
by Titikoma

Chapter 10
Rizki berjalan menuju minimarket yang berjarak beberapa bangunan dari tempat tukang tambal ban. Membutuhkan waktu lama menunggu ban sepedanya selesai ditambal. Ia pun mencari kudapan dan minuman. Berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan menatap bangunan serta lalu lalang kendaraan di sekitar.
Langkahnya terhenti ketika pandangannya menangkap sosok tubuh seorang laki-laki tengah bersandar di dinding yang berada di lorong sempit antara bangunan tak terpakai dan warnet yang nampak sepi.
Tubuh sosok itu melorot, matanya tertutup rapat. Sama sekali tak bergerak. Ia memakai seragam yang sama dengan seragam Rizki. Terdapat botol air mineral tergeletak di sampingnya. Rizki mendekat dengan langkah pelan dan hati-hati. Ada ketakutan menyelusup di antara rasa penasarannya. Ia berhenti. Terbelalak begitu mengenali sosok itu. Ferro!
Rizki segera berbalik. Yang terlintas dalam pikirannya ia harus menghindar sejauh mungkin dari Ferro. Ia tidak ingin berurusan lagi dengan cowok itu. Akan tetapi, mengingat kondisi Ferro yang baru saja dilihatnya, Rizki mengurungkan niat. Walaupun tak suka berurusan dengan Ferro, paling tidak dirinya harus memastikan dulu cowok berbadan besar itu baik-baik saja. Ia kembali berbalik. Melangkah dan berkata pelan,
“Kak ... Kak Ferro?” Rizki berjongkok. Ragu-ragu mendekatkan punggung jari telunjuk ke lubang hidung Ferro dan bernapas lega mendapati cowok itu masih bernapas.
“Kak ...,” panggilnya lebih keras. Kali ini sambil mengguncang lengan Ferro.
Cowok itu masih tak bergerak. Tubuhnya bersimbah keringat serta warna muka kemerahan. Dengan panik, Rizki berlari keluar lorong. Berteriak minta tolong sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. Ia kemudian menyeberang dan nekat berdiri di tengah jalan ketika melihat sebuah Avanza silver yang datang dari arah kiri.
Satu-satunya kendaraan beroda empat yang lewat saat itu. Mobil itu berhenti mendadak. Menyisakan kekagetan pengemudinya. Rizki membuka mata yang sempat tertutup rapat karena takut kendaraan itu akan melibasnya. Ia bergegas menghampiri mobil dan mengetuk kaca samping tempat duduk pengemudi. Belum sempurna kaca mobil diturunkan, Rizki berkata panik sambil sesekali menoleh ke belakang. Sama sekali tak fokus menatap pemuda yang mengendarai mobil itu.
“Tolong antarkan teman saya ke rumah sakit. Dia pingsan di sana.” Rizki menunjuk lorong di belakangnya. Melangkah mundur selagi sang pengemudi hendak membuka pintu mobil. Rizki terkesiap. Sesaat tercenung tatkala mengetahui sang pengemudi mobil adalah Alif.
Pemuda itu turun. Menoleh ke kanan-kiri lalu berjalan ke tempat yang ditunjuk Rizki. Sebenarnya masih tersisa kekagetan dalam diri Alif ketika mendapati seseorang tiba-tiba menghadang mobilnya di tengah jalan. Keterkejutannya bertambah begitu mengetahui kalau orang itu adalah Rizki. Ia sempat tertegun ketika untuk pertama kalinya mendengar Rizki berbicara padanya lebih dari satu kata. Akan tetapi, informasi yang gadis itu sampaikan membuatnya tersadar dan bergegas turun dari mobil. Rizki masih mematung di dekat mobil saat Alif memasuki lorong setelah meminta bantuan orang-orang yang lewat. Tergeragap begitu melihat beberapa orang yang berada di sekitar tempat itu berlari menyusul Alif.
“Terima kasih Kak, atas bantuannya,” ucap Rizki sambil menunduk setelah dokter yang memberitahu kondisi Ferro beranjak pergi.
Rizki berada dalam kondisi canggung saat hanya duduk berdua saja dengan Alif di bangku panjang koridor rumah sakit dan menunggu kedatangan dokter yang tengah memeriksa keadaan Ferro, membuatnya berkeringat dingin.
Meski pemuda itu mengajaknya berbincang dengan ramah, ia lebih banyak mengunci mulut. Hanya sesekali menjawab pertanyaan Alif dengan jawaban-jawaban pendek dan kepala tertunduk dalam. Sama sekali tak berani menatap sosok yang telah lama mengisi hatinya.
“Sama-sama. Syukurlah temanmu itu tidak apa-apa.” Alif melirik jam tangannya. “Saya harus pergi sekarang. Kamu mau saya antar pulang sekalian?”
Kepala Rizki refleks terangkat namun dengan cepat kembali tertunduk. “Nggak usah, Kak. Saya mau nunggu di sini sampai orang tua Kak Ferro datang.”
Rizki menatap punggung pemuda itu hingga menghilang di tikungan. Mengusap dada serta mengembuskan napas panjang untuk menetralisir rasa gugup dan perasaan campur aduk yang sedari tadi menyiksa. Ia bingung dengan perasaaannya sendiri. Berada di dekat lelaki yang ditaksir membuatnya sering merasa gugup dan berharap pemuda itu akan segera beranjak pergi. Akan tetapi, ketika Alif berada dalam jarak pandang yang jauh bahkan tak nampak lagi, ada sebersit kerinduan serta keinginan berjumpa kembali.
***
Ferro duduk bersandar di kepala ranjang. Pandangan mata cekungnya nampak kosong. Selang infus tertancap di salah satu punggung tangan. Rizki yang baru selesai sholat ashar di musholla rumah sakit, berjalan menghampiri dan duduk di kursi dekat ranjang.
“Kenapa menolongku? Kenapa nggak biarin aku mati saja?” tanya Ferro tanpa menatap Rizki. Pandangannya lurus ke dinding di hadapan.
Sorot mata terluka jelas terlihat dalam tatapan cowok itu. Rizki menatapnya iba. Meski Ferro tak mengatakan apa pun padanya, Rizki bisa sedikit meraba permasalahan yang dihadapi cowok berambut cepak itu.
Beberapa waktu lalu, sekretaris Papa Ferro datang untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan perawatan putra bosnya. Ketika ditanyakan ke mana orang tua Ferro, wanita berwajah oriental itu mengatakan bahwa Papa Ferro tengah meeting dengan klien penting dan belum sempat mengunjungi sang anak. Sementara sang mama saat ini sedang berada di Paris.
Ia baru akan pulang minggu depan meski telah tahu anaknya masuk rumah sakit. Ditemukan dalam keadaan over dosis yang nyaris merenggut nyawa, Ferro sengaja berbuat ulah untuk menarik perhatian orang tuanya. Berharap mereka menghentikan sejenak kesibukan yang nyaris tanpa jeda.
Rizki bersedekap dan berucap tenang. “Kamu pikir mati bisa menyelesaikan masalah?”
“Kurasa mereka baru akan menemuiku kalau aku mati.”
Rizki terhenyak. Sebegitu putus asanyakah cowok yang dikenal suka berbuat onar itu? Ia nampak kuat dan menakutkan ketika menghadapi siapa pun, tapi kini di mata Rizki, Ferro terlihat lemah serta memendam luka parah dalam hatinya.
“Kamu pernah bilang sama mereka tentang perasaan dan keinginanmu?”
Ferro menoleh. Untuk pertama kalinya sejak membuka mata di rumah sakit, menatap Rizki. Tertegun mendengar pertanyaan yang seakan menampar kesadarannya.
“Sebelum berharap orang lain mengerti dirimu, pahami mereka dulu. Mungkin saja orangtuamu menganggap kamu baik-baik saja dengan keadaan selama ini. Mereka nggak akan tahu kalau kamu nggak pernah bilang.”
Ferro bungkam. Sama sekali tak membantah atau pun meng-iya-kan. Pikirannya berkecamuk. Egonya mengatakan kalau seharusnya orangtua tahu apa yang diinginkan dan dirasakan anak mereka tanpa diberitahu.
Akan tetapi, sisi lain hatinya berkata bahwa setiap orangtua itu berbeda. Tidak semua bisa memahami sang anak dengan baik. Orangtuanya mungkin termasuk ke dalam kelompok itu.
***
Rasky duduk di bangku kantin bersama Meta serta Satria. Ia melahap bekal sembari menatap Rizki yang tengah berbincang dengan seorang gadis berjilbab lebar dan tak berseragam di teras kantin. “Siapa dia?”
“Oh, itu Kak Salma. Alumni sekolah ini. Dulu dia aktif di Rohis dan lumayan deket sama Rizki,” jelas Meta.
“Salma? Kayak pernah denger. Di mana ya?” Rasky mengetuk-ngetuk kening tanpa melepaskan tatapan dari Rizki dan gadis itu. Salma nampak memberikan sesuatu yang disambut antusias Rizki. Salma tertawa ketika gadis di hadapannya memeluk erat dengan ekspresi bahagia.
Rizki memasuki kantin menghampiri bangku Meta setelah Salma pergi. Tersenyum riang dan langsung disambut pertanyaan Meta. “Ada apaan? Kelihatannya seneng banget.”
Rizki duduk di samping Meta. Berhadapan dengan Rasky yang menatap tajam benda di tangan gadis itu. “Kak Salma mau menikah Jumat depan. Nih undangannya.” Rizki mengangkat benda di tangannya.
Rasky terkesiap. Menatap undangan yang sama persis dengan yang dilihatnya di rumah.
“Beneran? Sama siapa?” Meta merebut undangan itu. Bergegas membuka lalu tertegun membaca nama calon mempelai pria. Rizki melongok. Ikut membaca isi undangan. Dengan jelas Rasky menangkap keterkejutan gadis itu.
“Ini ... bukan Kak Alif yang itu, ‘kan?” Meta menoleh memandang sahabatnya.
Rizki tergeragap. Tersenyum kikuk serta mengangkat bahu. “Entah.”
“Wah, nggak nyangka ya, semuda itu udah berani ngambil keputusan buat nikah,” ujar Satria. Tak menyadari perubahan raut wajah ketiga teman sekelasnya.
***
Irfan, Hasna, serta Rizki menunggu kedatangan seseorang dengan rasa penasaran di ruang tamu. Beberapa waktu lalu Fajri mengatakan ingin membicarakan sesuatu dan mengundang seseorang untuk menemaninya bicara sesudah makan malam.
Ketiganya serempak menoleh saat mendengar pintu depan diketuk. Fajri yang berdiri di dekat pintu usai mendapat SMS dari sang tamu, bergegas membukanya. Pintu terkuak. Sesosok pria berjas rapi muncul setelah Fajri membukanya lebih lebar dan melangkah mundur memberi jalan. Pria itu mengangguk hormat ke seisi ruangan. Irfan dan Rizki terkejut.
Sentak keduanya berdiri. Sementara Hasna—satu-satunya yang belum pernah bertemu—membalas anggukan hormat pria itu dari atas kursi roda. Fajri menatap wajah-wajah di hadapannya tegang. Buliran keringat menyembul di dahi. Ia menghela napas panjang untuk menetralisir rasa gugup. “Kenalkan, ini Bima, adik kandung ibuku,” ujarnya membuat Irfan sekeluarga terperanjat.
***
Fajri duduk dengan kepala tertunduk di bawah pandangan tajam Irfan dan tatapan ingin tahu Rizki serta Hasna. Di sampingnya, Bima memperbaiki letak dasi yang terasa mencekik leher. Meraih cangkir teh yang disajikan Rizki lalu meminumnya.
“Aku ingin menyampaikan sesuatu yang selama ini tersimpan rapat. Kebenaran yang berkaitan dengan masa laluku dan kalian.” Fajri terdiam. Menghela napas perlahan. Ia menoleh ke arah Bima yang menanggapinya dengan anggukan dan genggaman erat di tangan. “Aku mau menyampaikan sesuatu yang baru bisa kukatakan sekarang saat keadaan Mbak Hasna sudah benar-benar stabil. Aku ... minta maaf.”
Hening. Irfan, Hasna, serta Rizki menunggu. Semakin penasaran dan tak mengerti arah pembicaraan wanita muda itu. Fajri berdehem. Berusaha melegakan tenggorokan yang terasa tercekat. Keputusan sudah diambil. Ia tak lagi menunggu Ryan membuat pengakuan bersama sebab tak ingin berlama-lama menyimpan perasaan bersalah dalam dirinya.
“Sebenarnya ... pengendara mobil yang menabrak Mbak Hasna dan Mas Irfan enam belas tahun lalu itu bukan Bima, tapi aku.”
Wajah-wajah di hadapan Fajri tersentak. Untuk kesekian kali terkejut mendengar ucapannya. Kejadian enam belas tahun lalu berkelebat dalam benak Irfan.
Malam itu, ia mengejar Hasna yang memergokinya berada di kamar hotel bersama Santi. Ketika itu ia baru terbangun dalam keadaan bertelanjang dada setelah terlelap akibat obat tidur. Kaget dan sempat bingung tatkala mendapati sang istri menatapnya dengan berurai air mata dari ambang pintu yang dibuka Santi.
Malam itu jalanan sepi. Hanya segelintir kendaraan berlalu lalang. Irfan nyaris berhasil menyusul Hasna yang melangkah tergesa dengan beban berat di perutnya, ketika sebuah mobil sedan hitam melaju kencang dari arah depan dan tiba-tiba berbelok ke trotoar tempat keduanya berada setelah sebuah truk yang melewati mereka dari arah berlawanan membunyikan klakson serta nyaris bertabrakan dengan mobil itu.
Refleks ia meraih tubuh Hasna. Berusaha menyelamatkan wanita yang amat dicintainya. Namun terlambat. Mobil itu dengan cepat menyambar tubuh mereka hingga terpental ke jalanan.
“Tolong ... selamatkan ... istriku ...,” gumam Irfan saat samar-samar melihat beberapa orang menghampiri mereka. Tak lama kemudian ia pingsan.
Beruntung waktu itu dirinya tak terluka parah. Hanya mengalami beberapa luka yang tak terlalu serius. Namun, akibat kecelakaan, ia tak sadarkan diri hingga tak bisa menemani sang istri yang harus segera dioperasi saat itu juga untuk menyelamatkan Hasna beserta kedua bayinya.
Irfan menatap Fajri nanar. Rahang kukuhnya terkatup rapat. Syok serta kecewa hingga tak sanggup berkata-kata. Fajri bangkit. Bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk dan menahan tangis.
“Aku benar-benar minta maaf sudah membuat keluarga kalian menderita. Aku menyesal dan sengaja datang ke rumah ini untuk menebus kesalahan itu. Meskipun yang kulakukan selama ini tak bisa menggantikan kebahagiaan kalian, kuharap kalian sudi memaafkanku.”
Hasna dan Rizki menatap Irfan. Menunggu reaksi serta keputusan pria itu. Meski keduanya syok juga terbersit perasaan kecewa, tapi mereka kompak lebih memilih diam. Menyerahkan segala keputusan pada Irfan. Bima memandangi keponakannya iba namun ia tak bisa berbuat apa-apa sebab Fajri memintanya tidak ikut campur apa pun yang terjadi. Cukup berada di samping Fajri untuk menguatkannya.
“Pergi,” desis Irfan. “Pergi dari sini dan jangan pernah menginjakkan kaki ke rumah ini lagi.”
Kepala Fajri sentak terangkat. Meski hal ini sudah diprediksi serta telah mempersiapkan diri untuk menghadapi, tak urung kekecewaan tetap saja melingkupi. Fajri perlahan bangkit. Berjalan gontai menuju kamar dan keluar tak lama kemudian. Menyeret koper yang telah dipersiapkan sebelum menyampaikan pengakuan.
***
“Mau ngomong apa?” tanya Rizki setelah ia dan Rasky tiba di depan gudang sekolah. Gadis itu memperhatikan sekitar. Khawatir ada seseorang yang memergoki mereka berdua di sana. Semenjak memutuskan untuk menjaga jarak, sebisa mungkin dirinya tak ingin terlihat berdua saja dengan Rasky.
“Kamu yakin mau dateng ke pernikahan kakak kelasmu itu?” Rasky balik bertanya. Menatap sebal pada kembarannya yang dinilai berlebihan menyikapi keberadaan mereka berdua di tempat itu. Seolah-olah mereka pasangan backstreet yang sedang diam-diam bertemu.
“Maksud kamu apa?”
“Jawab saja pertanyaanku.”
“Insya Allah iya. Memangnya kenapa?” ketusnya.
“Kalau aku minta kamu buat nggak dateng, gimana?”
“Kamu ini aneh. Memangnya kenapa, sih?”
Rasky terdiam. Pandangannya mengarah ke bawah dengan bola mata bergerak-gerak seperti mencari sesuatu.
Ia bingung mencari cara untuk mencegah gadis itu datang ke pernikahan Alif tanpa memberitahu yang sebenarnya.
“Pokoknya kamu nggak boleh dateng!” seru Rasky akhirnya. Benar-benar tak menemukan alasan masuk akal untuk permintaannya.
“Apa hak kamu buat ngelarang aku?”
Rasky tergeragap. Lidahnya terasa kelu hingga tak ada sepatah kata pun yang terucap. Rizki masih memandanginya menuntut penjelasan.
“Kamu nggak bisa jawab?” tanya Rizki beberapa saat kemudian. “Ck, buang-buang waktu saja,” gumamnya menatap Rasky sebal lalu berbalik dan mulai beranjak.
“Tunggu!” Rasky mencekal pergelangan tangan Rizki.
“Apa lagi?” keluh Rizki kesal seraya kembali berbalik.
“Calon suami kakak kelasmu itu ....” Rasky menatap Rizki ragu lalu berucap pelan, “cowok yang kamu suka.”
Rizki terkejut. Meski gelisah semenjak melihat nama calon mempelai pria yang tertera di undangan sama persis dengan nama Alif, hati kecilnya berharap mereka bukan orang yang sama. “Maksud kamu ... apa?” Ia tercekat.
“Mungkin kamu bingung kenapa aku bisa tahu siapa cowok yang kamu suka.” Rasky berdehem. Berusaha membuat suaranya terdengar wajar.
“Sebenarnya yang hampir nabrak kamu di depan rumah sakit waktu itu adalah Kak Alif. Dia anak teman papaku. Kami baru bertemu saat itu dan berkenalan di sana,” jelasnya. “Waktu kamu masih pingsan, Meta nelfon ke ponsel kamu dan aku angkat. Nggak sengaja aku lihat foto Kak Alif di wallpaper handphone kamu.”
Rizki tertegun. Tubuhnya limbung dan nyaris ambruk jika saja Rasky tak mempererat cekalannya. Beberapa saat ia hanya diam mematung dengan tatapan kosong.
“Kamu nggak apa-apa ‘kan, Ki?”
Rizki tak menjawab. Perlahan mengurai cekalan Rasky di lengannya dengan tangan yang lain. “Aku mau pergi,” ucapnya nyaris tak terdengar.
Ia nampak linglung sewaktu melangkah mundur dan hendak berbalik. Tiba-tiba Rasky menarik tangannya lalu mendekap tubuh gadis itu dalam pelukan. Rizki tak melawan. Hanya terdiam dengan buliran bening menetes membasahi kemeja Rasky.
“Menangislah kalau kamu pengen nangis. Nggak usah ditahan. Setelah itu lupakan dia!” Rasky mengusap kepala Rizki lembut. Rizki mulai terisak. Membenamkan kepala ke dada bidang cowok itu.
***
Irfan menatap putrinya yang mengaduk-aduk makan malam dengan malas. Gadis itu terlihat kusut dan tak berselera makan. “Kamu kenapa, Ki?” tanyanya kemudian.
“Kangen Mbak Fajri,” jawab Rizki tanpa mengalihkan tatapan dari piringnya.
Gerakan tangan Irfan terhenti. Rahangnya mengeras dengan sebelah tangan terkepal. Hasna juga menghentikan gerakannya. Melirik sang suami dan menunggu reaksi pria itu.
“Jangan bicarakan dia lagi!” desis Irfan lalu kembali menekuri makanannya.
Kepala Rizki terangkat. “Kenapa Ayah nggak bisa maafin Mbak Fajri? Dia sudah mengakui dan menebus kesalahannya. Ngelakuin lebih dari apa yang menjadi tanggung jawab dia. Nggak seperti ....” Kalimat Rizki terhenti.
Gadis itu terkejut dengan ucapannya sendiri. Nyaris menyebut nama Ryan yang juga melakukan kesalahan pada keluarganya.
“Jangan ikut campur! Kamu hanya tahu dia merawatmu sejak kecil tanpa pernah merasakan akibat buruk yang disebabkan olehnya di masa lalu,” geram Irfan.
“Gara-gara dia, ibumu kehilangan enam belas tahun hidupnya dan kita kehilangan saudara kembar kamu.”
Rizki menatap sang ayah nanar. Ingin rasanya mengatakan kalau putra mereka belum meninggal, tapi sekuat tenaga ia tahan. Gadis itu beranjak meninggalkan meja makan.
“Mau ke mana kamu? Habiskan dulu makananmu!” Irfan hendak menyusul namun Hasna buru-buru mencegah.
“Mas, Rizki butuh sendiri. Biarkan dia tenang dulu. Tak baik melanjutkan pembicaraan dengan emosi seperti ini.”
***
Rizki menyimak penjelasan Pak Hendra tanpa konsentrasi. Bukan karena masalah pernikahan Alif serta kepergian Fajri yang menyita pikirannya beberapa hari terakhir, melainkan rasa tidak nyaman yang bergolak di dalam perut. Sebelum berangkat sekolah, ia sudah merasa tak enak badan. Akan tetapi, diabaikannya perasaan itu. Namun kali ini pergolakan di perut mulai naik ke dada. Rizki tahu kalau itu pertanda tak lama lagi dirinya akan muntah. Diliriknya jam dinding di muka kelas.
Pergantian jam pelajaran masih lama dan ia belum berani meminta izin ke toilet pada guru killer itu. Rasky memandangi Rizki dari tempat duduknya. Khawatir melihat wajah pucat sang kembaran. Dia sepertinya kurang sehat. Mungkinkah karena masalah Alif yang akan menikah hari ini? Bukankah setelah puas menumpahkan air mata, Rizki terlihat sudah lebih baik?
Bahkan masih sanggup berdebat dengannya dan bersikukuh akan tetap datang ke acara pernikahan. “Aku sudah diundang dan wajib datang selama tidak ada halangan,” katanya waktu itu.
Lamunan Rasky buyar tatkala tangan Rizki tiba-tiba terangkat di tengah-tengah penjelasan Pak Hendra. Seisi kelas serempak menatapnya tegang di tengah kesenyapan setelah dominasi suara Pak Hendra menghilang. Semua penghuni kelas tahu kalau guru satu itu paling tidak suka penjelasannya dipotong tiba-tiba. Dan kini salah seorang siswi melakukannya.
“Ada apa?” Pak Hendra menatap Rizki tajam.
“Saya minta izin ke toilet, Pak,” ucap Rizki sembari menahan mual yang semakin menjadi.
Belum sempat Pak Hendra menjawab, Rizki bergegas bangkit dan berlari keluar sambil menutup mulut. Seisi ruangan terpaku. Dengan jelas melihat gadis itu melakukan gerakan menahan muntah yang nyaris keluar sebelum pergi. Berbagai spekulasi bermunculan dalam benak penghuni kelas. Bisik-bisik mulai memecah kesunyian yang sempat meliputi.
***
“Apa? Fajri pingsan? Cepat panggil dokter! Aku akan segera pulang.”
Bima menutup telepon. Menyambar tas di meja lalu bergegas keluar dari ruang kerjanya. Ia menyetir menuju rumah dengan kecemasan luar biasa. Keponakannya itu jarang sakit. Ia wanita kuat dan selalu nampak ceria. Namun beberapa hari kembali ke rumah, Fajri seringkali terlihat murung. Bahkan kali ini ditemukan tergeletak pingsan di kamar mandi usai mengalami muntah-muntah.
Bima melempar tas ke sofa ruang tamu begitu tiba. Berjalan tergesa menaiki anak tangga menuju kamar Fajri. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu kamar dan langsung menghambur ke dalam. Fajri yang tengah disuapi bubur oleh Bik Nah—pembantu di rumah itu—menoleh. Wajah pucat wanita muda itu menampakkan ekspresi heran.
“Kok sudah pulang?” tanyanya. “Kamu tidak apa-apa, ‘kan?”
Fajri melirik Bik Nah yang tertunduk sambil memegang mangkuk berisi bubur.
Ia langsung memahami kalau Bima diberitahu wanita paruh baya itu mengenai kondisinya. Bik Nah bangkit. Meletakkan mangkuk bubur ke atas meja di samping tempat tidur dan beranjak keluar.
“Aku tidak apa-apa. Kata dokter, cuma butuh istirahat dan minum obat,” ujar Fajri. “Kamu seharusnya tidak usah pulang. Sudah ada dokter yang menangani.”
“Tapi aku khawatir, Ri. Bagaimanapun kamu itu tanggungjawabku.”
“Oke. Karena kamu sudah terlanjur pulang, gimana kalau sekarang kamu suapi aku?” Fajri mengerling jahil.
Bima tertawa. Raut khawatirnya seketika berubah. Tangannya bergerak mengacak rambut Fajri gemas.
***
Rizki perlahan membuka mata. Mendapati dirinya berbaring di ranjang ruang UKS ditemani Meta yang duduk di kursi samping tempat tidur.
“Aku kenapa? Kok bisa ada di sini?” Rizki bangkit dan mengamati sekitar. Meringis merasakan denyutan di kepala.
Meta membantu Rizki duduk dan meletakkan bantal di belakang tubuh gadis itu sebagai sandaran. “Tadi kamu pingsan di toilet. Kata anak yang waktu itu ada di sana, kamu muntah sebelum pingsan,” jelas Meta. “Aku beliin teh anget, ya?”
Rizki mengangguk. Tersenyum ketika Meta mengusap lengannya sebelum beranjak pergi. Ia menatap sekeliling. Menelan ludah yang terasa pahit. Juga merasakan sesuatu mengganjal di dada serta sensasi panas di sana.
Kayaknya bakal muntah lagi, nih, keluhnya dalam hati. Rizki mengingat-ingat kembali apa yang dimakannya tadi pagi saat sarapan yang kemungkinan membuat ia muntah. Tersentak begitu berhasil mengingatnya. “Ah ya, jamur,” gumamnya sembari menggetok kepalanya sendiri. “Kenapa aku bisa lupa?”
Rizki memiliki alergi terhadap makanan satu itu. Terkadang jika memakannya, ia akan muntah beberapa jam kemudian, tapi tak sampai pingsan seperti kali ini. Ia akan baik-baik saja setelah semua isi perutnya keluar. Hal itu hanya diketahui dirinya dan Fajri.
Sang ibu belum tahu banyak tentang anaknya sendiri, sementara Irfan tak mengetahui mengenai alergi itu karena belum pernah mendapati Rizki muntah setelah mengkonsumsi jamur. Meski tak setiap makan muntah, sebisa mungkin Rizki menghindari mengkonsumsinya. Namun, masalah yang menyita pikiran, membuat gadis itu tak begitu memperhatikan apa yang ia makan. Menu sarapan pagi ini pun tak bisa diingatnya dengan baik.
Di tengah lamunan, sosok Rasky tiba-tiba menghambur masuk dan mengagetkan Rizki. “Kamu nggak apa-apa, ‘kan?” tanyanya cemas sambil duduk di tepi ranjang lalu memeriksa tiap inci tubuh gadis itu.
“Nggak apa-apa.” Rizki menjawab risih. Menepis kedua tangan Rasky di kedua lengannya. “Ngapain sih, kamu ke sini? Kalau ada yang lihat, gimana?” Rizki melongok ke arah pintu.
“Aku tuh khawatir sama kamu, tapi kamu malah bersikap kayak gitu sama aku.” Rasky cemberut. Kedua tangan bersedekap di dada sambil menatap ke arah lain, sebal. Rizki menahan senyum geli melihat ekspresi kembarannya.
“Ng ... nanti malam kamu nggak usah dateng ke acara pernikahan itu, ya!” ujar Rasky setelah beberapa saat terdiam. Bibirnya tak lagi manyun. Raut khawatir jelas terlihat di wajah tampannya. “Kan kamu ada halangan. Lagi sakit ....”
Rizki tak menjawab. Hanya memandangi sang kembaran dengan sorot haru. Untuk kesekian kali Rasky membujuknya agar tak menghadiri resepsi pernikahan Alif dan Salma. Cowok itu seakan tak pernah lelah meski jawaban sama berulang kali meluncur dari mulutnya. Rizki bisa merasakan ketulusan sang adik yang tak ingin melihatnya terluka.
“Ki, kamu nggak apa-apa, kan?” Rasky melambaikan tangan di depan wajah Rizki yang masih diam menatapnya.
Bibir Rizki membentuk senyum tipis. Ada yang terasa mendesak keluar dari matanya. Ia bangkit dari sandaran dan memeluk Rasky. Perlahan tetes bening luruh di pipi tatkala kedua tangannya bergelayut erat di seputar leher cowok itu. Rasky tertegun. Bingung. Tak tahu harus berbuat apa.
“Terima kasih kamu tetap berada di sisiku meski berulang kali kuminta kamu menjauh. Nguatin aku di saat-saat melelahkan seperti sekarang.” Rizki terisak.
Rasky membalas pelukan Rizki. Tangan kanannya mengusap-usap punggung gadis itu. Suasana haru menyelimuti ruangan. Namun tiba-tiba ....
Praaang ...!
Rizki dan Rasky refleks menoleh serempak. Dengan cepat saling melepas pelukan melihat Meta berdiri mematung di ambang pintu. Pecahan gelas serta aliran teh hangat berserakan di sekitar kakinya.
***
“Sampai kapan Mas akan menyimpan dendam itu? Apa dengan tak memaafkan Fajri, Mas bisa hidup tenang?” Hasna menoleh. Menatap Irfan yang berbaring di sampingnya.
Pria itu bergeming. Menatap langit-langit kamar dalam diam.
“Benar kata Rizki, Fajri melakukan lebih dari apa yang menjadi tanggung jawabnya. Jika itu orang lain, mungkin dia hanya akan membayar semua biaya rumah sakit lalu pergi,” ujar Hasna.
“Atau lebih parah lagi, mungkin orang itu akan lari dari tanggung jawab,” lanjutnya seraya menghela napas panjang.
Wanita itu mengikuti pandangan Irfan ke langit-langit kamar. “Mas bilang, Bima itu pemilik perusahaan tempat Mas bekerja. Apa Mas tidak pernah berpikir kalau itu bukan cuma kebetulan? Bukan tidak mungkin ‘kan, Mas diterima bekerja di sana karena campur tangan Fajri?”
Irfan tersentak. Menoleh cepat ke arah sang istri yang masih menatap langit-langit. Benaknya berkecamuk. Perkataan Hasna barusan tak pernah sedikit pun terlintas di kepala. Pikirannya masih dipenuhi dendam serta sakit hati.
Ia ingat betul bagaimana selama ini dirinya menyimpan kesumat pada Bima setelah mengetahui siapa yang telah membayar seluruh biaya rumah sakit. Menyimpulkan sendiri bahwa pria yang tak sempat ditemuinya waktu itu dan hanya terlihat beberapa saat sebelum akhirnya menghilang ketika berusaha dikejar, sebagai penanggung jawab atas kemalangannya.
Ia menganggap Bima pengecut karena membayar ganti rugi diam-diam dan tak berani menemuinya. Kenyataan bahwa sebenarnya Fajri yang bertanggung jawab atas tragedi itu, membuat Irfan syok. Sosok yang selama ini ia anggap adik, ternyata penyebab terjadinya kecelakaan. Irfan merasa dikhianati dan belum bisa menerima kenyataan itu.
***
“Kayaknya Rizki benar-benar hamil, deh. Kalian lihat sendiri kan kemarin dia kelihatan mual? Ada saksi mata juga yang ngelihat dia muntah-muntah di toilet.” Suara berbisik yang cukup keras, terdengar di area kantin sekolah.
“Masa sih? Dia kelihatan alim gitu masa bisa ....” Seseorang menimpali sambil membentuk bulatan dengan kedua tangan di depan perut. “ ... sebelum nikah. Mungkin cuma masuk angin, kali. ”
“Masih inget nggak, waktu dia terkurung di gudang sekolah semaleman bareng Rasky? Bisa jadi mereka ngelakuin hal itu di sana. Siapa yang bisa jamin dua orang lawan jenis di ruangan sepi tertutup semalaman, nggak ngelakuin apa-apa?”
Brak!
Suara gebrakan di meja mengagetkan sekumpulan siswi yang sedang asyik bergosip. Serempak menoleh untuk melihat siapa yang telah mengganggu keasyikan mereka. Nampak Meta berdiri seraya berkacak pinggang di dekat meja itu.
“Jaga mulut kalian, ya! Rizki nggak seperti itu,” semburnya dengan pandangan menusuk tajam.
Seorang siswi yang menggulirkan gosip panas itu berdiri. Menatap Meta menantang. “Jangan gampang ketipu sama tampang polosnya. Kamu tahu kan dia pernah bilang nggak mau pacaran? Tapi semenjak ada Rasky, dia melanggar ucapannya sendiri dan nempel terus sama cowok itu.”
“Kalian salah paham. Sebenarnya hubungan Rasky dan Rizki ....” Meta menghentikan kalimatnya. Tiba-tiba ragu melanjutkan ucapan.
“Hubungan mereka apa? Suami-istri?” Gadis berkuncir kuda itu tertawa sumbang diiringi derai tawa teman-temannya.
Meta diam. Tangan terkepal erat.
Gadis itu berusaha mengunci mulut rapat agar tak membocorkan rahasia yang baru kemarin diketahuinya setelah memergoki Rizki dan Rasky berpelukan. Ia sudah berjanji untuk tak mengatakan pada siapa pun mengenai hal itu. Bel tanda masuk berbunyi. Siswi biang gosip serta kawan-kawan beranjak meninggalkan bangku kantin dengan sisa tawa yang masih berderai. Meta bergeming. Menatap nanar sekumpulan gadis itu.
***
“Beres. Semua orang kayaknya udah kemakan omonganku.”
“Bagus.” Ralin tersenyum. Mengangsurkan amplop tebal pada gadis berkuncir kuda yang diam-diam ditemuinya di toilet. Gadis itu melongok isi amplop dan tersenyum puas.
“Kamu yakin ngelibatin Rasky? Kalau dia jadi jelek di mata orang-orang, gimana?” tanya siswi berkuncir kuda.
“Cuma dengan cara ini aku bisa ngejatuhin Rizki dan bisa bikin semua orang percaya.”
“Lagian, kalau reputasi Rasky jelek, cewek-cewek yang naksir bakal ngejauhin dia. Setelah itu, kesempatanku mendekati Rasky akan jauh lebih besar.” Ralin tersenyum licik.
“Pinter juga kamu. Sekali tepuk, dua tiga nyamuk mati di tangan.”
***