
Aku Ragu, Jika Mereka Orangtuaku
“Aku Bapak. Bapakmu, Haura.”
Laki-laki di depanku, tangan kirinya memegang punggung ini, dan tangan kanannya menunjuk dada. Berulang dia mengatakan, bahwa dirinya adalah bapakku. Ya Alloh. Aku masih punya Bapak?
Jadi, aku tidak hidup sendirian?
“Kau lihat. Lihat! Dia Mamak. Mamakmu, Haura.”
Mendadak, kedua ekor mataku teras memanas. Di dada seperti ada irisan sembilu menusuk-nusuk. Yang kutahu, Mamak adalah wanita yang harus dihormati. Kurasa, sudah lama tidak memiliki Mamak. Ternyata, wanita berkerudung biru tua, yang hidungnya mancung itu adalah Mamak? Aku masih memiliki orang yang harus dihormati.
Tanpa bisa kuhentikan, airmata meleleh, dan menelusuri pipi. Sepertinya, airmata ini sudah mendidih di muaranya, dan siap tumpah kapan saja. Sedikit saja ada yang membuatku bingung, aku hanya bisa memicunya untuk tumpah.
Aku memiliki Bapak, Mamak, tapi, aku tidak tahu siapa diriku. Aku hanya tahu, aku hidup sendirian sejak semuanya mendadak putih. Perlahan, kucoba menghapal ciri-ciri laki-laki yang mengaku sebagai bapakku itu. Kulitnya cokelat terbakar, rambutnya dwi warna, dan napasnya bau aneh. Mirip kemenyan tembakau, atau mirip juga dengan asap knalpot.
“Haw-ra, na-ma-ku?”
Kulayangkan tanya kepada wanita itu. Kedua mata bulatnya tampak teduh. Kelopak mata yang cantik. Kulitnya bersih, dan tubuhnya agak gemuk. Dia menggeser duduknya. Dari tadi, dia sudah duduk di tepi tempat tidur. Kedua kakinya menggantung karena posturnya memang tidak tinggi. Saat naik tadi, dia juga melompat. Mirip anak kecil yang melompat ke boncengan sepeda.
“Iya. Haura Zakiya.”
Mulutku sebenarnya sangat berat digerakkan. Kening juga seperti ditarik ke tengah. Wajah terasa kaku, sepertinya aku kesulitan berekspresi. Tapi, aku coba mengikuti mengucapkan nama yang dikatakan wanita itu, eh, maksudku Mamak
“Ha-Hawra. Za-za-ki-ya?”
Mamak mengangguk. Dia mengambil kertas putih agak lebar. Tadi, aku sempat berpikir bahwa itu adalah kertas yang pernah kulihat. Tapi, entah dimana. Dia mengibas-ngibaskan ke
wajahku. Angin yang ditimbulkan membuatku merasa sedikit nyaman.
Baru saja aku akan bertanya hal lain, terdengar suara sepatu-sepatu. Itu persis dengan suara yang kudengar kemarin, atau dulu. Suara yang ada sebelum guncangan-guncangan. Semakin lama, suara kian jelas. Aku menutup kedua telinga. Ingin lari, tapi seluruh tubuh lemas.
Ba-ha-ya.
Aku coba melafazkan kata itu, tapi tidak bisa. Jika ada suara sepatu banyak, akan ada bahaya. Ada guncangan. Kenapa Mamak diam dan tenang saja? Suara semakin dekat, dekat, dekat. Bahaya semakin kurasakan. Tangan menarik selimut dengan cepat. Aku harus bersembunyi. Siapa tahu, mereka adalah orang jahat.
“Ini dokter, Haura.”
Aku mendengar suara Mamak mengatakan sesuatu. Entah apa maksudnya. Seperti bilang “dokter” atau “roker” entah. Telingaku kurang jelas mendengarnya.
Merekapun tampak membicarakan sesuatu.
Apakah itu rencana jahat terhadapku?
Apa aku akan dikembalikan ke tempat yang semuanya serba putih?
Kenapa harus mengaku sebagai Mamak, jika memiliki rencana jahat? Y
ya Alloh Aku punya Engkau. Tapi, aku belum yakin jika mereka adalah Bapak dan Mamak. Aku hanya percaya Engkau.
“Diminumkan....”
Apa?
Ada yang harus diminumkan.
Hal apa lagi yang mereka bicarakan?
Bagaimana jika yang diminumkan itu racun?
Mereka akan meracuniku karena apa?
Aku sudah tidak diharapkan hidup, atau memang aku sudah seharusnya mati?
Napas ini memburu.
Dada berdegup sangat cepat.
Aku lemah dan tidak bisa ke mana-mana. Tentu akan sangat mudah jika mereka akan melenyapkanku. Apa sebaiknya kulenyapkan diriku sendiri saja sebelum mereka mendahuluinya?
“Kamu kenapa, Haura?”
Selimut tertarik dari kepala. Aku menoleh, melihat pintu, jendela, dan belakang Mamak. Tidak ada siapa-siapa. Orang yang mengaku Bapak juga tidak ada. Ohya. Bapak. Setengah ragu aku masih belajar mengakui dua orang yang terus menungguiku. Mamak, dan Bapak.
***
Suara salam memporak-porandakan kantukku. Sosok laki-laki cungkring, terus tersenyum ada di gawangan pintu. Dia akan masuk. Aku seperti pernah melihatnya. Tapi, entah di mana. Rambutnya keriting. Kedua matanya mirip dengan Mamak.
“Sudah sholat apa belum, Mbak?”
Dia menarik tangan kananku, menyalami, dan menciumnya. Dia sepertinya sangat menghormatiku.
“Sho-lat a-pa?” tanyaku dengan sekuat tenaga menggerakkan bibir. Entah apa yang terjadi, hingga bibir pun sangat kaku.
“Ashar.”
Aku... sudah lama tidak sholat. Dan kedua mata ini pun basah. Aku punya Alloh, tapi kenapa baru saat ini ingat sholat. Ini juga karena ada laki-laki cungkring itu yang bertanya.
“Ini Rozan, Haura. Dia adikmu. Adik bungsu.”
Entahlah. Kenapa aku yang sendirian mendadak memiliki Bapak, Mamak, dan sekarang adik. Adik bungsu itu maksudnya apa? Aku tidak tahu.
“O-ya.Yo wudhudulu! Sholat empat rakaat.”
Aku bingung.
Coba mengingat, bagaimana cara berwudhu. Mamak lalu mengantar ke kamar mandi. Ada kran di sana. Aku diajarinya berkumur, membasuh hidung, wajah,tangan, kepala, telinga, dan kaki. Mungkin, inilah wudhu.
“Selesai. Ayo kita ke kamar.”
Aku melihat ada kain merah tergelar. Di mataku, itu seperti darah. Aku langsung berteriak.
“Kenapa?”
“Buang itu!”
Mamak langsung menyingkirkan kain merah itu.
“Kenapa kamu enggak mau pakai sajadah?”
Aku hanya mengangguk.
Entah apa itu sajadah.
“Pakai ini.”
Kuterima kain putih. Dan memeluknya.Mamak lalu mengambilnya dari pelukanku, dan mendekatkan ke kepala. Aku jadi seperti memakai kerudung. Aku hanya menirukan semua gerakan dan apa yang diucapkan Mamak. Tapi, aku hapal sekarang apa yang diucapkannya. Itu surat dalam Juz ‘Amma. Al-Fatihah, Al-Falaq, dan An-Nas. Ada tenang, rasa yang lama hilang bisa kurasa. Walaupun hanya sebentarOther Stories
Sinopsis
hdhjjfdseetyyygfd ...
Separuh Dzarah
Saat salam terakhir dalam salat mulai terdengar, di sana juga akan mulai terdengar suara ...
Tersesat
Tak dipungkiri, Qiran memang suka hal-hal baru. Dia suka mencari apa pun yang sekiranya bi ...
Kasih Ibu #1 ( Hhalusinada )
pengorbanan seorang ibu untuk putranya, Angga, yang memiliki penyakit skizofrenia. Ibu rel ...
Osaka Meet You
Buat Nara, mama adalah segalanya.Sebagai anak tunggal, dirinya dekat dengan mama dibanding ...
Just, Open Your Heart
Muthia terjebak antara cinta lama yang menyakitkan dan cinta baru dari bosnya yang penuh k ...