
by Titikoma

Tentang Sebuah Keinginan
Seleret cahaya masuk melalui celah kelambu yang menggantung pada jendela kamar setinggi langit-langit. Burung-burung mulai terdengar berkicauan menyemarakkan suasana pagi yang dingin. Di bawah selimut putih tebal, masih terlelap seorang anak berumur sembilan tahun. Ia tidur sangat nyenyak tanpa terganggu oleh ketukan pintu yang menyuruhnya bangun. “Dante! Ayo bangun, Sayang. Kamu bisa terlambat ke sekolah!” kata seorang wanita gemuk berwajah keibuan sambil mengelus pipi Dante. Kemudian ia beralih ke jendela besar di kamar itu dan menyibakkan kelambunya lebar-lebar. “Ami…!” keluh Dante dengan suara serak bangun tidurnya. Sinar matahari pagi menyeruak masuk menyinari seluruh sudut kamar Dante, membuatnya tidak merasa nyaman untuk meneruskan tidur yang nyenyak. Ami mendekati Dante yang masih agak mengantuk dan menolak untuk bergegas bangun. Ami memandang gemas kemudian menyelipkan kedua tangannya ke bawah ketiak Dante dan menggendongnya supaya bangun. Dante memberontak dan mendadak saja dia sudah tidak merasa mengantuk sama sekali. ”Ami! Jangan begini, aku tidak suka! Aku ini sudah besar, Ami!” teriaknya berulang-ulang membuat keributan di pagi hari. Tangannya menggapai gapai lengan Ami yang besar berusaha memberontak dari gendongan kuatnya. “Oh ya… ya... baiklah,” ujar Ami sabar sambil menurunkan Dante kembali di tempat tidurnya. Dante segera beringsut berdiri tegak dan berkata, “Ami, sudah berapa kali kubilang. Kamu tidak boleh memperlakukan aku seperti itu. Aku sudah besar!” tegasnya sambil berkacak pinggang. “Oh ya. Aku mengerti, Sayang,” sahut Ami kalem. “Kamu sudah besar. Aku mengerti,” katanya sambil bersedekap dan menampilkan senyum termanis untuk Tuan Muda Dante yang sudah dirawatnya sejak bayi itu. “Jam berapa sekarang?!” tanya Dante sok galak. “Jam 6 pagi. Dan kalau kamu tidak bergegas, kamu bisa terlambat pergi ke sekolah!” kata Ami memperingatkan. 2 “Ya, baiklah. Aku akan mandi,” kata Dante lagi. Kemudian ia mengitari tempat tidurnya yang penuh dengan boneka menuju lemari berukuran super besar yang menyimpan seluruh pakaian-pakaiannya yang mahal. “Hmm… di mana tempat handuk?” tanyanya sambil masih sibuk mencari ke dalam lemari, membuat beberapa tumpukan baju terhambur ke lantai. “Handuknya ada di lemari kecil di depan kamar mandi, Dante. Dan aku sudah tidak sabar lagi melihatmu masih memakai piyama dalam waktu sepuluh menit!” Ami kembali berkata gemas. Kemudian ia berjalan ke arah Dante dan menggendongnya menuju kamar mandi, seraya menyabet sehelai handuk. Ia tidak memedulikan Dante yang memberontak sekuat tenaga, “Aku bisa mandi sendiri!” teriaknya kencang. “Diam, Dante Sayang...!” sahut Ami menutup pintu kamar mandi. Dan teriakan Dante pun teredam oleh percikan air keran hangat yang menyiram tubuhnya. *** 3 Beberapa saat kemudian, Dante sudah duduk di meja makan dengan pakaian rapi dan rambut hitam lurusnya yang tertata. Dengan cekatan Ami menyiapkan sarapan untuknya. Meski gemuk, gerakan Ami sangat gesit. Kadang Dante terkagum-kagum menyaksikan Ami menyelesaikan beberapa pekerjaan dalam satu waktu dengan sangat cepat. Ia seperti laba-laba dengan banyak tangan panjang dan mampu melakukan apapun bersamaan. Dante menggelengkan kepalanya mengusir bayangan Ami dengan banyak tangannya sedang bekerja di dapur, memotong sayuran, mencuci piring dan menuangkan teh sekaligus. “Habiskan sarapanmu dan bergegaslah, karena Pak Edi sudah menunggumu di luar. Ah, Ibumu menitipkan kecupan sayang untukmu dan salam semoga harimu menyenangkan. Ayahmu pagi-pagi sekali menelepon menanyakan apakah kamu sudah bangun dan apakah kamu semalam tidur nyenyak. Mereka sangat menyayangimu, Dante,” jelas Ami panjang lebar sambil memegang spatula. “Huh! Itu hanya pura-pura,” sahut Dante di sela-sela ia melahap sarapannya. Dengan kesal ia menusuk brokoli di piringnya keras-keras dengan garpu hingga piringnya berdecit. Ia tidak suka sarapan sendirian. “Tentu saja tidak, Sayang!” ujar Ami keras. “Mereka benar-benar perhatian padamu!” “Mereka selalu sibuk. Ibu sudah pergi ke kantor sejak tadi pagi bukan? Dan Ayah, ke mana Ayah pergi aku tidak pernah tahu,” katanya sambil mengelap mulut setelah menghabiskan segelas besar susu. “Yah, Ibumu memang sudah berangkat sejak pagi-pagi benar. Tapi ia wanita yang hebat, Dante, ia bekerja untukmu. Dan bukankah kamu sudah tahu bahwa Ayahmu hobi sekali menjelajah dan menemukan segala benda-benda seni dan bersejarah itu?” tegur Ami serius. Kali ini berbalik menatap Dante, sepenuhnya melupakan udang yang telah memerah di penggorengan. “Mereka memang mengabaikanku,” kata Dante lemah. Ia turun dari kursi dan melangkah gontai menuju halaman di mana Pak Edi menunggunya dengan mobil terparkir siap melaju. Ami hanya menghela napas melihatnya lesu berangkat ke sekolah tanpa lambaian atau sapaan hangat dari kedua orang tuanya. Perjalanan menuju sekolah hanya memakan waktu sekitar 10 menit. Sedan hitam yang selalu mengantar jemput Dante dengan Pak 4 Edi sebagai supirnya melaju pelan melintasi jalanan pagi yang mulai padat. Kemudian sedan hitam itu menepi dan berhenti tepat di depan gerbang sekolah Dante. Dante turun dari mobilnya, merapikan pakaian dan melambai pada supirnya, Pak Edi hanya tersenyum sambil mengangguk. Kerut-kerut di wajah dan banyak uban di rambutnya menandakan usianya t idak muda lagi. Namun semangatnya selalu membuat ia tampak enerjik. “Hai, Dante!” sapa seorang anak laki-laki berkacamata minus dan berkawat gigi saat Dante memasuki kelasnya. “Hai, Rudi!” balas Dante. Ia melihat ke sekeliling ruangan. Nampaknya ia memang datang terlalu siang, kelas sudah penuh oleh teman-temannya yang ramai berceloteh. Sambil memasukkan tangan ke saku celananya, ia berjalan menuju tempat duduknya “Halo, Dante,” sapa Daisy sambil melambaikan tangannya. Belum sempat Dante membalas sapaan Daisy, seorang anak laki-laki bertubuh bongsor dengan potongan rambut cepak menyelanya. “Daisy, apa yang kamu lakukan dengannya? Ngobrol?” ejek anak itu, diselingi tawa beberapa anak di sekitarnya. “Si Culun ini tidak akan bicara padamu sampai matahari tenggelam nanti!” tawa anak-anak makin keras. “Dan apa yang kamu harapkan dari anak cengeng ini, Daisy? Pipi gemuk yang kemerahan atau poni lurusnya itu? Kurasa dia hanya bisa meminum susu sambil memeluk boneka di rumahnya yang besar itu!” dan meledaklah tawa teman-teman Dante. Dante menggertakkan giginya kesal, berusaha menahan agar tidak membalas perkataan Henry. Dia tidak mau mencari masalah. Entah kenapa Henry sangat tertarik mengejek teman-temannya. Henry dan geng pesepakbolanya yang populer. Terakhir kali Dante meladeni Henry, tentu saja Dante yang berakhir di ruang kesehatan sekolah. “Henry, sedang apa kamu? Kenapa kelas ramai sekali? Ayo semuanya duduk! Pelajaran akan dimulai!” perintah Bu Nani saat melihat kerumunan anak-anak sebelum kelas dimulai. Dante melangkah ke tempat duduknya di sebelah jendela. Ia melihat Daisy menatapnya kecewa dan Henry tersenyum puas. Kemudian ia menoleh ke jendela di sampingnya dan mendapati kaca itu memantulkan bayangan dirinya. Rambut hitam lurus berponi. Wajah bundar dengan pipi gemuk kemerahan. Ami selalu bilang ia tampak lucu dan menggemaskan . 5 Tapi bukan itu yang diinginkannya. Ia tidak ingin menjadi anak lucu dan menggemaskan yang selalu dirawat oleh suster sejak bayi. Ia ingin menjadi anak yang bisa mengurus sendiri semua keperluannya tanpa bantuan orang lain. Ia ingin bebas pergi ke mana saja yang ia inginkan tanpa harus ada yang mencemaskan ia sudah tidur siang atau belum. Saat makan siang, ia hanya ditemani oleh Rudi. Satu-satunya anak yang mau duduk dengan Dante, si anak milyuner yang setiap pagi dimandikan oleh seorang suster gemuk. Ia menghela napas di tengah kegiatannya melahap makan siangnya. “Kenapa kamu?” tanya Rudi heran. “Tidak. Cuma bosan saja.” “Bosan?!” Rudi tertawa sejenak, “Kamu ini kan anak orang terkaya di kota ini, kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan dan kamu bilang kamu bosan? Hah, kamu ini bercanda!” Rudi mengeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Dante hanya diam mendengar pendapat Rudi. Ia tak ingin seorang pun dari temannya tahu bahwa setiap hari ia tidak pergi ke mana pun, ia hanya berkutat di rumah megahnya yang membosankan, tanpa bisa melakukan apapun yang benar-benar diinginkannya. Kegiatannya bahkan sudah diatur, ia hanya menjalani rutinitas yang sama setiap harinya, dan tanpa orang tuanya. “Apa rencanamu sore ini?” tanya Dante basa-basi. “Yah, aku akan pergi ke dokter gigi bersama Ibuku,” jawab Rudi malu malu. “Menyenangkan sekali,” sahut Dante. “Tentu saja tidak! Aku mati-matian menolak pergi ke dokter gigi, tapi Ibuku itu tukang paksa!” seru Rudi tidak setuju. “Aku hanya berpikir, sangat menyenangkan memiliki Ibu yang selalu siap mengantarmu ke suatu tempat, dan bukannya supir,” ujar Dante lirih. “Ah, bukankah besok lusa adalah hari libur?!” kata Rudi tak memperhatikan keluh kesah Dante. “Kurasa aku dan Ayahku akan pergi memancing. Dia sudah berjanji akan mengajariku,” lanjut Rudi bersemangat. Ia 6 tersenyum memikirkan berapa banyak ikan yang akan dia dapat nanti. Rudi tidak memperhatikan kalau pikiran teman makan siangnya menjadi agak kacau setelah mendengar rencana liburan Rudi. Pasti aku akan terkurung di rumahku saja dan tidak boleh ke mana-mana! Kenapa Ibu t idak bisa semenit saja berada di rumah?! Dan kenapa Ayah tidak pernah mengajakku menjelajah bersamanya?! pikir Dante kesal. “Hei, jangan lupa nanti sore menonton sepak bola kami ya! Kami pasti menang!” teriak Henry yang sedang berjalan di depan kantin pada salah satu temannya di kelas yang lain, membuyarkan pikiran Dante. “Nanti sore ada pertandingan sepak bola?” tanya Dante. “Oh… iya. Mereka melawan kakak-kakak senior. Kabarnya mereka sudah latihan sejak 2 minggu kemarin. Yah, mungkin Henry benar dia akan menang!” jelas Rudi. “Benarkah? Kedengarannya akan seru sekali!” timpal Dante. “Tentu saja! Sebenarnya aku ingin menonton, tapi kamu tahu sendiri aku harus ke dokter gigi. Tapi kalau kakakku ingin pergi ke mana saja, orang tuaku pasti langsung mengiyakan dengan berkata ’Dia sudah besar, Rudi!’ huh!!” kata Rudi sebal. Kacamatanya sudah melorot ke pucuk hidungnya saat dia menirukan gaya bicara orang tuanya. “Dia sudah besar, bisa pergi ke mana saja dan melakukan apa yang dia mau?” tanya Dante tertarik. Rudi mengernyit mendengar pertanyaan Dante, “Ya, dia bisa menentukan sendiri apa yang ia lakukan,” jawab Rudi. “Berapa umur kakakmu?” sambar Dante antusias. “Hmm… kurasa 18 tahunan, kenapa kamu tanya-tanya soal itu?” “Tidak.. tidak kenapa-kenapa. Hanya tanya saja…” jawab Dante buru-buru. Dan pikirannya pun melayang ke mana-mana. Seandainya aku berumur 18 tahun, aku tidak akan terkurung di dalam rumahku itu. Bisa melakukan apa saja yang aku inginkan. Hm… pasti sangat menyenangkan! Dante tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran siang itu. Pelajaran matematika yang biasanya cukup membuatnya sibuk menghitung angka angka, tak mampu menarik Dante untuk fokus pada penjelasan gurunya saat itu. Ia sibuk membayangkan seandainya ia bisa pergi ke mana saja yang ia mau.