
Chapter 1
Awan duduk di tepi sungai kecil yang mengalir di belakang rumahnya. Airnya jernih, memantulkan sinar matahari pagi yang baru saja menyelinap di antara pepohonan. Dari sini, ia bisa melihat hamparan sawah yang membentang luas, tempat ayah dan ibu bekerja setiap hari.
Ia menghela napas panjang. Hidup di desa membuatnya akrab dengan rutinitas—bangun pagi, membantu orang tua, pergi ke sekolah, lalu kembali membantu di ladang. Tapi jauh di dalam hatinya, ia menyimpan mimpi yang lebih besar. Ia ingin mengubah hidupnya, belajar lebih banyak, dan suatu hari nanti melihat dunia di luar desanya.
Hari ini, ia memberanikan diri untuk berbicara dengan Pak Jaya, pria tua yang sering duduk di balai desa dengan buku-buku tebal di tangannya. Konon, Pak Jaya pernah menjadi pengusaha sukses sebelum memilih hidup sederhana di desa ini. Awan ingin belajar darinya.
Saat langkahnya memasuki area balai desa, ia melihat sosok Pak Jaya sedang membaca. Dengan sedikit gugup, ia mendekat.
"Pak, bolehkah saya bertanya sesuatu?" suaranya nyaris berbisik.
Pak Jaya menurunkan bukunya, menatap Awan dengan mata penuh kebijaksanaan. "Tentu saja, anak muda. Apa yang ingin kau tanyakan?"
Awan mengeratkan genggaman di sisi celananya. "Saya ingin tahu... bagaimana cara memulai perubahan? Bagaimana cara mewujudkan mimpi?"
Pak Jaya tersenyum tipis, lalu melirik buku yang sedang ia baca. "Langkah pertama adalah bertanya. Kau sudah melakukan itu. Sekarang, kau hanya perlu keberanian untuk mengambil langkah berikutnya."
Awan terdiam. Ia merasa bahwa percakapan ini adalah awal dari sesuatu yang besar.
Awan lahir dan tumbuh di desa kecil yang dikelilingi sawah dan hutan hijau. Ayahnya, Pak Hasan, adalah petani yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sementara ibunya, Ibu Siti, adalah seorang penjahit yang menjual hasil jahitannya ke pasar desa. Meskipun hidup sederhana, mereka adalah orang tua yang penuh kasih dan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Awan dan adik-adiknya.
Sejak kecil, Awan dikenal sebagai anak yang ingin tahu dan penuh impian. Ia sering memandangi langit dan bertanya-tanya tentang dunia di luar desanya. Namun, lingkungan sekitar kadang membuatnya merasa bahwa mimpi-mimpi besarnya terlalu jauh untuk digapai. Orang-orang di desanya lebih banyak berpegang pada tradisi, dan tidak semua mendukung ide Awan untuk mencari peluang di luar sana.
Meskipun sekolah di desanya memiliki fasilitas terbatas, Awan selalu berusaha belajar dengan cara apa pun yang ia bisa. Ia sering meminjam buku dari perpustakaan desa yang kecil, membaca kisah-kisah inspiratif dari tokoh dunia, dan berdiskusi dengan Pak Jaya, seorang mantan pengusaha yang memilih hidup sederhana di desa. Dari Pak Jaya, Awan belajar tentang keberanian menghadapi tantangan dan pentingnya kerja keras dalam mencapai tujuan.
Matahari mulai condong ke barat, memancarkan sinar keemasan yang membelah cakrawala. Awan berjalan pulang dari balai desa dengan kepala penuh pemikiran. Percakapan dengan Pak Jaya tadi masih bergema di benaknya. "Langkah pertama adalah bertanya," kata-kata itu sederhana, tetapi memiliki makna yang dalam.
Di rumah, Ibu Siti menyambutnya dengan senyum hangat. "Bagaimana harimu, Nak?"
Awan tersenyum kecil. "Baik, Bu. Aku bertemu dengan Pak Jaya dan bertanya tentang impianku."
Ibunya mengangguk sambil menyiapkan teh. "Mimpi itu seperti benih. Jika kau rawat dengan baik, suatu saat akan tumbuh menjadi pohon besar."
Malam itu, Awan duduk di meja kayu di sudut rumahnya dan membuka buku catatannya. Ia mulai menuliskan hal-hal yang ingin ia capai, dari yang kecil hingga yang besar. Ia ingin belajar lebih banyak, mendapatkan kesempatan untuk melihat dunia luar, dan yang terpenting—membantu keluarganya keluar dari kesulitan ekonomi.
Namun, ada satu masalah yang selalu menghantuinya: dari mana ia harus memulai?
Keesokan harinya di sekolah, Awan berbagi cerita dengan Naira, sahabatnya sejak kecil.
"Kau tahu, Pak Jaya bilang aku harus mulai mengambil langkah kecil," ujar Awan sambil membuka buku catatannya.
Naira tersenyum. "Lalu, langkah kecil pertamamu apa?"
Awan terdiam sejenak. Ia melihat sekeliling—sekolahnya yang sederhana, teman-teman yang selalu berjuang untuk mendapatkan pendidikan terbaik, dan guru-guru yang mengajarkan dengan sepenuh hati meskipun fasilitas terbatas.
"Aku ingin membantu meningkatkan pendidikan di desa ini," jawabnya mantap.
Naira mengangguk penuh semangat. "Itu mimpi yang indah, Awan. Dan kau tidak sendirian."
Dari percakapan itu, lahir sebuah ide yang akan menjadi langkah pertama Awan dalam perjalanan panjangnya. Ia mulai menyusun rencana, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.
Hari itu, sebuah percikan harapan muncul dalam hidupnya dan ia bertekad untuk menjadikannya nyala api yang lebih besar.
Awan duduk di bawah pohon besar di belakang sekolahnya, lembaran kertas berserakan di pangkuannya. Matanya menyusuri setiap tulisan yang baru ia buat—rancangan kecil untuk meningkatkan pendidikan di desanya. Ini adalah langkah awal yang ia yakini bisa membawa perubahan.
"Jadi, kau ingin membuat perpustakaan desa?" Naira bertanya sambil membaca catatan Awan.
Awan mengangguk. "Aku pikir kalau anak-anak di desa punya akses ke buku yang lebih banyak, mereka bisa belajar lebih banyak juga."
Naira tersenyum, tetapi kemudian menghela napas. "Itu ide yang luar biasa, Awan. Tapi dari mana kita mendapatkan buku?"
Awan termenung. Pertanyaan Naira masuk akal—di desa mereka, buku bukan barang yang mudah didapat. Perpustakaan sekolah saja hanya memiliki sedikit koleksi yang mulai usang. Tapi ia tidak ingin menyerah.
"Kita bisa meminta donasi," jawab Awan akhirnya. "Aku bisa menulis surat kepada sekolah-sekolah di kota dan meminta bantuan mereka."
Naira menatapnya dengan penuh kagum. "Aku akan membantumu!"
Beberapa hari kemudian, Awan dan Naira mulai menulis surat kepada berbagai sekolah dan toko buku di kota. Mereka menjelaskan impian mereka—membangun perpustakaan kecil untuk anak-anak desa yang haus akan ilmu. Dengan penuh harapan, mereka mengirimkan surat-surat itu dan berdoa agar ada yang merespons.
Saat malam tiba, Awan duduk di teras rumahnya, ditemani cahaya remang-remang dari lampu minyak. Ia menatap bintang-bintang di langit dan bertanya pada dirinya sendiri: Apakah langkah kecil ini benar-benar bisa membawa perubahan?
Other Stories
Just Open Your Heart
Terkutuk cinta itu! Rasanya menyakitkan bukan karena ditolak, tapi mencintai sepihak dan d ...
Rumah Rahasia Reza
Di balik rumah-rumah rahasia Reza, satu pintu belum pernah dibuka. Sampai sekarang. ...
Separuh Dzarah
Saat salam terakhir dalam salat mulai terdengar, di sana juga akan mulai terdengar suara ...
Cinta Di 7 Keajaiban Dunia
Malam yang sunyi aku duduk seorang diri. Duduk terdiam tanpa teman di hati. Kuterdiam me ...
Rembulan Di Mata Syua
Pisah. Satu kata yang mengubah hidup Syua Sapphire. Rambut panjangnya dipotong pendek sep ...
Death Cafe
Sakti terdiam sejenak. Baginya hantu gentayangan tidak ada. Itu hanya ulah manusia usil ...