7 Misteri Di Korea

Reads
159
Votes
0
Parts
11
Vote
by Titikoma

9. Akhirnya Pelaku Tertangkap Juga

Pukul sepuluh pagi, tim Detektif Tiga Serangkai sudah tiba di depan rumah Lee Young Jae yang terletak di Hannam-dong, Yongsan-gu, Seoul. Rumahnya Lee Young Jae modelnya minimalis sederhana namun dekat dengan restoran Salam.
Ketika Taufiq hendak mengetuk pintu rumah Lee Young Jae, tiba-tiba pintu terbuka dengan sendirinya. Muncullah Lee Young Jae di samping pintu, dia berpakaian rapi dengan mengenakan kemeja putih, celana jeans dan menggendong tas di punggung. Dari penampilannya, Taufiq merasa Lee Young Jae hendak pergi ke kampus.
“Eh, kalian ngapain datang pagi-pagi ke rumahku? Kok nggak bilang dulu sih?” tanya Lee Young Jae dengan nada gugup.
Taufiq melirikkan mata ke arah Ilham, lalu dia mengedipkan mata. Kedipan matanya itu sebagai isyarat bahwa Ilham harus memulai akting-nya sekarang. Untung Ilham mengerti maksud Taufiq, dia memasang ekspresi wajah kesakitan sambil memegangi perut.
“Gini, tadi aku jalan-jalan di sekitar sini, eh tiba-tiba temenku sakit perut, mampir deh ke rumah ini pengen numpang buang air besar. Ternyata rumah ini milikmu. Kebetulan sangat tak terduga. Boleh kan temanku numpang buang air besar di rumahmu?”
“Kalau buang air besar jangan di sini!”
“Loh memangnya kenapa?” Hambali ikut bertanya.
“E… Anu… Toilet rumahku lagi rusak. Mending kamu buang air besarnya di toilet masjid sana aja tuh!” tangan Lee Young Jae menunjuk ke arah Masjid Itaewon.
Taufiq tersenyum kecut. Dia tahu bahwa apa yang dikatakan Lee Young Jae itu hanya bohong belaka. Kenyataannya pasti Lee Young Jae takut orang yang memasuki rumahnya menemukan barang bukti pembunuhan Han Jie Eun.
“Tenang, Ilham itu orangnya sudah terbiasa buang air besar di toilet rusak. Oh ya di mana toiletnya?”
Lee Young Jae skak mat, tak bisa lagi ngeles. Mau tak mau dia terpaksa memberi tahu d imana letak toilet. “Toiletnya samping dapur, cari aja pasti ketemu.”
Tanpa disuruh lagi si Ilham langsung ngacir memasuki rumah Lee Young Jae menuju toilet.
“Sembari nunggu Ilham selesai buang air besar, gimana kalau kita ngobrol-ngobrol di restoran Salam aja? Kan deket restorannya dari sini,” Hambali memberikan usulan.
Hambali sengaja memberikan usulan seperti itu supaya Lee Young Jae meninggalkan rumahnya sebentar, jadi Ilham bisa leluasa mencari barang bukti.
“Wah, bagus juga ide lo. Kebetulan perut gue laper, dari pagi tadi belum makan soalnya,” Taufiq setuju dengan usulan Hambali.
“Kalau kalian mau makan nggak perlu ke restoran Salam, di sana makanannya mahal-mahal. Mending aku masakin menu spesial buat kalian,” Lee Young Jae kembali bersilat lidah.
“Kata Choi Hanna, masakanmu tak enak,” kilah Hambali.
“Iya, bener. Lagian aku pengen banget mencicipi menu makanan di restoran Salam. Kalau soal mahal nggak masalah, ntar aku yang traktir.”
Lagi-lagi Lee Young Jae skak mat, tak bisa menjawab pertanyaan Taufiq. Belum dapat persetujuan, Taufiq langsung menarik lengan Lee Young Jae dan membawanya ke restoran Salam.
Cukup dalam waktu lima menit saja, Taufiq, Hambali dan Lee Young Jae sudah tiba di restoran Salam. Restoran ini sangat ramai, tak heran lagi restoran ini ramai dikunjungi tamu-tamu muslim. Menu yang paling populer dari resto ini adalah Dolma Biber, yaitu paprika diisi dengan domba, beras, dan sayuran, dan Sutlach dengan rasa manis yang kuat.
Walaupun lagi ramai, untungnya masih ada tempat duduk yang kosong, yakni meja nomor tiga. Letaknya di pojok sebelah kiri. Tak ada pilihan lain, mereka pun duduk di meja nomor tiga itu.
“Kita pulang yuk, tuh restoran ini lagi rame banget. Waiters-nya lagi kewalahan melayani pengunjung, pasti pesanan kita lama banget datangnya,” Lee Young Jae berusaha membujuk Taufiq dan Hambali pulang. Dia pasti lagi cemas meninggalkan rumahnya.
“Kalau lama juga nggak apa-apa, kita bisa sabar menunggu kok,” sanggah Taufiq.
Sebelum waiters datang, Taufiq mengambil smartphone-nya. Dia memanfaatkan waktu untuk mengirimkan pesan Whatsapp untuk Ilham.
Gimana Il, kamu dah berhasil nemuin barang bukti di rumah Lee Young Jae?
Muncullah tanda centang dua berwarna biru di samping pesannya. Yang artinya pesan dikirimkan Taufiq sudah dibaca Ilham. Di atas juga muncul tulisan Sedang mengetik…
Cling! Balasan dari Ilham datang juga.
Belum, nih. Dari tadi nyariin barang bukti, sudah diobrak-abrik kamarnya belum ketemu juga. Ntar kalo dah ketemu gue kabari lo.
Ting… Tong!
Smartphone Taufiq berbunyi, ada satu pesan Whatsapp dari Devi.
Pas aku dan Dimas bangun tidur, kamu, Hambali dan Ilham kok nggak ada di apartemen? Kalian pergi ke mana? Kok nggak ngajak-ngajak?
Taufiq membalas pesan Whatsapp untuk Devi.
Sorry, tadi pergi lupa pamit ma kalian. Kami pergi ke rumah Lee Young Jae untuk mencari barang bukti di sana. Doain kami ya biar cepet menemukan barang bukti itu.
Ting… Tong.
Pesan Whatsapp dari Ilham muncul lagi.
Fiq, gue dah nemuin barang buktinya nih.
Taufiq tersenyum membaca pesan Whatsapp dari Ilham, akhirnya Ilham berhasil juga menemukan barang bukti tersebut. “Lee Young Jae, bener deh kata kamu waiters-nya kewalahan melayani pengunjung. Dari tadi belum datang-datang nawarin mau makan apa, Kita pulang aja deh, jamuran aku nungguinnya.”
Hambali melotot, dia pun mendekati Taufiq. Lalu berbisik di telinga Taufiq, “Fiq, lo apa-apaan sih? Kok ngajakin pulang?”
“Tadi Ilham kirim pesan Whatsapp ke gue, katanya dia sudah menemukan barang bukti. Jadi untuk apa lagi kita berlama-lama di restoran ini?” balas Taufiq berbisik di telinga Hambali.
“Oh gitu toh. Yuk, kita pulang!”
***
“Kalian berhasil dapetin barang bukti di rumah Lee Young Jae?”
Baru saja Detektif Tiga Serangkai sampai di apartemen, sudah langsung diburu pertanyaan seperti itu sama Devi.
Ilham menepuk dadanya bangga. “Ya, tentu berhasil dong. Ilham gitu loh,” ucap Taufiq seakan mengerti apa yang ingin dikatakan oleh Ilham.
Ilham, meskipun kekurangannya tak bisa berbicara. Tapi dia memiliki kelebihan yang tak dimiliki orang lain. Kelebihannya itu terletak di matanya yang tajam. Ketajaman matanya melebihi orang yang normal. Selama ini Ilham yang menemukan benda yang bisa dijadikan petunjuk dalam penyelidikan kasus. Walau benda tersebut tersembunyi tapi dia tetap bisa menemukannya.
“Terus mana barang buktinya?” Dimas menggebu-gebu bertanyanya.
“Sabar mas, Bro,” Taufiq menjawab pertanyaan Dimas dengan enteng. Dia lalu mengeluarkan smartphone dan sebuah buku agenda dari balik saku jaketnya. “Barang buktinya ada di sini.”
Dimas mengambil buku agenda, sedangkan Devi mengambil smartphone.
“Nggak nyangka gue, si Lee Young Jae gayanya doang yang cool, eh taunya kayak cewek. Hobby-nya nulis di buku diari. Hahaha,” cibir Dimas.
“Kak Dimas bacain dong isi di buku agenda itu!” pinta Hambali.
“Loh emang kalian belum membaca isinya?” Dimas heran.
Hambali dan Taufiq menggeleng. “Ya udah, gue bacain.”
Dimas menmbuka buku agenda tersebut. Lalu mulai membaca isinya di halaman pertama. “Ah, sial. Desa Az-Zahra kenapa sih lo lebih memilih si Dimas itu daripada gue? Gue itu jauh lebih tulus daripada si Dimas. Bukan Agus namanya, kalau gue nggak bisa dapetin lo.”
Dimas membuka halaman selanjutnya, yakni halaman dua, “Ternyata dunia memang sempit ya, saat gue di Korea malah dipertemukan dengan Desa Az-Zahra. Tapi ada yang berubah darinya, dia sekarang jauh lebih cantik dan lebih mulus. Kalau dia bisa lebih cantik berarti gue juga bisa dong berubah jauh lebih ganteng? Oke, fine. Mulai besok gue bakal cari dokter operasi plastik terbaik di Korea. Siapa tau kalau gue oplas, Desa bakal nerima cinta gue.”
Mata Dimas melirik ke samping tulisan halaman dua, yakni halaman tiga. “Akhirnya gue berhasil dapetin cintanya Desa. Kenapa nggak dari dulu aja ya operasi plastik!”
Dimas terus membuka lembaran di buku agenda Lee Young Jae. Kini sudah sampai di halaman empat. “Dimas, kenapa sih lo nongol lagi dalam kehidupan gue sama Desa? Walaupun Dimas sekarang sudah punya istri tapi tetep aja gue takut Dimas bakal merebut Desa dari gue. Gue harus bisa bujuk Desa agar dia tak menjadi pemandu wisatanya Dimas dan Devi.”
Sekarang sampai di halaman lima. “Benar kan apa yang gue takutkan terjadi. Dimas merebut Desa lagi dari gue. Tadi gue liat mereka sedang saling bertatapan mata dari jarak yang sangat dekat. Bukan hanya itu saja, gue juga melihat Dimas memegangi pinggang Desa. Gue terbakar api cemburu.”
“Gue bingung harus gimana lagi cara bujuk Desa agar dia mau berhenti jadi pemandu wisata Dimas dan Devi. Gue nggak mau Dimas ngerebut Desa lagi,” Dimas membacakan tulisan Lee Young Jae di halaman enam.
Tulisan Lee Young Jae yang benar-benar bisa dijadikan barang bukti sangat kuat bahwa dia adalah pembunuh Han Jie Eun, terletak di halaman tujuh. “Cara terbaik agar Dimas tak bisa memiliki Desa adalah Desa harus mati. Lalu gue bisa memfitnah Dimas dan istrinya itu sebagai pembunuh Han Jie Eun. Sekali dayung tiga pulau terlampaui. Hahaha… Dimas, Dimas ini balasan buat lo. Makanya lo jangan coba-coba melawan gue. Bentar lagi gue bakal liat lo membusuk di penjara. Rasain!”
“Kak Devi, coba deh baca semua sms-sms yang ada di smartphone itu. Siapa tau ada sms dari Lee Young Jae!” pinta Taufiq secara halus.
Devi terlihat asyik mengotak-atik smartphone. “Di kotak masuk smartphone ini ada banyak banget sms dari Lee Young Jae.”
“Coba bacain dua atau tiga sms terakhir dari Dimas!”
Lee Young Jae: Sayang, besok kita ke mana nih menemani si Devi dan Dimas itu?
Han Jie Eun: Kalau nggak berubah sih besok tujuannya ke gerbang Sungnyemun. Kamu dah sehat?
Lee Young Jae: Sudah dong sayang. Oke, besok kita langsung ketemu di gerbang Sungnyemun aja ya. See You.
“Sumpah keren banget. Dua barang bukti ini bisa membuat Lee Young Jae membusuk di penjara. Sekarang tunggu apa lagi, ayo sekarang kita ke kantor polisi buat nyerahin dua barang bukti ini!” ajak Dimas bersemangat.
***
Ketika berhadapan dengan polisi, Dimas dan Devi meminta Taufiq sebagai juru bicara mereka. “Pak, kami sudah menemukan siapa pembunuh Han Jie Eun yang sebenarnya.” Taufiq mencoba berbahasa Indonesia, ribet bahasa Inggris. Siapa tahu pak polisi yang ada di depannya ini mengerti bahasa Indonesia.
Pak polisi melempar tatapan sinis pada Dimas, “Orangnya yang ada di sebelahmu itu?”
“Pembunuhnya itu Lee Young Jae,” sahut Dimas.
“Diam, kau!”
“Apa yang dikatakan Kak Dimas itu benar. Lee Young Jae lah pembunuh Han Jie Eun yang sebenarnya.”
“Apakah kau punya barang bukti bahwa Lee Young Jae pembunuh Han Jie Eun yang sebenarnya?”
“Tentu saja ada. Tunggu sebentar.”
Taufiq mengambil dua buku agenda dan smartphone dari saku jaketnya. Dua barang bukti tersebut diserahkannya pada polisi. Pak polisi mengambil buku agendanya Lee Young Jae. “Tulisan Lee Young Jae yang benar-benar bisa dijadikan barang bukti sangat kuat bahwa dia adalah pembunuh Han Jie Eun, terletak di halaman tujuh. Silakan bapak baca sendiri!”
Pak polisi terlihat sibuk membolak-balikkan halaman buku agenda di tangannya. Tak lama kemudian ekspresi wajah pak polisi itu serius sekali. “Pak polisi pasti lagi membaca tulisan Lee Young Jae di halaman tujuh,” batin Taufiq.
“Apa kau yakin tulisan yang di buku agenda ini tulisannya Lee Young Jae, bukan tulisan orang yang di sebelahmu itu?”
“Tentu saja itu bukan tulisan saya,” Dimas menimpali. Dia pun mengeluarkan secarik kertas berisi catatan utang di warung Jakarta saat dirinya masih bujangan. Kertas itu diberikannya pada pak polisi. “Tulisan saya seperti tulisan yang ada di kertas itu.”
“Apa perlu saya mendatangkan guru bahasa Indonesia saya waktu SMA ke sini? Guru bahasa Indonesia saya itu yang mengenal betul tulisannya Lee Young Jae,” Dimas masih berusaha meyakinkan pak polisi bahwa tulisan di agenda itu benar tulisannya Lee Young Jae.
“Baiklah, saya percaya percaya pada Anda.”
Prok… Prok… Prok
Pak polisi bertepuk tangan. Sesaat kemudian muncullah puluhan polisi. “Pak komandan, apa yang harus kami lakukan saat ini?” tanya polisi yang berjenggot tebal.
“Sekarang kita semua pergi ke kediaman Lee Young Jae untuk menangkapnya. pembunuh Han Jie Eun yang sebenarnya.
“Siap, komandan.” Polisi yang berjenggot tebal itu memberi hormat.
Lega rasanya hati Dimas, pembunuh Han Jie Eun telah terungkap. Kini dia tak sabar ingin melihat Lee Young Jae membusuk di penjara.
***
Pukul 15.00
Devi, Dimas, Detektif Tiga Serangkai dan puluhan polisi tiba di rumah Lee Young Jae. Mereka bersiap diri untuk menangkap Lee Young Jae.
Ting … Tong
Tak lama kemudian Lee Young Jae membuka pintu. Wajahnya seperti ketakutan dan bingung. Jelas saja dia bingung, sore-sore rumahnya sudah didatangi banyak polisi.
“Eh Devi, Dimas, Detektif Tiga Serangkai… tumben sore-sore kalian sudah ke sini, bawa polisi pula? Ada apa? Apakah sudah terbukti pembunuh Han Jie Eun yang sebenarnya adalah Dimas dan Devi?” tanya Lee Young Jae bertubi-tubi.
Taufiq memandangi wajah Lee Young Jae dengan tatapan sinis. Dia muak dengan pertanyaan-pertanyaan yang diucapkan Lee Young Jae barusan. Lee Young Jae masih saja merasa pembunuh Han Jie Eun adalah Devi dan Dimas.
“Ya, pembunuh Han Jie Eun sudah ditemukan. Tapi bukan Dimas dan Devi pelakunya.”
“Siapa orangnya? Tolong dong pertemukan aku dengan pelakunya!”
“Pembunuhnya ada di rumah ini kok. Dan orangnya adalah kamu sendiri.”
“Maksudnya apa? Aku kekasihnya Han Jie Eun. Aku nggak mungkin membunuh orang yang paling kucintai.”
“Udahlah, nggak usah pura-pura lagi. Kami sudah menemukan barang bukti bahwa Anda-lah pembunuh Han Jie Eun,” kali ini Taufiq yang angkat bicara.
Taufiq mengedarkan pandangan ke polisi, alisnya terangkat sebelah. Untung pak polisi mengerti apa yang dimaksud Taufiq. Dia pun mengeluarkan buku agenda Lee Young Jae dari saku jaketnya. Wajah Lee Young Jae mendadak berubah jadi pucat.
“Di… Di mana Anda menemukan buku agenda itu?” tanya Lee Young Jae gugup.
“Anda tidak perlu tahu di mana kami menemukan buku ini. Yang jelas buku ini milik Anda kan? Semua rencana busuk Anda ke Han Jie Eun tertulis di buku agenda ini.”
Lee Young Jae melangkah mundur. Taufiq mencium gelagat Lee Young Jae hendak kabur dari rumah ini. “Pak polisi, kayaknya Lee Young Jae mau kabur.”
“Kamu tenang aja, aku sudah siap siaga kok.”
Pak Polisi mengeluarkan pistol dari saku jaketnya.
Benar saja apa yang dikatakan Taufiq, Lee Young Jae membalikkan badan dan mulai berlari. Detik itu juga pak polisi memuntahkan isi pistolnya. Dan bidikan pak polisi tepat sasaran, peluru mendarat di kaki Lee Young Jae. Otomatis Lee Young Jae tersungkur di lantai. Bergegas polisi yang lain meringkusnya.
Lee Young Jae pun diborgol dan dibawa ke mobil polisi. Pak polisi yang paling tua menjabat tangan Taufiq. “Saya benar-benar berterima kasih pada tim Detektif Tiga Serangkai, karena kalian telah berhasil mengungkap pembunuh Han Jie Eun yang dari awal kami kira karena dibunuh oleh Devi dan Dimas.”
“Iya, sama-sama. Kami juga senang membantu Anda.”
Detektif tiga serangkai tos bareng-bareng. “Yee… pecah lagi.”
“Pak polisi, pembunuh Han Jie Eun sudah tertangkap, berarti kami sudah bisa bebas seutuhnya dong? Kami bisa pulang ke Indonesia?”
“Ya, tentu. Tapi kalian harus menandatangani berkas-berkas pembebasan dulu di kantor polisi. Mari ikut saya!” Pak polisi menjawab pertanyaan Devi dengan lembut.
Ketika mobil polisi mau jalan, Dimas berbicara dulu pada pak polisi yang menyetir mobil. “Pak, Ada yang ingin saya bicarakan dulu dengan Lee Young Jae,” ucap Dimas.
“Oh, mari. Silakan.”
Devi berbisik ke telinga Dimas, “Kamu mau bicara apa lagi dengannya?”
“Ada deh.”
Dimas berjalan menuju belakang mobil untuk menemui Lee Young Jae. “Tuh, kan bener kata gue yang harusnya membusuk di penjara itu lo, bukan gue, Lee Young Jae. Ups, Agus Junaidi ding bukan Lee Young Jae,” Dimas menutup mulutnya dengan tangan.
“Puas lo bikin hidup gue hancur berantakan?” teriak Lee Young Jae.
“Puas banget. Selamat membusuk di penjara Agus Junaidi.”
“Awas lo! Gue akan bales semua perbuatan lo ke gue!”
Dimas bergidik ngeri. “Huu, serem. Tapi gue nggak takut tuh. Gue tunggu. Gue pastiin lo nggak akan bisa menang melawan gue.”
“Pak, saya sudah cukup bicara dengan dia. Sekarang bawa saja dia ke kantor polisi.”
Kebenaran memang selalu terungkap. Hati Dimas benar-benar puas musuh bebuyutannya dari SMA dan pembunuh Han Jie Eun kini bakal membusuk di penjara. “Han Jie Eun alias Desa Az-Zahra, semoga kamu tenang di alam sana ya. Pembunuhmu sudah tertangkap.” batin Dimas.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices