by Titikoma
6. Teka-teki
Pamela.
Kami baru saja membawa tubuh Hans dan Airin yang masih tak sadarkan diri ke sebuah ruangan tertutup di salah satu sisi kapal yang kami anggap aman. Aku membantu Samuel yang memapah tubuh mereka berdua tadi. Padahal sepertinya sudah satu jam kami menunggu dan berusaha menyadarkan Hans dan Airin, tapi tak satu pun cara yang berhasil.
“Lalu selanjutnya apa yang harus kita lakukan, Sam?” Aku menatap Samuel. Kali ini kepalaku benar-benar tak bisa lagi dipakai berpikir.
“Entahlah. Aku juga tak tahu. Sampai sekarang kita bahkan tak tahu makhluk atau benda apa yang menyerang kita.” Sam memiringkan punggungnya yang sejak tadi ia jadikan sandaran, barangkali lelah.
Memicingkan mata, aku menatap ke sesuatu di kejauhan. Meski remang namun aku tahu ada sesuatu yang bergerak di antara deretan kontainer yang berjajar. “Sam, coba lihat ke sana. Ada sesuatu yang bergerak-gerak.” Aku menunjuk arah yang kumaksud.
“Di mana?”
“Di sebelah kontainer berwarna merah pudar itu.”
“Aku tak melihatnya.”
“Mungkin itu Ical. Sejak tadi kita belum menemukannya.”
“Biar kuperiksa.” Samuel menawarkan diri. Berdiri, ia merenggangkan sejenak otot-otot tubuhnya. Terlalu lama duduk membuat beberapa sendinya menjadi agak kram dan ngilu—karena itu juga yang kini kualami.
“Hati-hati, Sam.”
Samuel melangkah pelan. Aku tahu ia tetap waspada. Setelah apa yang terjadi, aku rasa waspada sangatlah diperlukan untuk saat ini.
Pintu ruangan tempat aku, Hans dan Airin berada kututup kembali sesaat setelah Samuel keluar. Dari jendela kaca kecil yang mengarah ke luar, masih bisa kuamati segala gerak-gerik Samuel. Was-was, itu yang kurasakan setiap kali Samuel melangkah ke arah yang kutunjuk tadi. Aku berharap di sana, di balik kontainer merah usang, sosok yang kulihat tadi adalah benar-benar Ical. Aku berharap petugas kapal itu dalam kondisi baik-baik saja.
Sebagian tubuh Samuel sudah tertutupi kabut tipis. Sudah dekat jarak yang dituju Samuel, barangkali hanya tinggal beberapa langkah. Ia tampak terdiam sejenak, lalu berjongkok mengamati sesuatu di depan pintu kontainer merah tadi.
Sesaat Samuel menoleh ke arahku, ekspresi wajahnya sungguh terlihat aneh. Mulutnya seperti member isyarat sesuatu kepadaku. Namun karena terbatasnya jarak pandang, aku tak mampu mengerti apa maksudnya. Baru saja aku hendak membuka pintu dan menyusulnya. Tiba-tiba di belakang Samuel, sesosok bayangan hitam tinggi dan besar berdiri. Ia merentangkan kedua tangannya yang amat panjang.
Aku berteriak sekencang mungkin, “Samuel, awas!”
Seperti paham peringatan dariku, Samuel membalikkan badan. Saat itu juga ia terduduk di lantai geladak yang dingin. Ia mencoba beringsut. Setelah satu—dua pukulan tangan kosongnya tak menghasilkan apa-apa, pemuda itu hendak kabur. Namun sayang, dengan serta-merta dan membabi buta, makhluk hitam itu mencerabik tubuh Samuel. Pemuda itu berteriak kesakitan sebelum kemudian tubuhnya terpelanting kuat menghantam dinding kontainer lalu tergeletak. Ada bunyi dentuman yang begitu kuat. Kulihat tubuh Samuel kejang-kejang hebat, semakin lama semakin lemah hingga akhirnya lelaki itu terkulai tak berdaya.
Aku menutup mulut. Tak percaya dengan apa yang kulihat di depan mataku barusan. Makhluk apa sebenarnya ia? Apa selama ini ia yang membunuh teman-temanku dan para penumpang yang lain. Tubuhku gemetar hebat, isakku pecah. Bekapan tanganku masih mencoba menutupi suara isak yang tak tertahankan. Keberanianku saat ini benar-benar hilang setelah mendapati hal yang tak masuk akal dan tak dapat dicerna logika yang baru saja terjadi. Tubuhku benar-benar lemas.
Aku meringkuk makin dalam, ketika tiba-tiba sesuatu menyentuh pundakku pelan. Aku benar-benar tak lagi memiliki daya. Tubuhku lemas. Aku sudah pasrah jika makhluk yang tadi membunuh Samuel kini menghampiri dan akan membunuhku juga. Aku memejamkan mata masih dengan tubuh gemetar.
