Ablasa

Reads
155
Votes
0
Parts
9
Vote
by Titikoma

2. Pengakuan

Hans.
“Apa kau punya ide yang masuk akal untuk kita agar bisa segera keluar dari tempat ini?” Aku bertanya pada Nindya, sekaligus berusaha untuk mengembalikan jiwanya yang sedang tidak fokus. Sedari tadi, ia yang duduk tak jauh dari posisiku berada, terus saja menampilkan tatapan kosong dan mengawang.
Nindya yang tengah duduk mendekam itu pun lantas menoleh. Wajahnya tampak kusut. Ditatapnya manik mata cokelatku yang bertanya padanya. Sejak beberapa saat lalu, kami bersembilan memutuskan bertahan di dalam ruang kemudi—sebagai satu-satunya ruang tertutup dan kami anggap aman di Kapal Pengayoman ini. Posisi kami saat ini hanya berjarak sejengkal dari yang satu ke yang lain. Di sisi kiri, Pamela hanya menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Jangankan ide, otakku bahkan tak bisa lagi diajak kompromi untuk berpikir. Rasanya kepalaku mau meledak,” keluh Nindya.
“Aku kira wartawan adalah orang yang berpikiran cerdas dan terbuka. Juga pemberi masukan terbaik.” Aku mengamati tanda pengenal wartawan media lokal yang menggantung di lehernya.
“Ya. Aku memang wartawan media. Tapi tak selamanya ide di kepalaku selalu bisa diandalkan dan membantu. Apalagi dalam kondisi tertekan seperti saat ini.”
“Sudah lama kau menjadi wartawan?” Aku terus berusaha memecah kesunyian yang memeluk kami di dalam ruang kemudi ini. Samuel dan Kun menjadi dua orang yang tampaknya paling fokus mengikuti percakapan di antara aku dan Nindya.
“Ini adalah tugas pertamaku. Meliput suasana di Lapas Batu, Nusakambangan. Sendiri. Sebab aku hanya akan mengambil beberapa foto dan menulis sedikit tentang sejarah lapas di sana.” Gadis berkacamata itu menghela napas panjang, melonggarkan dekapan pada lututnya.
“Kau menyesal?”
“Maksudmu?” gadis berkacamata dengan wajah tirus itu tampak kebingungan. Ia mengangkat sebelah alisnya.
“Kau menyesal datang ke sini?” ulangku.
“Entahlah. Aku juga tak tahu. Kurasa semua ini sudah takdir. Tapi kalau aku bisa memutar waktu, tentu aku akan memilih untuk tidak meliput di daerah ini.” Nindya menjawab lemah. Kali ini pandangannya mengarah ke lantai dek kapal. ”Kalau kau sendiri? Apa tujuanmu ke Nusakambangan?”
Sejenak aku menghela napas panjang. “Aku dan Pamela akan segera menikah. Kami berencana mencari lokasi spot foto prewedding kami. ”Aku menunjuk sosok perempuan berambut lurus sebahu yang tengah menyandarkan tubuhnya padaku dengan isyarat tolehan kepala.
“Di Nusakambangan?”
“Ya. Banyak yang bilang Nusakambangan punya spot foto pantai yang indah. Jadi, kami sepakat backpacker ke sini.”
Percakapan kami terjeda irama mencekam dari balik kabut-kabut tebal yang sejak tadi tak berkesudahan. Koak burung gagak juga masih terdengar jelas meski sosok burung berbulu hitam legam itu entah sejak kapan sudah menghilang.
“Kalian semua punya tujuan masing-masing. Begitu juga aku. Aku hanya ingin menjenguk anakku. Tapi semuanya malah jadi seperti ini.” Tiba-tiba Rebeca bersuara. Gigil masih memeluk tubuhnya. ”Dan aku yakin anakku bukan teroris. Dia hanya pemuda malang yang salah tangkap. Hukum terlalu tajam dan tak berpihak pada rakyat jelata seperti kami.” Ada pedih yang terpancar dari sorot mata sendu perempuan berusia empat puluhan tahunan itu.
“Begitu juga yang terjadi pada sahabatku. Aku yakin dia hanya korban salah tangkap. Dia bukanlah bandar narkoba kelas kakap seperti yang diekspos di media.” Samuel, pemuda berkaus cokelat yang paling muda di antara kami ikut angkat bicara. Satu per satu dari kami mulai terbuka dan memberitahu alasan berkunjung ke Nusakambangan.
“Narkoba? Harusnya akulah yang mereka tangkap. Haha ...,” Aksa menjeda kalimatnya disusul dengan tatapan-tatapan yang segera mengarah tajam padanya. ”Hari ini aku baru saja hendak berencana menyelundupkannya ke dalam lapas.” Sekali lagi laki-laki berambut ikal itu terkekeh. Sekilas, lelaki itu tampak merokok. Namun kini kami baru sadar kalau ternyata lelaki yang juga berkulit gelap itu sedari tadi tengah menghisap lintingan ganja. Meski demikian, di situasi mencekam seperti saat ini, tak ada satu pun dari kami yang peduli—termasuk Ical yang merupakan salah seorang petugas lapas.
“Kalau kalian berdua? Apa tujuan kalian ke Nusakambangan?” Ical memandang ke arah Airin dan Kun. Ia seperti ingin mencoba memecah suasana agar lebih kondusif. Terlebih, seperti halnya aku, kurasa ia juga merasakan bahwa sosok Airin dan Kun adalah sosok yang paling tertutup dan misterius.
Bukannya menjawab Airin malah tersenyum kecut. ”Bukan urusan kalian. Kurasa aku tak perlu menjawab pertanyaan semacam itu. Sedang kondisi kita saat ini sedang dalam bahaya,” katanya kemudian. Airin masih tak mau terbuka. Sepertinya ia berusaha menyembunyikan sesuatu. Di balik pakaiannya yang gelap, tubuh Airin terlihat sangat kurus, belum lagi sedari tadi—jika diamati dengan teliti—tampak bekas lebam yang mulai memudar di leher dan bahunya yang hanya mengenakan pakaian berlengan pendek.
“Aku setuju. Kenapa kalian malah membahas hal-hal yang tidak penting seperti ini. Yang seharusnya kita lakukan saat ini adalah memikirkan bagaimana agar kita bisa selamat dari sini. Mengusulkan masukan dan solusi sekecil apa pun kurasa jauh lebih baik untuk dilakukan saat ini.” Kun memasukkan telapak tangannya ke dalam saku celana. Ucapan lelaki misterius itu ada benarnya.
“Apa kalian sudah memeriksa kapal kontainer yang kita tabrak? Barangkali ada orang di dalamnya. Kita bahkan sejak tadi tak pernah membahas sedikit pun mengenai kapal yang kita tabrak itu.” Pamela tiba-tiba memberi masukan. Ia mengangkat kepalanya yang sedari tadi terus menyandar di bahuku.
Mengelus lembut dagunya, Ical menjawab, ”Entahlah. Kapal kontainer itu sendiri dalam keadaan tidak menyala ketika sekilas kami periksa. Dan jika boleh jujur, sepertinya kapal yang kita tabrak itu sudah ... sangat tua dan usang. Dindingnya bahkan sudah banyak ditumbuhi lumut dan karat. Dari penampakannya tadi, aku sendiri bahkan sudah tak yakin jika kapal itu masih bisa beroperasi. Apalagi sampai ada orang di dalamnya. Kalaupun ada, setidaknya kita bisa mendengar teriakan atau melihat tanda-tanda kehidupan. Aku hanya khawatir seluruh penumpang di sana mengalami hal yang sama dengan para penumpang yang tadi kami temukan di geladak. Telah tewas mengenaskan dan dibantai oleh sesuatu yang tak berperikemanusiaan.”
“Lebih baik beberapa laki-laki dari kita memeriksanya. Setidaknya jika kita memeriksanya, kita bisa menemukan sesuatu. Atau paling tidak kita bisa menemukan harapan.” Aku menimpali.
“Biar aku saja yang ke sana. Mungkin ini bisa menjadi satu-satunya jalan keluar selain hanya menunggu.” Kun menawarkan diri. Ia bergerak beberapa langkah ke arahku. Sungguh wajahnya kali ini tampak sangat tak bersahabat.
Tak ambil diam, Ical kembali bicara. “Aku dan Hans juga ikut. Biarlah Samuel dan Aksa yang tetap berada di sini, menjaga para wanita.”
Aku setuju dengan ide itu, lantas kuhampiri kekasihku, Pamela. Menepuk pundak perempuan berambut sebahu itu, aku kemudian berujar, ”Kau harus jaga diri baik-baik.”
“Kau juga. Kembalilah dengan selamat.” Aku bisa merasakan getar di bibirnya. Kami lantas berpelukan. Erat.
“Sepertinya tadi aku melihat ada dua buah senter di dalam kotak perkakas di sudut sana. Aku akan mengambilnya. Itu bisa menjadi perbekalan kita,” kata Kun yang sedari tadi hanya menatapi kami. Sedang Aksa masih sibuk menikmati gumpalan asap dari ganja yang dibakarnya di sudut ruangan, menambah pekat kepulan asap yang berkumpul di awang-awang.
Setelah semua perlengkapan kami rasa cukup, aku, Kun dan Ical mulai bergerak. Aku yakin ini bukanlah sebuah tugas yang mudah. Kami sepertinya bakal menemukan hal berbahaya di dalam kapal kontainer yang kami tabrak di luar sana. Satu-satunya yang bisa kami lakukan hanyalah berharap semuanya akan baik-baik saja.
***
Aksa.
Aku mengutuki keadaan, juga para penumpang wanita yang benar-benar merepotkan di dekatku. Seharusnya aku tak menuju ke Nusakambangan. Lebih baik aku menyuruh anak buahku, Anhar atau Ucok, untuk survei ke lapas yang katanya Alcatraz-nya Indonesia. Kalau sudah begitu aku tak mungkin akan berada di situasi sialan seperti ini. Bangsat!
Kunyalakan lagi sebatang lintingan ganja—yang sebenarnya akan kumasukkan ke Lapas Batu, tapi kurasa saat ini aku jauh lebih membutuhkannya untuk menenangkan diri.
“Tak bisakah kau menghentikan menghisap benda sialan itu di tengah situasi seperti ini?” Samuel menegurku dengan wajah tak suka. Sepertinya ia tak tahu kalau saat ini aku sedang tak suka kalau diusik.
“Apa urusanmu melarangku, Bocah? Kau hanya membuatku semakin muak saja.”
“Gara-gara benda sialan itu sahabatku ditahan!”
“Anggap saja sahabatmu itu sedang sial.”
“Bukan sial. Tapi kami, orang miskin, tak pernah bisa membela diri di hadapan hukum. Tak ada yang bisa melindungi orang-orang seperti kami. Keadilan terlalu tumpul.”
“Itulah risiko jadi orang miskin. Kalau kita bisa bebas dari tempat terkutuk ini, kuharap kita bisa saling bekerja sama. Setidaknya dengan begitu aku rasa kehidupanmu bisa jauh lebih layak ketimbang saat ini. Aku tahu kau sudah terlalu bosan dengan penderitaan orang miskin, bukan?”
“Cuih! Aku tak pernah mau berurusan dengan bandar narkoba sepertimu.” Samuel, si paling muda dan sok jadi pahlawan itu menggebrak sandaran kursi nahkoda. Membuat empat penumpang perempuan di dekatnya tersentak. Tapi aku tetap tak sedikit pun peduli. Tak ada waktu untuk meladeni bocah ini. Hanya membuang-buang waktu.
“Tidakkah kalian bisa berhenti berdebat? Kalian hanya memperkeruh keadaan.” Pamela, perempuan yang sepertinya paling tangguh di antara perempuan yang lain, menatap tajam ke arahku. Seakan akulah yang salah dan memulai berdebatan.
“Baiklah. Aku akan keluar. Aku juga sudah bosan berada di ruang sempit seperti ini. Pengap!”
Kubuka pintu ruang kemudi, menunggu beberapa saat sampai kemudian aku mantap melangkah.
“Kita harus tetap bersama,” lirih suara Rebeca terdengar. Wanita itu terus-terusan memeluk lututnya. Tubuhnya masih saja gemetar.
“Aku sudah tak peduli dengan makhluk atau ‘sesuatu’ yang ada di luar sana. Bagiku, menunggu dalam ketidakpastian seperti ini sama artinya dengan mati.” Kunikmati asap yang mengepul dari linting yang membara di ujung bibirku, kubiarkan bertahan di dalam tenggorokan, lalu kuembuskan keluar. Membaur bersama pekat kabut-kabut yang masih menguar.
“Biarkan saja dia. Kurasa otaknya sudah sepenuhnya dipengaruhi ganja. Tak ada gunanya bicara dengan orang setengah gila seperti dia.”
Lagi-lagi aku tak peduli dengan ucapan pemuda paling muda dan sok bijaksana seperti Samuel, seperti halnya aku tak lagi peduli dengan mayat-mayat pucat berdarah-darah yang kami temukan tergeletak di geladak kapal.
“Di luar, aroma kematian tercium pekat. Berhati-hatilah.” Airin memperingatkan dengan suara paraunya.
“Masa bodoh dengan yang namanya kematian. Bukankah kematian sudah diatur oleh Tuhan seperti yang banyak orang katakan.”
“Tenyata kau masih ingat juga dengan adanya Tuhan.” Samuel seakan meledekku. Tapi aku tetap tak peduli. Meladeninya hanya akan membuang waktuku percuma. Aku tetap mengikuti langkahku ke jajaran kursi penumpang di luar. Sesaat kemudian, terdengar Samuel menutup kembali pintu kemudi. Agak keras, seperti sengaja mengundang pitamku.
Tak lama, aku memutuskan untuk beranjak turun ke geladak, mana tahu Ical dan yang lain sudah kembali. Satu per satu anak tangga kujejaki, jumlahnya 38 anak tangga yang menghubungkan antara dek dengan geladak. Mengusir kejenuhan, aku malah menghitung jumlahnya.
Sekali lagi aku disambut mayat-mayat yang sebenarnya mengerikan jika digambarkan: tubuh tak utuh, terpenggal di kepala, kaki dan tangan patah terlipat, sampai-sampai ada mayat yang benar-benar remuk tak berbentuk. Untung saja, aku tengah menghisap ganja, sedikit banyak bisa membuatku merasa agak tenang. Benar memang jika banyak orang yang mengatakan bahwa benda ini mampu meningkatkan keberanian seseorang, apalagi aku dalam kondisi seperti saat ini.
Meski aku pada dasarnya bandar narkoba, toh, aku bukanlah sosok yang kuat dan sangar seperti peran para mafia di televisi. Aku juga manusia biasa, tidak pernah berurusan dengan darah dan mayat seperti di film-film tadi.
Di geladak, ada tiga buah truk pengangkut bahan logistik yang terparkir. Kuhampiri, barangkali ada salah satu dari truk-truk itu yang pintunya tidak terkunci. Nihil. Sekuat apapun aku menarik pegangan pintu, tak ada satupun yang terbuka. Hingga kemudian aku penasaran dengan sebuah ruangan di salah satu sisi geladak. Di dalamnya, ada mesin berukuran besar, lilitan kabel-kabel, juga bermacam tombol beraneka warna. Sepertinya dari sinilah tenaga penggerak kapal feri berjenis roll on-roll up ini berasal.
Kumasuki ruangan tadi. Kutarik sebuah tuas meski aku tak yakin itu tuas apa. Yang kuharapkan saat itu hanya berharap yang kulakukan bisa menghidupkan mesin kapal dan membawa kami pergi dari tempat terkutuk ini. Tapi ternyata apa yang kuharapkan tak terjadi. Bahkan setelah kutekan sembarang tombol berwarna warni—dengan penerangan korek di tanganku—tetap saja tak ada tanda-tanda keberhasilan. Aku menyerah.
Krek!
Ada sesuatu yang bergerak di kegelapan. Samar-samar sosok itu berdiri di sudut ruang mesin. Adakah penumpang lain yang selamat selain kami?
“Halo!” Kudekati dia. Meski remang aku tahu kalau sosok itu adalah sosok perempuan yang sedang ketakutan. Bayang tubuhnya terlihat sedang gemetar atau menggigil. Aku pun tak tahu pasti.
“Kau baik-baik saja?”
Dia tidak menjawab. Tak kudengar sepenggal kata pun yang keluar dari bibirnya. Aku mendekat. Kuamati lamat-lamat, ternyata posisinya saat ini tengah membelakangiku. Mendadak aku merasa seperti berada di salah satu adegan film horor di mana ketika dia berbalik ternyata wajahnya tak berbentuk. Cih, film-film horor terlalu mengada-ada dan berlebihan. Kuhisap linting ganja yang tinggal sedikit—aku bahkan bisa merasakan hangat puntung baranya begitu dekat di antara jari tengah dan jari telunjuk.
“Kau baik-baik saja?” Kuulang lagi pertanyaan yang sama ketika jarak kami hanya tinggal satu langkah.
Kutepuk bahunya pelan. Dingin. Dan dia menoleh dengan gerakan yang sama sekali tak terduga. Kepalanya tiba-tiba saja terbalik. Aku tahu tubuhnya sama sekali tidak bergerak, tapi bagaimana mungkin kepalanya bisa berputar 180 derajat ke arahku. Aku bahkan bisa dengan jelas melihat wajahnya yang pucat pasi dan rusak.
Selinting ganja terjatuh dari bibirku. Barangkali aku tengah berhalusinasi. Bisa saja apa yang kulihat saat ini tidaklah nyata, hanya efek samping dari ganja. Pasti demikian. Aku mundur beberapa langkah. Pemantik di tanganku padam. Ruangan kembali remang, hanya ada cahaya seperti cahaya bulan yang mencoba menembus pekat kabut meski aku sendiri tak yakin di luar sana keadaan sedang malam atau tidak.
Kunyalakan kembali korek di tanganku. Sial! Wajah perempuan tadi tiba-tiba berada tepat di depan wajahku. Matanya pekat sempurna, nyaris keluar dari sarangnya. Kali ini dia tersenyum mengerikan. Senyum yang begitu lebar dan semakin lebar. Aku bahkan tak tahu sampai kapan ia akan tersenyum seperti itu.
Krek ... Kreeek!
Mulut itu mendadak robek. Besar dan semakin lebar, hingga nyaris mencapai telinganya. Glasgow smile. Darah hitam pekat lantas mengucur dari belahan yang tercipta, menyembur tepat mengenai wajah dan tubuhku.
SIAL!
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices