
by Titikoma

Chapter 4
“Aku Razka. Saudara kembar kamu.”
Mata Rizki terbeliak. Tubuhnya limbung mendengar berita yang sama sekali tak terduga. Perasaannya campur aduk antara lega, terkejut, penasaran, serta tak percaya. Lega karena perkiraannya selama ini salah. Dugaan kalau cowok itu jatuh cinta padanya terbukti tidak benar. Namun juga terkejut, tak percaya, sekaligus penasaran mendengar ucapan Rasky.
“Kamu bercanda, ‘kan?” Rizki tersenyum sinis begitu menyadari kemungkinan kalau yang dikatakan Rasky hanya kebohongan belaka agar dirinya tak lagi menghindar.
“Aku serius, Ki. Kalau kamu nggak percaya, kita bisa melakukan tes DNA sekarang.”
“Lalu gimana kamu tahu kalau kita saudara kembar? Dan sejak kapan?” Kenyataan bahwa Rasky juga tahu kalau Razka itu kembarannya, membuat ia sedikit ragu dengan prasangkanya sendiri.
“Sejak dua minggu lalu. Papa yang cerita.”
Rizki menelisik wajah Rasky dan mendapati keseriusan terlihat jelas di sana. Ia menghela napas panjang lalu berucap, “aku mau ketemu sama Papa kamu sekarang.”
“Baiklah. Tapi ....” Rasky kembali memegangi bekas pukulan Rizki, “bisa nggak, kamu bantu aku ngobatin luka ini dulu? Sakit banget, nih!” Rasky meringis sambil memajukan bibirnya. Ia nyaris menangis menahan sakit. Rizki melongo melihat perubahan drastis Rasky. Sikap yang tadinya sangat serius, tiba-tiba berubah manja dan kekanak-kanakan.
***
“Makanya jangan sok jadi preman! Luka segini aja nangis. Cengeng!” omel Rizki saat membersihkan luka dan memar di hidung serta pipi Rasky. Mereka duduk berhadapan di tepi salah satu ranjang ruang UKS.
“Aku cuma pengen kamu nggak lari lagi. Makanya ngelakuin itu. Aw! Pelan-pelan dikit! Sakit ....”
“Bisa diem nggak, sih? Susah ngobatinnya kalau kamu gerak-gerak terus.”
“Iya, tapi pelan-pelan ....” gumam Rasky takut-takut. Rizki tak menjawab. Tangannya sibuk mengobati luka Rasky.
“Eh, tangan kamu luka juga?” tanya Rasky ketika melihat buku-buku jari tangan kanan Rizki lecet dan sedikit berdarah. Refleks diraihnya tangan gadis yang tengah membereskan kotak obat itu.
“Apaan sih, pegang-pegang?” sentak Rizki galak sembari menarik tangannya dari genggaman Rasky.
“Aku cuma mau ngobatin luka kamu.”
“Nggak usah!” Rizki menyembunyikan tangannya di belakang punggung saat Rasky hendak meraihnya kembali. “Aku bisa sendiri.”
“Kenapa, sih? Aku kan saudara kandung kamu. Nggak masalah ‘kan kalau cuma pegang tangan?”
“Belum pasti.” Rizki bangkit lalu meletakkan kotak obat ke tempat semula. Ia melongok mencari plastik kecil di lemari kotak obat.
“Apa? Kamu nggak percaya sama aku?”
Rizki menutup lemari kotak obat lalu menoleh menatap Rasky. “Aku baru akan percaya kalau hasil tes DNA menyatakan bahwa kita saudara kandung.”
“Masih mau tes DNA?”
“Kan tadi kamu yang nawarin.” Rizki memasukkan dua helai rambut yang diambilnya dari balik jilbab ke dalam plastik kecil lalu menyodorkannya pada Rasky. “Kamu yang urus ini. Aku pulang dulu,” lanjutnya.
“Nggak jadi ketemuan sama Papa?”
“Lain kali aja kalau hasil tes DNA-nya sudah keluar.”
***
“Gimana keadaan Ibu, Mbak?” tanya Rizki begitu Fajri membukakan pintu rumah.
“Tadi ibumu sudah Mbak bawa ke rumah sakit. Dokter menyarankan agar kita menghadirkan sesuatu sekecil apa pun yang bisa membuatnya merespon sekitar.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Kamu bisa ‘kan minta teman kamu itu datang ke sini lagi dan pura-pura jadi Razka?”
Rizki terhenyak. Kejadian sepulang sekolah tadi belum sepenuhnya menghilang dari pikirannya dan kini ucapan Fajri membuat masalah yang memusingkan kepala bertambah rumit.
“Nggak ada jalan lain?”
“Untuk saat ini cuma itu yang bisa kita lakukan.”
***
“Muka kamu kenapa, Sayang? Kamu berantem?” Kania merangkum wajah Rasky meneliti lebam di wajah putranya.
“Nggak, Ma. Tadi cuma kecelakaan kecil aja,” elak Rasky menepis tangan Kania.
“Kecelakaan? Kamu jatuh dari motor?”
“Bukan gitu, Ma. Ah, gimana ya?” Rasky menggaruk kepalanya bingung. “Pokoknya Rasky nggak apa-apa. Itu aja.”
Rasky bergegas menuju kamar. Tak dihiraukannya panggilan sang mama yang masih menuntut penjelasan.
“Kamu tidak boleh jatuh cinta padanya.” Ucapan Ryan saat Rasky menunjuk sosok Rizki—yang menuntun sepeda menuju gerbang sekolah—dari balik kaca mobil, kembali terngiang.
“Kapan Rasky bilang jatuh cinta sama dia? Papa pasti kemakan omongan Mama, deh.”
“Gadis itu kakak kandungmu.” Rasky sempat tertegun sebelum akhirnya tertawa mendengar ucapan sang papa.
“Papa ngaco, ah! Gimana bisa dia jadi kakak kandungku kalau kami lahir di hari yang sa ....”
“Dia saudara kembar kamu,” tukas Ryan tanpa mengalihkan pandangannya ke depan.
Rasky terperanjat. Refleks ternganga menatap Ryan yang duduk di sampingnya.
Ekspresi wajah pria itu datar. Seperti mengabarkan sesuatu yang biasa saja. “Maksud ... Pa-pa apa?”
“Cuma itu yang bisa Papa katakan sekarang. Akan ada saatnya Papa menceritakan semuanya.” Hening sesaat. “Papa minta jangan ceritakan hal ini pada siapa pun termasuk Mama. Ini rahasia antara kita berdua.”
“Tapi, Pa ....”
“Masuklah! Sepertinya kamu sudah terlambat.”
Rasky hendak membantah, tapi diurungkannya ketika Ryan mulai men-starter mobil. Terpaksa cowok itu turun dengan membawa tanda tanya besar dalam benak.
Rasky menyusuri koridor sambil melamun. Tak tahu harus bagaimana menyikapi informasi yang begitu tiba-tiba hingga tak disadarinya pertengkaran Ralin dan Rizki beberapa meter di depan. Lamunan Rasky buyar saat Ralin mendorong tubuh Rizki yang refleks tertangkap olehnya. Sesaat pandangan mereka bertemu. Untuk pertama kalinya, Rasky melihat gadis itu dengan tatapan berbeda.
Rizki celingukan di area parkiran. Pandangan menyapu sekeliling. Barisan sepeda serta sepeda motor mulai berkurang seiring dengan para pemiliknya yang bergegas pulang. Sengaja ia segera meninggalkan kelas dan diam-diam berlari ke tempat itu begitu pelajaran terakhir usai agar terhindar dari pertanyaan Meta dan Satria mengenai hubungannya dengan Rasky. Meski Rasky sudah menjelaskan bahwa yang dikatakannya itu hanya candaan belaka, mereka masih tak percaya.
“Nyari apa?” Suara Rasky menghentikan gerakan Rizki. Gadis itu menoleh.
“Sepedaku. Perasaan tadi aku parkir di sini, deh,” jawabnya menunjuk area kosong di depan.
“Oh, itu. Tadi udah aku titipin ke Pak Parman.”
“Kenapa kamu titipin?”
“Lho, tadi ‘kan kamu ngajak aku ke rumahmu?”
“Iya, tapi apa hubungannya?”
“Kita bareng aja naik motorku. Biar lebih cepat.”
“Tapi gimana caranya besok aku berangkat sekolah?”
“Aku jemput.”
“Tapi ....”
“Mau aku ke rumahmu sekarang atau dibatalkan saja?”
Rizki menatap Rasky tak percaya. Ia tahu cowok itu bukan menawarinya pilihan, tapi yang baru saja dikatakan adalah perintah.
Gadis itu mengepalkan kedua tangan geram. Rahangnya mengeras dengan tatapan nanar. Merasa ingin sekali menonjok wajah Rasky lagi, tapi mengingat saat ini kedatangan cowok itu ke rumahnya begitu diharapkan, sekuat tenaga ia redam perasaan tersebut.
***
“Kok nggak naik-naik? Masih ngapain, sih?” tanya Rasky setelah beberapa saat men-starter motor dan tak ada tanda-tanda Rizki duduk di boncengannya. Pandangan cowok itu menghadap ke depan. Bersiap untuk berangkat.
“Aku udah naik dari tadi.”
Rasky menoleh mendengar jawaban Rizki. Mendapati gadis itu telah duduk menyamping di belakangnya nyaris di bagian paling ujung jok hingga menciptakan jarak di antara mereka berdua.
“Kapan kamu naiknya? Kok nggak kerasa?” Rasky mengernyit heran, tapi sebentar kemudian tersenyum jahil. “O ya, badan kamu ‘kan seringan kapas,” ledeknya membuat muka Rizki semakin ditekuk.
“Udah jangan banyak omong! Cepat berangkat!”
“Kamu ke depanan dikit, dong! Pegangan ke pinggangku. Nanti kalau jatuh, gimana?”
“Jadi berangkat nggak, sih?” Rizki bergeming. Tak menghiraukan ucapan Rasky. Ia tetap pada posisinya dengan tangan kiri berpegangan erat pada tepi jok belakang.
“Iya, iya. Awas kalau jatuh jangan nangis!”
“Cerewet!”
Rasky menjalankan motor pelan sembari tersenyum. Ia tak pernah menyangka akan mengalami hal yang baginya hanya terjadi di film-film atau sinetron. Terpisah dari saudara kembar kemudian kembali berjumpa setelah belasan tahun.
***
Rizki menatap nanar adegan mengharukan di depan mata. Di sampingnya, Fajri berkali-kali mengusap tetes bening yang mengalir di pipi dengan ujung jilbab. Hanya dengan menggengam tangan Hasna, Rasky begitu mudah membuat wanita itu terjaga dari dunia sunyinya. Mereka berpelukan sembari menangis tersedu-sedu. Melepas rindu yang selama ini terpendam.
Rizki perlahan mundur. Segera berbalik lalu berlari menuju kamar. Di sana pertahanannya jebol. Ia meledakkan tangis dengan bantal menutupi kepala agar isaknya tak terdengar. Meski telah sekuat tenaga berusaha menahan, hatinya masih terasa sakit melihat sang ibu memeluk Rasky penuh cinta. Belasan tahun ia mendamba kesembuhan Hasna terjadi, tapi tidak dengan cara seperti ini.
***
“Kenapa Anda kembali? Apa Anda pikir setelah sekian lama peristiwa itu akan terlupakan?”
Ryan termangu di ruang kerjanya. Kejadian saat Fajri mendatanginya di rumah sakit beberapa hari lalu, kembali berkelebat dalam benak.
“Apa maksudmu?”
“Anda pengecut. Melanggar kesepakatan dan membiarkanku menunggu lama di sana.”
“Lalu bagaimana denganmu? Kamu sendiri tidak mengakuinya ‘kan meski telah enam belas tahun berlalu?” tanya Ryan sinis. Mendadak menemukan celah untuk memojokkan wanita muda di hadapannya. Fajri tersentak. Wajahnya memerah menahan amarah.
“Setidaknya aku bertanggung jawab. Tidak begitu saja lepas tangan dan lari seperti Anda.” Fajri berusaha agar suaranya tetap terdengar stabil. Menekan kuat-kuat emosi yang nyaris membuncah.
“Lalu apa maumu sekarang?” tantang Ryan.
***
“Ini hasil tes DNA-nya.” Rasky menyodorkan amplop coklat yang diambil dari tasnya.
Rizki menerima amplop itu lalu mengeluarkan isinya. Ia nyaris melupakan hal tersebut setelah sekian waktu berlalu. Perkembangan sang ibu yang semakin membaik berkat kehadiran Rasky yang mengunjungi setiap hari, membuatnya tak lagi memikirkan tes DNA.
Tak hanya berbicara, Hasna juga mulai menjalani terapi agar bisa berjalan lagi.
Pagi itu, Rizki yang semalam menginap di rumah Meta, tiba terlebih dahulu di sekolah. Sengaja berangkat lebih pagi setelah mendengar kabar dari Rasky kalau hasil tes DNA mereka sudah keluar. Sempat meletakkan tas di kelas sebelum Rasky datang dan segera diajaknya ke depan gudang untuk menunjukkan hasil tes itu tanpa sepengetahuan siapa pun.
“Dari dulu aku pengen banget punya saudara. Jadi anak tunggal itu nggak enak. Kesepian,” ujar Rasky saat Rizki tengah berkonsentrasi membaca kertas di tangan.
“Aku pikir keinginanku itu nggak akan terkabul setelah belasan tahun nggak ada tanda-tanda Mama bakal hamil lagi. Tapi ternyata keajaiban terjadi. Aku seneng banget!” Tangan Rasky terentang. Bergerak hendak memeluk Rizki yang masih menunduk menekuri tulisan di kertas itu.
“Tunggu!”
Gerakan Rasky terhenti. Diam mematung dengan posisi tangan masih terentang dan menatap Rizki yang terlihat serius memandangi kertas.
Rizki mengangkat kepala. “Bawa aku ke tempat Papamu sekarang!” Tiba-tiba ia meraih tangan kiri Rasky lalu menyeretnya menuju parkiran. Berpasang-pasang mata yang mereka lewati, terperangah menatap keduanya.
“Ayo cepetan! Kita harus keluar sebelum Pak Parman nutup gerbang,” gertak Rizki melihat Rasky masih terbengong-bengong di depan motornya.
Rasky tergeragap. Dengan gugup mengambil kunci motor dari saku celana kemudian menghidupkan mesin. Rizki bergegas naik dan duduk di boncengan. Tangan kirinya menggenggam kertas beserta amplop coklat, sementara tangan kanan melingkar di pinggang Rasky.
Lelaki itu tertegun mendapati perubahan sikap Rizki padanya. Untuk pertama kalinya, gadis itu menghapus jarak yang selama ini terbentang di antara mereka berdua.
Bel tanda masuk berbunyi. Pak Parman mulai bergerak menutup gerbang. Menarik teralis besi itu hingga mempersempit ruang kosong untuk dilewati.
“Pak Parman, awas!”
Teriakan Rasky menghentikan gerakan Pak Parman. Ia menoleh dan tercengang tatkala dalam hitungan detik sebuah motor berkelebat menimbulkan angin kencang di belakang tubuhnya sesaat. Begitu tersadar, satpam sekolah itu berlari ke jalan. Menggeleng-gelengkan kepala melihat motor yang baru saja melewatinya telah menjauh.
***
Rizki dan Rasky menunggu kedatangan Ryan di atap gedung rumah sakit. Lima menit lalu, Rasky menelepon sang papa untuk menemuinya di sana. Sengaja memilih tempat itu agar orang lain tak mendengar pembicaraan mereka.
Rasky menatap Rizki yang menjatuhkan pandangan pada pemandangan di bawah gedung. Ia tak menyangka hari ini akan datang juga. Tanpa memberitahu alasan untuk bertemu, Rasky yakin kali ini Ryan akan menjelaskan semuanya.
Tak seperti selama ini, pria itu selalu menghindar setiap kali Rasky menanyakan perihal kembaran serta alasan mengapa mereka terpisah. Kali ini ia tak sendirian. Entah mengapa keberadaan Rizki diyakininya mampu membuat Ryan membuka mulut.
Rasky menoleh mendengar suara Ryan mendekat. Didapatinya pria itu sedang sibuk berbincang di telepon sambil berjalan. Tak menyadari kehadiran Rizki yang juga menoleh dan membalikkan badan. Gadis itu terkesiap saat menangkap sosok Ryan secara utuh. Ia ingat betul siapa orang itu meski waktu melihatnya pertama kali, jarak mereka tak begitu dekat.
“Dia dokter yang membantu kelahiranmu waktu itu.”
Kedua tangan Rizki mengepal. Matanya menatap Ryan nanar. Kenyataan itu membuat ia menyimpulkan sesuatu yang diyakininya benar. Ryan yang tengah asyik berbincang di telepon, tiba-tiba membisu begitu pandangannya mengarah ke depan. Mendapati sosok Rizki yang menatap penuh kebencian. Ia mundur selangkah.
Tangan kanan yang menggenggam ponsel mendadak terkulai ke sisi badan. Tubuhnya bergetar. Lidah kelu serta wajah pucat pasi. Keheningan yang tercipta membuat suasana terasa mencekam.
***
“Kenapa kamu masih harus menunggu orang itu untuk mengakui kesalahan masa lalu?”
Fajri menghela napas panjang. Membiarkan pria dengan setelan jas rapi yang duduk di sampingnya di kursi taman, menunggu. Tatapan wanita muda itu menerawang.
“Entahlah. Aku merasa akan sulit jika mengakuinya sendirian. Kesalahan kami memang berbeda, tapi akibat yang ditimbulkan sama. Kami saling terkait dalam hal itu.”
“Apa yang kamu lakukan selama lebih dari enam belas tahun ini kurasa akan mempermudah dirimu mendapatkan maaf. Jadi, untuk apa menunggu orang itu?”
“Nggak, Bim. Aku ingin menyelesaikannya sekaligus. Setidaknya dengan begitu mereka tidak akan terluka dua kali.”
“Kalau dia ingkar janji lagi, bagaimana?”
“Aku akan kembali ke rencana awal. Mengaku setelah Mbak Hasna benar-benar pulih.”
***
“Aku minta maaf. Aku hanya tidak mau melihat istriku menderita.” Ryan terisak dengan posisi bersimpuh di hadapan Rizki.
Rizki menatap Ryan nanar. Tetesan bening telah sedari tadi mengalir di pipinya. Di sampingnya, Rasky termangu usai mendengar penjelasan Ryan tentang masa lalu mereka. Pria itu mengaku kalau dirinya menukar Rasky dengan putranya yang telah meninggal saat dilahirkan.
“Dengan cara mengorbankan kebahagiaan orang lain?” Rizki berkata sinis. “Dokter tahu ‘kan apa yang terjadi pada Ibuku setelah kejadian itu?”
“Maafkan aku ....” Hanya kata itu yang mampu Ryan ucapkan. Kepalanya kian tertunduk.
“Aku nggak akan pernah maafin Dokter!” teriak Rizki lalu berlari menuju tangga.
Ryan terperanjat. Menoleh sebentar kemudian bangkit menghampiri Rasky.
“Tolong kejar dia! Jangan biarkan dia menceritakan ini pada siapa pun.” Ryan menggenggam kedua tangan Rasky erat. “Papa janji akan mengungkapkan semuanya, tapi bukan sekarang. Beri Papa waktu.”
***