“Pam ... Pamela ...,” Aku mengenali suara berat dan serak yang baru saja menyebut namaku. Menoleh, kudapati wajah Hans yang meringis kesakitan tengah menatap ke arahku.
“Hans!” Aku memeluknya erat, sedang tangannya yang lemah masih menyentuh pundakku. “Aku takut,” kataku lagi.
Hans menatap ke sekeliling kami. Setelah hanya menemukan sosok Airin, kekasihku itu bertanya, “Apa yang terjadi. Mana yang lain?”
“Mereka semua sudah mati. Makhluk aneh dan mengerikan telah membunuh mereka semua.” Aku menumpahkan seluruh air mataku di pundaknya.
“Makhluk aneh?” Hans melepaskan pelukanku. Ia memandangku dengan tatapan kebingungan.
Aku mengangguk. “Apa kau belum bertemu makhluk itu?” Berbalik aku yang bertanya.
Hans menggeleng. “Yang aku ingat saat itu Kun mengajakku meninggalkan kapal ini setelah membaca catatan aneh yang kami temukan. Ia bilang tempat ini sudah dikutuk. Lalu tak sengaja aku terjatuh saat menuruni anak tangga.” Hans mencoba mengingat-ingat sesuatu. “Tidak. Bukan tak sengaja. Aku ingat ada sesuatu yang mendorongku saat itu, juga ada yang menahan langkah kakiku di tangga. Ya, itu yang menyebabkanku kemudian jatuh dan tak sadarkan diri.” Hans memastikan.
Aku menatap dalam manik matanya. Kemudian kuperiksa luka di keningnya yang sudah mengering. “Jadi kau tak tahu apa yang terjadi pada Kun?” tanyaku kemudian.
Hans menggeleng. “Kun? Kenapa dia?”
“Tubuhnya kami temukan tergeletak tak berdaya di samping tubuhmu yang tak sadarkan diri.” Aku menjeda sejenak ceritaku. “Tubuh Kun tak utuh lagi. Tubuhnya tercerabik, perutnya terkoyak, begitu juga dengan mulutnya. Sungguh kondisinya saat kami temukan sangatlah mengenaskan.”
Hans terbelalak. Ia mengeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat. “Makhluk apa yang begitu tega membunuh Kun dengan begitu brutal?”
“Aku juga tak tahu, Hans. Makhluk itu amat mengerikan. Ia seperti iblis. Setidaknya begitu yang aku lihat membunuh Samuel.”
“Iblis?”
Aku mengangguk tanda mengiyakan jawaban atas petanyaannya.
“Kita harus pergi secepat mungkin. Harus!” ujar Hans sambil berusaha bangkit.
“Tapi bagaimana caranya? Bukankah kita sejak awal sudah memikirkan berbagai cara untuk kabur dari tempat ini. Tapi tak ada satu pun solusi yang masuk akal yang dapat kita putuskan.”
“Kau ada benarnya juga.” Hans terlihat berpikir sekali lagi. Tapi kemudian ia menggeleng tak yakin. “Sementara ini kita akan menunggu di ruangan ini. Semoga makhluk apa pun yang ada di luar sana, tidak masuk ke sini.”
***
Airin.
“Kau beruntung masih bisa membuka mata.”
Wajah lelaki bercodet tiba-tiba muncul di hadapanku yang tengah berbaring di atas tempat tidur besi. Ingin bangkit, namun ternyata kedua tanganku dalam kondisi terikat kuat. Begitu pun kedua kakiku.
“Apa yang akan kalian lakukan padaku?” Aku terus saja berontak meski aku tahu upayaku ini akan sia-sia.
Menghela napas panjang, kembali lelaki bercodet itu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bau napasnya yang tak sedap merangsek masuk ke dalam paru-paruku. Aku mendadak mual.
“Hari ini, jatah pengiriman organ manusia baru saja selesai. Mau tidak mau proses bedah dan operasimu akan ditunda besok atau lusa.”
Mataku seketika membelalak. “Bedah? Operasi?”
“Ya. Jantungmu akan dikirim ke China, hatimu ke Korea dan paru-parumu ke Thailand. Sedang bangkai tubuhmu akan dibuang ke laut dan menjadi santapan hiu dan ikan-ikan.” Si codet terkekeh. Wajahnya tampak bahagia menyaksikan ekspresiku yang baginya seperti lelucon. Aku bahkan menyesal pernah menganggap lelaki bertampang sangar ini jarang tersenyum—dan aku juga menganggap bahwa bisa dihitung dengan jari banyaknya jumlah ia tertawa selama hidup. Tapi nyatanya aku salah. Buktinya, sudah beberapa kali ia tertawa di hadapanku. Ternyata baginya, derita orang lain adalah sebuah lelucon yang menghibur.
