by Titikoma
7. Interogasi Part 2
Devi, Dimas dan Detektif Tiga Serangkai sudah siap melakukan interogasi part 2, yaitu menginterogasi Choi Hanna, sahabat terdekat Han Jie Eun. Choi Hanna tinggal di Kampung Rakyat Hahoe atau Hahoe Folk Village, sebuah kampung tradisional yang terletak di Andong, Provinsi Gyeongsang Utara, Korea Selatan. Lokasinya berada di sisi anak Sungai Nakdong yang membentuk huruf S, terdiri dari rumah-rumah tradisional Korea (hanok). Terdapat 130 buah hanok yang berusia antara 300 – 500 tahun. Dikategorikan sebagai tradisional karena masyarakat kampung ini masih mempertahankan cara hidup dan tradisi khas Dinasti Joseon.
Kampung ini merupakan kampung asal beberapa kelompok marga utama sejak periode Dinasti Joseon, seperti Pungsan Yu.
Berbagai pertunjukan kesenian dan permainan tradisional diadakan di sini, antara lain Hahoe Byeolsin-gut Talnori dan Seonyujul Bulnori. Hahoe Byeolsin-gut Talnori adalah sendratari topeng yang berasal dari zaman Dinasti Goryeo (918-1392) yang sebagai warisan budaya.
Devi, Dimas, dan Detektif Tiga Serangkai berdiri di depan rumah model hanok bercat warna putih namun tiang dan atapnya warna merah.
Hanok adalah sebutan untuk rumah tradisional Korea yang dipakai untuk membedakannya dengan rumah gaya Barat. Arsitektur Korea memperhitungkan lokasi rumah dari lingkungan sekelilingnya, khususnya mempertimbangkan keadaan geografi dan musim. Struktur interior juga dirancang berdasarkan lokasi rumah. Prinsip yang disebut Baesanimsu secara harfiah mengatur rumah ideal untuk dibangun membelakangi gunung, dan sungai berada di depan rumah. Hanok dibangun menghadap ke timur atau selatan agar cukup mendapat sinar matahari.
Rumah tradisional Korea dibangun dari bahan-bahan alami seperti kayu, tanah, batu, jerami, genting, dan kertas. Tiang-tiang dan kerangka hanok dibuat dari kayu. Tembok pengisi kerangka rumah dibangun dari bata yang dibuat dari campuran tanah dan rumput. Kertas tradisional Korea dipasang di rangka jendela, rangka pintu, dan pelapis dinding. Lantai dibuat dari tanah yang dikeraskan atau batu.
Pinggiran atap yang melengkung ke atas disebut cheoma. Panjang cheoma menentukan jumlah sinar matahari yang masuk ke dalam hanok.
“Fiq, kamu yakin rumah yang ada di depan kita ini rumahnya Choi Hanna?” tanya Devi.
“Dari tulisan di kertas yang diberikan Lee Young Jae sih bener rumah Choi Hanna yang ini. Untuk memastikannya kita ketuk pintu aja yuk!”
Hambali yang mengetuk pintu. “Annyeong Haseyo, apa ada orang di dalam?” sapa Hambali.
Pintu pun terbuka, terlihatlah seorang gadis tingginya sekitar 170 cm, kulitnya putih bersih, rambut panjang, bulu matanya lentik, pipinya tirus, dan memiliki lesung pipi. Gadis itu seketika membuat mata Taufiq, Dimas, dan Hambali tak berkedip.
Devi keki melihat tingkah mereka. “Dasar cowok nggak bisa liat cewek bening dikit aja langsung deh melotot matanya,” batin Devi kesal.
Dia mencubit pinggang Dimas. “Au, sakit tau,” Dimas mengaduh kesakitan.
“Rasain, katanya aku cewek paling cantik tapi liat cewek yang lebih bening melotot,” ujar Devi mengambek.
Dimas yang diomelin Devi hanya menyengir kuda. “Hehehe… maaf.”
“Annyeong Haseyo, kalian mencari siapa?” gadis itu bertanya.
“Kami mencari Choi Hanna,” sahut Devi, sebab tim detektif Tiga Serangkai masih melongo kayak sapi ompong.
“Saya sendiri Choi Hanna, kalian siapa ya?”
“Kami dari Arsha Magazine majalah kriminal. Kriminal yang lagi hangat dibicarakan di Seoul adalah kasus pembunuhan Han Jie Eun. Kami mendapat kabar bahwa Anda sahabat terdekat Han Jie Eun. Benar kah?”
“Ya, benar. Han Jie Eun sahabat terdekat saya.”
“Kalau begitu bolehkah kami mewawancarai Anda?”
“Tentu. Mari silakan masuk!”
“Woy, sampai kapan bengong? Ayo masuk!” teriak Devi. Taufiq dan Hambali pun tersadar dari lamunannya. Lalu mereka berjalan mengekor di belakang Devi dan Dimas memasuki rumah Choi Hanna.
Devi terkagum-kagum melihat bagian dalam rumah Choi Hanna. Ini pertama kalinya dia memasuki rumah hanok. Rumah ini memanjang menyerupai huruf I agar angin mudah keluar masuk.
Di ruang tamu sama sekali tak ada sofa atau kursi, hanya ada ondol. Ondol itu sejenis karpet yang berfungsi untuk menghangatkan lantai rumah selama musim dingin. Beranda lebar penghubung ruangan satu dengan ruangan lainnya disebut daecheong, ruangan terbuka dengan lantai dari kayu yang dibangun untuk menjaga rumah tetap sejuk di musim panas.
“Jadi, kalian mau wawancarai apa nih sama aku?” tanya Choi Hanna membuka percakapan.
Soal mewawancarai orang itu tugasnya Taufiq dan Hambali. “Pertanyaan pertama, berapa lama kamu kenal Han Jie Eun?”
“Sudah lama banget, sekitar sepuluh tahunan lah. Sejak kami masih SMA dan tinggal di Indonesia.”
Dimas kaget dengan penuturan Choi Hanna. “Loh, jadi Han Jie Eun orang Indonesia.”
“Iya, dia asli Indonesia. Bapaknya Jakarta, Ibunya orang Surabaya. Dia dulu tinggal di Surabaya, pernah sekolah di SMAN 05 Surabaya. Setelah lulus SMA kami sama-sama dapat beasiswa ke Korea.”
“Kalau Han Jie Eun asli Indonesia, tapi kok wajahnya orang Korea banget ya?”
“Sejak semester 2 dia memutuskan operasi plastik, karena dia terobsesi ingin main drama Korea. Sejak wajahnya berubah jadi cantik kayak orang Korea, dia juga memutuskan ganti nama.”
“Memang nama asalnya siapa?”
“Desa Az-zahra.”
Deg!
Choi Hanna menyebut nama Desa Azzahra, membuat jantung Dimas berdegup kencang. “Desa Azzahra? Pernah sekolah di SMA 05 Surabaya? Oh, My god. Kebetulan yang tak terduga,” batin Dimas.
Desa Az-Zahra itu cinta pertamanya Dimas. Dimas menjalin cinta dengan Desa sejak kelas 1 SMA, namun hanya bertahan satu tahun. Ketika naik kelas dua, Desa Az-Zahra beserta keluarganya pindah ke luar provinsi, jadi komunikasi terputus.
“Kamu kenal dengan pacarnya Han Jie Eun yang bernama Lee Young Jae?” Taufiq melempar pertanyaan kedua.
“Kenal, tapi nggak kenal banget.”
“Apa yang kamu ketahui tentang Lee Young Jae?”
“Lee Young Jae sama seperti Han Jie Eun, melakukan operasi plastik. Kata Han Jie Eun, Lee Young Jae itu waktu di SMA 05 Surabaya sering ngejar dia tapi dia tolak. Ketika semester 2 mereka bertemu lagi tapi wajah Lee Young Jae sudah super ganteng, makanya Han Jie Eun mau menerima cinta Lee Young Jae.”
“Nama asli Lee Young Jae siapa?” tanya Dimas penasaran.
“Agus Junaidi.”
Lagi-lagi Dimas kaget. Agus Junaidi dulu musuh buyutan dia di SMA, sama-sama mengejar Desa Az-zahra. Dunia memang sempit. Dua belas tahun dia tak berkomunikasi dengan mereka berdua, eh dipertemukan lagi saat di Korea.
“Kalau sifat Lee Young Jae gimana menurutmu?” giliran Hambali yang bertanya.
“Dia super pendiam. Han Jie Eun nggak pernah cerita sama aku tentang sifat-sifat cowoknya.”
“Kapan terakhir kamu ketemu Han Jie Eun?”
“Seminggu yang lalu. Dua hari sebelum kematian Han Jie Eun aku ke rumah dia pengen curhat, tapi nggak jadi karena di rumahnya ada bos tempat dia kerja. Terus aku pulang, takut ganggu mereka.”
“Boleh kami minta alamat rumah dan nomor telepon bosnya itu?”
Choi Hanna menyebutkan alamat lengkap dan nomor telepon bosnya Han Jie Eun. Taufiq mengetik dengan cepat apa yang dikatakan Choi Hanna di smartphone-nya.
“Baiklah, saya rasa wawancaranya cukup sampai di sini. Kalau begitu kami mohon pamit dulu. Terima kasih banyak atas kesediaan waktunya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu waktu Anda.”
“Iya, sama-sama. Saya senang dengan kedatangan kalian, kalau kalian ke Korea lagi, jangan lupa mampir ke sini lagi.”
***
Setelah pulang dari rumah Choi Hanna, Devi, Dimas dan Detektif Tiga Serangkai mendatangi Yeongwol. Yeongwol adalah sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Gangwon, Korea Selatan. Kabupaten ini dikelilingi oleh rangkaian Pegunungan Taebaek dan menjadi tempat bertemunya dua buah aliran sungai, Donggang dan Seogang.
Ada dua alasan mengapa Devi memilih Yeongwol sebagai tempat persinggahan terakhirnya hari ini. Yeongwol merupakan daerah yang dikenal sebagai tujuan wisata karena pemandangan pegunungan dan hutannya yang indah. Keduanya sekalian mau mewawancarai warga sekitar Pengunungan Taebaek, konon katanya di Pegunungan Taebaek menyimpan kisah misteri.
Wilayah Yeongwol dibatasi oleh kabupaten Jecheon dan Danyang di Provinsi Chungcheong Utara serta kabupaten Yeongju dan Bonghwa di Provinsi Gyeongsang Utara. Luas wilayahnya adalah 1.127 km² dengan jumlah penduduk 45.000 jiwa (2004).
“Kak Devi dan Kak Dimas, perutku laper nih. Kita makan di sana yuk!” ujar Hambali, tangannya menunjuk ke arah dua restoran yang berada di sisi Pengunungan Taebaek.
“Ngga, ah. Di sana mahal, mending kita makan di situ aja!” Devi menunjuk tepi sungai Donggang.
Donggang merupakan salah satu anak sungai yang menjadi hulu Sungai Han. Mata air Donggang (harfiah: "Sungai Timur") bermula dari lembah pegunungan di Jeongseon dan Pyeongchang dan mengalir sepanjang 51-60 km ke Yeongwol dan bertemu dengan aliran Seogang. Seogang atau "Sungai Barat" mengalir dari sebelah barat. Donggang yang memiliki aliran deras merupakan area permainan arung jeram yang paling terkenal di Korea Selatan. Namun, pada pertemuannya dengan Seogang, ia mulai melambat dan dalam. Karena mengalir di daerah pegunungan yang bebas polusi, Donggang adalah salah satu sungai terbersih di Korea dan masih memiliki habitat fauna yang masih alami.
Warga setempat mengganggap Donggang sebagai laki-laki dan Seogang sebagai wanita. Daerah wisata yang terkenal adalah Eorayeon. Eorayeon berada di sisi Donggang yang memiliki pemandangan bebatuan dan hutan pinus. Daerah ini dikenal sebagai objek wisata pendakian serta aliran air yang jernih.
“Makan siang di situ pasti jauh lebih nikmat daripada di restoran, karena bisa menyatu dengan alam dan sambil mendengar percikan air sungai,” jelas Devi.
“Kalau kita makan di situ, terus beli makanannya di mana?” tanya Taufiq.
“Tenang, aku bawa makanan dari rumah kok. Tadi pagi sebelum berangkat nyiapin bekalnya.”
“Di mana bekalnya? Terus kakak bawa karpet juga gak?”
“Karpet dan bekal makanannya ada di bagasi mobil. Ambil gih terus gelar karpetnya di sana!”
Detektif Tiga Serangkai mematuhi perintah Devi untuk mengambil karpet dan bekal makanan di bagasi mobil. Sembari menunggu kedatangan mereka, Devi celingak-celinguk mencari sosok orang yang tepat buat diajakin wawancara.
Tiba-tiba pandangan mata Devi menangkap sosok yang dia cari. Sosok tersebut adalah seorang kakek-kakek lagi duduk santai di bawah pohon. Wah, kebetulan banget. Semoga kakek itu asli orang sekitar pengunungan Taebaek, jadi beliau pasti tahu tentang kisah misteri di Pegunungan Taebaek.
Sebelum mendekati kakek itu, dia terlebih dahulu membuka tas. Dia ingin mengambil peralatan wawancara. Biar enak, begitu sampai di depan kakek itu tinggal klik tombol perekamnya saja.
Diambilnya benda tersebut. Alat untuk wawancara sudah ada di tangan, jadi tinggal mendekati kakek itu.
Tap…Tap… Tap!
Terdengar suara langkah kakinya sebab dia masih memakai sandal kayu. Hanya dalam waktu kurang dari 5 menit, dia sudah berada di depan kakek tua.
“Selamat Siang, Kek!” ujarnya menyapa kakek tersebut.
“Siang juga.”
“Apakah kakek asli orang sekitar Pegunungan Taebaek?”
“Iya, rumah saya dekat sini.”
“Kek, saya Devi. Saya wartawan dari majalah Arsha, saya datang ke tempat ini ingin meliput tentang Pegunungan Taebaek, bolehkah saya wawancara dengan Anda?”
“Wawancara apa?”
“Gini Kek, saya dengar-dengar Pegunungan Taebaek punya kisah misteri juga ya? Kakek tahu nggak cerita kisah misteri tersebut?”
“Jelas tahu lah. Orang asli sini masa nggak tahu kisah misteri di pegunungan Taebaek?”
“Kek, bisa diceritakan nggak kisah misteri tersebut ke saya?”
Sebelum beliau bercerita, Devi klik tombol perekam di smarthphone-nya dulu.
“Di pegunungan Taebaek terdapat sebuah lereng terkenal yang bernama lereng Il wol san. Ternyata di lereng ini terdapat sebuah cerita tentang hantu seorang wanita bernama Hwang Ssi Buin yang merupakan istri Wang-ssi. Sang istri selalu mendapat perlakuan buruk dari keluarga suaminya hingga akhirnya ia tidak tahan dan melarikan diri ke lereng Il wol san. Di sana, sang istri akhirnya bunuh diri dan menjadi hantu gentayangan dengan hati yang masih dipenuhi rasa marah dan duka.”
“Pengunjung atau warga sekitar sini pernah mengalami kejadian mistis apa saja?”
“Konon, jika pengunjung yang datang membawa sifat-sifat yang buruk maka arwah sang istri akan membawa kesialan bagi mereka. Namun, jika pengunjung memiliki sifat-sifat baik, maka ia juga tak segan-segan untuk memberkatinya. Akhirnya masyarakat sekitar membangun sebuah kuil dengan harapan agar arwah Hwang Ssi Buin tenang dan mengabulkan semua doa-doa mereka.”
Devi menaikkan satu alis. Jawaban kakek itu tak nyambung dengan pertanyaannya. Tapi tak memedulikan, toh apa yang dikatakan kakek itu lumayan menambah wawasan tentang pegunungan Taebaek.
“Krk, saya rasa wawancaranya cukup. Terima kasih atas waktunya, maaf jika mengganggu,” ucap Devi berpamitan pada kakek.
Dia kembali ke tepi sungai Donggang. Ternyata karpet telah digelar dan makanan pun sudah tertata rapi di karpet itu. Tak mau buang waktu, dia langsung duduk di karpet.
“Benar kata Kak Devi, Makan siang di sisni pasti jauh lebih nikmat daripada di restoran, karena bisa menyatu dengan alam dan sambil mendengar percikan air sungai,” ucap Taufiq sambil makan.
“Makan di tepi sungai kayak gini, aku jadi inget masa kecil dulu yang sering makan di tepi Sungai Martapura. Terus abis makan nyebur ke sungai. Hahaha…” Hambali tertawa menceritakan kisah masa lalunya.
Devi hanya tersenyum simpul mendengar celotehan mereka. Namun tiba-tiba dia merasa ada yang aneh, yang aneh itu dari tadi dia tak mendengar suara Dimas. Dia melirik ke samping, Dimas ada di sampingnya. Tapi ekspresi wajahnya sedang memikirkan sesuatu.
“Dim, kamu kenapa dari tadi diem aja? Kamu sakit?” tanya Devi.
“Aku nggak apa-apa kok,” ucap Dimas singkat.
Devi semakin heran, pasalnya Dimas itu orangnya kalau dah ngomong pasti panjang kayak rel kereta api. Jika ngomong singkat pasti ada apa-apa dengannya. Firasatnya mengatakan bahwa Dimas lagi menyembunyikan sesuatu darinya. “Oke, aku akan cari tahu tentang sesuatu itu,” tekad Devi dalam hati.