Ablasa

Reads
169
Votes
0
Parts
9
Vote
by Titikoma

7. Terkuak

Hans.
“Airin?” panggilku ketika kulihat mata perempuan yang sedari tadi pingsan ini mengerjap beberapa kali. Benar saja, ia lalu membuka matanya.
“Kau sudah sadar?” Pamela mendekati tubuh Airin.
Airin yang masih tampak lemah membuka mulutnya. “Kita di mana?”
“Kita di atas kapal kontainer. Kapal Pengayoman tenggelam saat kau tak sadarkan diri tadi.” Pamela menjelaskan. “Hanya tinggal kita bertiga yang selamat. Teman-teman kita yang lain telah dibunuh oleh makhluk mengerikan. Ternyata kau benar, kita tengah dikejar kematian dan kutukan.”
“Bahaya. Kita dalam bahaya.” Airin memekik.
Aku dan Pamela saling bertatapan. Belum lengkap keheranan kami terjawab, tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara jendela kaca yang pecah. Sontak kami bertiga menoleh ke sumber suara. Di sana, sudah tampak dua atau tiga mahkluk menyeramkan menyerupai manusia—atau memang jelmaan manusia yang saling tumpang tindih mencoba masuk ke ruangan tempat di mana kami bertiga mendekam. Tubuh mereka yang berlumur darah, persis mayat hidup dengan beberapa tulang yang menyembul sembarangan yang terus bergemeretak tiap kali mereka bergerak.
Kami terjebak. Letak jendela berada begitu dekat dengan pintu yang merupakan satu-satunya jalan keluar dari ruang sempit ini. Kami berdiri berdekatan. Aku berada paling depan. Sementara Pamela dan Airin meringkuk di belakang punggungku. Aku mencoba menghalau makhluk berlumur darah bak mayat hidup yang mencoba menggapai kami itu.
“Pergi! Pergi Airin!” teriak makhluk berambut putih—agak kemerahan akibat dilumuri darah—panjang yang berada paling dekat dengan kami.
Kami semua terperanjat. Bagaimana bisa makhluk mengerikan ini bisa mengenal Airin.
“Kau ... kau siapa?” Airin melemparkan tanya.
“Kalian semua harus lari dari tempat ini. Tempat ini penuh dengan kutukan. Ia memanfaakan energi jahat kami untuk membalas dendam.” kata makhluk itu lagi.
Kuamati tubuhnya seperti hendak berontak. Ia jelas tampak tak ingin menyakiti kami, tapi tubuh dan tangan mengerikan itu terus berupaya mencabik kami. Sepertinya memang ada yang memanfaatkan dan mengendalikan makhluk-makhluk mengerikan ini.
Gesit, tiba-tiba makhluk gaib berlumur darah kehitaman itu melewati sisi sebelah kananku, mencengkeramkan jemarinya yang berkuku tajam ke bahuku, lalu ia memamerkan wajahnya beberapa inci di hadapan wajah Airin.
Seperti mendapat penglihatan, Airin terdiam. “Kau akan tahu siapa aku,” ujar makhluk tadi yang lebih mirip sebuah lirihan. Cukup lama kami semua membeku. Tak mampu berkutik. Sekadar lari saja kaki ini tak mampu bergerak. Aku masih memandang ke arah Airin. Retina manik mata perempuan itu membesar. Aku tahu ia dan makhluk mengerikan di hadapannya ini tengah bersitatap atau barangkali sedang berkomunikasi. Lama. Aku bahkan lupa untuk menarik napas. Terengah, aku lantas menghirup udara dalam-dalam.
“Kau ....” Airin tersadar sesaat setelah sekumpulan makhluk mengerikan itu mundur perlahan menjauhi kami. Keluar melalui jendela, lalu sebelum benar-benar menghilang di kegelapan kabut, makhluk itu kembali memperingatkan kami. “Segera pergi dari tempat ini sebelum energi jahat kembali menguasai kami.”
***
Airin.
Aku terduduk lemah setelah makhluk mengerikan yang merangsek ke tempat persembunyian kami tadi memberiku sebuah penglihatan. Penglihatan yang beberapa saat lalu juga kurasakan dan kualami.
Ia memberiku pemandangan sebuah kontainer besi berisi wanita-wanita lemah dan anak-anak yang ketakutan. Ya, peristiwa itu persis seperti yang aku alami selama kejadian astral projection. Makhluk mengerikan tadi tak lain adalah perempuan setengah gila yang memberitahuku bahwa rohku tengah mengalami perjalanan. Dia adalah wanita paruh baya yang juga mengalami epilepsi dan dibawa ke ruang bedah organ di lantai dua bersamaku, yang kemudian dibunuh dengan keji oleh si lelaki bercodet dan rekannya karena dianggap sebagai dukun kampung yang merepotkan. Dan dia ternyata adalah ibuku. Ibu yang diusir ayahku dari rumah ketika usiaku belum genap empat bulan akibat menganut ilmu hitam yang dianggap sesat—yang darah dan kemampuannya kini mengalir dalam tubuhku. Ibu yang selama ini disembunyikan ayahku dariku.
“Ibu ...,” lirih aku menyebut namanya.
“Ibu?” Hans dan Pamela mengerutkan kening bersamaan.
Aku mengangguk lemah. “Ya, makhluk mengerikan tadi ternyata adalah ibuku. Ibuku dan ratusan wanita yang lain di bunuh di kapal ini oleh mafia penjualan organ tubuh dua puluh tahun yang lalu. Dan sesuatu yang jahat kemudian memanfaatkan dendam dan jiwa roh-roh yang terbunuh tadi untuk membalas dendam.”
Pamela menatapku dengan tatapan semakin tak percaya. “Bagaimana kau tahu itu semua?”
“Astral projection. Perjalanan roh. Ternyata selama aku tak sadarkan diri sejak dari ruang kemudi Kapal Pengayoman, jiwa ibukulah yang membawa rohku melihat kejadian dua puluh tahun yang lalu. Ia ingin memberi jawaban mengapa kejadian ini bisa menimpa kita.” Aku menenangkan napasku yang memburu. “Tapi semuanya masih abu-abu. Sampai sekarang aku belum tahu siapa yang memanfaatkan dendam roh-roh yang ada di kapal ini. Juga cara kita menghentikan semuanya.”
“Jadi kau belum menemukan caranya?” Hans bertanya lemah.
Aku mengangguk. “Kita akan segera mencari tahu,” kataku berusaha meyakinkan. “Sepertinya kita harus menuju ke suatu tempat di lantai dua. Di sebuah ruangan, di ujung lorong, wanita-wanita lemah dan juga anak-anak dieksekusi. Organ-organ tubuhnya diambil untuk diperdagangkan, sedang mayat-mayat mereka di lempar ke laut.”
“Baiklah. Tapi kita membutuhkan senter, sebab di dalam kapal sangat minim pencahayaan. Andai saja kita bisa menemukan senter yang tadi dibawa Kun ....” Hans menghentikan kalimatnya ketika tiba-tiba Pamela mengeluarkan sesuatu dari saku belakang celananya dan menunjukkannya di depan kami.
“Aku tadi sempat mengambilnya ketika menemukan mayat Kun di sana,” ujar Pamela kemudian.
Hans mengangguk mantap. “Apa yang kita butuhkan sudah ada. Ayo kita menuju tempat yang kau maksud, Airin. Dan pastikan kita harus selalu bersama. Jangan sampai ada yang terpisah.”
Sesaat setelah Hans mengatur rencana, kami bertiga lantas segera keluar dan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Dan benar saja, aku merasa de javu dengan kapal ini. Suasananya benar-benar sama dengan apa yang kuliat saat mengalami astral projection, saat lelaki berperawakan sangar dan rekannya membawaku ke ruang eksekusi: ruang kemudi di bagian kiri depan, deretan bangku penumpang yang terbuka, lalu terdapat beberapa ruangan-ruangan dengan pintu tertutup. Meski kondisinya minim cahaya, namun dari sorotan cahaya senter yang dibawa Hans aku masih bisa mengenali tempat ini. Dan seperti rencana, kami terus menuju ke sebuah ruangan yang berada di paling ujung belakang. Aku yakin di sana kami akan mendapatkan jawaban atas segala teka-teki, atau paling tidak secercah harapan.
Pintu ruang eksekusi didorong pelan oleh Hans. Aku dan Pamela membuntuti punggung lelaki jangkung itu dari belakang. Seketika kami disambut ruangan usang penuh sarang laba-laba. Meja pongah di tengah ruangan mengingatkanku lagi pada peristiwa ketika tubuhku diikat kencang oleh lelaki bercodet. Beruntung kala itu pengiriman organ tubuh sedang tertunda sehingga aku masih bisa selamat. Aku juga tak tahu apa yang bakal terjadi jika rohku yang sedang mengalami astral projection dibunuh, apakah aku di dunia nyata akan ikut mati? Memikirkannya hanya membuat bulu kudukku berdiri.
Hans mulai memeriksa seisi ruangan. Barangkali kami dapat segera menemukan sesuatu. Di dekatnya, Pamela mengamati tumpukan kantong plastik berwarna hitam. Ia lalu meminta Hans untuk menyorotnya menggunakan senter di tangannya.
“Jangan!” Aku berteriak.
Namun terlambat. Pamela sudah terjelabak ke belakang setelah mendapati isi kantong tadi. Di dalamnya, tulang tengkorak dan rambut manusia bersemanyam. Kulihat Pamela segera menutup mulutnya agar tidak berteriak.
“Itu adalah kerangka mayat-mayat korban penjualan organ tubuh. Kerangka makhluk-makhluk menyeramkan yang tadi menghantui kita.”
Belum genap aku menjelaskan segala sesuatunya, tiba-tiba Pamela meraih sesuatu yang tak asing dari dalam kantong plastik tadi dengan tangan gemetar. Sesuatu berbentuk persegi yang pernah kulihat sebelumnya.
Aku dan Hans mendekat, mencoba mengamati baik-baik benda yang ditemukan Pamela tadi. Dengan penerangan dari senter di tangan Hans kami bisa dengan jelas mengenali benda tersebut, bahkan tulisan yang tertera di atasnya. Meski sudah agak kabur, namun susunan huruf demi huruf itu telah menjawab segalanya. Tertulis nama seseorang di sana.
Sial!
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices