
by Titikoma

Chapter 6
“Kenapa kemarin tiba-tiba bolos? Kamu kan paling anti sama yang namanya bolos. Apa Rasky yang maksa kamu? Sebenarnya ada apa sih, di antara kalian?” Meta langsung memberondong Rizki begitu gadis itu tiba di parkiran sekolah dan turun dari sepeda.
Kemarin saat mengantarkan tas ke rumah Rizki, Meta sama sekali tak mendapat jawaban dari rasa penasarannya. Gadis itu hanya mengambil tas dan mengucapkan terima kasih. Lalu menutup pintu tanpa memberi kesempatan Meta untuk buka mulut.
Ketika dihubungi lewat telepon pun, panggilannya tak pernah diangkat. Rizki mengatupkan bibir rapat-rapat. Langkahnya bergegas menyusuri koridor menuju kelas dengan wajah datar. Sama sekali tak terusik mendengar berondongan pertanyaan Meta yang berjalan di sampingnya.
“Ki, kamu kenapa, sih? Apa Rasky macem-macem sama kamu?” Meta masih tak menyerah. Dihadangnya Rizki ketika akan melewati pintu kelas.
Langkah Rizki terhenti. Tatapannya menghunjam bola mata sang sahabat nanar. Meta menelan ludah. Baru kali ini ia melihat sorot mengerikan dari tatapan gadis itu. “Jangan sebut namanya di depanku lagi!” teriak Rizki tiba-tiba.
Meta terperanjat. Beberapa siswa yang berseliweran di sekitar mereka pun ikut terkejut. Sempat dilihatnya setetes bening jatuh dari kelopak mata Rizki sebelum gadis itu berbalik dan berlari menjauh.
***
“Kamu apain Rizki?” Meta menarik kerah baju Rasky yang diseretnya menuju depan gudang setelah bel istirahat.
Gadis itu sudah menyerah mengorek keterangan dari sang sahabat yang baru kembali ke kelas ketika bel masuk berdentang. Melihat Rizki terdiam sepanjang jam pelajaran, membuatnya kian khawatir. Ia berharap waktu cepat berlalu dan segera bisa menginterogasi Rasky yang juga bersikap aneh.
Rasky dan Rizki mulai terlihat dekat semenjak Meta bersama Satria memergoki mereka bicara empat mata di tepi lapangan. Berangkat serta pulang sekolah bareng. Bahkan sepanjang hari di sekolah, mereka kerap nampak bersama, tepatnya Rasky yang selalu mengikuti ke mana pun gadis itu melangkah. Membuat para siswi yang berusaha mendekati Rasky, mulai menyulut api permusuhan dengan Rizki. Akan tetapi, setelah peristiwa kemarin, perubahan drastis terjadi. Rizki kembali berangkat sendiri dengan sepeda, menjadi sangat pendiam dan sepertinya sangat membenci Rasky yang bahkan tak menyapa saat mereka bertemu di kelas.
“Bukan urusanmu.” Rasky menjawab tenang
“Siapapun yang berani nyakitin sahabatku akan berurusan denganku!” geram Meta mempererat tarikannya.
Rasky merunduk mendekati wajah Meta. “Ini bukan sesuatu yang bisa kuceritakan ke sembarang orang. Termasuk kamu,” bisiknya sinis mengurai cekalan Meta di kerah bajunya. Menghempas tangan gadis itu lalu melangkah pergi.
Meta menatap punggung Rasky tajam. Kedua tangan terkepal. Ia menyusul dengan langkah bergegas. Menarik lengan dan membalikkan tubuh cowok itu. Lalu mendaratkan bogem mentah ke wajah Rasky. Rasky terkesiap tak sempat menghindar. Tubuhnya terhuyung. Ia mengaduh memegangi hidungnya yang berdarah.
“Terserah kamu mau ngelakuin apa pun sama aku. Aku hanya bisa memastikan kalau masalah di antara kami nggak seperti yang kamu pikirkan.” Rasky mengusap darah yang mengalir dari hidung. Nada suaranya terdengar pasrah. Sama sekali tak terlihat kemarahan di raut wajahnya. Rasky melangkah pergi meninggalkan Meta yang tiba-tiba didera rasa bersalah begitu melihat reaksi cowok itu.
***
“Dia sembuh lebih cepat dari yang kamu kira. Pengakuanmu apa masih mau menunggu sampai hari kamu dan dokter itu sepakati?”
Fajri menatap pria di depannya sekilas. Pandangannya lalu beralih ke jalan depan kafe yang terlihat melalui dinding kaca. Jalanan macet. Barisan kendaraan menyemut rapat tak beraturan. Dari tempatnya duduk, Fajri bisa melihat lampu lalu lintas baru saja berubah warna menjadi hijau. Perlahan kendaraan-kendaraan itu merayap.
“Sepertinya.” Fajri menjawab pendek.
“Kenapa?”
Fajri kembali menatap pria di hadapannya. Garis-garis ketampanan itu masih tampak jelas meski usianya telah melewati angka empat puluh. Kalau kamu bukan adik ibuku, mungkin aku sudah jatuh cinta padamu dari dulu, batin Fajri. Ia tersenyum geli. Menertawakan pikiran konyolnya sendiri.
“Ada yang lucu?” Alis pria itu bertaut.
Fajri menggeleng.
“Lalu kenapa senyum-senyum sendiri?”
“Tidak kenapa-napa.”
“Fajri .... Kamu mau mengalihkan pembicaraan, ya?”
Fajri meringis. Menyadari kalau pria itu tahu betul sifat dan kebiasaannya. “Sudahlah, Om Bima. Aku menemuimu bukan untuk membicarakan soal itu.”
Pria bernama Bima itu mendelik. Ia paling tidak suka dipanggil om oleh sang keponakan. Usianya yang hanya terpaut delapan tahun dengan Fajri, membuat hubungan mereka seperti teman serta terbiasa memanggil nama masing-masing.
Fajri tertawa melihat reaksi Bima. Diseruputnya cappucino santai. “Kenapa? Marah aku panggil Om? Jangan sok muda, deh!” Ia meletakkan cangkir ke atas meja. Masih menyisakan senyum jahil di bibir.
Bima mencibir. “Kamu sendiri kenapa tidak mau dipanggil Tante sama Rizki? Malah mendoktrinnya dari kecil supaya memanggilmu Mbak.”
“Itu beda. Kamu kan adik ibuku. Pantas ‘kan kalau aku panggil Om? Sedangkan aku dan Rizki tak punya hubungan apa-apa.”
“Kamu memang paling bisa ngeles.” Tangan Bima bergerak menjepit hidung Fajri sekilas.
Keduanya tertawa. Tak menyadari di antara kendaraan yang menyemut, sepasang mata di balik helm mengawasi dari atas motor.
***
“Tumben jalan sendiri? Peletnya udah luntur, ya?” ejek Ralin saat Rizki lewat di depan kelasnya dan disambut derai tawa beberapa siswi yang berada di dekatnya. Gadis itu menyandarkan tubuh ke kusen pintu sembari bersedekap.
Rizki semakin bergegas. Mencoba mengabaikan suara di belakangnya. Ditekannya sekuat tenaga emosi yang meluap. Tiba-tiba seseorang menarik tangan Rizki. Gadis kurus itu terkejut. Terpaksa menyeret langkah mengikuti sosok jangkung yang menggandengnya. Ralin dan kawan-kawan tak kalah kaget. Tawa mereka terhenti seketika. Ternganga melihat adegan yang terjadi sangat cepat. Sekejap dua sosok itu menghilang di tikungan.
“Rasky, lepas!” teriak Rizki setelah rasa kagetnya menghilang.
Rasky melepaskan genggamannya saat mereka tiba di bagian belakang gedung sekolah. “Kenapa dari kemarin berangkat sendiri?” Tatapannya menghunjam wajah Rizki.
“Bukan urusanmu!” Rizki bersedekap. Pandangannya mengarah ke pagar tembok yang menjulang di belakang Rasky.
“Kita sudah terbukti kembar, tapi kenapa kamu malah bersikap dingin sama aku? Aku nggak mau tahu. Pokoknya nanti pulang sekolah, kita bareng!” Rasky memberi ultimatum.
“Mulai sekarang kamu nggak perlu ke rumah,” ucap Rizki datar berbalik hendak pergi.
Kali ini Rasky yang terkejut. Otaknya berpikir cepat mencari alasan agar Rizki berubah pikiran. “Tapi gimana dengan ibu kamu?”
Langkah Rizki terhenti. Tanpa berbalik ia berkata, “kamu bilang kita kembar, tapi kenapa sampai sekarang kamu belum bisa mengakui ibu sebagai ibumu? Masih belum terima kenyataan kalau orangtuamu bukan orang tua kandung?”
Rasky tertegun. Ia ingin membantah, tapi tak dapat dipungkiri kalau yang dikatakan Rizki itu benar.
“Jangan pernah menyebut kita kembar kalau kamu belum bisa mengakui orang tua kandung kita.”
***
Rasky tersenyum penuh kemenangan melihat dua ban sepeda di hadapannya kempes. Sengaja dilubanginya kedua ban sepeda Rizki agar gadis itu tak bisa mengendarai sepedanya. Ia sempat merasa bersalah mendengar ucapan Rizki tadi. Akan tetapi, egonya memilih untuk mengabaikan hal itu.
Rasky melirik jam di pergelangan tangannya gusar setelah lima belas menit sosok yang ditunggunya tak kunjung muncul. Parkiran sudah sepi. Hanya tersisa sepeda Rizki serta tiga buah sepeda motor—termasuk miliknya—di sana. Cowok itu mematikan mesin motor. Turun tanpa mencabut kunci kemudian melangkah bergegas kembali ke kelas. Kelas sepi. Tak ada seorang pun di sana. Rasky pun memutuskan mencari Rizki di toilet. Siapa tahu dia ada di sana.
“Mana handphone-mu? Berikan sekarang!” Terdengar suara seorang cowok di samping tembok toilet.
“Buat apa?”
Rasky tersentak. Itu suara Rizki! Buru-buru cowok itu melangkah ke arah sumber suara.
“Jangan kira aku nggak tahu kalau tadi kamu sempet motret kami.”
Rasky terkejut melihat dua orang cowok di kanan-kiri Rizki yang masing-masing mencekal lengan gadis itu. Sementara seorang lagi menggeledah saku rok Rizki lalu mengeluarkan handphone dari sana.
“Anggap saja kamu nggak ngelihat apa-apa.” Cowok di hadapan Rizki mengutak-atik ponsel di tangannya. “Berani kamu kasih tahu soal ini, kamu nggak akan selamat.”
Rizki tak menjawab. Hanya menatap cowok di hadapannya tajam sambil berusaha melepaskan cekalan.
“Apa yang kalian lakukan?!”
Suara Rasky mengusik cowok di hadapan Rizki.
Cowok bertubuh besar dan berambut cepak itu menoleh. Tersenyum sinis lalu kembali mengutak-atik ponsel Rizki.
“Nggak usah ikut campur!” ucapnya dingin.
“Siapapun yang mengganggu Rizki, dia harus berhadapan denganku!”
Cowok bertubuh besar itu menghentikan gerakannya. Melangkah mendekati Rasky dengan tatapan mengerikan. Rasky melepaskan tas punggung dan melemparnya ke tanah. Kedua tangan mengepal di depan tubuh. Bersiap menghadapi cowok itu. Ia menelan ludah. Terbersit rasa takut melihat tubuh lawan yang jauh lebih besar.
Rasky melepaskan tinjunya begitu cowok itu mendekat, tapi tangannya berhasil ditangkap. Tak kehilangan akal, Rasky bergerak cepat menendang kemaluan lawan hingga membuat cowok bertubuh besar itu melepaskan genggaman dan meringis kesakitan.
“Hajar dia!” perintahnya pada dua orang di samping kanan-kiri Rizki. Ia masih meringis dengan kedua tangan memegang kemaluan.
Rasky sigap menghindari tendangan dan pukulan anak buah si cowok bertubuh besar. Segera berlari menghampiri Rizki yang masih terbengong-bengong lalu menarik tangan gadis itu agar mengikutinya menjauh.
“Kejar dia!”
Tergopoh-gopoh dua anak buah itu mengejar Rasky dan Rizki. Meninggalkan bosnya yang mencoba ikut mengejar dengan berjalan sempoyongan.
***
Rasky dan Rizki menemui jalan buntu. Mereka salah jalan. Harusnya berlari menuju area depan sekolah, karena panik keduanya malah makin menjauhi area itu. Di hadapan dan samping kanan mereka berdiri tembok tinggi menjulang. Hanya ada gudang di samping kiri yang bisa dijadikan persembunyian sebab tak memungkinkan lagi kembali ke tempat tadi datang. Mau tak mau mereka bergegas masuk kemudian menutup pintu gudang rapat-rapat.
Dua orang berseragam putih abu-abu yang mengejar Rasky dan Rizki, tiba di dekat gudang. Mereka yakin sempat melihat buruannya berbelok ke tempat itu.
Salah seorang melirik pintu gudang lalu memberi isyarat pada kawannya untuk memeriksa keberadaan Rasky dan Rizki di sana. Pelan-pelan salah seorang dari mereka mendorong pintu, tapi seperti ada sesuatu yang menahannya hingga pintu itu tak bisa dibuka.
Si bos yang masih meringis kesakitan tiba di sana. “Mereka di dalam?” tanyanya.
“Ya, kayaknya mereka ada di dalam dan naruh benda berat di balik pintu supaya nggak bisa dibuka,” jelas anak buah yang mendorong pintu.
Si bos melirik kunci yang tergantung di luar. Ia tersenyum licik. Sepertinya buruan mereka tak menyadari kalau kunci itu ada di sana. Ia mengunci pintu. Mengambil anak kunci lalu melemparnya ke tempat sampah.
“Ayo kita pergi!” ajak si bos.
“Trus, mereka?”
“Biarin aja. Ini pelajaran buat mereka biar nggak berani macem-macem sama kita.” Kedua anak buahnya menurut. Mereka beranjak meninggalkan gudang.
***
“Kayaknya mereka udah pergi. Kita keluar, yuk!” ajak Rasky setelah menempelkan telinga ke daun pintu. Memastikan keberadaan tiga cowok yang mengejar mereka.
Rasky dan Rizki memindahkan beberapa barang serta mendorong lemari kecil rusak yang mereka gunakan sebagai pengganjal pintu. Dengan keringat bercucuran, Rasky menarik pegangan pintu. Akan tetapi, pintu itu tak berhasil dibuka. Ia tertegun sesaat menatap Rizki begitu menyadari kalau mereka terkunci di ruangan itu.
“Bagaimana ini?” Rasky masih berusaha membuka meski tahu usahanya sia-sia belaka.
“Sepertinya kita cuma punya satu cara.” Rizki berucap tenang seraya mendekati pintu.
Rasky minggir. Menatap heran serta penasaran menunggu sesuatu yang akan dilakukan gadis itu. Rizki menangkupkan kedua tangan membentuk corong melingkupi mulutnya. Ia menarik napas panjang lalu berseru kencang. “Tolong ...! Tolong ...!”
Rasky melongo. Mengira gadis itu akan melakukan hal yang luar biasa untuk membuka pintu itu, tapi ternyata ....
“Hei, apa yang kamu lakuin? Bantuin aku minta tolong, dong!” omel Rizki melihat Rasky hanya bengong menatapnya. Rasky tergeragap. Buru-buru ikut menggedor pintu sambil berteriak minta tolong.
***
Tiga cowok yang tadi mengejar Rasky dan Rizki menghentikan langkah ketika mendengar suara ringtone HP tak jauh dari tempat mereka berdiri. Tatapan si bos bernama Ferro, langsung tertancap pada tas punggung Rasky yang tergeletak di atas tanah. Rupanya suara itu berasal dari sana. Cowok itu mengambil tas Rasky. Mengeluarkan ponsel dan mendapati tulisan ‘Mama memanggil’. Dibiarkannya nada panggilan terus berbunyi sampai akhirnya terhenti sendiri. Ia tersenyum licik mendapat sebuah ide brilian di kepalanya.
“Kok nggak diangkat, Bos?” Salah seorang anak buahnya menghampiri Ferro.
“Aku ada ide bagus.” Ferro mengetik SMS di ponsel Rasky. Ia merogoh saku dan mengambil ponsel Rizki yang tadi dirampasnya. Mengetik SMS lalu memasukkan kedua handphone ke saku celana. “Yuk, kita cabut!”
***
“Siapa sih, mereka? Apa yang kamu lakuin sampai berurusan sama mereka?” cecar Rasky setelah ia dan Rizki kelelahan berteriak minta tolong.
“Mereka kakak kelas kita. Anak IPS 1. Tadi nggak sengaja mergokin mereka lagi make.” Rizki menghamparkan kardus serta beberapa lembar koran bekas ke lantai.
“Narkoba?” Mata Rasky membulat. Rizki mengangguk dan duduk. “Trus kamu diam-diam motret mereka sampai ketahuan?” Rasky meniup lembaran koran bekas yang hendak didudukinya. Mencolek dengan ujung jari untuk memastikan tak ada debu di sana lalu ragu-ragu duduk di samping Rizki.
Rizki kembali mengangguk. Melongo melihat tingkah aneh Rasky.
Sok steril banget, sih? Perasaan tadi pas mindahin barang, nggak segitunya. Apa karena tadi panik, ya? batinnya tak habis mengerti.
“Sok pahlawan, kamu!” cibir Rasky.
“Biarin! Bukan urusan kamu.”
“Kalau nggak ada aku di sana, nggak tahu deh apa yang bakal terjadi sama kamu.”
“Palingan mereka cuma ngehapus foto terus pergi,” jawab Rizki enteng. “Eh, tunggu. Aku kan lagi marahan sama kamu, kenapa pula kita ngobrol?”
Rizki menggeser duduknya menjauhi Rasky. Gadis itu memalingkan muka sambil menggetok kepala mengutuki kebodohannya sendiri. Rasky tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir melihat tingkah aneh kembarannya.
“Kita kesampingkan dulu masalah kita. Yang terpenting sekarang kita harus cari cara supaya bisa keluar dari sini.”
Rizki bergeming. Pura-pura tak mendengar ucapan Rasky. Ia merogoh tasnya lalu mengambil buku. Rasky menatap gadis di sampingnya sebal. Meski begitu, ia memilih untuk tak menumpahkan kekesalannya.
“Yakin nggak mau ngomong sama aku? Di sini cuma ada kita berdua, lho!” Rasky tersenyum jahil.
Secepat kilat Rizki menoleh dan menatap Rasky tajam. “Maksud kamu apa?” tanyanya galak, tapi sedetik kemudian ia menyesal karena berhasil dipancing Rasky untuk bicara.
Rasky tertawa. Memperlihatkan gigi-giginya yang rapi. Dalam keadaan normal, ekspresi wajah Rasky itu bisa membuat para gadis terpesona. Akan tetapi, berbeda dengan Rizki. Ia malah semakin kesal melihatnya.
***