Haura

Reads
224
Votes
0
Parts
3
Vote
Report
Penulis Nenny Makmun

Gadis Yang Tidur 18 Hari

Melihat jemari anaknya bergerak-gerak, Hani lekas mendekat. Dia melihat ke kedua mata Haura, putrinya yang terbaring selama 18 hari. Dalam pengalaman hidupnya, baru kali ini dia melihat sendiri, darah dagingnya tidur selama itu. Anak ketiganya bahkan sempat mengatakan bahwa kakaknya tidak lagi ada harapan hidup. Aina--nama anak ketiganya--sempat meminta agar kakaknya yang sedang belajar di Yogyakarta segera pulang. Memohon adiknya yang baru kelas 2’Aliyah (setara dengan XI, SMU) untuk izin. Langsung menuju rumah sakit dimana kakak pertama mereka terbaring.

“Ha-Hau-ra,kamu sadar, Nak?”

Bibir Hani gemetar. Wajahnya yang pasi sedikit memerah. Ada binar di kedua bola mata bulatnya. Dia memegang kepala anak sulungnya. Melihat putrinya banyak berkeringat, dia mengambil kain jarik batik untuk mengelap.

Sosok yang dipanggil Haura berusaha duduk. Hani membantunya dengan mendorong, serta menahan pungung putrinya dengan kedua tangan. Seprei putih di bawah tubuh Haura tertarik. Dia melihat ke arah wanita di dekatnya. Merasa kenal, tapi juga merasa asing.

“Aku di mana?”

“Kau lihatlah sekeliling!” jawab suara lain, dari belakang Hani.

Laki-laki berkulit cokelat terbakar mendekati Haura. Tatapan gadis berkulit putih itu melesat padanya, tapi, dia tidak berhasil mengingat satu nama. Dia merasa mengenal, tapi sama seperti pada wanita di dekatnya, merasa asing.

Pandangan Haura berpindah perlahan. Dari jendela bergorden putih, dua tempat tidur kosong di sebelah kanannya. Ada tikar tergelar di dekat tempat tidurnya, di lantai, tas besar berwarna hitam dengan beberapa kain yang menyembul. Dia berusaha menebak, ada di mana dirinya, tapi kesulitan.

“Assalamualaikum, Haura. Kabarmu baik kan, hari ini?”

Haura tidak menjawab. Dia menoleh sebentar, kemudian menatap jendela yang gordennya sedikit melambai. Hatinya masih diliputi tanya, di mana sosok-sosok yang dilihat, kemarin? Anak berkepala gundul, lelaki berwajah salju, dan putri Inggris. Semua tidak ada di ruangan itu.

“Ini makan untukmu.”

Wanita berseragam putih yang mengucapkan salam tadi, meletakkan senampan menu di atas meja. Sekepal nasi di atas piring, satu buah pisang ambon, semangkuk kecil sup, dan dua potong ayam semur.

“Selamat makan, ya, Haura.”

Haura tidak menjawab. Dia masih duduk dengan tatapan kosong. Rambut legam lurusnya acak-acakan. Bibir kering dan mengelupas. Dia terus mencoba mengingat-ingat tempatnya berada.

“Ini rumah sakit?” tanyanya dengan suara lemah.

“Iya.”

“Aku sakit apa?”

Hani terdiam.

Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menjawab keadaan sebenarnya. Nalurinya sebagai ibu hanya fokus pada bagaimana cara, agar anaknya makan. Selama 18 hari tidak makan, terbaring, dan membuat semua panik, maka sekarang harus makan.

“Kamu hanya kecapekan. Butuh istirahat.”

Hani berusaha bicara dengan nada meyakinkan.

Dia mengambil nasi, dan menuangkan kuah sup di atasnya. Menyendok isi, serta memindahkan ayam semur ke sebelah nasi. Sementara laki-laki yang dadanya turun-naik dengan cepat itu duduk di kursi dengan tatap hiba. Hatinya remuk.

Ingatan laki-laki itu terkenang pada masa Haura kecil. Gadis yang berbakat. Banyak prestasi yang diraih. Gadis pemberani yang sangat rajin latihan berpidato. Putri kecilnya itu sangat meyukai puisi. Beberapa kali tampil ke atas panggung untuk berdeklamasi, serta mengikuti lomba. Sama sekali tidak terdetik bila hari ini dia mendapati kenyataan yang amat jauh dari masa lalunya.

Laki-laki itu berdiri, dan menghampiri Haura. Ada rasa penasaran berkelebat dalam benaknya.

“Namamu siapa?” tanya laki-laki itu pada putri sulungnya.

“Rohaye.”

“Bukan.”

“Ledi dai?” (memang sengaja ditulis demikian).

“Bukan.”

“Kamu Haura. Ini Mamak, dan ini Bapak,” ucap laki-laki berambut putih itu parau. Dadanya serasa dituuk-tusuk pecahan kaca. Bagaimana mungkin, anak yang diidam-idamkannya menjadi sosok penggembira, hari ini sama sekali tidak mengingat dirinya.

“Bapak, dilarang menangis!” tegur Hani, saat melihat kedua mata suaminya berkaca-kaca.

Laki-laki kurus itu diam. Dia meminta izin ke luar. Mencari tempat yang aman untuk bisa menyalakan sebatang rokok. Melangkah ke kiri kamar tempat Haura dirawat, dan berbelok menuju ke luar ruang bernama bunga khas Jepang. Putrinya lupa sangat banyak hal. Hampir tidak mengingat apapun. Bukan hampir, tapi memang iya.

Hani menyendok nasi, setelah memotong ayam dengan sendok. Menyatukan keduanya dan menyuapkan pada Haura. Haura membuka mulut. Dia tidak bisa merasakan apa yang dimakan dengan baik. Rasa paling kuat dalam mulutnya adalah pahit.

Hanya ada Haura dan Hani di kamar itu. Dua tempat tidur kosong tanpa seprei. Satu kursi, meja, dan tikar yang tergelar tidak rapi di lantai. Saat Haura terbaring, ada dua pasien mengisi dua tempat tidur di sana. Sekarang, semua sudah pulang. 


Other Stories
Hold Me Closer

Pertanyaan yang paling kuhindari di dunia ini bukanlah pertanyaan polos dari anak-anak y ...

Hujan Yang Tak Dirindukan

Mereka perempuan-perempuan kekar negeri ini. Bertudung kain lusuh, berbalut baju penuh no ...

Nyanyian Hati Seruni

Awalnya ragu dan kesal dengan aturan ketat sebagai istri prajurit TNI AD, ia justru belaja ...

Hujan Yang Tak Dirindukan

Perjalanan menuju kebun karet harus melalui jalan bertanah merah. Nyawa tak jarang banyak ...

Dua Mata Saya ( Halusinada )

Raihan berendam di bak mandi yang sudah terisi air hangat itu, dikelilingi busa berlimpah. ...

Dante Fairy Tale

“Dante! Ayo bangun, Sayang. Kamu bisa terlambat ke sekolah!” kata seorang wanita gemu ...

Download Titik & Koma