menjadi putih abu-abu. Karena sekolah berada di luar pesantren, cara memakai baju pun harus disesuaikan dengan sekolah. Baju putih ini pun harus dimasukkan ke dalam rok, meski agak aneh menurutku. Kerudung putih bersih telah membalut kepala. Kutatap wajahku di depan kaca, ingin rasanya aku bertanya siapa wanita tercantik di dunia ini?-gubraks. “Karima… ayo berangkat, hampir telat nih,” panggil Ina, teman seangkatan. Kami sekamar dan sama-sama dari Sumatera, jadi gampang nyambung, terutama masalah sayur yang sama-sama sangat aneh di lidah kami. Aku pun bergegas, menerjang waktu yang kian menggilas, beberapa siswa juga tampak berlari-larian. Sebelum menyeberang, tampak warung bakso, dimana ada kenanganku bersama bapak di sana. Rasanya ingin ngebakso pagi-pagi begini, apa daya hampir telat dan warung belum buka. Kami sudah sampai sekolah, untung gerbang belum ditutup oleh satpam. Jikapun iya, nggak mungkin bisa ngasih kata-kata pelicin agar diizinkan masuk tanpa hisab. Ini masa orientasi sekolah pertama kami. Tidak banyak yang perlu kami bawa, karena sudah ada peraturan terkait dengan penyelenggaraan Masa Orientasi Siswa (MOS). Tidak lama kami terdiam di dalam kelas, muncul panitia MOS berkacamata, kulit putih, rambut cepak. Jangan berharap ia akan memakai peci, karena sekolah ini beraneka agama bahkan suku. “Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh…” ia membuka dengan salam. “Sepertinya dia muslim, wong pakai acara salam,” pikirku. Kami menjawab dengan kompak. “Selamat pagi, salam dan bahagia untuk kita semua. Kenalkan nama saya Zaidan Karim, ada beberapa hal yang akan saya sampaikan terkait kegiatan MOS pada hari ini,” ia menyampaikan agenda MOS. Dia ternyata kelas tiga jurusan akuntansi juga. Sesekali ia berbicara dengan panitia perempuan yang mendampinginya. Kacamata minusnya membuat agak gimana-gimananya gitu…. Ah sudahlah, aku hanya bisa melihatnya dari jauh, ketika ada session tanya jawab pun aku mengurungkan niat untuk bertanya. Rasa maluku lebih mendominasi ternyata, daripada rasa pede nya. 17 Istirahat ini aku diajak Ina untuk ke kantin, katanya bakmi di sana enak. Aku yang memang anak kampung ini tidak begitu pemilih dengan makanan. Sampai di kantin, tampak laki-laki yang tadi memasuki kelasku bercanda ria dengan teman-temannya. Kenapa dia memilih jurusan Akuntansi yang didominasi oleh siswa perempuan ya? Aneh saja padahal di sekolah ini juga ada jurusan Teknik Otomotif, yang harusnya kemarin aku coba saja untuk masuk ke sana, sepertinya harapanku di depan kaca tiap pagi bakal terwujud, gubraks. Terlena dengan pikiranku sendiri, tidak terasa bel tanda masuk sudah berdentang. “Karima, ayo buruan masuk. Kamu nggak tau apa kalau ketua OSIS-nya galak,” Ina berbicara tak karuan. Dia sudah berlari terbirit-birit, seperti orang yang sedang dikejar setan. Sedangkan aku biasa saja masih melanjutkan mie yang belum habis, lagipula tak banyak yang kudengar tentang ketua OSIS. Seandainya ketua OSIS ini perempuan, tak akan menandingi galaknya guru kesenianku saat sekolah dasar. “Woi kamu, cepat!” belum selesai aku berandai-andai, terdengar suara laki-laki berteriak. Mungkinkah itu ditujukan padaku? “Kamu nggak dengar panggilan saya, hah…” ujar kakak panitia. Aku diam saja menunduk. Tak pernah mengira jika galaknya guruku dulu tidak sebanding dengan orang-orang ini. Aku berpikir mungkin ini ketua OSIS nya, berbadan tambun. Tertera di name tag-nya bernama Doni. “Sudahlah, serahkan saja pada ketua panitia, dia satu-satunya anak baru yang terlambat,” Doni menyerah dengan sikapku. “Sudahlah Don, biarkan dia sekali saja. Kalau dia tahu ada anak terlambat di event pertamanya, dia bakal murka,” seseorang mencoba membiarkan aku lari. Kulihat Ina masuk dalam barisan, sesekali ia menatapku sedih. Akupun sedih tak mengindahkan omongannya, coba tadi aku ikut berlari bersamanya, tidak akan ada acara aku dibentak-bentak kayak terdakwa begini. “Siapa yang terlambat, Don?” suara seseorang tepat beberapa meter di belakangku. Sepertinya aku harus mempersiapkan diri. Langkah itu semakin mendekat, tercium aroma yang tidak biasa, harum. 18 “Siapa kamu?” terdengar suara berat nan ganas. Aku masih terdiam. “Lihat saya!!! Siapa namamu?” dia membentak. “Ka… rii… ma,” suaraku tercekat, kupaksa untuk melihat seseorang yang ada di hadapanku. Kunaikkan dagu untuk melihat seseorang untuk pertama kalinya, aku begitu takut dan tak bisa membela diri. “Apa yang kamu lakukan? Hah! Harusnya kamu bisa lebih disiplin, lebih lebih kamu anak baru. Ada banyak orang yang merugi gara-gara waktu. Tidak peduli keterlambatanmu, entah itu satu atau dua detik. Terlambat ya terlambat,” ia masih berceramah di depanku. Ya, aku salah. Tak banyak yang bisa kukatakan untuk membela diri, meski secara manusiawi aku harusnya membela diriku meski bersalah. Iyakah terlambat sebegini kejam hukumannya? Aku dibentak-bentak di depan semua anak, dan tak ada satupun yang membelaku, hampir saja mataku berurai air mata darah. “Saya sedang makan bakmi di kantin, ketika bel berbunyi bakmi belum habis, bukannya dilarang ya dalam agama bersikap mubazir?” aku mencoba membela diri, hingga akhirnya, ada seseorang menegurnya. “Zai, sudahlah. Sudah cukup hukuman buatnya. Lagi pula ia anak baru,” seseorang mengingatkan ketua OSIS itu untuk menyudahi ceramah paginya. Lelaki itu mendekatiku, mengajakku dengan melirik papan namaku. “Ayo Karima, ikut saya!” Aku berjalan patuh di belakang seseorang yang belum kukenal. Satu satunya orang yang membelaku. “Kenalkan namaku Salman. Aku dari jurusan Tehnik Otomotif,” ucapnya menjulurkan tangannya ke arahku. “Saya Karima,” menolak uluran tangannya, dan menelungkupkan tanganku di depan dada. Ia tersenyum seraya memberi air gelas mineral untukku. “Minumlah, jangan diambil hati tentang Zaidan. Ia memang seperti itu terkait dengan waktu. Dia memang disiplin tentang waktu, siapapun bukan hanya kamu, jika bermain-main dengan waktu, meski itu hanya satu detik sekalipun, bakal menjadi begitu besar masalahnya!” ucapnya 19 panjang lebar. “Kamu tinggal di mana?” “Saya tinggal di pesantren Al Miftah.” “Oh di Al Miftah, banyak juga lho yang dari sana. Ok lima menit lagi kumpul di lapangan. Ingat lima menit lagi!” ucapnya sambil berlari. Aku takjub kenapa ada orang begitu baik padaku saat dia tidak kenal denganku, dan begitu mudah beradaptasi dengan orang baru. Sedikit senyum kutabur, di atas luka yang sudah ketua OSIS sekolah ini buat. *** 20 “Karima, cie-cie… yang bikin geger sekolah pagi tadi,” Ina meledekku saat perjalanan pulang. Aku tak menggubris, betapa pun aku berpikir, rasanya semuanya terlalu berlebihan. Gini-gini dulu aku juga pernah jadi wakil ketua OSIS saat SMP, ya SMP. “Gara-gara ulahmu, Karima. Semua anak baru khususnya jadi kenal kamu. Di kelas pada ribut membahas kamu. Anak-anak pada heboh, kenapa kamu diam saja ? harusnya…” sebelum ia berbicara panjang lebar. “Ah, sudahlah ayo cepetan, sebentar lagi jamaah zuhur dimulai.” Siang kian berlalu, bersama kerinduan yang menggebu. Ya, aku rindu mamak dan bapak. Berbalut kesedihan, saat di hari pertamaku sudah membuat masalah di sekolah, padahal aku sebenarnya tidak seburuk itu. Ngaji bakda asar segera dimulai, kami sudah berjajar rapi di meja kami masing-masing. Meski kelas hanya berada di kompleks asrama, tinggal sekali lompat sampai. Menunggu guru atau ustaz adalah salah satu bentuk rasa takzim padanya, dan salah satu penyebab berkahnya ilmu. Keberkahan itu yang harus dicari. Salah satu ustazah menaiki tangga, suara terdengar tek tek tek, suara pena bersenggolan dengan besi pegangan tangga. Beliau menantu abah kyai, putri kyai asal Jawa Tengah yang menikah dengan Gus Ahmad, namanya Bu Fuadah. “Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh…” Bu Fuadah membuka salam dengan begitu berkarisma. Beliau mengenakan kacamata, ah berbicara kacamata mengapa bayanganku tertuju pada laki-laki berkacamata di sekolah? Ya salam. “Ada hal yang perlu diketahui oleh seluruh santri baru, peraturan untuk santri baru adalah untuk tidak pulang dari pondok meskipun sehari saja dalam jangka 40 hari, hal tersebut untuk membiasakan santri tinggal di pesantren.” Ada benarnya juga sih mengapa tidak diperkenankan pulang, karena biasanya kalau santri baru, mudah tidak betah. Baru saja sehari di pondok sudah ingin pulang (kan nggak keren). Kalau untukku sepertinya peraturan ini terlalu mudah, bagaimana aku akan pulang ke rumah jika rumahku amatlah jauh. 21 Ustazah juga menyampaikan untuk menjalani peraturan pesantren dengan penuh keikhlasan, insya Allah suatu hari akan ada manfaatnya untuk kita. Terkadang ganjaran dari kebaikan kita itu tidak selalu harus dibayar tunai kala itu juga, bahkan Allah akan membayarnya saat waktunya tepat. Malam kian merangkak, ngaji telah berakhir dan semua santri yang kelasnya ada di musala kompleks putri ini langsung menidurkan diri di tempatnya masing-masing. Ada yang meletakkan kepalanya di atas meja, atau ada yang berbaring di atas lantai yang dingin. Sedangkan aku, duduk di teras menatap langit melalui tirai bambu yang mengelilingi asrama putri bagian atas. Usia akan cepat berlalu Namun jangan kau serahkan begitu saja mimpimu Pada waktu yang membelenggumu Ikatlah, terbangkanlah sejauh kau mampu Jika ada yang bisa kau ubah Tentu cukup mulai dari dirimu yang kau ubah Menjadi percontohan ahlak karimah Yang mulai terlindas nafsu amarah Jika ada ribuan kata Pasti akan kurangkai menjadi istimewa Bahwa aku beruntung di bawah naungan tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia 22 NILAI IMPIAN Jurusanku Manajemen Bisnis Akuntansi, entahlah kenapa akhirnya milih jurusan ini, daripada tidak dapat pesantren yang berdekatan dengan sekolah. Kenapa harus berdekatan? Kalau jauh aku harus berjuang untuk t idak mabuk, karena harus menggunakan bis. Tak bisa kubayangkan t iap pagi harus naik bis, apa aku bisa belajar nantinya? Yang ada malah badanku tinggal tulang dengan kulit karena tersiksa setiap hari. Ternyata aku salah, bukan hanya mabuk kendaraan saja yang bisa membuat berat badanku berkurang, pelajaran akuntansi yang hampir t iap hari ada ini juga membuatku jengah. Beruntung anak-anak yang sebelumnya sekolah di yayasan ini pada tingkat SMP sebelumnya, mereka dikenalkan dengan pelajaran ini, katanya. Benar saja, angka-angka yang diakhiri dengan angka nol pun begitu menyeramkan. Parahnya lagi nominal itu hanya sekedar tulisan, tidak ada wujud nyata uangya. Pikirku hal ini seperti orang yang kurang kerjaan saja, menghitung uang yang nggak beruang. Namun, aku tak boleh menyerah begitu saja, akan kubuktikan bahwa anak Sumatera sepertiku bisa bersaing dengan anak-anak Jawa, yang dari dulu orang Jawa selalu kuanggap lebih pintar daripada anak Sumatera, entahlah. Begitupun apa yang disampaikan Bu Sutami, membuat keningku berkerut berkali-kali. Di akhir session Bu Sutami menyampaikan tentang nilai impian. “Tulislah di buku akuntansimu nilai impianmu, darinya kamu akan termotivasi untuk meraihnya,” guru akuntansi itu pun segera berlalu. Lalu percaya tidak percaya, aku mulai menggoreskan spidol snowman berwarna hijau di bagian dalam cover buku tebal, secara beratur aku mengukir angka Sembilan, ya angka istimewa dibanding angka seratus, bagiku. Karena aku tak pernah mendapatkan angka 10 dalam rapot, lalu buat apa nilai 10 itu dibuat jika nilai 9 adalah batas maksimal? Entahlah segera kututup buku akuntansi, aku pun memilih untuk ke musala istirahat ini. Aku tak punya tempat, di saat yang sama belum banyak teman yang kukenal, sedangkan Ina berlainan kelas denganku. Siapa tahu dengan salat duha, aku bisa mengejar ketertinggalanku dalam pelajaran akuntansi. Kaki kulangkahkan melewati lorong sekolah, sekali lagi kupandangi seluruh 23 bagian sekolah yang ada lapangan bola basket, lapangan yang selama ini hanya kulihat melalui televisi. Banyak di antara mereka yang bermain begitu bahagia, seperti tak punya beban di sekolah ini, sedangkan aku? Menumpuk berjilid-jilid buku akuntansi di otak, di otak saja sih, tidak dibaca juga. Masjid sekolah tergolong lumayan ramai, lebih-lebih berada di lingkungan sekolah formal, segera kuambil air wudu, membiasakan diri apa yang sudah ustaz ajarkan padaku. Ustaz-ustazku selalu bilang, tetaplah menjadi santri di manapun kamu berada. Ya, aku sedang mengamalkan nasihat ini. Manfaat salat duha sendiri dikenal dengan memperlancar rezeki, bukankah rezeki tidak hanya dinilai dalam bentuk uang bukan? Ilmu juga rezeki, yang perlu kita cari dan harapkan kedatangannya pada kita, doaku kuhaturkan pada langit, bersama terbangnya angin. Wahai Tuhanku, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuhamu Keagungan adalah keagungan-Mu Keindahan adalah keindahan-Mu Kekuatan adalah kekuatan-Mu Penjagaan adalah penjagaan-Mu Ya Allah, Apabila rezekiku berada di atas langit, maka turunkanlah Apabila masih di dalam bumi maka keluarkanlah, apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah, apabila jauh dekatkanlah dengan kebenaran dhuha-Mu, kekuasaa-nMu. Datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan pada hamba-hamba-Mu yang sholeh. Amin Mukena kulepas, kuletakkan pada lemari mukena. Ada beberapa sajadah dan mukena yang masih tergelatak, ditinggalkan begitu saja. Instingku menujunya dan merapikan semuanya. Percaya nggak sih dengan apa yang aku lakukan? Bagaimana mereka bisa seenaknya meninggalkan alat salat di lantai masjid, tapi masih untung mereka salat duha, sepertinya kerjaan sepele ini bisa membawaku menuju rumah kebaikan. Bagaimana tidak? Jika aku bisa melayani mereka yang sedang menuju kepada Tuhannya? Kelas kali ini masih mata pelajaran akuntansi, dalam sehari bisa sampai 5 jam. Aku nggak pernah berpikir bakal salah jalan, nilai matematikaku yang 24 nyaris berwarna merah membuatku tertatih dengan pelajaran yang wajib aku sukai. Aku masih mengingat angka sempurna yang kubuat. Aku harus memaksa diriku untuk menyukai akuntansi, dan harus mengagendakan ke perpustakaan tiap hari. Kata-kata bapak terngiang, jurusan yang kini kuambil, jika aku menyerah begitu saja, hanya akan membuatnya sia-sia. Bapak sudah mengeluarkan banyak biaya hingga aku bisa ke sekolah ini, akupun telah mengorbankan rasa nyamanku, hingga jauh-jauh ke sekolah ini. Aku tidak akan menjadi pengecut dengan mencari masalah agar aku terhindar dengan pelajaran ini. *** 25 Pelajaran komputer kali ini berada di laboratorium komputer. Ini adalah kesempatan pertamaku untuk melihat komputer yang selama ini hanya kulihat di dalam televisi. Setiap anak mendapat jatah satu perangkat komputer, beruntung komputer masih menyala karena bergantian dengan kelas akuntansi satu. Jika tidak, apa yang akan mereka kata jika ketahuan kalau aku baru memakai bahkan melihat benda ini untuk pertama kalinya! “Anak-anak, selamat siang. Salam dan bahagia untuk kita semua. Materi pertama kali ini adalah mengetik di Microsoft word,” mati aku, apalagi materi itu, di mana aku harus mengetik. Ingin rasanya aku menghilang saat ini. Sedangkan semua anak langsung saja mengetik menggunakan sepuluh jarinya. Aku berbisik pada wulan, apa yang harus kulakukan. Wulan anak pendiam di kelasku, aku bertanya padanya agar rahasiaku tak bocor di depan umum, kebetulan lagi ia duduk tepat di samping meja komputerku. Sedangkan keringat dingin sudah mulai menembus kerudung putih milikku, betapa aku begitu mengenaskan, saat yang lain mengetik menggunakan sepuluh jarinya, aku mengetik menggunakan sebelas jariku, alias hanya jari telunjuk yang aku pakai. Padahal hasilnya nanti harus dikumpulkan, namun pikirku biarlah nilai berapa pun, yang terpenting aku sudah pernah menyaksikan komputer yang tak pernah kusaksikan, apalagi kusentuh. Bagaimana pun ini pengalaman pertamaku di depan benda mirip tivi pak lurah kampungku. Dulu di kampung pelajaran komputer baru sampai menggambar perangkat komputer, serta cara-cara menghidupkan komputer tanpa melihat komputer. Komputernya berada di dunia gaib. Lirikan mataku menuju pada wulan, dia sudah mengetik hampir satu halaman komputernya, sedangkan aku mengetik satu paragraf saja belum sempurna. Bukankah ini lebih memalukan dibanding berdiri di depan manusia angkuh itu, Zaidan. Pemerataan pendidikan yang masih belum maksimal ini, membuatku begitu beruntung bisa ke tanah keraton. Walau bagaimanapun aku berada selangkah lebih maju dibanding teman-teman di kampung. Jangankan lab komputer seperi di sekolah ini, kelas saja ada yang darurat, karena kelebihan siswa, sedangkan ruangan terbatas. “Ayo Karima, mana tugasmu?” Pak Kiman menagih tugas. Aku terdiam dan menunduk. Pak Kiman mendekatiku, melihat pekerjaan yang hanya baru judul kutuliskan. Beliau sangat shock melihat pekerjaanku. 26 “Karima, bagaimana kamu sangat tertinggal di pelajaran ini?” “Ini kali pertama saya melihat dan mengoperasikan komputer pak. Di sekolah saya sebelumnya, hanya materi komputer saja yang diajarkan,” aku memelas. “Begini, Bapak tidak akan membiarkan ini berlarut-larut. Walau bagaimanapun calon akuntan harus bisa mengoperasikan komputer. Kamu harus menambah jam pelajaran komputer selain di jam sekolah. Temui calon mentormu nanti di kantor guru sepulang sekolah!” “Ya, pak… terima kasih,” berulang kali aku menganggukkan kepala. Segera kukemas peralatan belajarku. Aku menuruni anak tangga serasa begitu malas. Bagaimana aku bisa membagi waktu? Sebenarnya bukan itu, siapa nantinya yang akan menjadi pendamping belajarku? Aku sudah berada di depan pintu kantor, tampak seseorang duduk di depan meja Pak Kiman. Aku mulai mendekat berdebar. “Masuk Karima, saya kenalkan dengan mentormu,” seseorang itu berdiri dan membalikkan badannya kepadaku. “Om, kenapa harus aku sih dari sekian anak yang berada di sekolah ini?” ia menolakku. “Om kan sudah bilang, dia sama sekali kesulitan dalam pelajaran ini, dan kamu siswa terbaik sekolah ini yang pernah memenangkan lomba pekan Akuntansi tahun lalu. Om bisa dianggap tidak profesional oleh kolega Om Kiman, hanya karena ada anak yang tidak mahir mengoperasikan komputer. Kamu ajarkan dasarnya saja, agar dia tidak terlalu bingung ketika di kelas. Kasihan temannya yang lain juga jika harus menunggu,” ujar Pak Kiman panjang. Ia berlalu, tanpa mengucapkan persetujuan ataupun penolakan. “Besok mulai di lab, selepas sekolah, Zai,” ucap Pak Kiman seraya menepuk pundak laki-laki berkacamata tersebut. “Kamu besok harus datang tepat waktu sebelum pelajaran tambahan dimulai, jika tidak, kamu yang akan menanggung akibatnya,” ucap Pak Kiman tersenyum. Kau Tak akan pernah bisa menutup mata 27 Kau Tak akan pernah mampu untuk membungkam mulut tanpa kata Pada orang yang engkau cinta Jikapun kau menutup cerita maupun mata atau telinga Pada orang yang kau cinta Itu hanya akan menjadi neraka dunia Ada banyak yang berkilau Tapi hanya engkau yang menyilaukan Ada banyak yang bersinar Namun engkau yang paling terang Tetaplah di sana dengan suka Tetaplah bahagia sepanjang usia Cinta 28 BELAJAR TANPA BATAS Malam ini aku benar-benar tidak bisa tidur nyenyak di asrama. Selain nyamuk yang mengganggu, ada hal lain yang lebih mengganggu, keras kepalanya Zaidan. Ya, sebelum azan subuh berkumandang dari pengeras suara pesantren, aku sudah terbangun menghadap buku aneka komputer yang kupinjam dari teman-teman. Ternyata ini lebih menakutkan daripada saat aku ketakutan pulang ngaji sendirian saat di kampung dulu dalam kegelapan. Fajar telah menyambut, azan memeluknya dengan kerinduan. Semuanya begitu sempurna berjalan dalam porosnya. Terdengar suara pintu dipukul menggunakan kayu, membangunkan setiap mimpi yang tersisa. Namun kadang rasa kantuk menjelma bagai orang yang tak bernyawa, azan shubuh tak didengarnya. Maka beruntunglah bagi mereka yang selalu terbangun ketika azan memanggil. Ngaji bakda subuh memang ngaji terberat, karena subuh adalah waktu paling nikmat untuk terlelap. Ketahuilah, tidur sehabis subuh merupakan hal yang dilarang ustaz, namun begitu sering dilanggar santri, termasuk aku. Aku benar-benar tak tahan membelalakkan mata. Usahaku belajar teori komputer membuatku begadang semalaman. Maka jadilah kepalaku manggut-manggut ketika ngaji berlangsung. Remang-remang aku memaksakan untuk tetap mendengar apa yang disampaikan Abah Yai Syafii pada pelajaran Ta’limul Muta’alim. Kitab Ta’lim sendiri menjadi salah satu kitab wajib dikaji dalam pesantren. Kitab ini dikarang oleh Syeh Burhanuddin Az Zarnuji. Kitab ini membahas tentang bimbingan kepada santri dalam proses menuntut ilmu agar ilmu yang diperoleh bisa bermanfaat. Di antaranya membahas tata cara menghormati guru, karena mengagungkan guru menjadi salah satu jalan bermanfaatnya ilmu. Ngaji kitab dengan menggunakan metode blandongan ini, yakni belajar dimana guru/ ustaz membacakan kitab kuning dan membaca maknanya serta memberikan keterangan dan sekumpulan santri mendengarkan penjelasan dengan cermat. Banyaknya santri yang mengaji kitab ini, membuat kesempatan tertidur lebih besar. Namun Karima tetap mengusahakan matanya terjaga, meski sesekali ia tertidur. Ia tidak ingin sikapnya dalam mengaji ini membuat ilmunya tidak berkah. Kini ia mulai sadar pentingnya membagi waktu belajar sekolah, istirahat dan mengaji.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices