
by Titikoma

Chapter 11
Rizki dan Meta berjalan menyusuri pusat perbelanjaan. Sesekali tertawa di sela-sela obrolan. Awalnya Rizki tak mau ikut ketika Meta mengajaknya jalan-jalan. Namun bujukan Hasna—setelah diminta Meta—untuk refreshing dulu sebelum kembali ke sekolah esok hari, membuatnya luluh.
“Eh, Ki. Itu Mbak Fajri, kan?” Meta menunjuk ke satu arah. “Siapa tuh om-om cakep di sebelahnya?”
Rizki ikut berhenti. Pandangannya bergerak mengikuti telunjuk Meta. Senyumnya terkembang mendapati Fajri berjalan bersisian dengan Bima.
“Mbak Fajri!” serunya bergegas menghampiri. Tak menghiraukan tatapan orang-orang yang mendengar seruannya.
Meta tersenyum kikuk pada orang-orang yang menoleh ke arah Rizki yang otomatis menoleh ke arahnya juga. Buru-buru diikutinya langkah bergegas sang sahabat. Fajri dan Bima menoleh. Tertegun sesaat lalu serempak tersenyum tatkala melihat Rizki membentangkan kedua tangan sembari berlari dengan senyum lebar. Gadis itu langsung menubruk tubuh Fajri. Memeluknya erat.
***
Ryan berdiri di depan pintu rumah Irfan. Kedua tangannya saling meremas cemas. Sesekali ia menoleh ke belakang. Menatap mobil Rafi yang terparkir di seberang jalan. Ia tak punya pilihan selain mengikuti permintaan Rafi untuk membuka tabir masa lalu hari itu juga.
Ia tak lagi memiliki alasan menunda saat sang sahabat menyeretnya ke mobil dan mengantar langsung ke sana. Ryan tak berkutik ketika Rafi mengancam akan menceritakan hal itu pada Kania.
Akhirnya, dengan berpamitan akan memancing bersama, Rafi berhasil membawa Ryan diiringi senyum Kania serta Oma Wijayanti. Ryan mengangkat tangan gemetar. Mengetuk pintu perlahan diikuti ucapan salam yang nyaris tak terdengar.
Pria itu berdehem lalu menghela napas sebentar. Kemudian kembali mengetuk pintu serta mengucapkan salam lebih keras. Tak lama pintu terbuka. Mata sipit Ryan melebar. Keringat dingin membasahi kening dan punggung. Di hadapannya kini berdiri Irfan yang menatapnya dengan kedua alis bertaut. Namun kemudian pria itu tersenyum.
“Dokter, apa kabar?” Irfan mengulurkan tangan. Sedikit terkejut mendapati tangan Ryan terasa dingin tatkala berada dalam genggamannya. Ia membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan tamunya masuk.
***
“Mbak Fajri sakit juga? Wah, kok bisa kompakan gitu? Kita kayak kembar, ya, bisa sakit barengan,” celetuk Rizki setelah melepas rindu dan beberapa saat berbincang di sebuah Coffee Shop bernuansa klasik.
Di hadapannya Fajri dan Bima duduk berdampingan, sementara Meta yang duduk di sampingnya, terang-terangan menatap Bima kagum meski pria itu nampak kikuk ditatap seperti itu.
“Padahal waktu Rasky sakit, aku sehat-sehat saja. Begitu juga sebaliknya.” Ia menyendok kue tanpa menyadari tiga pasang mata yang duduk semeja terkejut dengan perasaan berbeda.
“Maksud kamu apa?” tanya Fajri.
Meta menahan napas. Melirik Rizki yang terlihat tenang. Seolah tak menyadari kata-katanya barusan seperti membuka informasi yang selama ini dirahasiakan. Berharap Fajri juga Bima tak mengartikan kata-kata Rizki sebagai indikasi kalau gadis itu saudara kembar Rasky.
“Ya?” Rizki mengangkat kepala. Tangannya yang memegang sendok, tergantung di udara. “Maksudnya ... apa?”
“Kalimat terakhirmu barusan.”
Rizki terdiam. Memikirkan kembali kalimat terakhir yang ia ucapkan. Fajri menunggu dengan berdebar. Begitu pula Bima serta Meta.
“Nggak ada maksud apa-apa,” ujarnya setelah meyakini tak ada yang perlu dijelaskan. Ia kembali menyendok kuenya santai.
Meski masih penasaran, Fajri tak bertanya lagi. Menekuri latte-nya yang mulai mendingin dengan pikiran berkecamuk. Bima melirik Fajri yang tercenung menatap isi cangkirnya. Ia tahu sang keponakan masih menyimpan rasa bersalah karena tak bisa mengungkap seluruh kebenaran.
Fajri pernah mengatakan padanya kalau rahasia mengenai kembaran Rizki yang ditukar, harus diungkapkan sendiri oleh Ryan. Meta mengembuskan napas lega. Merutuk sekaligus mensyukuri kelemotan Rizki yang terkadang kambuh seperti saat ini.
***
Rafi memandangi Ryan yang berjalan menuju mobilnya dengan langkah tergesa. Sebelah tangannya bersandar di atas kemudi. Menunggu hingga pria itu masuk ke mobil. Ryan nampak pucat seolah-olah aliran darah di wajahnya tersedot keluar.
“Kamu sudah mengakui semuanya?” tanya Rafi setelah menyodorkan botol air mineral yang langsung ditenggak Ryan.
“Tidak.” Ryan menjawab singkat. Meletakkan botol air mineral ke atas dasbor sambil mengatur napas.
Rafi terbelalak. “Kenapa?”
“Fajri sudah keluar dari rumah itu.”
“Apa? Sejak kapan?” cecar Rafi. Ryan mengangkat bahu. “Apa mungkin dia sudah menceritakan semuanya?”
“Mungkin. Tapi mereka sama sekali tak menyinggung tentang Rasky. Kurasa dia belum menceritakan soal itu.”
Rafi mengalihkan tatapan ke arah Ryan tajam. “Lalu kenapa kamu tidak jadi menceritakan semuanya?”
Ryan tertawa tanpa suara. Wajah pucatnya telah menghilang sepenuhnya.
“Kamu mendesakku melakukan hal ini karena ingin Fajri segera keluar dari sana dan menjalani hidup tanpa beban, ‘kan? Sekarang dia sudah pergi tanpa aku harus mengungkap rahasia itu.”
***
“Mbak Fajri!”
Fajri mengangkat kepala. Menghentikan langkah lalu celingukan di teras minimarket SPBU mencari sosok yang memanggilnya di antara pengunjung yang keluar dari minimarket sore itu. Ia tersenyum begitu mengetahui siapa yang baru saja memanggilnya. “Rasky, apa kabar?” sapanya ketika sosok itu mendekat.
“Kabar baik. Mbak sendirian?”
“Berdua. Orangnya di toilet. Kamu sendiri?”
“Bareng Mama-Papa. Mereka lagi ngisi bensin. Itu mereka.” Rasky menunjuk ke salah satu mobil yang sedang mengantri di pom bensin.
Fajri menoleh ke belakang mengikuti arah telunjuk Rasky. Terkesiap melihat sosok pria yang berdiri di dekat petugas SPBU dan terlihat dari arah samping.
“Dokter Ryan?” gumam Fajri terkejut.
“Mbak kenal sama Papaku?”
Fajri berpaling cepat ke arah Rasky. “Eh, ng ... iya, eh, tidak. Maksudnya ... hanya pernah tahu saja. Tidak saling kenal.”
Rasky menatap Fajri dengan alis bertaut. Terlihat jelas kegugupan di wajah wanita muda itu. Ia hendak bertanya lebih lanjut namun urung saat mendengar suara Ryan memanggilnya. Bergegas ia pamit meninggalkan Fajri yang berdiri mematung menghadap pintu minimarket.
Ingatan Fajri berjalan mundur ke kejadian enam belas tahun lalu. Saat itu dirinya tak sengaja mendengar pembicaraan Ryan dan Rafi ketika tiba di depan pintu ruangan Ryan. Hendak menanyakan kondisi ibu hamil yang ditabrak dua hari sebelumnya. Ia terkejut ketika mengetahui kalau dokter itu menukar bayinya yang telah meninggal dengan salah satu dari bayi kembar wanita korban tabrakan. Dengan emosi, Fajri remaja membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia marah dan mengatakan akan memberitahu ibu si kembar mengenai hal tersebut.
Ryan yang sempat kaget, buru-buru mengejar Fajri setelah gadis itu beranjak pergi. Ryan bergegas menarik tangan Fajri dan membawanya ke tempat sepi lalu memohon dengan berlinang air mata agar tak membongkar rahasia tersebut.
Fajri bergeming. Tetap teguh pada pendiriannya.
“Kamu ‘kan yang menabrak wanita itu dan suaminya?” Suara Ryan tiba-tiba berubah saat Fajri berbalik hendak pergi. “Orang yang datang bersamamu saat membawa korban kecelakaan memberitahuku,” lanjutnya seolah membaca pikiran Fajri yang bertanya-tanya dari mana Ryan tahu hal itu.
Fajri berbalik. Ekspresi wajah pria di hadapannya berubah drastis. Terlihat dingin dan menakutkan. “Aku tahu sampai sekarang mereka belum tahu siapa yang telah mencelakakan mereka.” Ryan membuka kacamata. Mengusap bekas air mata di wajahnya. “Hingga detik ini kamu belum berani menemui mereka dan mengakui kesalahanmu, ‘kan?”
Tubuh Fajri gemetar. Keringat dingin menyembul di pelipis. “Apa mau Anda?” tanyanya dengan suara bergetar.
Ryan tersenyum tipis. “Kita berada di posisi yang sama. Sama-sama butuh waktu untuk mengakui kesalahan.” Ia kembali memakai kacamatanya.
“Aku tahu yang kulakukan itu salah. Aku berniat mengembalikan bayi itu, tapi bukan sekarang. Istriku masih syok karena kehilangan rahim. Butuh waktu agar dia bisa menerima kalau dirinya juga kehilangan bayinya.”
Lalu terjadilah kesepakatan di antara mereka berdua. Bulan berikutnya, mereka akan bersama-sama mendatangi rumah keluarga si kembar dan mengakui semuanya. Namun, di hari yang sudah ditentukan, Ryan tidak datang. Yang diketahui Fajri kemudian, pria itu ternyata melarikan diri. Membuat Fajri urung mengaku dan mendadak mengubah rencana.
Sebuah tepukan di pundak membuyarkan lamunan Fajri. Senyum Bima tertangkap korneanya begitu ia menoleh.
“Tidak jadi masuk?”
Fajri tersenyum. “Jadi,” jawabnya sembari melangkah mendekati pintu diikuti Bima. Ia berjalan sambil berpikir. Ucapan Rasky dan Rizki berkelebat dalam benak. Menyusun puzzle misteri yang membuatnya memahami sesuatu.
“Aku anak tunggal, Mbak.”
“Hubungan kami nggak seperti yang Mbak pikirkan. Ada alasan kenapa tadi aku melakukan itu dan kalau Mbak tahu, aku yakin Mbak akan bisa memahaminya.”
“Padahal waktu Rasky sakit, aku sehat-sehat saja. Begitu juga sebaliknya.”
“Kamu tahu, Bim. Hari ini aku melihat sebuah keajaiban.” Fajri menelusuri deretan sikat gigi di rak.
Bima menoleh. Menghentikan kegiatannya mengamati barang-barang yang terpajang di hadapan. “Keajaiban apa?”
Fajri mengambil sebuah sikat gigi. Mengalihkan tatapan kepada Bima lalu tersenyum. “Tuhan memperlihatkan padaku kalau Dia sudah berkehendak, tak ada seorang pun bisa menghalangi. Sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk dimiliki seseorang, akan kembali meskipun telah dirampas darinya.” Fajri menghela napas sejenak.
“Kamu tahu siapa kembaran Rizki yang sebenarnya masih hidup?”
Bima menggeleng.
“Rasky,” bisik Fajri.
Mata Bima terbelalak. “Anak laki-laki yang menyamar jadi Razka?”
Fajri mengangguk antusias. “Iya. Dia menyamar jadi dirinya sendiri.” Ia tertawa. “Ini benar-benar lucu. Seberapa pun kerasnya pria itu menyembunyikan anak yang dia curi, pada akhirnya anak itu kembali sendiri pada keluarganya.”
“Wow, benar-benar menakjubkan.” Bima berdecak kagum. “O ya, kamu pernah bilang kalau Rasky menyamar jadi Razka karena Hasna mengenalinya sebagai putranya?”
Fajri mengangguk. “Iya. Aku tak pernah menyangka kalau Mbak Hasna selama ini benar. Kami semua menganggap Mbak Hasna bersikap begitu karena belum sepenuhnya pulih dari kegoncangan hidup yang dia alami.” Ia menghela napas berat.
“Tapi sayang, Mbak Hasna sudah tak mengenali putranya lagi.” Fajri tiba-tiba tersentak lalu tersenyum samar. “Sepertinya Rizki sudah tahu kalau Rasky kembarannya.”
***
Rizki berjalan menyusuri koridor sekolah sembari menatap sekeliling. Semua orang yang dilewati terlihat memandangnya aneh. Sesekali ada yang saling berbisik tanpa melepaskan tatapan darinya. Tiba-tiba sesuatu mengenai kepala dan menghentikan langkahnya. Gadis itu meraba cairan di jilbab. Terbeliak mendapati telur busuk di tangan.
Refleks ia berbalik. Terkejut melihat sekumpulan siswi berdiri dengan tatapan kebencian. Masing-masing dari mereka memegang bungkusan entah berisi apa. Ralin yang berada di barisan depan mendekat lalu berhenti setelah berjarak dua meter dari Rizki.
“Masih berani datang ke sekolah rupanya.” Ia tersenyum sinis. “Kalau masih punya malu, harusnya kamu berhenti sekolah tanpa menunggu dikeluarkan dengan tidak hormat.”
“Maksud kamu apa?” Rizki menatap Ralin dengan alis bertaut. Benar-benar tak memahami apa yang sedang terjadi. Ralin tertawa diikuti seluruh siswi di belakangnya. Sementara para murid yang berada tak jauh dari situ atau kebetulan lewat, memilih menjauh. Tak ingin terlibat di dalamnya.
“Sok polos!” desis Ralin setelah tawanya reda. “Apa kamu mau nunggu sampai perutmu membesar dulu baru kamu akan pergi?”
“Aku bener-bener nggak ngerti kamu ngomong apa ....”
“Kamu hamil ‘kan?” potong Ralin cepat. “Kamu pikir kamu bisa nyembunyiin hal sebesar ini? Semua orang tahu waktu kamu muntah tiga hari lalu itu karena hamil.”
Rizki terkejut dan mundur selangkah. Menahan tubuhnya yang nyaris limbung. “Nggak ... itu nggak bener. Apa buktinya kalau aku hamil?”
“Masih saja ngelak. Dasar sok suci!” cibir Ralin. “Biar dia sadar, kita kasih saja pelajaran. Sekarang!” teriaknya memberi aba-aba.
Serempak Ralin beserta anak buahnya mengeluarkan telur dan tomat busuk dari masing-masing kantong yang mereka bawa sembari mendekat dengan cepat. Refleks Rizki melangkah mundur. Merunduk sambil melindungi kepala dengan kedua tangan, begitu melihat telur-telur dan tomat busuk terlempar ke arahnya disertai teriakan juga sumpah serapah para siswi yang menyerang.
Mata Rizki memanas. Perlahan air matanya berjatuhan. Rizki mengernyit heran ketika mendadak suara-suara itu lenyap berganti kesunyian. Sesuatu yang dilempar ke arahnya sama sekali tak mengenai satu pun bagian tubuh gadis itu.
Pelan-pelan ia mengangkat kepala dan menurunkan kedua tangan. Matanya berkedip kaget mendapati sosok bertubuh tinggi besar dengan rambut cepak berdiri membelakanginya seraya merentangkan kedua tangan.
Ralin dan anak buahnya terbelalak ketakutan menatap cowok yang menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk melindungi Rizki.
Rambut serta pakaiannya dipenuhi cairan busuk juga noda bekas tomat dan telur yang mengenai dirinya. Cowok itu membuka mata setelah beberapa detik terpejam dengan ekspresi tenang. Ia mengarahkan pandangan menusuk tajam pada Ralin yang berdiri gemetar di hadapan.
Semua penghuni sekolah tahu kalau cowok itu adalah pembuat onar dan paling ditakuti seantero sekolah. Tak ada satu pun yang berani melawan jika sudah berurusan dengannya. Guru BP hingga Kepala Sekolah bahkan sudah bosan memanggilnya bila ia membuat masalah. Hanya berani menegur tanpa memberi hukuman karena orang tuanya adalah pemilik yayasan tempat sekolah itu bernaung.
Ferro menurunkan kedua tangannya ke sisi tubuh. “Dengar baik-baik.” Ia menyapu pandangan ke seluruh gadis yang masih berdiri ketakutan di hadapannya. “Siapa pun yang berani ganggu cewek ini, harus berhadapan dulu denganku,” ucapnya masih membelakangi Rizki.
Semua orang terkejut. Benak mereka diselimuti tanda tanya besar. Sejak kapan Rizki berada di bawah perlindungan cowok itu? Tak ada seorang pun yang pernah melihat kedekatan di antara keduanya. Jangankan dekat, berinteraksi saja nyaris tidak pernah. Bagaimana bisa?
“Ini peringatan buat kalian. Sekali lagi ganggu dia, kalian akan habis!” ancamnya. “Sekarang cepat pergi!”
Tanpa menunggu lama, seluruh penyerang Rizki bergegas menjauh. Ferro berbalik. Tersenyum menatap Rizki. Tangannya merogoh saku celana lalu mengulurkan sapu tangan pada gadis itu. “Kamu nggak apa-apa, ‘kan?”
Rizki mengerjap kaget. Refleks menunduk dan mengusap air mata dengan sebelah tangan. “Nggak apa-apa. Kamu lebih butuh saputangan itu.”
***
Di tepi lapangan tak jauh dari koridor tempat Rizki dan Ferro berada, Rasky berdiri mematung. Tertegun menyaksikan kejadian yang baru saja terjadi di depan mata.
Sebelumnya ia berlari kencang dari parkiran saat salah seorang teman sekelas memberitahukan kalau Rizki berada dalam bahaya. Ia panik mendapati Ralin serta sekumpulan cewek lainnya bersiap melempari saudara kembarnya.
Ia kian mempercepat laju lari untuk melindungi sang kakak. Namun mendadak berhenti ketika muncul Ferro yang lebih cepat sampai di dekat Rizki lalu menjadikan tubuhnya sendiri sebagai tameng.
Di satu sisi Rasky lega melihat Rizki selamat dari lemparan itu. Akan tetapi, sisi lain hatinya merasa bersalah telah membuat Rizki berada di situasi tersebut. Ia menyadari hal itu terjadi karena kedekatan mereka selama ini. Kedekatan yang disalahpahami semua orang akibat keegoisannya untuk tetap merahasiakan hubungan mereka yang sebenarnya.
***
Rasky menyeruak barisan depan peserta upacara Senin pagi. Kepala Sekolah yang hendak membubarkan barisan, tertegun melihat salah seorang siswanya tiba-tiba menghampiri menjelang upacara selesai.
Dengungan suara bisik-bisik di lapangan terdengar tatkala Rasky mengangguk sopan lalu berbicara sebentar dengan Kepala Sekolah yang kemudian mengangguk dan menyerahkan mikrofon di tangannya.
Lapangan mendadak sunyi ketika Rasky mengambil alih tempat Kepala Sekolah. Semua orang menunggu kalimat yang akan dilontarkan cowok itu. Tak terkecuali Rizki. Ia telah mengganti jilbab berbau telur busuknya dengan jilbab baru yang dibeli di Koperasi Sekolah.
“Mohon maaf sudah mengganggu waktu kalian sebentar.” Rasky memulai ucapannya. Memegang erat mikrofon di tangan dan menghela napas panjang. “Saya berdiri di sini untuk menyampaikan sebuah kebenaran yang selama ini saya sembunyikan.”
kalau Rasky hendak mengakui kebenaran gosip yang beberapa hari terakhir ini beredar, mengemuka.
“Mohon tenang sebentar.” Suasana kembali hening. “Terima kasih. Sebenarnya hubungan saya dengan Rizki nggak seperti dugaan kalian. Saya harap setelah ini nggak ada lagi yang berprasangka buruk dan mengganggu Rizki.”
Rizki dan Meta terhenyak. Mulai mengerti arah pembicaraan cowok itu.
“Sebenarnya hubungan kami adalah ....” Rasky menarik napas panjang seraya terpejam. Mempererat genggaman di mikrofon untuk menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menguasai. Diembuskannya napas perlahan sambil membuka mata. “Saudara kandung. Kembar.”
Semua orang terperanjat. Sama sekali tak mengira akan hal itu. Suara-suara di lapangan kini tak lagi berupa bisikan. Banyak yang tak mempercayai ucapan Rasky barusan. Termasuk Ralin yang langsung syok dan nyaris tumbang kalau saja beberapa teman di belakangnya tak langsung menangkap tubuhnya. Barisan mendadak berantakan. Sebagian besar menyemut ke barisan kelas tempat Rizki berada.
Para guru yang tidak mengetahui kejadian sebenarnya, hanya geleng-geleng kepala. Mereka memilih meninggalkan lapangan.
“Setelah ini kamu dan saudara kembarmu itu ke ruangan Bapak. Kalian harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Kepala Sekolah sebelum beranjak pergi.
***
“Kamu buat masalah apa di sekolah?” Kania terbelalak ketika membaca surat panggilan dari sekolah.
Rasky tertunduk. Tak berani menatap wajah khawatir sang mama. Ada ketakutan serta perasaan ragu ketika hendak menyerahkan surat dari Kepala Sekolah sebab itu berarti tak lama lagi Kania akan mengetahui rahasia yang selama ini disimpannya bersama Ryan. Namun akhirnya, ia menguatkan diri. Bersiap menghadapi resiko apa pun.
Rahasia itu telah terlanjur diketahui seisi sekolah. Cepat atau lambat hal tersebut akan sampai ke telinga Kania. Sudah tak ada bedanya esok, lusa, atau kapan pun rahasia itu akan diungkap.
“Sayang, bicarakan sama Mama apa yang sebenarnya terjadi?” Suara Kania melunak.
Rasky mengangkat wajah. Keraguan kembali timbul tatkala menatap bening mata sang mama. Perasaan tak tega mulai menguasai dirinya. Namun cepat ia singkirkan perasaan itu. Lebih baik Kania tahu dari dirinya daripada mengetahui hal tersebut dari mulut orang lain.
“Begini, Ma ....” Ia berdehem. Kania memperhatikan dengan seksama. “Sebenarnya ....”
Suara deru mobil memasuki halaman mengalihkan perhatian Kania. “Sepertinya Papamu sudah pulang. Tunggu sebentar, ya! Nanti kita lanjut lagi.” Kania mengacak rambut Rasky sebelum bangkit dari sofa lalu berjalan ke pintu depan.
Rasky hendak mencegah Kania pergi. Namun tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Akan kian sulit baginya membicarakan hal tersebut jika Ryan turut mendengarkan. Cowok itu berdecak kesal. Bangkit dan bergegas menuju kamar sebelum sang mama kembali memintanya untuk bicara.
***
“Ternyata mereka beneran kembar!” Seorang siswi kelas sebelas menghampiri salah satu meja kantin. Duduk di tepi bangku panjang dan menatap satu persatu wajah teman-teman yang mengelilingi meja itu.
“Tahu dari mana?” salah seorang temannya bertanya penasaran. Siswi pembawa berita itu terdiam. Tak lama ia berujar, “aku dengar sendiri dari ruang Kepala Sekolah.”
“Kamu nguping?” Siswa lain bertanya.
“Nggak cuma nguping, tapi juga ngintip.” Siswi berbibir tipis itu nyengir. “Tadi aku lihat dengan mata kepala sendiri, Rasky nunjukin hasil tes DNA ke Pak Kepsek. Dan kalian tahu apa yang terjadi setelah itu?”
Semua yang khusyuk menyimak cerita gadis itu serempak menggeleng.
“Mamanya Rasky pingsan!” tuturnya dengan ekspresi seolah-olah tengah memberitakan peristiwa besar.
“Kayaknya dia belum tahu kalau anaknya kembar.”
“Jadi, sebenarnya mereka itu anaknya orang tua yang selama ini tinggal sama Rizki?”
“Entah. Yang aku lihat, ayahnya Rizki juga kaget waktu mendengar hal itu.”
“Kalau Rizki beneran kembarannya Rasky, bisa gawat, dong!” keluh seorang siswi bermata sipit.
“Kenapa?”
“Aku ‘kan ikutan ngelemparin tomat sama telur busuk ke dia kemarin,” ujarnya dengan mimik wajah sedih.
“Aku juga ...,” timpal siswi berambut keriting. “Jangan-jangan dia dendam sama kita. Terus ngelarang kita buat deket-deket sama Rasky.”
“Makanya jangan sok jagoan nge-bully orang! Kena batunya ‘kan sekarang?” celetuk Satria yang sengaja lewat di dekat bangku mereka dan segera berlalu sambil nyengir begitu mendapat pelototan dari gadis-gadis itu.
***
“Jadi, seperti itu?” gumam Irfan dengan tatapan kosong setelah mendengar penuturan Rasky lebih lengkap mengapa dirinya bisa terpisah dari keluarga.
Pria itu duduk di bangku panjang depan ruang UKS bersama Rasky. Sementara Rizki sedang berada di dalam menunggu Kania siuman.
“Tolong maafin Papa Rasky, Om. Papa nggak bermaksud jahat. Hanya nggak mau melihat Mama menderita.” Irfan menoleh menatap wajah memohon Rasky. Berusaha meyakinkan diri kalau remaja di sampingnya itu adalah putra yang selama ini dikira telah meninggal.
Pertama kali mendengar berita tersebut, ia syok namun tak sampai pingsan seperti Kania. Sejenak merasa linglung serta tak tahu harus berbuat apa. Suasana panik yang kemudian muncul tatkala Kania tak sadarkan diri, membuatnya semakin bingung. Hingga saat ini sama sekali tak ada adegan mengharukan layaknya pertemuan orang tua dan anak yang lama terpisah seperti dalam sinetron.
Ia hanya duduk berdampingan dengan Rasky, canggung. Mendengarkan penjelasan cowok enam belas tahun itu dengan perasaan berkecamuk. Irfan kembali menghadapkan wajah ke depan.
Sesaat ia tersentak ketika menyadari sesuatu. Embusan napasnya terdengar berat sebelum akhirnya berucap, “ini bukan salah Dokter Ryan. Semua ini salahku,” ucapnya lirih.
“Maksud Om?” Kedua alis Rasky bertaut.
Irfan tersenyum getir. Lalu menoleh ke arah Rasky dengan senyuman berbeda. “Setelah semua yang terjadi hari ini, kamu masih memanggilku Om?”
Rasky terkesiap. Seperti ada aliran listrik yang membangunkannya dari tidur panjang. Perasaan canggung itu masih ada meski ia pernah memanggil pria itu dengan sebutan ‘ayah’ ketika Hasna masih mengenalinya sebagai Razka.
“Aku tahu ini tidak mudah. Tiba-tiba memanggil orang yang selama ini asing dengan sebutan ‘ayah’, terasa aneh tentunya. Tapi kamu mau ‘kan membiasakan diri mulai sekarang?”
Rasky membalas tatapan lembut Irfan dengan senyuman haru dan mata berkaca-kaca. Merasakan desiran halus menelusup dalam dada. “Iya ..., Ayah ...,” ucapnya parau.
Senyuman Irfan semakin lebar. Genangan air mata mulai menganaksungai. Direngkuhnya tubuh Rasky erat.
***
Rizki memandang wajah pucat Kania iba. Meski wanita cantik itu terpejam, raut kesedihan jelas terlihat di wajahnya.
Rizki bisa memahami perasaan hancur yang dirasakan Kania namun ia juga lega karena tak perlu lagi merasa bersalah telah menyembunyikan rahasia besar yang selama ini mengganggu pikiran.
Sebenarnya semalam Rizki ingin mengungkapkan rahasia itu sebelum Irfan memenuhi panggilan dari sekolah keesokan harinya agar sang ayah tak terlalu kaget begitu mendengar hal tersebut dari Kepala Sekolah. Namun entah mengapa lidahnya terasa kelu.
Pikiran mendadak kosong serta tak ada satu pun kalimat—yang telah lama disusun—keluar dari mulut. Berkali-kali bolak-balik toilet untuk menenangkan diri sebelum kembali berusaha bicara.
Akan tetapi, semakin ia berusaha, kian sulit pula kata-kata itu keluar. Hingga akhirnya Hasna dan Irfan yang kebingungan dengan sikap aneh sang putri, memintanya tak memaksakan diri juga menyarankan agar dia beristirahat serta membicarakannya lain kali.
“Rasky ....”
Igauan Kania membuyarkan lamunan Rizki. Ia mendekat dan mengguncang tubuh wanita itu pelan. “Tante?”
Kania membuka mata. Mengedarkan pandangan ke sekeliling lalu terhenti pada wajah khawatir Rizki. Refleks ia bangun dan berkata kalap, “di mana Rasky? Di mana anakku?”
“Tenang, Tante.” Rizki memegang kedua lengan Kania erat. Mencegahnya turun dari ranjang. “Rasky ada di luar. Sebentar saya panggilkan,” lanjutnya setelah Kania berangsur tenang. Kania menggenggam pergelangan tangan gadis itu. Menatap kosong ke arah selimut di kakinya.
“Yang kalian katakan tadi itu bohong, ‘kan? Itu tidak benar, ‘kan?” Secepat kilat Kania mengangkat wajah. Memandang Rizki dengan sorot memohon.
Ia berharap gadis yang berdiri di samping ranjang itu menganggukkan kepala.
“Tidak, Tante. Itu kenyataan yang sebenarnya.” Rizki tertunduk. Tak ingin menatap sorot mata yang menimbulkan perasaan iba.
Bagaimanapun ia berharap permasalahan ini segera selesai. Tekadnya sudah bulat untuk tak lagi berbohong demi menjaga perasaan seseorang.
Genggaman di pergelangan tangan Rizki terlepas. Tangan Kania melunglai. Ia menggeleng-geleng tak percaya. “Tidak ....” gumamnya serak.
Rizki berkaca-kaca menatap Kania. Perlahan ia duduk di tepi ranjang kemudian merengkuh tubuh wanita itu dalam pelukan tanpa berkata apa-apa. Kania terisak. Membalas pelukan Rizki erat dan menangis sejadi-jadinya.
***
Plak!
Ryan terkesiap menatap Oma Wijayanti yang tiba-tiba menamparnya begitu pria itu tiba di rumah. Tangannya refleks memegang bekas tamparan di pipi.
Kania dan Rasky yang juga menunggu kepulangan Ryan di ruang tamu, tak kalah terkejut. Namun keduanya tak bisa berbuat apa-apa.
“Kenapa kamu melakukan semua ini, hah?!” Oma Wijayanti memandang putranya nanar.
“Maksud Mama ... apa?” Ryan memberanikan diri bertanya meski ada perasaan takut menyelimutinya.
“Jangan pura-pura bodoh! Jelaskan pada Mama, kenapa kamu mengambil anak orang lain dan membohongi kami?!”
Ryan terperanjat. Refleks mengalihkan tatapan tajam ke arah Rasky yang tertunduk dalam di samping Kania. Apa yang ada di pikiran anak itu? Kenapa dia tiba-tiba membongkar rahasia tanpa berbicara dulu denganku? pikirnya geram.
“Kenapa kamu diam? Cepat jelaskan!”
Ryan kembali tersentak. Tubuhnya bergetar. Tangannya menjatuhkan tas dalam genggaman. Ia bersimpuh di hadapan Oma Wijayanti. Memeluk kaki wanita tua itu erat. “Maafkan aku, Ma .... Aku tidak bermaksud membohongi kalian ....”
“Maaf kamu bilang?” desis Oma Wijayanti. “Gara-gara kelakuanmu itu, usaha kami selama ini sia-sia. Dengan susah payah Mama berusaha membuat kalian mempunyai keturunan agar ada pewaris di keluarga ini hingga melibatkan pendonor sperma karena kemandulanmu ...!”
Hening seketika. Semua orang di ruangan itu merasakan keterkejutan luar biasa. Oma Wijayanti menutup mulut. Tak mempercayai ucapannya sendiri barusan.
Ryan jatuh terduduk di atas kedua kaki yang terlipat ke belakang. Kedua tangannya melunglai. Perlahan ia mengangkat kepala. Mendongak menatap sang Mama dengan mata berkaca-kaca.
“Maksud Mama ... apa? Aku ... mandul ...?”
Oma Wijayanti buru-buru bersimpuh memegangi pundak Ryan yang melorot lemah. “Maafkan Mama, Nak. Mama sengaja merahasiakan hal ini karena tidak ingin membuatmu sedih ....”
Genangan air mata Ryan luruh. Ekspresi wajahnya terlihat linglung. “Jadi ..., bayi yang dikandung Kania ... bukan ... bayiku ...?” gumamnya lirih.
“Maafkan Mama, Nak ....” Cuma kata-kata itu yang mampu diucapkan Oma Wijayanti. Air mata juga mengalir deras di pipinya. Sementara Kania dan Rasky hanya bisa menatap ibu-anak itu dengan keterkejutan berbeda.
Rasky syok mengetahui permasalahan rumit dalam keluarga itu yang sama sekali tak terduga. Ia pikir meski mungkin akan membuat sang papa murka, pengakuan kalau dirinya bukan anak kandung Ryan dan Kania akan segera menyelesaikan masalah dalam hidupnya. Namun ternyata ada rahasia lain yang kini terkuak dan menimbulkan masalah baru.
***