Ablasa

Reads
175
Votes
0
Parts
9
Vote
by Titikoma

4. Kutukan

Airin.
“Rebeca!?”
Aku mendengar Samuel memanggil-manggil nama Rebeca. Bukankah tadi ia yang mengantar perempuan paruh baya itu ke luar. Pasti terjadi sesuatu. Kutukan itu ...
Kutegakkan tubuhku yang sedari tadi hanya meringkuk. Tubuh ini sungguh dipenuhi denyut ngilu. Apalagi sedari tadi aku sudah menghabiskan energiku untuk mencoba membaca situasi yang terjadi. Kelemahan, menjadi salah satu sifat yang paling tak kusukai, dan itulah yang ada pada diriku.
Meski aku bukanlah paranormal atau pun dukun, tapi sedari dulu aku memang bisa membaca aura jahat. Semacam indigo, namun hanya karena faktor keturunan. Keturunan dari ibuku. Ia mewariskan darah paranormal ke dalam tubuhku. Pamanku bilang, Ibu dulu adalah dukun hebat di kampung, sebelum kemudian Ayah dan penduduk setempat mengusirnya. Mereka menganggap Ibu menguasai ajaran sesat. Saat itu usiaku belum genap empat bulan.
Itulah sebabnya mengapa sejak dulu Ayah tak pernah menceritakan sosok Ibu padaku. Lelaki itu begitu membenci Ibu, juga ilmu hitam yang dianutnya. Aku tahu itu semua dari Paman. Entah mengapa, mengetahui hal itu, aku justru ingin mengembangkan ilmu yang kuwarisi dari ibu. Kata Paman, jika digunakan dengan benar, ilmu ini akan bermanfaat untuk membantu orang-orang. Lalu secara diam-diam aku memperdalam ilmu dan bakatku melalui paman yang memang seorang dukun.
Namun pada akhirnya Ayah mengetahui apa yang kulakukan bersama Paman. Ia marah besar. Ia lantas menyiksa dan mengurungku di rumah. Ayah bilang aku harus bertaubat dan memohon ampun. Merasa tidak bersalah, aku kemudian berusaha kabur. Dan berhasil. Di sinilah aku sekarang.
Aku tak pernah mau menceritakan kepada siapa pun perkara mengapa aku menuju ke Nusakambangan. Toh, sebagian besar orang-orang tak menyukai dukun atau paranormal seperti darah yang mengalir dalam tubuhku. Maka ketika Nindya dan yang lainnya mulai terbuka satu sama lain, aku memilih tetap diam dan menutup diri.
Sebenarnya, semenjak menaiki kapal, aku sudah merasakan sesuatu yang tak wajar. Seperti sebuah firasat bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Waktu itu aku berusaha untuk tak menghiraukannya. Tapi, saat ini aura jahat yang menyelimuti kami telah berubah begitu pekat. Bahkan hanya untuk sekadar membacanya saja aku sudah menghabiskan begitu banyak energi. Aku tahu aura ini dipenuhi dengan kebencian dan dendam. Namun, sampai saat ini aku juga belum paham tentang kebencian dan dendam yang seperti apa. Semuanya masih serba abu-abu.
“Rebeca?!”
Sekali lagi terdengar suara Samuel memanggil nama yang sama. Pamela, yang kuanggap paling berani di antara kami, para perempuan, segera berdiri. Mengintip sesaat melalui celah pintu, gadis berambut sebahu tersebut lalu membuka daun pintu dengan terburu.
“Ke mana perginya Rebeca? Apa yang terjadi dengannya?” Suara Pamela merayap masuk de dalam ruang kemudi bersama dingin udara yang kian menusuk.
Aku menggeser posisiku ke arah Nindya. Tampaknya Nindya juga telah kehabisan sebagian energi, ia hanya mengangkat kepala, lalu melongok ke luar pintu. “Apa yang terjadi pada Rebeca?” katanya kemudian masih dengan kepala menyembul.
