Ablasa

Reads
146
Votes
0
Parts
9
Vote
by Titikoma

1. Selepas Dermaga

Nindya.
Berteduh di bawah rindang pohon ketapang tak terlalu berpengaruh pada hawa panas yang terik menyengat. Bulir peluh menggantung di pelipis, sedang pandangan terus kutujukan ke tepian Dermaga Wijayapura. Di sana, sudah sejak lima menit lalu, Kapal Pengayoman tampak mula merapat. Terlihat jangkar diturunkan. Ada riak yang kemudian tercipta di permukaan keruh Segara Anakan.
Derit pintu rampa bergemeretak. Pintu kapal berjenis roll on-roll up itu sedikit demi sedikit turun membuka. Dengan sigap, dua orang awak kapal melompat dari dalam kapal dan berlari untuk mengaitkan tali tambang pada tiang pancang penambat. Sesaat kemudian terdengar dentuman ringan antara pintu rampa dengan ujung beton dermaga.
Suara deru kapal perlahan melemah, pertanda kapal telah sempurna berlabuh. Belasan penumpang satu per satu turun, ada yang berjalan kaki, ada pula yang mengendarai sepeda motor, disusul mobil dan truk kosong di belakang mereka—pengangkut barang logistik lapas. Penumpang tadi, tak lain adalah keluarga para tahanan di lapas Nusakambangan, para pelancong—karena Nusakambangan terkenal dengan keindahan alam dan pantainya—juga beberapa petugas lapas. Sebagai angkutan khusus pegawai LP dan barang-barang logistik, Kapal Pengayoman juga dibuka gratis untuk umum. Hanya saja, bagi pengunjung lapas, mereka terlebih dahulu diwajibkan melapor dan mengikuti serangkaian mekanisme panjang di kantor Dermaga Wijayapura untuk mengantongi izin sebelum akhirnya diperbolehkan berlayar.
Siang ini, suasana Dermaga Wijayapura tak begitu ramai seperti minggu lalu ketika proses pemindahan belasan pelaku terorisme dari Rutan Mako Brimob, Depok, ke Pulau Nusakambangan. Saat itu, setidaknya seperti liputan di berita, puluhan petugas keamanan dan satuan brimob ditugaskan untuk berjaga, belum lagi ditambah banyaknya wartawan lokal maupun nasional yang hendak meliput berita, serta riuh masyarakat setempat yang hendak melihat langsung proses pemindahan para napi tadi. Sangat berbeda dengan siang ini, hanya ada sekitar tiga puluhan orang yang tampak mengantre.
Kapal Pengayoman sudah kosong, penumpang yang hendak menuju Nusakambangan mulai dipersilakan menaiki kapal, disusul para petugas LP dan terakhir truk-truk pengangkut barang logistik yang kemudian memasuki geladak kapal.
Aku melangkah menaiki anak tangga menuju dek di lantai dua yang memang dikhususkan bagi penumpang. Di sana, aku duduk bersama puluhan penumpang lain dan beberapa petugas lapas berseragam biru muda. Dari sana, dari balik lensa kacamata, bisa kulihat dengan jelas perahu-perahu nelayan yang berjajar dan tertambat di sebelah barat dermaga. Sedang di sisi sebelah timur, di kejauhan, tampak kapal-kapal tongkang dan kapal kontainer berukuran besar sedang bersandar di Dermaga Tanjung Intan.
Tanda pengenal wartawan yang menggantung di leherku melambai-lambai diembus semilir angin. Aku bahkan harus berkali-kali merapikan anak rambut yang berantakan lantaran tiupan angin yang sama.
“Kira-kira berapa lama perjalanan ke Nusakambangan? Sebab ini kali pertama aku ke sini.”
Terdengar percakapan penumpang lain yang berada tak jauh dari tempat dudukku, hanya sejarak tiga kursi. Suara itu jelas milik seorang perempuan.
“Sekitar lima belas menit,” jawab suara berat seorang lelaki yang tak lain adalah lawan bicara perempuan tadi.
“Oh, tak lama. Aku sudah tak sabar ingin mengunjungi Pantai Permisan.” Tanpa menoleh, aku tahu ekspresi perempuan itu pastilah sedang semringah.
“Tidak adakah tujuan yang lebih penting ke Nusakambangan selain hanya untuk liburan di pantai?” Ada nada setengah jengkel yang bisa kubaca dari intonasi suara lelaki tadi.
“Pantai adalah tempat yang paling indah dan menyenangkan. Di sana kita bisa menemukan kedamaian. Ada semilir angin dan deru ombak yang senantiasa menelisik.”
“Kedamaian?” Lelaki itu lantas terkekeh.
Seperti paham akan sindiran dan tak ingin mendebat lebih jauh, si perempuan memilih bertanya. “Kalau kau sendiri, apa tujuanmu ke Nusakambangan?”
“Aku hanya ingin mengunjungi salah satu sahabatku.”
“Sahabatmu pegawai lapas?”
“Bukan. Dia narapidana di Lapas Batu.”
Percakapan mereka mendadak hening, sebab tak lagi kudengar dialog di antara dua penumpang tadi. Menoleh sejenak, kutemukan wajah gadis berusia pertengahan dua puluhan itu tampak kikuk di sisi seorang pemuda berperawakan tegas—dua orang yang terlibat percakapan tadi.
Mesin kapal dinyalakan, suaranya menderu. Ada getar lembut yang memeluk tubuh, getar mesin kapal yang menjalar melalui dinding-dinding kapal. Tak lama, kapal mulai bergerak mundur, tanda hendak berangkat mengarungi Segara Anakan yang tidak terlalu lebar. Kuputuskan untuk beristirahat, menyandarkan beban tubuh yang terasa lelah dan penat. Sebab, sebentar lagi aku harus meliput kondisi Lapas Batu, lapas kelas satu di Pulau Nusakambangan sekaligus tempat penampungan narapidana kelas kakap. Maka, perjalanan yang katanya hanya lima belas menit itu kupilih untuk beristirahat.
Kalau boleh jujur, ini bukan kali pertama aku hendak mengunjungi lapas di Nusakambangan.
***
Pamela.
Aku mendadak terjaga dari tidur lelap lantaran kepalaku yang terantuk sesuatu, juga tubuhku yang tiba-tiba merasakan guncangan hebat, disusul bunyi dentuman benda keras yang terdengar kuat dan sangat dekat. Menegakkan badan, lantas kusandarkan bobot tubuh ke dinding kapal. Kedua tanganku berpegangan pada pinggiran kursi penumpang sebab sesaat kemudian kapal sekali lagi berguncang hebat. Ada riuh jerit kepanikan dari bibir penumpang-penumpang yang lain yang kemudian saling bersahutan.
Meski masih bingung dengan apa yang terjadi, namun aku bisa merasakan ada sesuatu yang ganjil. Suasana di sekitar kapal entah sejak kapan berubah menjadi berkabut tebal. Kabut-kabut ini seakan menyelimuti Segara Anakan. Seperti suasana di permainan Silent Hill favoritku beberapa tahun lalu. Dari posisiku sekarang, aku bahkan tak bisa melihat tepian Segara Anakan yang kata orang-orang tak begitu lebar itu. Tak hanya itu, penumpang yang tadinya berjumlah sekitar tiga puluhan orang berada di dek penumpang ini, mendadak kini hanya tersisa beberapa orang. Sisanya barangkali sudah berlarian turun ke geladak.
“Ada apa ini? Apa yang sebenarnya tengah terjadi?” tanyaku pada penumpang wanita yang terlihat panik di seberang tempat duduknya. Dari penampilannya, sepertinya ia adalah seorang wartawan, bisa kuamati dari tanda pengenal yang menggantung di lehernya.
“Entahlah, ketika terbangun semuanya sudah tiba-tiba sudah seperti ini,” katanya panik.
“Hans, apa kau tahu sesuatu?” Kali ini aku bertanya pada sosok Hans, kekasihku, yang entah sejak kapan telah berdiri sekitar enam—tujuh langkah dari posisiku duduk. Wajahnya juga terlihat panik. Aku bahkan harus sedikit meninggikan suaraku agar ia bisa mendengar suaraku dengan jelas.
“Aku juga tak tahu, sepertinya kita semua tengah tertidur tadi,” jawab laki-laki bertubuh tinggi itu. Peluh sebesar butiran jagung bercokol di pelipisnya.
“Iya. Aku juga merasakan hal yang sama. Sesaat setelah kapal melaju, mendadak mataku juga terasa berat hingga kuputuskan untuk memejamkan mata.” Penumpang perempuan bertubuh kurus yang duduk di sudut kapal ikut menimpali. Penampilannya agak aneh untuk seorang gadis seusianya. Kalau bisa kukatakan, pilihan pakaiannya yang serba hitam terlalu tua untuk gadis yang kuperkirakan masih berusia dua puluhan tahun.
“Benar-benar aneh. Ini semua terasa tak masuk akal. Sepanjang aku bekerja di lapas, ini adalah kali pertama aku mengalami kejadian aneh seperti ini. Kabut tebal ini entah dari mana datangnya. Dan lihat, ada simbol-simbol aneh di dinding kapal ini. Aku bahkan merasa kapal ini bukanlah kapal yang kita tumpangi tadi.” Pria berusia awal tiga puluhan berseragam biru muda—khas petugas lapas—ikut berkomentar. Di punggung seragamnya, tertulis Lapas Batu. Sepasang manik matanya tak henti mengamati simbol-simbol aneh berbentuk bintang dalam lingkaran yang sepertinya baru saja dilukis oleh seseorang. Lukisan lambang itu berwarna merah pekat dan menguarkan aura yang bisa membikin siapa pun yang melihatnya bergidik ngeri.
Suasana kembali hening, setiap orang yang ada di dek mulai berpikir. Kami berusaha mencerna logika. Hanya suara-suara aneh yang kemudian terdengar di kejauhan—barangkali berasal dari balik gumpalan kabut putih pekat yang semakin menghalangi pandangan. Suaranya menyerupai dengusan macan kumbang atau malah kawuk—makhluk mistis penunggu Nusakambangan—yang dipercaya masyarakat lokal sebagai pemakan mayat. Tapi, bagaimana mungkin ada makhluk itu di tengah-tengah segara seperti saat ini?
Aaargh!
Tiba-tiba terdengar teriakan dari lantai bawah, dari arah geladak kapal. Tidak hanya satu, sepertinya suara itu berasal dari sekumpulan orang-orang yang terdengar berteriak bersamaan. Sontak membuat aku dan semua yang ada terkejut.
Seperti menuruti instingnya, lima orang penumpang laki-laki yang tersisa lantas berlari menuruni anak tangga yang mengarah ke geladak kapal—menuju sumber teriakan, termasuk Hans. Sisanya, aku dan tiga perempuan yang lain memilih mendekam berdekatan di sudut ruang penumpang, tempat yang kami rasa paling aman selagi para laki-laki memeriksa keadaan. Apalagi sesaat setelahnya, ada seekor burung gagak hitam—yang entah dari mana datangnya—tiba-tiba hinggap di pagar besi pembatas sisi luar kapal dan lantas berkoak-koak. Menimbulkan kesan horor nan mencekam, memberdirikan bulu kuduk siapa pun yang mendengarnya.
“Ada sesuatu yang tidak beres di kapal ini. Aku bisa merasakan adanya hawa mistis yang kini tengah menyelimuti kita.” Airin, perempuan berpakaian serba hitam yang bertubuh paling kurus dan sedikit aneh tadi, menjulurkan kedua tangannya ke arah depan. Kedua matanya terpejam. Ia seperti mencoba meraba sesuatu yang tak kasat mata. Dari penampilannya, ia bahkan mirip seperti seorang paranormal, dukun, atau sejenisnya. “Gawat. Auranya benar-benar gelap. Jahat!” sambungnya.
Rebeca, wanita berusia empat puluhan tahun dan paling tua di antara kami, malah sudah menangis tersedu-sedu lantaran ketakutan. Sedang di sebelahnya, Nindya mencoba menguatkan. Wajahnya benar-benar tampak pasi. Tubuhnya gemetar hebat dicekam ketakutan. “Kita harus cepat pergi dari tempat ini,” gumamnya, masih diliputi ketakutan yang purna.
Kurang dari tiga menit, terdengar hentak langkah kaki berlari menapaki lempeng-lempeng besi anak tangga kapal, para laki-laki tampaknya sudah kembali. Napas mereka memburu. Sengal terdengar jelas di antara tarikan napas-napas tadi.
“Apa yang terjadi?” Aku berlari menuju ke Hans, kekasih sekaligus teman seperjalananku kali ini, lantas memeluknya erat. Bukannya menjawab, Hans malah hanya terdiam, seperti tak tahu harus mengatakan apa pada kami.
“Jangan ada yang mencoba turun ke bawah!” Ical, petugas lapas berseragam biru muda, mencoba memperingatkan. “Tak ada yang lebih mengerikan ketimbang pemandangan di bawah sana.”
Saat itu, wajah para penumpang laki-laki tampak tegang dan aneh. Dan ketika kuamati dengan seksama, ada bekas noda merah yang memercik di wajah dan pakaian mereka, termasuk Hans. Juga aroma anyir. Segera kulepaskan pelukan dari lelaki di hadapanku itu setelah yakin kalau cairan merah pekat tadi adalah benar darah.
“Apa yang terjadi, Hans?!” teriakku. Rambut lurus sebahuku bahkan terombang-ambing karenanya. Tubuhku ikut gemetar. Aku tak lagi bisa membendung gemuruh yang melanda. Ekspresi panik, satu-satunya yang bisa kutampilkan di hadapan Hans.
“Kapal kita menabrak kapal besar yang sepertinya mengangkut ratusan kontainer,” jawab Hans. Kembali ia memelukku, mencoba menenangkanku dalam dekapannya.
“Darah itu? Suara teriakan tadi? Apa yang terjadi di bawah sana?” tanya Rebeca tak kalah panik. Sepertinya ia juga sudah sadar bahwa noda merah pekat tadi adalah darah
.
Semua laki-laki tadi terdiam, tak tahu siapa yang mesti menjawab dan menjelaskan apa yang terjadi di bawah sana.
“Mayat. Ada banyak sekali mayat mengenaskan di bawah sana. Benar, kan?” Airin berseloroh dengan seenaknya. Ia sama sekali tak memedulikan ekspresi kami yang panik. Semua mata para penumpang laki-laki juga segera memandang ke arahnya dengan tatapan tak percaya. Sedang, mata Airin sendiri tengah terpejam. Sepertinya perempuan berpakaian serba gelap itu sekali lagi mencoba membaca situasi yang terjadi dengan sense yang dimiliki.
Mengatur napas, Aksa, laki-laki berambut ikal mulai membuka mulutnya. ”Benar. Ada belasan mayat tergeletak di geladak. Semuanya dalam kondisi mengenaskan. Darah kental membasahi nyaris seluruh lantai geladak.”
“Mayat!” teriak Nindya. Wajah tirus di balik kacamata itu memucat.
Suasana lantas mencekam. Kepanikan tampak terukir jelas di wajah seluruh penumpang kapal. Tak terkecuali aku. Rasa was-was kami benar-benar tengah berada di atas puncak. Siap meledak kapan saja.
“Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Pembantaian? Lantas siapa pelakunya? Mengapa semuanya terjadi secara tiba-tiba?” Rebeca memandangi satu per satu dari kami. Gemetar tubuhnya kian jadi, ia seakan menanti jawaban yang paling mungkin keluar dari bibir salah satu di antara kami, terutama dari mulut para lelaki.
“Entahlah. Kabut tebal ini, mayat-mayat tadi, semuanya serba tak masuk akal. Dan juga seharusnya tak ada kapal kontainer di jalur ini. Kapal-kapal besar hanya ada di muara Segara Anak, di dekat dermaga awal kita berangkat tadi. Tapi, entah kenapa kapal penyeberangan kita ini bisa-bisanya menabrak kapal kontainer di sini. Padahal seharusnya, menurut perkiraanku, kapal kita sudah cukup jauh masuk ke Segara Anakan. Semuanya sungguh aneh.” Ical, petugas berseragam lapas, menyampaikan apa yang mengganjal di benaknya.
“Kita harus segera meninggalkan kapal ini!” Rebeca memekik. Nindya yang meski tak kalah dicekam ketakutan yang berada di sebelah perempuan paruh baya itu, masih sempat memeluk tubuh Rebeca dan berusaha menenangkan.
“Kita harus menghubungi polisi, atau setidaknya bantuan.” Aku merogoh ponsel yang ada di dalam saku celana. Menimang sesaat, lalu aku menatap ke arah Hans.
Seperti mampu membaca isyarat yang kuleparkan, Hans lantas berujar. “Ya. Semua ponsel kami juga tidak dapat sinyal. Tak ada jaringan.”
Detik selanjutnya semua penumpang wanita memeriksa ponsel mereka masing-masing. Hasilnya sama, kami sedang berada di luar jangkauan.
Memikirkan sesuatu, Ical, si petugas lapas, lantas berjalan ke salah satu sisi depan ruang yang berbatasan langsung dengan deretan kursi penumpang: ruang kemudi, di mana seharusnya kapten kapal berada. Di belakang Ical, aku dan delapan penumpang lain yang tersisa mengikutinya. Tetap bersama adalah hal yang kami rasa paling aman.
Pintu baja berukuran sedang itu berderit. Memeriksa sesaat, kami tak menemukan siapa pun di dalam ruang kemudi tersebut. Dari sana, dari deretan jendela kaca, terlihat samar bayangan kapal kontainer berukuran besar. Pekatnya kabut-kabut menutupi sebagian penglihatan. Lalu di detik selanjutnya, seluruh pandangan kami tertuju ke sebuah simbol berbentuk bintang merah dalam lingkaran yang tercetak di dinding ruang kemudi. Kali ini ukurannya jauh lebih besar ketimbang simbol yang ada di dinding luar kapal.
“Kutukan. Ini semua adalah sebuah kutukan. Simbol itu … tak salah lagi, itu adalah simbol pemujaan iblis.” Lagi-lagi Airin berkoar. Sungguh, saat ini aku berharap bahwa perempuan aneh berpakaian serba gelap itu berhenti bersuara. Sebab, tak ada satu pun ucapannya yang bisa membuat kami tenang. Sebaliknya, kami justru semakin dibuat panik olehnya.
Tak memedulikan Airin, Samuel, laki-laki paling muda di antara kami berasumsi. “Bukankah seharusnya di kapal ini ada radio yang terhubung langsung ke Dermaga Wijayapura ataupun Dermaga Sodong, bukan? Kita pasti bisa menghubungi petugas pelabuhan dengan benda ini.”
“Benar. Tapi radio dan semua sistem kelistrikan di kapal ini mati. Tanpa listrik, perangkat radio ini tak akan ada gunanya.” Ical yang paling memahami kapal ini mencoba menekan beberapa tombol berwarna-warni di ruang kemudi. “Pasti ada cara lain,” ujarnya kemudian sambil terus mengupayakan jalan terbaik untuk dapat keluar dari tempat mengerikan ini.
Kun, penumpang laki-laki yang lain, hanya mengamati di belakang Ical. Ia sepertinya coba membantu, meski sebenarnya menurutku, dari raut wajahnya, ia sendiri tak sedikit pun paham mengenai sistem perkapalan.
“Apa kira-kira akan ada tim penyelamat yang akan menolong kita? Polisi? Tim SAR?” Rebeca bertanya dengan pupil mata yang membesar—efek ketakutan yang teramat sangat.
“Entahlah. Seharusnya di daerah Segara Anakan ini banyak kapal tongkang dan perahu-perahu bermotor yang lalu-lalang. Tapi, dengan kondisi berkabut tebal seperti ini, aku tak yakin ada yang berlayar. Untuk menentukan arah tepian saja kita tidak bisa. Ini semua akibat jarak pandang yang sangat terbatas.” Ical yang paling tahu daerah Segara Anakan mengungkapkan hal yang paling buruk yang bisa saja terjadi.
“Apa kabut tebal seperti ini pernah terjadi sebelumnya?”
“Ini kali pertama. Kabut kemarau bahkan tak setebal ini. Ini benar-benar aneh.” Ical mengusap-usap dagunya yang berjenggot tipis.
“Jadi apa yang harus kita lakukan?” Nindya melemparkan pertanyaan, barangkali ada di antara kami yang mempunyai pendapat dan jalan keluar.
Tak ada jawaban. Tak satupun bersuara. Aku juga. Kami memilih diam. Menunggu, satu-satunya yang bisa kami lakukan saat ini.
“Apa di kapal ini ada sekoci darurat dan baju pelampung?” Aku menatap Ical dengan tatapan tanya.
“Seharusnya ada. Tapi jauh sebelum kita menuju ke ruang kemudi ini, aku sudah memeriksa lokasi sekoci darurat yang ternyata sudah tidak ada di posisi seharusnya. Juga baju pelampung di rak penyimpanan di dekat ruang penumpang di luar sana, semuanya hilang.”
“Bagaimana kalau kita semua melompat dari kapal ini dan berenang ke tepian?” Kun akhirnya bersuara.
“Di situasi seperti ini, dengan kabut yang begitu tebal, kita tidak akan tahu ke mana arah tepian berada. Bisa-bisa kita kehabisan tenaga dan tenggelam,” sanggah Ical. Dan kurasa jawabannya ini ada benarnya.
Aku kemudian berjalan ke sisi luar kapal, memegang besi pembatas kapal lalu berteriak sekeras mungkin. Barangkali ada yang akan mendengar suaraku.
“Tolooong!” Namun justru suaraku seakan-akan teredam—seperti ditelan kabut-kabut pekat yang menghalangi.
“Lebih baik kita memikirkan cara lain secepat mungkin.” Nindya membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot. “Sementara ini kita semua harus tetap bersama-sama. Sebab kita juga tidak tahu apa yang sebenarnya tengah mengintai kita di luar sana.”
“Kematian. Aku mencium aroma kematian!” Airin tiba-tiba menatap kami nyalang. Matanya menerawang ke sembarang arah. Ia serta-merta mencengkeram pundakku kuat dan mengguncang-guncangnya beberapa kali.
Sungguh, saat ini yang paling kuinginkan adalah agar wanita aneh di hadapanku ini bisa diam!
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices