by Titikoma
9. Babak Akhir
Terik sinar matahari di atas ubun-ubun membangunkan Hans, Pamela dan Airin yang sedari tadi tengah tertidur. Tubuh ketiganya terayun-ayun karena sesuatu.
Pamela hampir saja terguling hanyut terbawa arus ketika ia menggerakkan badannya untuk meregangkan otot. Sebab, tanpa mereka sadari, tiba-tiba mereka bertiga saat ini tengah mengapung di atas belasan batang kayu logging yang saling terikat dan terombang-ambing di tepian Segara Anakan. Baju ketiganya bahkan sudah dalam kondisi kuyup.
Belasan batang kayu logging milik masyarakat itu masih mengikuti arus sungai, ketika Hans, Pamela dan Airin sadar jika mereka telah berada jauh dari kapal pengangkut kontainer yang penuh kutukan itu. Kembali ke dunia nyata. Mereka memperbaiki posisi tubuh mereka agar tetap seimbang di atas batang kayu berusia puluhan tahun itu.
“Sepertinya kita benar-benar selamat.” Hans menatap Pamela dan Airin secara bergantian. Dua perempuan yang duduk di dekatnya menjawab dengan senyuman. Mereka ingat, bahwa terakhir kali, setelah Ablasa, Nindya dan makhluk mengerikan lainnya menghilang, mereka bertiga memutuskan beristirahat di ruang kemudi kapal kontainer itu. Dan seperti biasa, ketika mereka tak sengaja terlelap, semuanya telah berubah. Seperti saat ini, saat mereka terbangun, mereka kembali bisa merasakan terik matahari di atas Segara Anakan.
Pamela sesaat melipat kakinya, lalu mengalihkan arah duduknya menghadap Airin. “Ini semua berkat kamu, Airin. Terima kasih.”
Hangat, Airin membalas pelukan Pamela.
Tak berapa lama, dari kejauhan terdengar deru mesin perahu bermotor. Perahu nelayan lokal bermuatan enam orang penumpang itu sepertinya hendak melintas menyusuri sungai ketika Hans memutuskan berdiri dan melambaikan tangan ke arahnya.
“Tolooong!” teriak lelaki bertubuh jangkung dan berambut cepak itu.
Perahu bermotor memelankan lajunya, lalu membelokkan arah menuju ketiga sosok yang tengah terombang-ambing di atas batang kayu tadi.
“Bisa kami menumpang perahu Bapak?” tanya Hans sopan. “Kami ... perahu kayu kami karam beberapa saat lalu akibat terbalik dan bocor.” Setelah berpikir sejenak, sedikit berbohong dan mengatakan bahwa kapal yang mereka tumpangi karam lebih masuk akal ketimbang ia mengatakan baru saja lolos dari kutukan kapal berhantu.
“Kalian hendak ke mana?” Nelayan yang mengendarai perahu itu bertanya.
Cepat Pamela menjawab. “Dermaga Wijayapura.”
“Oh, kebetulan saya juga sedang menuju ke sana. Tapi saya tidak bisa menurunkan kalian di sana. Pelabuhan itu hanya untuk tempat bersandar kapal-kapal khusus milik pemerintah yang mengangkut barang dan penumpang ke lapas Nusakambangan. Kalau mau saya bisa menurunkan kalian di dermaga kecil di dekat sana.” Nelayan tadi lantas menyingkirkan dan merapikan jaring serta perlengkapan nelayan lainnya agar nyaman di isi penumpang.
“Terima kasih.”
Hans naik terlebih dahulu ke atas perahu. Lalu membantu Pamela untuk menyusul. Kekasihku ini agak kesulitan melangkah ke dalam perahu lantaran luka memar karena benturan di kakinya yang tampak membiru dan membengkak.
Nelayan tadi kemudian segera menyalakan mesin perahu ketika Pamela sudah sempurna naik ke atas perahu kayu itu. “Kalian hanya berdua? Mana yang lain? Apa tidak ada penumpang lain ketika perahu kalian karam.”
“Berdua?” Hans dan Pamela seketika saling bertatapan. Sementara Airin hanya terdiam sendirian di atas batang kayu logging yang mengambang.
“Ya. Apa kalian memang cuma berdua saja?” Nelayan tadi mengulang pertanyaannya. Wajahnya serius tanpa ada kesan bercanda sama sekali.
“Kami bertiga.” Hans menunjuk Airin yang menampilkan wajah tak kalah bingungnya.
Menggaruk kepala yang tak gatal, nelayan tadi berujar, “Memangnya ada apa di situ?”
“Apa Bapak tidak melihat teman kami yang satu ini?” Pamela menyentuh tangan Airin.
“Kalian jangan bercanda. Nggak ada apa-apa di situ.” Lelaki berkaus biru tua itu tertawa masam. “Iya, kan? Kalian lagi bercanda, kan?” Bapak nelayan memastikan sekali lagi.
“A ... Airin?” Pamela menatap Airin dengan tatapan tak percaya.
Tepat saat Airin ingin mengucapkan sesuatu, dari bawah arus sungai yang mengalir, tiba-tiba terbentuk gelembung-gelembung air yang makin lama semakin banyak dan besar. Seperti air yang tengah mendidih dan menggelegak. Di detik-detik berikutnya, sesosok makhluk mengerikan mendadak muncul dan menerkam tubuh Airin dengan cepat. Makhluk mengerikan dengan sepasang tanduk di kepala itu jelas tak asing bagi Pamela dan Hans. Ia adalah Ablasa, si iblis.
“Tolong aku, Hans, Pamela.” Airin merintih sedih. Ia masih berusaha meraih dan menggapai batang kayu yang mengapung tadi. Sedang Hans dan Pamela yang menyaksikan semuanya tak bisa berbuat apa-apa. Dan tepat sesaat sebelum tubuh Airin benar-benar ditelan keruh air Segara Anakan, terdengar suara Ablasa yang begitu berat.
“Kau sekarang adalah budakku. Kau akan terus mengabdi padaku,” katanya.
Hans dan Pamela jatuh terduduk di atas perahu kayu yang mereka tumpangi, membuat perahu terayun beberapa kali. Mereka berdua benar-benar tak percaya atas apa yang baru saja mereka lihat di depan mata kepala mereka sendiri.
Sedang nelayan yang sedang memegang kemudi mesin perahu, seperti tak menyadari apa-apa. Ia seperti tak melihat apa yang Hans dan Pamela lihat. Mukanya terlihat kebingungan.
“Ablasa! Kenapa dia belum musnah juga?” Pamela terisak di pelukan Hans.
“Barangkali karena sekarang ia memiliki budak baru, Airin.” Hans menjawab dengan bermacam spekulasi yang berputar di dalam kepalanya.
“Ab ... Ablasa. Budak?” ucap si nelayan yang lantas menarik gas mesin perahu kayu berkapasistas enam orang itu dengan laju yang sangat aneh. Tatapannya mendadak kosong. Lalu dengan tatapan sinis, kembali ia berujar, ”Setelah Airin, kalian berdualah yang akan menjadi budakku.”
Perahu kayu terus melaju melawan arus sungai. Hans dan Pamela seketika diam mematung di atas. Mereka mencoba mengatur napas yang seketika terasa sesak. Belum lagi otot-otot di tubuh mereka mendadak terasa lemah kehilangan tenaga. Sedang si nelayan terus saja menatap keduanya dengan tatapan kosong.
“Mau, kan, kalian menjadi budakku?” tanyanya sekali lagi. Tapi kali ini wajah si nelayan terlihat menyeringai seram dengan sorot mata tajam yang lantas menyala kemerahan. Tatapan khas milik si Ablasa.
Sesaat kemudian perahu kayu itu terbalik
***