by Titikoma
8. Pembalasan
Nindya.
Aku tiba-tiba muncul di depan Hans, Pamela dan Airin yang tengah terkejut atas sesuatu di hadapan mereka. Airin seketika terbelalak. Ia yang berdiri paling dekat denganku mundur ke sisi Pamela.
“Jadi kau selama ini kau pelakunya. Yang memanfaatkan roh-roh korban pembunuhan di kapal ini untuk membalas dendam atas kesakitan yang kau rasakan?! Dasar iblis!” Airin memakiku dengan nada tinggi.
“Haha ... Akhirnya kalian tahu semuanya.” Aku terkekeh.
Kulihat Pamela menjatuhkan benda berbentuk persegi yang bertuliskan namaku dari genggamannya. Ya itu adalah tanda pengenal wartawanku saat dulu sebelum aku juga menjadi korban pembunuhan dan kejahatan mafia perdagangan organ manusia laknat itu.
“Kenapa kau lakukan ini semua?” Hans menatapku dengan tatapan tajam.
“Ini tepat dua puluh tahun setelah peristiwa pembunuhan itu terjadi. Mereka, para budak mafia itu menculikku yang sedang dalam perjalanan hendak meliput berita pertamaku untuk media lokal. Mereka menyiksaku. Memperkosaku seperti binatang. Untung saja saat itu, sebelum berangkat, aku sempat mengunjungi seorang paranormal paling sakti di Cilacap. Ia bilang jika aku hendak meliput ke Nusakambangan, aku harus punya pegangan. Sebab katanya Nusakambangan merupakan tempat yang angker. Aku harus punya pelindung. Dan pada akhirnya ia memberiku jin pelindung yang nyatanya adalah iblis.” Aku terkekeh sebentar. “Lantaran sekarat karena kejamnya penyiksaan yang kualami, aku akhirnya mendapat tawaran untuk bersekongkol dengan iblis yang menjagaku. Ia memberikan kekuatan hitam padaku untuk membalas dendam dengan syarat menjadi budaknya dan akan memberikan persembahan nyawa-nyawa baru setiap dua puluh tahun sekali. Tentu saja aku setuju, meski nyatanya menjadi budak iblis membuatku menjadi roh jahat tak beraga. Namun rasanya membunuh orang lain dan melihat orang-orang yang kubunuh tersiksa adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. Kesakitan mereka adalah pembayar sakit hatiku. Penawar dendamku. Hahaha ....”
Pamela meradang, meski aku tahu jiwanya sedang gemetar. “Kau sungguh gila, Nindya! Lalu apa bedanya kau dengan para manusia laknat itu?!”
“Tidak ada. Setidaknya dengan begini aku bisa melampiaskan dendam.” Aku mengangkat tangan tinggi-tinggi. Kurasa inilah saatnya memanggil semua roh-roh jahat untuk menuntaskan nyawa ketiga manusia di hadapanku ini.
Kapal bergoyang kuat, seperti terombang-ambing. Bunyi derit memenuhi ruangan. Hans, Pamela dan Airin saling berpegangan agar tidak tumbang lantaran kondisi kapal yang kini tak lagi stabil. Suara gemeretak memilukan makin lama makin mendekat. Suara itu berasal dari bunyi tulang-tulang makhluk mengerikan yang kini satu per satu datang mendekat. Aku sekali lagi menggunakan kemampuan yang diberikan iblis untuk mengendalikan jiwa-jiwa penuh dendam itu. Jumlahnya puluhan.
Makhluk mengerikan yang paling kuat berada di barisan depan. Makhluk dengan wajah tak berbentuk, rahang bawah nyaris copot, jari-jari kuku yang tajam dan rambut panjang yang menyapu lantai.
“Siksa mereka semua sampai mati.” Aku terbahak nyaring. Aku jelas ingin melihat mereka tersiksa dan mati secara perlahan.
Hans, lelaki bertubuh jangkung itu mencoba melindungi dua perempuan di belakangnya. Ia menyerahkan senter di tangannya pada Pamela lalu meraih sesuatu dari sisi sebelah kanannya, sebuah batang besi yang kemudian ia gunakan sebagai tongkat pemukul.
“Bodoh, percuma saja kau menyerang makhluk-makhluk ini. Mereka tak akan mati dua kali.” Lagi, aku terkekeh. Apalagi ketika kulihat Hans kemudian kelelahan dan bersimpuh di lantai. Pamela dan Airin gemetar di belakangnya.
“Ibu ... aku mohon hentikan semuanya.” Airin mengarahkan tangannya ke depan, ke arah makhluk suruhanku yang paling besar dan mengerikan. Keningku berkerut. Bagaimana mungkin ia memanggil makhluk itu dengan sebutan ‘ibu’.
Airin meracau semakin tak jelas. “Ibu ... tolong kami. Tolonglah ....” Tangannya terus ia arahkan ke sosok mengerikan yang ia panggil ‘ibu’. Meski lemah namun aku tahu Airin memang memiliki kemampuan mistis di dalam dirinya.
Tak disangka makhluk di hadapannya itu berhenti bergerak, juga sekumpulan makhluk yang persis mayat hidup lainnya. “Ayo cepat bunuh mereka semua!” Aku naik pitam. Bisa-bisanya makhluk-makhluk ini menurut pada Airin. “Cepat bunuh mereka!” teriakku sekali lagi.
Rahang makhluk tadi bergemeretak. Matanya semakin nyalang. Barangkali aku kembali berhasil mengambil alih makhluk-makhluk itu. Tapi ternyata dugaanku salah. Makhluk tadi malah bersuara untuk pertama kalinya di hadapanku.
“Panggil ... panggil nama iblis yang menguasai kami dan perempuan itu!” Makhluk tadi bersuara sambil menunjuk ke arahku dengan kuku-kuku tajamnya. “Dengan menyebut nama iblis itu kau akan bisa memusnahkan kutukan di tempat ini. Hanya makhluk hidup dan yang masih bernyawalah yang bisa memanggilnya,” lanjutnya masih dengan diiringi gemeretak tulang rahang yang nyaris jatuh dari sarangnya.
Airin tampak kehabisan energi. “Siapa? Siapa nama iblis itu, Bu?”
“Ab ... Abla ... Abla ...,”
“TIDAK. KAU TIDAK BOLEH MEMANGGILNYA!” teriakanku kali ini benar-benar melengking. Aku tak ingin makhluk itu membocorkan nama iblis yang kusembah, atau semuanya akan berakhir dengan sia-sia.
Kubaca matra yang kukuasai untuk mengendalikan makhluk-makhluk tadi. Mereka menggeliat, berusaha menentang keinginanku. Tapi apalah mereka, hanya roh-roh penasaran penuh dendam yang terkekang dalam kekuasaanku. Tanpa aku, mereka hanya akan menjadi roh-roh tersesat yang terabaikan.
Di tengah aku yang sedang mengendalikan roh-roh mengerikan tadi, tiba-tiba Hans berujar, “Abla ...?” Lalu seperti tahu sesuatu ia melanjutkan kalimatnya. “Tunggu, kurasakan aku tahu siapa nama iblis itu!”
***
Hans.
“Tunggu, kurasa aku tahu siapa nama iblis itu!” Aku memekik dengan nada setengah tertahan.
Kuminta Pamela mengarahkan senter ke tanganku, ke bagian yang sejak tadi terasa pedih. Di sana, terdapat bekas coretan sesuatu seperti tinta pena yang ditekan dengan tenaga. Ablasa, tulisan yang tertera di sana. Pasti Kun yang menulisnya. Sedari ia menemukan tulisan dan buku di ruang kemudi kapal ini ia terus berujar tentang iblis dan kutukan. Ablasa, aku pernah mendengar Kun mengucapkannya saat kami setengah berlari keluar kapal, namun tidak begitu terdengar olehku. Ketika aku sadar dari pingsanku beberapa saat lalu, aku melihat tulisan di tangan ini yang menyisakan rasa pedih meski awalnya aku tak tahu apa maksudnya dan siapa yang melakukannya.
“Ablasa! Ablasa nama iblis itu!” Aku berteriak memberitahu Airin.
Airin segera memejamkan mata. Membaca semacam mantra lalu kemudian ia berteriak kencang. “Wahai Ablasa, kupanggil kau kemari untuk membayar semuanya. Kupanggil kau untuk melepaskan jiwa-jiwa yang telah kau belenggu di tempat ini.” Kapal berderak di sana-sini. Oleng ke kanan dan kiri dengan begitu keras. Aku bahkan nyaris terpelanting. “Ablasa, datanglah kau segera. Lepaskan dendam serta kutukan pada roh dan kapal ini. Aku ingin kau memusnahkan energi jahat yang menguasai tempat ini.”
Samar-samar, di belakang Nindya yang tampak kesakitan, terdapat gambaran bayang-bayang raksasa yang mengerikan. Di kepalanya, bercokol sepasang tanduk panjang yang pongah. Lalu, sesaat kemudian terdengar pula erangan yang amat menyakitkan pendengaran. Serupa geraman penuh amarah.
Semakin lama, wujud bayangan itu makin solid. Begitu nyata. Rupa asli Ablasa semakin jelas. Sosoknya begitu menyeramkan. Tubuhnya diliputi api yang menyala-nyala. Di punggungnya, sayap lebar mengepak-ngepak membara. Mata dan mulutnya merekah dengan sembarang. Ia lalu memandang ke arah Airin dengan tatapan tajam.
“Dasar anak manusia yang lemah. Kau tak akan mampu mengalahkan kekuatan iblis.” Ablasa berujar dengan intonasi berat dan menggema. Ia melangkah perlahan-lahan mendekati kami.
“Ablasa! Kau tak akan pernah mengingkari kesepakatan dengan anak manusia yang telah memanggil namamu, bukan?” Airin menatang Ablasa. Aku tak tahu dari mana datangnya keberanian perempuan itu.
“Haha ... Tapi hanya mereka yang mau mengabdi menjadi budakku. Bukan menuruti perintahmu.” Ablasa membuka matanya yang merah nyalang dengan lebar.
“Bukankah kau hanya membutuhkan darahku untuk menjadi persembahan sebagai budakmu?”
Aku tak paham maksud Airin. Begitu juga Ablasa, sebab ia tak lagi mengeluarkan kata-kata dengan suara seram miliknya.
Tak disangka, Airin tiba-tiba merobek telapak tangannya dengan sebuah pisau bedah berkarat yang sejak tadi tergeletak di atas meja operasi. Meski samar, aku bisa melihat sesuatu yang menetes dari tangan gadis kurus itu. Tetesan itu lantas menggenang di lantai. Lalu dengan gerakan cepat ia memercikkan tetesan darah yang keluar dari luka menganga di tangannya ke arah Ablasa. Ablasa sungguh tak menyangka akan hal itu. Tubuhnya berkobar.
“Wahai Ablasa, aku akan mengabdi menjadi budakmu. Namun kau harus menuruti semua permintaanku. Musnahlah dari tempat ini dengan membawa sekutumu pergi. Jangan pernah lagi kau ganggu manusia dan jiwa-jiwa yang tersesat. Leburlah menjadi debu.”
Sesaat setelah Airin mengucapkan kalimatnya itu, tiba-tiba angin besar yang entah dari mana datangnya bertiup kencang di dalam ruangan, seiring dengan teriakan Ablasa dan Nindya yang bersahutan. Di belakang mereka, sosok-sosok menyeramkan yang lebih mirip mayat hidup satu per satu menghilang bak butiran debu. Menyusul kemudian Nindya yang berteriak histeris. Ia menarik-narik rambutnya, menjambaknya hingga beberapa helai rambut itu tercerabut.
“Sial. Aku tak akan pernah memaafkan kalian,” pekik gadis berkacamata itu sebelum akhirnya ia ikut lebur terbawa angin.
Sedang, Ablasa mengangkat kedua tangannya. Sepasang sayapnya membentang lalu wajahnya yang mengerikan perlahan-lahan terbakar. Meski tercipta dari api tapi nyatanya iblis juga dapat musnah karena terbakar. Api membumbung tinggi sampai langit-langit kapal, sebelum dalam satu tarikan suara, Ablasa mengerang panjang. Dimulai dari sepasang sayapnya yang gugur, lalu tubuhnya seperti meleleh. Dan begitu jatuh menyentuh lantai dek kapal, lelehan tubuh itu menjelma abu dan larut bersama udara.
Aku dan Pamela saling berpelukan. Sedang dari posisi kami sekarang, kulihat Airin mendekati sosok ibunya yang kini berwujud roh perempuan paruh baya. “Ibu ....” ucapnya.
“Terima kasih, Nak. Kau telah menyelamatkan jiwa ibu dan roh-roh yang lain. Terima kasih, Airin.” Manik mata perempuan yang sebagian rambutnya telah dipenuhi uban itu berkaca-kaca. “Ibu menyayangimu, Nak.”
Lalu perlahan-lahan tubuh perempuan itu menjadi samar dan menghilang.
Airin terduduk lemah di lantai. Air matanya meleleh di pipi. Aku tak terlalu paham itu air mata kebahagian lantaran kami dapat mengakhiri semua ini atau malah kesedihan karena ia mesti kehilangan ibunya untuk kali kedua. Yang jelas saat itu aku dan Pamela lantas memeluk tubuhnya yang gigil kuat-kuat. Saling menguatkan.
“Kita berhasil. Berhasil,” ujarku pelan di dekat telinganya.
***