
by Titikoma

Chapter 9
Rizki dan Rasky tiba setelah Hasna siuman. Bergegas memasuki ruang UGD tempat wanita itu dirawat. Di sana hanya ada Irfan serta Fajri yang menunggui. Santi baru saja pulang beberapa saat sebelumnya setelah memastikan keadaan Hasna baik-baik saja.
“Ibu kenapa? Sakit apa?” cecar Rizki begitu tiba di samping pembaringan sang ibu yang duduk di ranjang bersandarkan bantal.
Matanya bergerak cepat memeriksa tubuh Hasna yang tersenyum melihat kepanikan sang putri.
“Ibu tidak apa-apa. Sebentar lagi juga Ibu akan diperbolehkan pulang. Ya kan, Mas?” ucap Hasna sembari melirik Irfan yang meng-iya-kan ucapannya dengan anggukan.
Rizki tertegun. Takjub melihat untuk pertama kalinya Hasna berbicara kepada sang suami. Mata gadis itu berkaca-kaca merasakan haru dan bahagia bercampur jadi satu. Ia menghambur ke pelukan Hasna dengan berurai air mata.
“Syukurlah kalau Ibu nggak apa-apa.” Rasky yang berdiri di belakang Rizki, mengembuskan napas lega.
Gerakan tangan Hasna yang tengah mengusap kepala Rizki, terhenti. Tatapan ia alihkan pada cowok yang baru saja berbicara. Matanya menyipit serta kening terlipat. Memandangi wajah remaja tampan itu saksama. “Kamu siapa?”
Rizki refleks mengangkat kepala menatap sang ibu ternganga. Sementara Rasky mundur selangkah. Tubuhnya limbung. Syok mendengar pertanyaan Hasna.
“Mbak tidak mengenali dia?” tanya Fajri hati-hati.
Hasna menggeleng. “Tidak. Apa dia teman kamu, Ki?” Ia mengalihkan pandangan pada Rizki.
Rizki menoleh ke arah Rasky yang tercenung di tempatnya berdiri lalu kembali menatap Hasna. “Ng ... iya. Dia teman sekelas Rizki. Namanya Rasky.”
“Nama kalian mirip, ya. Saya Hasna, ibunya Rizki. Senang berkenalan dengan Nak Rasky.” Hasna tersenyum mengulurkan tangan.
Rasky tergeragap. Memaksakan senyum berusaha keras menahan air mata yang hendak keluar. Dadanya terasa sesak. Ia mulai terbiasa menikmati keberadaannya di tengah-tengah keluarga kecil itu sebagai Razka meskipun di mata Irfan dan Fajri yang dilakukannya hanyalah sebuah sandiwara belaka. Namun tiba-tiba semua itu seakan direnggut paksa darinya.
Ia merasa hancur mendapati sang ibu tak lagi mengenalinya. Dengan langkah berat dihampirinya Hasna. Menyambut uluran tangan wanita itu serta mencium punggung tangannya takzim. Rizki menatap adegan itu iba. Menangkap luka dari sorot mata kembarannya. Ia tahu betul perasaan itu. Perasaan yang pernah pula dirasakan dulu saat Hasna hanya mengenali Rasky.
“Saya pamit, Tante. Ada urusan yang harus saya kerjakan.” Rasky kembali mencium punggung tangan Hasna. Berbalik lalu berjalan cepat menuju pintu tanpa menoleh lagi. Ketika melewati Irfan dan Fajri, ia mengangguk sopan dengan mata tertunduk tanpa menghentikan langkah.
Rizki tertegun menatap punggung Rasky hingga menghilang dari pintu. Tersentak saat menyadari ia seharusnya mengejar Rasky serta menghibur cowok itu. Ia bergegas pamit menyusul sang saudara kembar. Pandangannya berkeliling ketika tiba di area parkiran. Dengan cepat bisa menemukan Rasky yang sedang berjalan menuju motornya. Rizki mempercepat langkah sambil memanggil cowok itu.
Rasky berhenti begitu mendengar langkah kaki sang saudara kembar di belakangnya. Tanpa menoleh ia berkata, “masuklah.” Rizki menghentikan langkah. “Ibu membutuhkan kehadiranmu sekarang,” lanjut Rasky. Sengaja tak berbalik agar gadis itu tak melihat bekas air matanya.
Baru satu langkah, Rasky kembali berhenti saat tiba-tiba seseorang memeluk dari belakang. Ia menunduk menatap kedua lengan Rizki. Merasakan kehangatan menjalari jiwa.
“Jangan khawatir. Ibu akan segera mengenalimu lagi. Aku yakin,” ucap Rizki dari balik punggung Rasky. Mencoba mengalirkan kekuatan pada sosok yang pernah berbagi tempat dengannya dalam rahim Hasna. Tanpa mereka sadari, seseorang menatap keduanya dari kejauhan dengan mata terbelalak dan kedua tangan menutupi mulut, kaget.
***
Rizki melangkah menuju kelas sembari melamun. Memikirkan pembicaraannya dengan Fajri semalam. Wanita itu menemuinya di kamar jelang tidur.
“Kamu pacaran sama Rasky?” tanyanya tanpa basa-basi dan ekspresi wajah serius.
Rizki tertawa. Memperlihatkan gingsul yang terletak di deretan atas kanan gigi-giginya. “Kenapa Mbak berpikir seperti itu?” tanyanya santai sambil bersandar di kepala ranjang.
“Semua orang akan berpikiran sama jika melihat bagaimana kalian saat bersama. Terlebih kalau melihat apa yang kalian lakukan di parkiran rumah sakit tadi.”
Rizki tersentak. “Mbak lihat apa?”
“Sesuatu yang seharusnya tidak kalian lakukan.”
“Itu ... itu nggak seperti yang Mbak pikirkan.” Rizki berkata cepat. Seketika panik. “Sebenarnya kami ... ah, tidak. Kami ... aaargh!” Rizki memukul bantal. Kesal karena tak bisa mengatakan hubungan yang sebenarnya dengan Rasky.
“Mbak tidak tahu sejauh apa hubungan kalian, tapi kamu tahu kan batasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan muhrim?” Suara Fajri melembut. “Mbak bukannya mau ikut campur urusan kamu. Mbak hanya mengingatkan. Mbak sayang sama kamu. Mbak tidak mau kamu salah jalan.”
Rizki menghela napas panjang. Menenangkan diri. Ia menatap Fajri. Menggenggam tangannya. “Tolong Mbak percaya sama aku. Aku tahu batas dan masih bisa menjaga hal itu. Hubungan kami nggak seperti yang Mbak pikirkan. Ada alasan kenapa tadi aku melakukan itu dan kalau Mbak tahu, aku yakin Mbak akan bisa memahaminya. Tapi sekarang aku belum bisa bilang sama siapa pun termasuk Mbak.”
“Kenapa?”
“Ada saatnya, tapi bukan sekarang dan aku nggak tahu kapan.” Rizki menjawab getir. Ia mendesah lelah.
Lamunan Rizki buyar ketika pandangannya menangkap sosok Rasky yang berjalan menyusuri selasar sekolah serta membelakanginya. Ia menghentikan langkah. Sesuatu tiba-tiba terlintas dalam benak.
***
Rasky berjalan menyusuri koridor dengan tatapan kosong. Jelas sekali terlihat kalau pikiran cowok itu tak ada di sana. Sapaan para gadis yang ia lewati sama sekali tak digubris membuat mereka heran melihat sikap tak biasanya.
Sepulang dari rumah sakit kemarin, Rasky mendapati sang papa telah menunggu kedatangannya di kamar. Rahang pria itu terkatup rapat, tapi dari sorot matanya, nampak jelas tergambar kemarahan di sana. Baru saja Rasky duduk di samping Ryan, sang papa langsung menginterogasi.
“Apa yang kalian rencanakan? Kenapa gadis itu bisa bersikap seperti itu di depan Mama dan Omamu?”
Rasky mendesah berat. Sebenarnya ia ingin segera beristirahat begitu tiba di rumah. Lelah jiwa raga usai menghadapi peristiwa yang mengejutkan. Akan tetapi, melihat ekspresi wajah Ryan, mau tak mau cowok itu harus memberi penjelasan dan menyelesaikan masalah saat itu juga.
“Rasky sama sekali nggak terlibat dalam kejadian tadi. Itu inisiatif Rizki sendiri,” ujar Rasky.
Ryan mendengus kesal. “Papa kan sudah bilang, jangan beritahu siapa pun sebelum Papa minta! Tapi kamu dengan ceroboh memberitahu gadis itu. Lihat sendiri ‘kan, akibatnya?”
Rasky menatap Ryan nanar. Gerahamnya bergemeletuk menahan luapan emosi. “Kalau Papa nggak mau siapa pun tahu, kenapa Papa ngasih tahu Rasky?” desisnya.
Ryan terkesiap. Tak menyangka Rasky akan bereaksi seperti itu.
“Papa bukannya tidak mau memberitahu siapa pun. Papa hanya butuh waktu untuk mengungkapkannya pada semua orang.” Suara Ryan melunak.
“Setidaknya jangan kasih tahu Rasky dulu kalau Papa belum siap ngasih tahu semua orang!” sembur Rasky.
“Papa terpaksa melakukannya. Papa tidak mau kamu jatuh cinta pada saudara kandungmu sendiri.”
Rasky terkejut saat tiba-tiba tangannya ditarik Rizki hingga membuat cowok itu terpaksa mengikuti langkah tergesanya menuju depan gudang sekolah.
“Mulai sekarang kita harus jaga jarak.”
“Apa?”
“Kita harus jaga jarak sampai tiba saatnya kita bisa bilang sama semua orang kalau kita saudara kandung. Mulai sekarang jangan ngikutin ke mana pun aku pergi, jangan pernah datang ke rumah, dan jangan pernah ngajak aku jalan.”
“Tapi kenapa?” tanya Rasky cemas.
Hasna yang tiba-tiba tak mengenalinya sudah membuat cowok itu merana, dan sekarang Rizki seakan mau menambah penderitaannya.
“Aku nggak mau semua orang salah paham tentang hubungan kita.” Rizki berkata pelan.
“Tapi bukannya selama ini kamu cuek aja? Meski semua orang tahu kamu punya prinsip buat nggak pacaran, lalu tiba-tiba menyangka kita punya hubungan seperti itu. Pada kenyataannya kita nggak pacaran. Kita saudara kandung. Nggak masalah kalau harus jalan berdua dan ngelakuin hal-hal yang selama ini kita lakukan.”
“Awalnya aku juga berpikir seperti itu, tapi akhirnya aku sadar kalau selama ini kita salah. Kenyataannya kita memang saudara kembar, tapi cuma kita dan papa kamu saja yang tahu. Orang lain tidak. Aku nggak mau timbul fitnah dan membuat orang lain berprasangka buruk pada kita.”
“Lalu, apa kamu ingin kita seperti orang yang nggak saling kenal?” Rasky bertanya putus asa.
Rizki tersenyum. “Nggak sampai seperti itu juga. Bersikap biasa aja. Seperti saat sebelum kita tahu kalau kita ini saudara kembar. Oke?”
Rasky terpaksa mengangguk. Menunduk dalam saat Rizki mengusap kepalanya sekilas lalu beranjak pergi. Ia tercenung. Membiarkan air mata jatuh mengenai sepatunya.
***
Rizki menuntun sepeda yang tiba-tiba bocor di tengah jalan dalam perjalanan pulang dari sekolah. Menggerutu sambil sesekali melihat sekitar mencari tukang tambal ban. Lalu lalang kendaraan cukup ramai siang menjelang sore itu. Membuat Rizki harus menuntun sepeda sembari menutupi sebagian wajah dengan bagian bawah jilbab untuk menghindari asap knalpot yang berseliweran di sekitarnya.
Senyumnya merekah saat menemukan tempat tukang tambal ban. Ia melangkah riang menghampiri tempat itu. Bernapas lega karena tak harus berjalan lagi untuk tiba di rumah yang masih cukup jauh.
***
Rasky berjalan lesu memasuki rumah. Tanpa berganti pakaian, mengempaskan tubuh ke sofa di ruang keluarga. Tangan yang hendak mengambil remote tv di atas meja, tergantung di udara saat pandangan tertumbuk pada undangan pernikahan berwarna silver di samping remote. Bukan undangannya yang menarik perhatian cowok itu, melainkan tulisan besar yang tertera di sampul undangan. Alif & Salma.
Kening Rasky mengernyit. Bergegas membuka sampul undangan dan langsung membaca nama lengkap kedua calon mempelai. Sunny Alif Ramdhani bin Rafi Ramdhani dengan Basimah Salma Alifa binti Sofyan Jalil. Mata Rasky membelalak. Bergegas ia mencari sang mama untuk memastikan apakah calon mempelai pria adalah Alif yang sama seperti dalam pikirannya.
***