Sial, aku benar-benar tak bisa berkutik. Apalagi efek obat bius yang tadi mereka suntik belum sepenuhnya hilang.
“Bawa dia kembali ke ruang penyekapan. Besok atau lusa, dia adalah orang pertama yang akan kita serahkan untuk dieksekusi,” perintah si codet kepada rekannya. Segera saja rekannya yang berambut cepak melepaskan ikatan di kaki dan tanganku lalu kembali menggiringku ke bawah.
“Kita sebenarnya ada di mana? Kenapa kapal ini hanya diam di tempat?” Aku memberanikan bertanya. Sebab, sejak awal aku tak mendengar suara deru mesin kapal yang menyala. Kapal ini hanya terombang-ambing di tempat yang sama.
“Kita berada tak jauh dari lepas pantai Nusakambangan.” Lelaki di sebelahku menjeda kata-katanya, sebab kami akan mulai menuruni anak tangga menuju geladak. Berhenti di pertengahan anak tangga, lelaki bertubuh kekar memalingkan wajahnya ke arah yang terbuka. Dari sudut ini kami bisa leluasa memandang samudera lepas juga pemandangan di sekeliling kapal. “Kau lihat di ujung sana. Daratan hijau di sana itu adalah Pulau Nusakambangan.” Aku mengikuti arah manik matanya. Dan kutemukan samar-samar penampakan pulau yang ia maksud.
“Boleh aku bertanya?” Aku teringat akan sesuatu yang aneh. Jika benar dugaanku maka saat ini aku sedang mengalami astral projection.
Si lelaki bertubuh kekar menjawab dengan tak antusias. “Apa itu?”
“Tahun berapa sekarang?” Aku bertanya dengan yakin.
“Kau benar-benar aneh. Apa karena kau begitu lama berada di dalam kontainer itu sampai-sampai kau lupa hari dan tanggal.” Ia terkekeh. “Sekarang tanggal 21 Agustus.” Sejenak ia berhenti berujar. “Oh, iya. Kurang lengkap. 21 Agustus 1988.”
Bingo! Tepat sudah tebakanku. Aku sekarang berada di masa 30 tahun lalu. Aku akhirnya paham ucapan wanita paruh baya yang juga disekap bersamaku tadi. Bahwa aku tidak berasal dari tempat ini dan rohku sedang terlempar ke masa lalu.
“Perjalanan waktu. Roh yang terlempar ke masa lalu.”
Yang ia maksud pastilah astral projection. Sepertinya ia tahu sesuatu tentang hal-hal yang berbau gaib dan mistis. Tapi, ke mana sosoknya sekarang. Mengapa ia tak lagi ada bersama kami begitu aku terbangun dari obat bius di ruang eksekusi tadi?
“Ke mana perempuan tua yang kalian bawa bersamaku tadi?” Sekali lagi aku bertanya.
“Mengapa kau sibuk mencari si dukun kampung itu? Dia terlalu banyak membuat masalah.”
“Kurasa ia hanya terlalu merasa tertekan saja.”
“Tenanglah, dia sudah kami bunuh dan mayatnya kami buang ke laut. Kami tak perlu menjual organ tubuhnya. Ia sudah terlalu banyak bertingkah selama ini. Kehilangan satu aset bukanlah hal besar bagi kami ketimbang kami kerepotan mengurusinya.”
Mataku terbelalak. Pupus sudah harapanku. Aku tak bisa lagi bertanya tentang astral projection padanya. Padahal bisa jadi dia tahu cara agar aku bisa kembali ke tubuh asalku. Ini adalah pengalaman pertamaku keluar dari tubuh. Aku kira aku bakal seperti hologram seperti di film-film horor yang tak bisa dilihat secara kasat mata oleh orang-orang di masa lalu. Tapi yang ada, tubuhku malah berwujud solid dan apa yang kualami sekarang benar-benar seperti nyata. Aku bahkan bisa merasakan sakit.
Aku lalu mencoba memikirkan bagaimana agar jiwaku ini bisa kembali. Aku berusaha mengingat-ingat bagaimana aku bisa sampai di tempat ini. Saat itu, di Kapal Pengayoman aku sedang bersama dengan Nindya. Dan aku mendadak terlelap. Ketika bangun, aku sudah berada di kapal besar ini. Berpikir sedikit gila aku membuat keputusan besar. Aku hanya punya satu kesempatan dan aku harus mencobanya.
Dengan gerakan cepat, aku mendorong tubuh lelaki kekar di sebelahku. Meski hanya mampu menggesernya, namun aku berhasil lepas dari jangkauannya. Dan tanpa ia duga, aku berlari ke arah tepian kapal dan melemparkan tubuhku ke laut dalam.
Byuuur!
Aku berharap setelah apa yang kulakukan ini, aku bisa kembali ke tubuh asliku. Kurasakan sensasi air asin membasahi tubuh dan memenuhi paru-paruku.
***