
by Titikoma

Chapter 2
Pesantren kilat Al-Falah adalah tempat di mana kita bisa belajar dan
mendalami ajaran agama Islam. Terbuka untuk umum. Berbagai kalangan
bisa masuk ke Al Falah dari anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Rentang
waktu belajar ada sekitar dua minggu, sebulan, dua bulan, bahkan sampai
setahun. Tergantung pilihan.
Di pesantren kilat Al-Falah juga menyediakan asrama untuk santri putri
dan laki-laki. Itu tergantung pilihan, mau tinggal di lingkungan pesantren
atau bolak-balik pulang ke rumah.
***
Akhirnya Syua berada di sini. Mondok di pesantren Al-Falah selama
sebulan. Mama akan mendisiplinkan Syua. Tak ada kata tapi ataupun
bantahan. Syua bisa pulang saat libur, yaitu hari Minggu. Bersyukurlah
bulan ini tidak ada tanggal merah (hari besar), dia bisa belajar penuh di
pesantren.
“Ma!”
Dina tak mengindahkan panggilan Syua. Dia lebih memilih pamit pada
Ustazah Ainun yang sudah membantu mendaftarkan anaknya. “Ustazah,
saya tinggalkan Syua di sini. Maaf, telah merepotkan,” pamit Mama.
“Kami sangat senang dengan kedatangan Ibu dan Syua di pesantren ini.”
Senyum ustazah membuat hati Mama adem. Tidak hanya manis, Ustazah
Ainun juga ramah.
Untuk beberapa detik, Syua terpesona memperhatikan wanita berumur
t
iga puluan itu. Baju gamis berwana biru lembut longgar di badan, tidak
mencetak bagian pinggul. Begitu juga dengan jilbab besar yang dikenakan
tampak cocok di wajah ovalnya. Hidung wanita itu mancung, bibirnya
mungil berwarna merah alami. Seperti bidadari, pikir Syua demikian.
“Ma!” seru Syua tersadar saat Mama sudah sampai di teras luar. Dengan
cepat, Syua memeluk lengannya. Merajuk. Semoga bisa menggoyahkan
hati orang tuanya.
“Berperilaku baiklah di sini,” Dina menasihati Syua. Kemudian pergi
setelah mengusap kepala putrinya yang sedari tadi menggaruk kepala
yang tertutup jilbab.
Dari kejauhan, Syua masih memandangi mobil Mama yang sudah
meninggalkan area pesantren. Sedih dalam hati, Syua seperti diasingkan.
Bukan saja Papa, sekarang Mama juga meninggalkan dirinya.
“Ayo!” ajak ustazah.
Syua mengikuti dari belakang sembari menyeret koper hijaunya. Setelah
sampai di kamar, mata Syua menyelidik. Ruangan lepas? gumamnya
dalam hati. Ya, di sana hanya hanya ada loker besi untuk menyimpan
benda berharga?
“Syua, taruh kopernya di sana.” Ustazah menunjuk ke pojok dinding,
dekat loker lemari besi hijau. Semua koper santri tersusun rapi di sana.
“Apa kita semua tidurnya di lantai?” tanya Syua.
Ustazah mengangguk. “Ada kasur santai untuk tidur.” Tunjuk ustazah ke
luar jendela pada kasur-kasur yang sedang di jemur.
Syua melongo tak percaya. Aku akan tidur di lantai? Bersama-sama?
Numpuk kek ikan teri?
“Kebersamaan itu indah,” kata ustazah membangunkan Syua dari
lamunan.
Syua menyeringai. “Baiklah!” Kata ambigu yang tak bisa diartikan Ustazah
Ainun saat melihat ekspresi santri barunya itu.
Sebelum pergi mengajar, Ustazah Ainun memberikan buku jadwal
keseharian di pesantren. Dengan berat hati, Syua menerima—membaca
dengan malas.
“GILA!” komentarnya memperhatikan dari atas sampai bawah. Jadwalnya
padat. Harus bangun pagi-pagi sekali untuk salat subuh berjamaah. Hei!
Jam segitu Syua masih molor. Masih bersembunyi di bawah selimut
lembutnya. Setelah itu mengaji bersama.
“Ngaji?” gumamnya.
Syua tak pandai membaca Al-Quran. Membaca Iqra pun masih gagap.
Akan tetapi, gadis tomboi itu tak ambil pusing, seakan tak peduli berbagai
rentetan jadwal yang tertera.
Bodo amat!
Syua melepas jilbabnya. Panas. Tampaklah rambut pendeknya yang sedikit
berantakan karena tudung di kepala paksa dilepas. Kemudian berjalan ke
luar, berencana mengelilingi pesantren.
“Pakai jilbabmu, Syua!” kata Ustazah Zahra yang mendapati Syua berjalan
di dekat kolam ikan. Saat mendaftar, Syua sudah memperkenalkan
diri pada semua ustazah. Termasuk sama Ustazah Zahra yang sangat
menjunjung kedisiplinan.
Peraturan harus dilaksanakan. Tidak boleh menanggalkan hijab di
lingkungan pesantren kecuali di dalam kamar. Karena bukan santri putri
saja yang mondok di Al-Falah, ada juga santri laki-laki. Baru pertama saja
Syua sudah melanggar peraturan.
“Panas Ustazah,” keluhnya.
Ustazah Zahra tersenyum. “Syua, hijab itu hukumnya wajib bagi muslimah.
Syua tahu apa itu wajib?” tanya ustazah kemudian.
“Harus!” jawab Syua singkat.
Ustazah tersenyum lalu mengangguk. “Menutup aurat adalah perintah
Allah. Kita akan berdosa jika melanggar perintah-Nya. Syua tahu? Jilbab
ini adalah identitas kita. Identitas seorang muslimah. Syua akan terbiasa
nantinya menggunakan jilbab ini, tetapi harus dengan niat karena Allah.
Jilbab ini juga berfungsi melindungi rambut kita dari debu dan matahari.
“Syua lihat Ustazah Ainun? Ustazah itu jilbabnya lebih besar loh, daripada
punya Syua. Tapi Ustazah Ainun nyaman saja memakainya. Karena apa?”
“Karena terbiasa,” jawab Syua cuek.
Syua melenguh. Ternyata ada juga yang lebih panjang lagi ceramahnya
daripada Mama. Padahal baru pisah, entah kenapa Syua merindukan
Mama, merindukan Bi Sita, merindukan rumah, merindukan rabbit,
dan kamar tersayangnya. Di sanalah Syua bisa menghabiskan waktu—
menyendiri.
Syua memakai jilbabnya kembali. Terkadang tanpa sepengetahuan
ustazah, dia membukanya. Ah, keras kepala!
“Ayo, ikut ustazah!” ajaknya membawa Syua pada sekelompok anak yang
sedang bermain.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumussalam, Ustazah.” Kompak mereka.
“Hari ini, kita kedatangan teman baru. Namanya Syua Sapphire. Ayo,
perkenalkan dirimu.”
“Syua Sapphire, salam kenal,” ucapnya datar. Perkenalan diri yang singkat
dan padat. Kemudian, Syua memperhatikan satu per satu orang yang ada
di sana. Ada yang sebaya dan ada juga umurnya cukup jauh di bawah
Syua. Otak Syua menangkap sesuatu....
“Apa kalian juga dilempar ke sini karena bandel?” tekan Syua pada kata
bandel.
Ustazah Zahra seketika tercekat mendengar ucapan santrinya. Andaikan
Syua tahu, pesantren itu bukan tempat untuk para anak bandel. Akan
tetapi, untuk mempelajari ajaran agama Islam. Di pesantrenlah kita bisa
belajar mandiri, mengikat tali persaudaraan, bisa saling menghargai,
saling membantu dan bekerja sama. Ustazah Zahra akan mengubah pola
pikir orang-orang tentang hal itu.
“Tidak. Dini sendiri yang minta,” kata anak yang berusia enam tahun—
memeluk boneka beruangnya dengan kedua tangan.
“Kalau kamu!?” Tunjuk Syua tajam pada orang yang berdiri di samping
Dini, mungkin seumuran dirinya. Nama anak itu adalah Bunga.
“Ayo, anak-anak ... pelajaran selanjutnya akan dimulai. Ustazah Ainun
sudah menunggu,” potong ustazah cepat.
“Iya, Ustazah.” Mereka kompak bersuara.
Sedangkan Syua, melangkah malas menuju kelas. Ini hari pertamanya
mengikuti pelajaran.
Mana kursi dan mejanya? Pikir Syua seperti membayangkan perlengkapan
yang ada di sekolah. Lagi-lagi Syua mendapati ruang kosong lepas. Ouh,
Mama, aku ingin pulang saja!
“Kak Syua, bantuin Dini angkat meja.” Tubuh kecil Dini berusaha
mengangkat meja panjang.
“Angkat sendiri!” seru Syua melirik satu per satu temannya yang
mengangkat meja. Lagi-lagi duduk di lantai! Jeritnya dalam hati.
Dini manyun. Dia kesusahan menyeret meja kayu dan akhirnya berhasil
meletakkannya di depan Syua. Dini mendudukkan diri di samping kakak
baru itu.
Meja kayu cokelat sudah tersusun rapi. Dua ke samping—enam ke
belakang, tiap meja diisi dua orang. Jadi, jumlah murid junior sebanyak
dua puluh empat orang. Dari ke dua puluh empat santri hanya sebagian
yang tinggal di asrama, sebagian lagi pulang ke rumah. Karena rumah
mereka tidak terlalu jauh dari pesantren.
Semua sudah duduk—mengeluarkan buku tulis—mendengarkan Ustazah
Ainun memberikan materi pelajaran. Hari ini ustazah akan menjelaskan
materi tentang akhlak atau perilaku. Bagaimana berakhlak kepada Allah,
sesama manusia, dan binatang.
Bosan! komentar Syua dalam diam, padahal materi baru berjalan lima
belas menit. Namun, entah berapa kali ia menguap lebar.
“Syua. Kalau nguap itu, mulutnya harus ditutup agar ribuan setan tidak
masuk ke mulutmu,” tegur ustazah. Kemudian Ustazah menerangkan
bagaimana adab menguap. Dan memberitahu ... Allah membenci orang
yang menguap dan menyukai orang yang bersin.
Syua menggetarkan bahu. Bergidik ngeri mendegar kata SETAN sambil
membayangkan makhluk kasat mata itu berbondong-bondong masuk ke
tubuhnya.
“Kok gitu Ustazah?” tanya Dini penasaran, kenapa Allah membenci orang
yang menguap dan menyukai orang yang bersin? Bocah itu memang lapar
akan pengetahuan.
Ustazah mulai menerangkan. “Dari HR Bukhari, sesungguhnya Allah
menyukai bersin dan benci terhadap menguap. Maka apabila ia bersin,
hendaklah ia memuji Allah (dengan mengucapkan ‘Alhamdulillah’). Dan
merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mendengarkannya untuk
mendoakannya. Adapun menguap, maka ia berasal dari setan. Hendaklah
setiap muslim berusaha untuk menahannya sebisa mungkin, dan apabila
mengeluarkan suara ‘ha’, maka saat itu setan menertawakannya.”
Santri lain mengangguk mendengarkan.
Ke mana Syua?” tanya ustazah saat melihat Syua bangkit.
“Cuci muka. Aku ngatuk dan bosan!”
Ustazah Ainun mengangguk pelan mempersilakan. Ustazah orangnya
memang sabar, berhati lembut, sedikit pun tidak memarahi Syua yang
bisa dibilang tidak sopan. Karena kekerasan bukan cara terbaik untuk
mendidik anak.
“Dini jauhi orang itu!” perintah Bunga, anak seumuran Syua.
“Kenapa, Kak?” tanya Dini polos.
“Dia akan memberi pengaruh buruk pada kita,” balas Bunga.
Dini masih bingung. Akan tetapi, tetap mengangguk mendengarkan
Bunga.
Materi tentang akhlak telah usai. Dini meregangkan tubuhnya dengan
cara mengangkat kedua tangan. Ustazah Ainun tersenyum. Dini begitu
lucu dan juga cerdas. Anak itu tidak berhenti bertanya saat ustazah
menerangkan kisah Nabi Muhammad SAW yang diperlakukan tidak baik
oleh kaumnya, tetapi Nabi Muhammad SAW tidak membalas dengan
kejahatan, melainkan dengan kebaikan. Dini tertarik sekali dengan kisah
para nabi. Itulah salah satu alasan kenapa Dini betah berada di pesantren.
Semua santri bangkit—berbondong-bondong ke luar. Karena waktu zuhur
akan masuk. Heboh! Para santri kehilangan sebelah sandal mereka. Siapa
pelakunya?
“Ini pasti ulah anak baru itu!” seru Bunga melipat tangan di dada.
Santri lain yang tadinya sibuk mencari sandal berhenti setelah mendengar
pernyataan Bunga.
“Bunga, kita tidak boleh berburuk sangka pada orang lain.”
“Tidak Ustazah. Bukan gitu, habisnya setelah keluar tadi ... Syua gak
masuk kelas. Jadi, siapa lagi pelakunya kalau bukan dia?”
Ustazah Ainun menghela napas. Memang benar. Semejak Syua keluar
untuk mencuci muka, dia tidak kembali mengikuti materi pelajaran.
Ustazah sudah menyuruh salah satu santrinya untuk menjemput Syua ke
toilet, tetapi tidak ada. Ke mana perginya?
“Lihat! Itu Kak Syua.” Dini berseru sembari menunjuk ke kolam ikan yang
sekelilingnya dipagari dengan bambu. Bocah itu berlari menghampiri
Syua.
Semua anak terbelalak dan juga ikut menghampiri.
“Kak Syua curang! Gak ngajak Dini, kan Dini juga pengen main,” katanya
melihat Syua yang asyik dengan mainan barunya.
“SYUA! APA YANG KAMU LAKUKAN!? ITU SENDAL KESAYANGANKU!”
teriak Bunga dengan wajah merah padam.
Santri lain juga protes ketika melihat sebelah sandalnya dijadikan kapal
kapalan oleh santri tomboi itu.
Syua menyengir ke arah ustazah yang barusan membuang napas.
“Hei! Jangan kabur!” teriak Bunga hendak menghampiri
“Bagaimana cara mengambilnya, Ustazah?” rengek santri lain melihat
kolam ikan yang lumayan besar yang dipenuhi teratai.
“Hiks, sendalku tersangkut di sana,” tunjuk santri ke tengah kolam dekat
daun teratai yang lebar.
Ini baru hari pertama, tetapi Syua sudah bikin ulah. Apa jadinya dengan
hari-hari selanjutnya? Bayangkan! Lingkungan pesantren yang tadinya
tenang dan damai, sekarang menjadi heboh.
***
Suara Azan berkumandang. Merdu menyejukkan kalbu. Semua
santri sudah bangun, kecuali Syua yang masih bersembunyi di bawah
selimutnya. Dia malah menutupi telinga dengan bantal ketika Ustazah
Ainun membangunkan.
“Syua, ayo bangun! Kita akan salat subuh berjamaah.”
Gadis itu mengerang saat ustazah menyibakkan selimutnya. “Syua masih
ngantuk, ntar Syua salat sendiri.”
Ustazah menghela napas. Kemarin Syua juga berkata demikian, tetapi
apa? Syua malah molor sampai pagi. Ikut pengajian pun tidak.
“Ayo bangun!” Ustazah mengambil paksa selimut Syua—meletakkannya
di atas loker besi hijau. Bisa dipastikan, dia tak mampu menjangkaunya.
“Hah, Ustazah gak asyik!” Terpaksa dirinya bangun dengan mata menyipit.
Melangkah sempoyongan menuju toilet yang diiringi Ustazah Ainun dari
belakang. Takutnya itu bocah malah kabur atau tertidur di toilet.
“Kak Syua. Kak Syua?” Dini menepuk pelan punggungnya.
salam kedua, Dini tertarik memanggil kakak baru itu. Dari sujud pertama
hingga selesai salat. Syua tidak bangkit-bangkit. Bocah itu penasaran, apa
itu cara salat terbaru? Pikirnya demikian.
Kedua Ustazah menengok ke belakang lalu menghampiri.
“SYUA!” seru Ustazah Zahra, sedangkan Ustazah Ainun geleng-geleng
kepala. “BANGUN, SYUA!!” lanjutnya meninggikan volume suara,
membuat sang objek terlonjak kaget. Santri lain tertawa. Ada yang
terpingkal-pingkal sembari memegang perut. Bagaimana tidak? Ekspresi
Syua begitu lucu. Kebingungan.
“Memalukan!” gumam Syua hampir tak terdengar sembari menutup
wajah dengan mukena.
Syua malu. Di masjid ini begitu ramai. Semua santri Al-Falah salat di sini.
Uh, mau ditaruh di mana muka manisnya