“Dia hilang. Wanita itu hilang ketika aku hendak mengambil air di ranselku.” Samuel terlihat panik. Ia menuju tempat di mana terakhir kali ia meninggalkan Rebeca. “Aku rasa aku akan mencarinya di bawah. Bisa jadi dia pergi ke sana.” Pemuda berkaus cokelat itu tampak mengacak-acak rambutnya. Berantakan. Ia tampak menyesal telah meninggalkan Rebeca.
“Aku ikut.” Kulihat Pamela mengiring langkah Samuel yang sudah berdiri di anak tangga pertama menuju ke bawah—geladak. Sebelum keduanya benar-benar menghilang di turunan anak tangga, masih sempat kulihat Pamela menoleh ke arahku dan Nindya yang melongok di depan pintu. “Kalian berdua tunggu di dalam ruang kemudi. Pastikan kalian menutup pintunya dengan kuat,” perintahnya kemudian.
Aku mengangguk. Segera saja kubanting daun pintu ke arah dalam, menimbulkan bunyi dentuman. Apalagi sesaat sebelum aku menutup pintu, samar-samar aku melihat bayangan sesuatu berdiri tegak di belakang Pamela dan Samuel. Tertangkap sorot mata merah nyalang milik bayangan tadi, juga seringai tajam yang terukir di bagian yang seperti wajahnya.
Kini hanya ada aku dan Nindya yang berada di dalam ruang kemudi. Kulihat bibir gadis berkacamata yang hanya berjarak sedepa di sampingku kini tengah berkecumik. Begitu juga aku. Bedanya ia berdoa, sedang aku tengah merapal mantra. Aku hanya bisa menggenggam erat kalung berbentuk bulatan setengah lingkaran yang menggantung di leher, jimat pemberian pamanku. Entah mengapa di saat-saat genting seperti ini aku masih belum mampu mengungkap misteri yang terjadi. Harus kuakui, kemampuanku dalam ilmu gaib belumlah seberapa.
“Kuharap semua ini segera berakhir,” lirihku.
Nindya menoleh. “Berdoalah. Hanya itu yang kita bisa lakukan saat ini.”
Aku kembali mematung seperti halnya Nindya, sembari menunggu kabar dari Samuel dan Pamela, atau juga kabar yang lain.
Menunggu begitu lama membuatku diliputi rasa jenuh dan bosan. Suasana yang mendadak sepi membuat jiwaku lantas terhanyut. Dan sialnya, beberapa saat kemudian aku malah tertidur!
***
Kun.
Lantai atas kapal kontainer ini benar-benar berantakan. Di sepanjang mata memandang—dengan penerangan sinar senter yang dipegang Hans—kami bisa melihat debu-debu tebal dan sarang laba-laba yang menggelantung di segala penjuru. Jelas kapal yang kami tabrak ini adalah kapal yang sudah tak lagi beroperasi, atau malah bisa disebut bangkai kapal.
“Kun, apa kau yakin kita akan menemukan bantuan di sini?” tanya Hans masih dengan senter di tangan yang berusaha menyisir seluruh ruangan. Hanya ada bangku-bangku kosong di lantai dua ini. Juga beberapa ruangan yang dalam keadaan terkunci rapat.
“Itu juga yang ingin kutanyakan padamu.”
“Lihat ini. Aku rasa ini kapal asing yang sudah ditinggal pemiliknya.” Hans menunjukan sebuah buku panduan kapal atau semacamnya yang tergeletak secara sembarang di atas meja di ruang kemudi. Di sebelah buku tadi, kami juga menemukan lembaran-lembaran kertas bertuliskan tangan dengan jajaran huruf-huruf asing. Bahasa yang sama dengan bahasa di buku tadi.
“Berikan sentermu sejenak padaku.” Aku meminta pada Hans. Hans lantas menyodorkan senter di tangannya.
Kuamati tulisan demi tulisan yang digoreskan menggunakan tinta khusus berwarna pekat. Meski agak aneh, namun jika kuperhatikan susunan huruf demi huruf yang tertera dengan saksama, tulisan ini tidaklah asing bagiku.
Menekuri sekali lagi tulisan-tulisan tadi, aku belum bisa memecahkan dari negara atau suku mana jenis tulisan ini berasal. Namun sekali lagi aku bisa mengenali beberapa katanya. Sebagai ahli bahasa dan sejarah, aku bahkan bisa dengan yakin mengatakan kalau aku pernah membaca tulisan seperti ini sebelumnya.
Di mana? Di mana? Di mana? Aku terus membatin.
Sial! Di bagian paling bawah kertas aku menemukan sesuatu. Tulisan yang lantas dengan fasih kukenali. Huruf-huruf itu, kata-kata itu, aku yakin ... aku yakin kalau artinya adalah kutukan dan kematian. Itu bahasa para gipsi. Bahasa sihir dan ilmu hitam.
“Pergi! Kita harus segera pergi dari sini!”
Aku menoleh ke sebelah kanan, mencoba memperingatkan Hans. Tapi, sosok lelaki jangkung itu tak ada. Padahal tadi, setelah ia menyodorkan senter padaku, ia berdiri di sana sambil mengamatiku yang mencoba membaca tulisan di kertas tadi.
“Hans?!”
Tak ada sahutan.
“Hans, kau di mana?” Aku menyorot ke sekeliling. Nihil. Tetap tak kutemukan sosoknya.
Baru saja aku hendak berbalik, wajah Hans mendadak muncul tepat di hadapanku.
“Hans, ke mana saja kau?”
Ia diam. Wajahnya tampak aneh. Tanpa ekspresi.
“Hans, kau baik-baik saja.”
Sunyi. Lelaki ini tetap tidak menjawab.
“Hans?” Aku tahu ada yang tidak beres dengannya.
“HANS!!!” pekikku kemudian.
Hans diam membeku. Wajahnya datar. Lalu tanpa diduga, dengan gerakan cepat ia memiringkan kepalanya ke arah kiri, lalu beberapa detik selanjutnya beralih miring ke kanan. Begitu terus. Hingga makin lama gerakan berulang kepalanya makin cepat dan semakin cepat.
Ekspresinya mendadak berubah drastis. Ia tersenyum, namun senyum sinis. Matanya melebar tapi pandangannya kosong. Seketika itu juga aku tahu kalau sosok di depanku ini bukanlah Hans, melainkan hanya menyerupai. Aku melangkah mundur dengan cepat.
Baru saja aku bergerak lima langkah, sesuatu menepuk pundakku pelan.
“Kau mau ke mana?” Wajah Hans lagi-lagi terpampang di depanku. Tapi, kali ini wajah itu tampak keheranan.
“Hans? Ini benar-benar kau, kan?”
Hans melemparkan tatapan penuh tanda tanya. “Ya. Tentu saja.”
“Ke mana saja kau sedari tadi, hah?” kejarku.
“Kenapa kau aneh sekali, Kun. Jelas-jelas sedari tadi aku ada di sebelahmu.”
“Mustahil.”
“Kau yang aneh. Setelah membaca tulisan asing di kertas tadi, kau malah tampak bengong.”
“Kertas? Sial! Kita harus pergi dari tempat ini. Tempat ini sudah dikutuk. Ayo!” Aku berlari di depan, memberi jalan pada Hans dengan penerangan dari senter di tanganku.
Hans mencoba menyejajari langkahku. “Kenapa kau mengatakan tempat ini telah dikutuk? Ucapanmu sama dengan Airin di kapal kita tadi.”
“Seharusnya sejak awal kita memercayai Airin.” Kami mempercepat gerakan. Keluar dari bangkai kapal ini sesegera mungkin adalah hal yang paling baik.
“Wedem Ablasa wereden. Ablasa warasa. Ablasa warasa!” Aku terus mengucapkan kalimat terakhir yang tertulis di kertas yang kubaca tadi. Aku terus mengulangnya, hingga kemudian aku paham artinya.
Kami tiba di anak tangga yang menuju ke geladak. Hans melangkah lebih dulu. Aku mengikutinya selang beberapa anak tangga. Sebab, ruang tangga yang menghubungkan lantai atas dan bawah terlalu sempit jika harus dilewati berdua. Baru saja kami sampai di pertengahan anak tangga, peristiwa buruk terjadi. Hans terpeleset dan jatuh berguling sampai ke lantai geladak. Tubuhnya tidak bergerak.
Aku segera memeriksa keadaannya. Ada darah segar yang mengucur dari pelipisnya yang robek. Sepertinya lukanya tidak parah. Tapi saat ini Hans sedang dalam keadaan tak sadarkan diri.
“Hans, bangunlah.” Kuguncang tubuhnya beberapa kali. Tapi kedua matanya yang terkatup tak kunjung terbuka. Terpaksa aku harus menggendongnya kembali ke Kapal Pengayoman di bawah sana.
Belum juga kami sampai ke tepi kapal bermuatan kontainer, sebuah tangan yang dingin mencengkeram kaki kiriku. Kuat sekali. Aku menoleh ke lantai tempat kakiku berpijak. Di sana, sosok tak berwajah menghalangi langkah kami. Tubuh makhluk itu dipenuhi darah kehitaman. Baunya juga busuk bukan kepalang. Tuang-tulangnya tampak patah dan menyembul di balik daging-daging busuk yang terkoyak.
Tak hanya satu, beberapa saat kemudian puluhan ‘mayat hidup’ merayap di lantai geladak kapal tempat aku berdiri. Mereka bermunculan dari deretan pintu-pintu kontainer tua yang mendadak terbuka. Bunyi deritnya bahkan nyaris memekakkan telinga.
Aku tak lagi bisa melangkah. Kubaringkan tubuh lemah Hans di lantai sebelum kemudian aku berjibaku dengan mayat-mayat hidup yang merayap—atau merangkak—ke arahku. Kutendang kepala makhluk yang sedari tadi mencengkeram kaki kiriku dengan keras.
Kraak! Kepalanya justru terlepas dan terpelanting menghantam salah satu dinding kontainer. Darah kental kehitaman memancar dari lubang leher yang patah menganga. Bukannya mati untuk yang kedua kalinya atau setidaknya musnah, kepala dan tubuh makhluk itu bergerak makin jadi. Seakan keduanya hendak menyatu kembali. Berengsek!
Tak hanya itu, satu per satu makhluk tak berwajah tadi merayap ke atas tubuhku. Kini, tak hanya kaki, makhluk-makhluk itu sudah ada yang mencengkeram paha, tangan, lengan, bahkan leherku. Cengkeramannya begitu kuat. Menepis sekuat tenaga tak membuahkan hasil. Yang kurasakan saat ini adalah linu dan remuk di sekujur badan. Belum lagi semakin lama, mayat-mayat hidup tadi pelan namun pasti mulai mencabik kulitku dengan kuku dan deretan gigi-giginya yang tajam. Sedang rambut panjangnya, pelan-pelan membungkus tubuhku yang mulai remuk.
Kulitku terkoyak. Darah segar mengucur. Menjerit hal yang kemudian menjadi satu-satunya yang bisa kulakukan. Namun, ketika mulutku terbuka lebar, tangan makhluk tadi malah merangsek memenuhi rongga tenggorokanku. Tenggorokanku pecah. Pedih menjalar. Aku sekarat. Saat itu tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku harus memberitahu sesuatu pada Hans. Kuraba sepucuk pena dari saku baju dengan susah payah. Beruntung, sebagai ahli bahasa, aku selalu sempat membawa pena di saku bajuku. Aku rebahkan tubuh lemahku di sisi tubuh Hans yang tergeletak. Tubuh rekanku itu ternyata sama sekali tak disentuh makhluk-makluk mengerikan ini. Baguslah. Ia harus selamat.
Dengan sisa tenaga, aku lantas mencoretkan ujung penaku pada permukaan lengan Hans yang terbaring. Baru beberapa huruf, gemeretak tulang-tulang di tubuhku terdengar mengilukan. Aku tak kuat lagi. Aku harus menyelesaikannya. Aku harus memberitahu Hans. Harus!
Namun, di detik selanjutnya, kurasakan tubuhku benar-benar lumat. Pena yang ada dalam genggamanku terjatuh ke lantai. Aku pasrah. Sebab, sekarang aku tak lagi mempunyai daya. Pelan-pelan makhluk-makhluk mengerikan di sekitarku mulai mengoyak perutku dan mengeluarkan isinya. Aku jelas tak akan selamat. Namun untung saja aku sudah menyelesaikan tugasku. Semoga Hans mengetahuinya.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices