2r

Reads
211
Votes
0
Parts
13
Vote
by Titikoma

Chapter 3

“Rizki!” Sebuah bentakan diiringi cengkeraman di lengan, menghentikan langkah Rizki. Gadis itu menoleh. Mendapati jemari lentik Ralin mencekal lengannya.
“Apa-apaan sih, Lin?” Rizki menepis tangan Ralin.
“Apa-apaan kamu bilang? Kamu sadar nggak, sih? Gara-gara kamu, kencanku sama Rasky gagal!”
“Kencan? Kapan aku ngegagalin kencan kalian?” tanya Rizki bingung. Benar-benar tak memahami ucapan gadis itu.
“Jangan pura-pura, deh! Gara-gara kamu numpahin minuman ke baju Rasky, kami gagal kencan!”
“Oh, itu ....” Rizki mengangguk-angguk mengerti. Raut wajahnya berubah geli. “Jadi itu yang kamu sebut kencan?”
“Ngapain kamu senyum-senyum gitu? Kamu pikir ini lucu?” Ralin mendorong bahu Rizki pelan. Gadis itu tak melawan. Ia menghela napas panjang. Mencoba bersabar
“Kamu pasti sengaja ‘kan ngelakuin itu? Kamu seneng ngelihat kencan aku sama Rasky gagal?” Tatapannya tajam seolah hendak menebas gadis di hadapannya.
“Lin, mesti berapa kali lagi sih, aku bilang kalau aku nggak sengaja?” keluh Rizki. Enggan meladeni luapan emosi Ralin. “Masalah kencan kalian itu bukan urusanku.”
Tubuh Rizki limbung akibat dorongan kuat Ralin yang tak bisa menerima argumentasi gadis itu. Hampir saja ia terjatuh. Beruntung seseorang menangkap tubuhnya Sesaat pandangan mereka bersirobok.
***
“Mbak Fajri, ada yang nyariin!” teriak Rizki dari pintu depan yang terbuka sedikit.
Gadis itu hanya melongokkan kepala ke luar seraya berpegangan di gagang dan daun pintu. Di hadapannya, seorang pria berpakaian rapi nampak kikuk di bawah tatapan menyelidik Rizki.
“Siapa?” Fajri muncul dari dapur.
Rizki menoleh. Mengangkat bahu begitu Fajri mendekat lalu membuka pintu lebih lebar serta memberi jalan.
Fajri terhenyak, tapi hanya sebentar. Dengan cepat ia kembali menguasai diri. “Oh, kamu ....”
“Cowok Mbak Fajri, ya?” bisik Rizki. Ia masih berpegangan di daun pintu. Fajri menoleh sambil mendelik dan disambut cengengesan Rizki.
“Kenapa tak menghubungiku dulu?” Fajri mengalihkan tatapan pada pria yang mencarinya. Melangkah keluar kemudian mengajak pria itu menjauh. Rizki penasaran.
Selama ini belum pernah ada seorang pun datang mencari Fajri. Tak ada yang tahu siapa pria yang tengah dekat dengan wanita itu. Ia juga tak pernah terlihat jalan bareng dengan seorang teman. Waktunya lebih banyak dihabiskan di rumah. Mengurus Hasna beserta keluarga. Beberapa tahun belakangan, wanita berusia tiga puluh tiga tahun itu juga membuat kue yang dititipkan di toko-toko terdekat dan dijual secara online.
Fajri begitu misterius. Meski telah enam belas tahun tinggal satu atap, banyak sisi hidupnya tak diketahui.Wanita itu amat tertutup. Hanya status sebagai gadis yatim piatu serta tak lagi memiliki seorang pun keluarga, yang pernah dikuaknya. Selebihnya ia tak mau bercerita. Rizki dan sang ayah pun tak pernah memaksanya untuk terbuka. Lima tahun lalu Irfan pernah menawari Fajri untuk taaruf dengan salah seorang adik kelasnya semasa kuliah.
Ia menganggap wanita itu sudah saatnya menikah. Menjalani hidupnya sendiri tanpa terbebani tanggung jawab mengurus keluarga Irfan. Fajri telah banyak membantu keluarganya selama ini. Ia tak pernah mau digaji meski perekonomian keluarga Irfan semakin membaik.
Fajri menolak tawaran itu dan berkata, “aku tidak akan menikah sebelum Mbak Hasna sembuh, Mas.”
“Tapi bukan kewajibanmu mengurus Hasna. Kamu berhak menjemput kebahagiaanmu sendiri. Menikahlah!”
“Pernikahan tak bisa menjamin kebahagiaan seseorang. Aku sudah bahagia dengan kehidupanku saat ini.”
***
“Ki, kamu ngerasa nggak, kalau akhir-akhir ini sikap Rasky tuh aneh?” bisik Meta ketika Bu Mia sedang menerangkan pelajaran Sejarah. Sebagian besar penghuni kelas terkantuk-kantuk berusaha mendengarkan. Bahkan beberapa siswa di deretan bangku belakang, sudah bertualang ke alam mimpi di balik buku yang terbuka dan diberdirikan di atas meja.
“Aneh gimana?” tanya Rizki berbisik pula tanpa mengalihkan perhatiannya dari guru berusia melewati paruh baya yang menerangkan dengan intonasi dan suara pelan.
Netra tuanya mengernyit membaca deretan huruf dari buku di tangan melalui kacamata yang nyaris melorot.
“Dia sering kepergok lagi ngelihatin kamu.”
“Mungkin masih dendam sama yang waktu aku numpahin minuman ke bajunya.”
“Nggak, Ki. Aku yakin bukan karena itu. Tatapannya tuh beda. Nggak kayak orang lagi dendam,” ujar Meta mencoba meyakinkan gadis kurus itu.
Masih dengan berbisik serta tatapan lurus ke depan. Tak lama ia melirik ke arah Rasky. “Eh, lihat tuh! Dia lagi ngelihatin kamu,” lanjutnya.
Rizki menoleh. Mendapati Rasky tak berkedip memandangi dirinya. Ia mengernyit heran. Bel tanda pergantian jam berbunyi. Rasky tergeragap begitu menyadari Rizki balik menatapnya. Buru-buru diraihnya buku yang terbuka di atas meja lalu pura-pura membaca dengan irama jantung tak beraturan.
***
Rizki duduk di teras musholla sekolah. Memakai kembali sepatunya setelah melaksanakan sholat dzuhur. Ia berdiri dan mulai berjalan meninggalkan area musholla. Tiba-tiba langkah gadis itu terhenti ketika matanya menangkap sosok pemuda bertubuh sedang bernama Sunny Alif Ramdhani.
Para siswi yang dilewati pemuda—yang mirip pemain sepak bola asal Spanyol, Raul Gonzalez—itu memandang takjub seraya berbisik-bisik mengagumi ketampanannya.
Pemuda itu terus melangkah sambil menundukkan pandangan seolah tak terusik dengan tatapan dan decak kagum cewek-cewek di sekitarnya. Rizki tersenyum. Mengagumi sikap pemuda yang telah lama mengisi hatinya.
Selain cakep, tuh cowok keren banget! Menundukkan pandangan meski banyak cewek yang kagum sama dia. Beda banget sama Rasky. Hobinya tebar pesona. Sok kecakepan! pikir Rizki. Eh, kok jadi mikirin Rasky, ya? Gadis itu tersentak kemudian menggaruk-garuk kepala bingung.
“Assalamu’alaikum. Permisi ....”
Rizki terlonjak kaget begitu menyadari sosok yang tengah ia kagumi, berdiri tepat di hadapan. Tersenyum ramah dengan tetap menjaga pandangan. Getaran halus menggelitik dada Rizki diiringi detak jantung yang bertabuh kencang. Wajahnya terasa hangat. Ia mundur beberapa langkah lalu balik kanan dan bergegas lari meninggalkan pemuda yang kebingungan melihat reaksinya.
“Kak Alif!” Dari ambang pintu musholla terdengar suara orang memanggil. Rizki menoleh sekilas tanpa menghentikan laju larinya. Terlihat pemuda itu menghampiri Aldi, sang ketua Rohis yang barusan memanggil.
Rizki berhenti. Mengusap dada seraya mengembuskan napas melalui mulut. “Kenapa aku mesti lari, sih? Bodoh, bodoh, bodoh!” Rizki bergumam sembari menggetok kepalanya sendiri.
Tiba-tiba seseorang menghentikan gerakan Rizki. Tangannya menggenggam erat pergelangan tangan gadis itu. Rizki mematung. Seolah terhipnotis, ia membiarkan tangannya perlahan digerakkan ke bawah.
“Jangan ngelakuin itu lagi, ya!” Rasky tersenyum melepaskan genggamannya.
Ia berlalu. Meninggalkan Rizki yang masih syok dan membeku di tempat.
“Kayaknya Rasky beneran suka sama kamu, deh.” Meta membuka percakapan.
“Jangan mulai lagi deh, Ta!” Rizki melirik sang sahabat kesal.
“Kali ini beneran, Ki. Kalau nggak percaya, tanya aja sama Satria! Ya ‘kan, Sat?”
“Iya, Ki. Akhir-akhir ini dia sering nanyain soal kamu,” sahut Satria yang duduk di hadapan kedua gadis itu.
“Nanyain gimana?” Rizki mulai penasaran.
“Ya tentang kamu. Tentang sifat, kebiasaan, di mana kamu tinggal, tinggal sama siapa aja, apa kesukaan kamu, bahkan dia nanyain apa kamu punya pacar atau belum,” jelas Satria panjang lebar.
“Terus, kamu jawab apa?”
“Ya ... aku jawab sejujurnya.”
***
Hari-hari berikutnya, Rizki mulai menghindari Rasky. Sikap cowok itu yang tiba-tiba berubah serta kata-kata Meta tentang kemungkinan Rasky suka padanya, membuat ia risih. Selain di kelas, sebisa mungkin gadis itu menjauhi tempat Rasky berada. Bahkan ketika nyaris berpapasan, ia buru-buru berbalik mencari jalan lain.
Sikapnya itu menimbulkan pertanyaan di benak Rasky. Kenapa justru di saat ia ingin dekat dengan Rizki, gadis itu malah menghindarinya? Apa ada yang salah?
Kalau begini terus, aku makin nggak tahan. Aku harus bilang sekarang. Harus! tekadnya bulat.
Rizki hendak beranjak saat Rasky terlihat melangkah tergesa menuju mejanya, tapi urung dilakukan karena Meta menahan tangan gadis itu dan memintanya kembali duduk.
“Kamu harus hadapi! Kalau kamu menghindar terus, masalah ini nggak akan selesai,” ucap Meta tegas.
Rizki membuka mulut mau membantah ketika Rasky dengan cepat sampai di mejanya.
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Ki.”
“Ngomong aja!” Rizki kembali duduk.
Rasky melirik Meta sekilas. “Tapi aku mau ngomong berdua aja.”
“Memang kenapa kalau Meta dengar?”
“Udahlah, Ki. Kalian ngomong berdua aja!”
“Tapi, Ta ....”
“Kamu pasti bisa!” bisik Meta sebelum beranjak.
“Kenapa kamu menghindar dari aku? Aku salah apa?”
“Siapa yang menghindar?” elak Rizki.
“Please, Ki, nggak usah ngelak! Kamu cukup jelasin alasan kamu ngehindarin aku.”
“Terserah kamu mau bilang apa. Aku nggak mau jawab!” Rizki bersikukuh.
“Udah? Itu aja yang mau kamu omongin?” Rasky mencekal pergelangan tangan Rizki saat gadis itu hendak beranjak.
“Apa-apaan, sih?” Rizki menarik tangannya kasar hingga terlepas dari genggaman Rasky. Terdengar kasak-kusuk dari berpasang-pasang mata yang melihat adegan itu.
“Aku belum selesai ngomong.”
“Apa lagi?” keluh Rizki kesal.
Rasky menghela napas panjang. Seperti mengumpulkan kekuatan untuk menyampaikan sesuatu yang akan ia katakan.
Jangan-jangan dia mau ngelamar kamu .... Rizki tersentak mendengar suara Meta di kepalanya.
Hatinya kebat-kebit menanti ucapan Rasky. Berharap apa yang dipikirkan tak terjadi. Tanpa sadar, ia menahan napas.
“Sebenarnya aku ....”
Bel tanda masuk memutus ucapan Rasky. Ketegangan yang Rizki rasakan perlahan luruh. Bergegas ia bangkit. Menjadikan bunyi bel sebagai alasan untuk segera pergi.
***
Rizki keluar dari toko bahan kue usai membeli bahan-bahan yang dipesan Fajri. Dihampirinya sepeda yang terparkir di depan toko. Memasukkan kantong belanjaan ke dalam keranjang, lalu duduk di atas boncengan kemudian membuka bungkus es krim di tangan. Gadis itu menikmati es krim sembari menatap jalanan sepi di depan toko sore itu.
“Assalamu’alaikum. Permisi ....”
Rizki menoleh mendengar suara dari arah belakang. Matanya melebar dengan mulut ternganga begitu mengetahui siapa yang beruluk salam barusan.
Alif! Refleks gadis itu melompat lalu bergegas mendorong standar sepeda hendak beranjak pergi.
Namun, tangan Alif sigap menahan bagian belakang boncengan hingga membuat Rizki tak bisa menggerakkan sepedanya.
“Maaf, tolong jangan lari! Saya nggak berniat jahat.”
Perlahan tangan kanan Rizki yang masih menggenggam es krim, menjauh dari setang dan bergerak ke sisi tubuh. Ia menunduk dalam. Alif melangkah ke hadapan Rizki. Jarak keduanya hanya dibatasi sepeda gadis itu.
“Kamu masih ingat saya? Kita pernah ketemu di musholla sekolah.”
Rizki mengangguk. Masih menunduk.
“Rumah kamu dekat dari sini?”
Lagi-lagi gadis itu mengangguk.
“Kamu buru-buru?”
Kali ini ia menggeleng.
“Boleh minta tolong?”
Rizki kembali mengangguk.
“Begini. Motor saya mogok dan masuk bengkel. Saya ada urusan penting dan harus segera sampai di sana sekarang,” jelas Alif.
“Terus?”
“Dari tadi nyari angkot di sekitar sini, tapi nggak ketemu,” Alif berhenti sejenak. “Boleh saya pinjam sepedanya? Besok akan saya kembalikan di sekolah,” lanjutnya dengan wajah penuh harap.
Anggukan Rizki membuat senyum pemuda itu merekah. Ia mengambil alih sepeda dan berterima kasih serta mengucapkan salam setelah mengangsurkan kantong belanjaan di dalam keranjang kepada Rizki. Kemudian pergi meninggalkan Rizki yang terbengong-bengong hingga tak menyadari es krimnya telah meleleh di tangan.
***
Rasky termangu di balkon kamar. Mengingat kembali kejadian dua minggu lalu tak lama setelah Kania meledeknya dengan mengatakan bahwa rasa benci bisa berubah menjadi cinta. Saat itu Ryan mendatanginya di kamar.
“Siapa nama gadis itu?” tanyanya langsung sesaat setelah duduk di tepi ranjang Rasky.
“Gadis yang mana, Pa?” Rasky mengernyit heran mendengar pertanyaan sang papa yang tiba-tiba.
“Yang biasa kamu ceritakan itu.”
“Rizki?”
“Lengkapnya?” Ryan menahan napas.
“Rizki Ravinza.”
Raut wajah Ryan mendadak berubah. Terlihat sedikit gugup, tapi dengan cepat bisa ditutupinya.
“Besok kamu berangkat sekolah bareng Papa. Tunjukkan yang mana orangnya!” Pria itu bangkit.
“Memangnya kenapa, Pa?”
“Kamu akan tahu kalau semuanya sudah jelas.”
“Hayo, lagi mikirin siapa?”
Lamunan Rasky buyar. Ia menoleh. Mendapati sang mama tersenyum jahil.
“Pasti lagi mikirin cewek itu. Ya, ‘kan?”
“Makan malam sudah siap ya, Ma? Rasky turun sekarang ya!” Kening Kania berkerut mendapati reaksi Rasky. Ia terlihat tenang. Tak lagi mencak-mencak saat sang mama menggoda. Seolah ucapan Kania hanya angin lalu saja.
***
Bel tanda pulang berdentang. Hiruk-pikuk mulai memenuhi koridor sekolah. Alif mengamati lalu lalang para remaja berseragam putih abu-abu dari luar gerbang. Mencari sosok yang bahkan tak ia ketahui namanya. Senyum pemuda itu mengembang begitu menemukan gadis yang dicari tengah berjalan menuju gerbang sambil bercanda dengan kawannya.
“Assalamu’alaikum ....” Ucapan salam Alif membuat Rizki yang tak menyadari kehadiran pemuda itu, menoleh.
“Wa’alaikumsalam ....” Meta yang menjawab dengan pandangan takjub. Sementara Rizki masih terpaku melihat sang pujaan hati tiba-tiba muncul di hadapan.
“Saya mau mengembalikan sepeda yang kemarin saya pinjam. Terima kasih, ya!”
Rizki masih tak bereaksi hingga Meta menyikut lengannya. “Eh, i ... iya ....” Rizki tergeragap. Buru-buru menunduk ketika jantungnya mulai berdebar kencang.
Alif tersenyum melihat kekikukan gadis itu. “Saya permisi. Assalamu’alaikum ....” pamit Alif dan dijawab dua gadis di hadapannya bersamaan.
“Siapa dia, Ki?” tanya Meta tanpa mengalihkan tatapan dari punggung Alif yang kian menjauh.
“Kak Alif,” gumam Rizki. Pandangannya juga tak lepas dari sosok pemuda itu.
Refleks Meta menoleh mendengar jawaban Rizki. Hendak menanyakan lebih lanjut tentang pemuda yang kemarin gagal dijumpai. Namun, begitu melihat ekspresi wajah sang sahabat, diurungkannya niat itu. Dari tatapan Rizki, gadis berlesung pipit itu menemukan jawaban atas rasa penasaran akan sosok yang berhasil mencuri hati sohib karibnya.
***
Rizki membantu Fajri menyiapkan camilan dengan memasang tampang kusut. Sore ini tugas kelompok yang diberikan Bu Ratna akan dikerjakan di rumahnya. Sebenarnya ia keberatan. Akan tetapi, usulan Rasky yang disetujui dengan senang hati oleh Meta dan Satria, membuatnya tak berkutik karena kalah suara.
“Ngapain sih, nyiapin kue banyak-banyak? Mereka kan ke sini buat ngerjain tugas, bukan buat makan,” protesnya.
“Sebagai tuan rumah, kita harus bisa menjamu tamu dengan baik.”
Rizki menggerutu mendengar jawaban Fajri. Akan tetapi, dilanjutkannya juga menyiapkan jamuan.
“Orang tuamu di mana?” tanya Rasky saat mereka sedang mengerjakan tugas. Sejak kedatangannya sejam lalu, selain Rizki, hanya ada Fajri yang terlihat di rumah itu.
Gerakan tangan Rizki yang tengah menulis, terhenti mendadak. Sementara Meta dan Satria kompak melirik ke arah gadis itu. Dugaan Meta bahwa Rasky mau melamar Rizki, kompak terbersit di benak ketiganya.
“Memangnya kenapa?” Rizki melanjutkan kegiatannya.
“Pengen kenalan aja.” Rasky menjawab enteng. Tak menyadari tiga orang lainnya berpikiran macam-macam mendengar ucapannya.
“Ayah lagi kerja. Ibu ada di kamar.”
“Boleh kenalan?”
Rizki mengangkat kepala yang sedari tadi tertunduk. Matanya menelisik ekspresi wajah Rasky.
***
“Saya Rasky, Tante,” ucap Rasky sembari meraih tangan Hasna. Merunduk lalu mencium tangan wanita itu. Rasky kaget saat tangannya digenggam erat ketika hendak dilepas. Tatapan kosong Hasna bergerak menyapu wajahnya.
“Razka ...,” gumamnya dengan suara serak. Semua orang di ruangan itu terkejut. Meta dan Satria ternganga. Fajri bahkan sampai menutup mulutnya yang nyaris memekik kaget.
Tangan kiri Hasna terangkat. Mengusap bagian kanan wajah Rasky yang terbengong-bengong mendapat perlakuan seperti itu.
Mata Hasna berkaca-kaca. Bibirnya kembali menyebut nama Razka berkali-kali. Ia menarik tubuh Rasky ke dalam pelukan bersamaan dengan luruhnya tetes bening dari kedua netra.
Rasky membeku dalam rengkuhan Hasna. Kejadian itu begitu tiba-tiba hingga membuatnya kebingungan. Rizki tercekat. Kelopak matanya terasa memanas. Di satu sisi ia merasa bahagia melihat perubahan kondisi sang ibu. Tapi di sisi lain ada kecemburuan menelusup mendapati justru orang asing yang pertama kali dipeluk wanita itu.
“Dia bukan Razka, Bu.” Rizki menghampiri Hasna. Mencoba melepas kedua tangan sang ibu yang mendekap erat tubuh Rasky. Air mata mengalir deras di pipinya. “Razka sudah meninggal, Bu!” teriaknya putus asa ketika tak berhasil melepas dekapan Hasna.
Perlahan tangan Hasna terurai. Beberapa saat termangu. Tatapannya kembali kosong. Rasky bangkit. Nampak syok lalu mundur dengan langkah terhuyung.
“Tidak! Tidak mungkin! Razka masih hidup. Anakku tidak mungkin meninggal!” Tiba-tiba Hasna menjerit sambil menggeleng-geleng tak percaya.
Rizki bersimpuh di hadapan sang ibu. Digenggamnya kedua tangan Hasna erat. Air mata gadis itu masih berderai. Rasky berdiri mematung. Menatap punggung Rizki dengan tatapan hampa. Pikirannya seolah terbang meninggalkan raga.
“Bu, tolong lihat aku! Ini Rizki, Bu. Putri Ibu ....”
Hasna menatap Rizki selama beberapa detik. “Siapa kamu?” desisnya memandang Rizki tajam. Belum hilang rasa terkejutnya atas sikap dingin sang ibu, Rizki didorong kasar oleh Hasna hingga membuat gadis itu jatuh terduduk.
Semua orang terperanjat. Rizki tergugu. Ia masih termangu ketika Meta membantunya berdiri.
“Di mana anakku? Jangan sembunyikan dia dariku!” Hasna kembali berteriak lalu terjatuh dari atas kursi roda saat berusaha bangkit. Sedetik kemudian, ia tak sadarkan diri.
***
“Kita harus bicara.”
Rizki yang hendak mengambil sepeda di parkiran sekolah, terlonjak kaget ketika mendadak Rasky muncul. Rasky menarik tangan Rizki menjauh dari keramaian.
“Ada apa, sih?” tanya Rizki ketus begitu Rasky melepaskan cekalan dan mendorongnya ke tembok. Mereka berhenti di depan gudang. Tempat yang paling jarang dilewati.
“Waktu itu aku belum selesai bicara.” Rasky menatap gadis itu tajam. Melangkah perlahan dan mengurangi jarak.
Kedua lengannya terentang serta menyentuhkan telapak tangan pada dinding di belakang Rizki. Ia sudah lelah menyimpan rahasia dalam hati. Terlebih, sejak hendak diungkapkannya rahasia itu beberapa hari lalu di kantin, Rizki semakin getol menghindar. Membuatnya nyaris frustrasi karena tak memiliki kesempatan bicara empat mata. Semalam ia telah memutuskan kali ini tak boleh gagal. Ia tak mau batinnya terus-terusan tersiksa menyembunyikan sesuatu yang menyita pikirannya akhir-akhir ini.
Rizki terkesiap. Ketakutan mulai menjalari gadis itu saat melihat bara di mata Rasky. “Bisa nggak, singkirin tangan kamu dulu?” pintanya risih.
“Setelah itu kamu akan lari lagi?” desis Rasky sinis.
Kepalanya merunduk mendekati wajah Rizki yang refleks tertunduk dalam. Ia semakin merapat ke tembok tatkala Rasky kian mengurangi jarak di antara keduanya. Makin ia membenamkan kepala ke bawah, lebih rendah pula kepala cowok itu merunduk dan mendekati wajahnya. Sebentar kemudian, ia berbisik ke telinga Rizki.
“Dengar! Sebenarnya ....”
Ucapan Rasky terpotong saat dengan keberanian yang tersisa, Rizki nekat membenturkan kepala dan tepat mengenai hidung Rasky lalu melayangkan tinju ke wajahnya. Kemudian bergegas lari sambil mengusap kening serta mengibas-ngibaskan tangan yang terasa nyeri ketika cowok itu refleks mundur sembari memegangi bekas pukulan di wajah. Ini pertama kalinya gadis itu memukul seseorang. Meski tak terlalu kuat, pukulan itu cukup untuk membuat Rasky mundur.
“Yang ibumu bilang kemarin itu benar!” teriak Rasky sambil meringis menahan rasa sakit.
Langkah lebar Rizki mendadak terhenti. Spontan berbalik menanti ucapan cowok itu selanjutnya. Rasky menghampiri Rizki dan mengusap darah di hidung.  

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices