by Titikoma
4. Aku Nggak Mau Disini!
Hari penerimaan laporan belajar semester pertama adalah hari terburuk di sepanjang hidup Rasi. Nilainya menurun drastis, dan itu membuat mamanya mengamuk.
“Mama udah sering bilang, kan, turuti apa kata Mama. Apa susahnya sih, nurutin Mama beberapa minggu aja? Semua yang Mama katakan itu demi kebaikanmu sendiri!”
Rasi memilin-milin ujung kaus merah yang dia kenakan. Ekspresinya sama sekali tak menunjukkan kalau dia merasa bersalah. Rasi cenderung cuek dan membiarkan mamanya berkata apa pun.
“Rasi!” seru Lusi, merasa tak diperhatikan oleh anak semata wayangnya itu. “Krungu gak seh[1], Mama ngomong?” Mata wanita itu melotot tajam, membuat Rasi menciut, gadis kecil itu menelan ludah dengan susah payah.
“Kamu tuh makin lama makin bikin Mama makan hati! Sesuai perjanjian kita di awal, liburan ini kamu akan Mama anter ke rumah Mbah Uti!” Keputusan final telah diambil, ancaman yang diberikan Lusi beberapa waktu lalu ternyata bukan hanya gertak sambal untuk menakuti Rasi.
Keputusan mamanya itu membuat Rasi sontak berdiri, mengajukan protes. “Tapi, Ma....”
“Nggak ada tapi-tapi. Tak teleponne Mbah Uti saiki[2]. Besok kita berangkat pagi-pagi sekali.” Lusi beranjak dari duduknya, meninggalkan Rasi yang masih melongo tak percaya. Dia bahkan belum sempat mengajukan protes, tapi mama sudah memutuskan keberangkatan mereka.
***
Mama dan Mbah Uti—nenek Rasi, memang selalu kompak dalam hal memojokkan Rasi. Setelah mama menelepon Mbah Uti malam tadi, mereka malah sudah menyiapkan rencana untuk Rasi begitu sampai di Jombang nanti. Mama berasal dari kota santri itu, sementara ayah adalah orang Surabaya asli. Setelah menikah, ayah dan mama memutuskan untuk membeli sebuah rumah dan tinggal di Surabaya.
“Mama mau kamu masuk pesantren kilat di pondok dekat rumah Mbah Uti. Selama liburan semester satu ini, Mama mau kamu berubah. Dan ini keputusan terbaik yang pernah Mama buat untuk kamu.”
Rasi memberengut, sebal. Perjalanan naik keretanya hari ini sangat tidak menyenangkan. Mama terus saja membahas soal pesantren, pesantren, pesantren. Memangnya pesantren itu panti sosial yang dikhususkan untuk anak-anak yang butuh perhatian khusus macam dirinya? Sepanjang pengetahuannya, pesantren itu tempat untuk belajar agama. Dia tidak merasa perlu masuk ke pesantren kilat seperti yang sudah direncanakan mama dan Mbah Uti.
“Ojo mbantah![3]” putus Lusi saat Rasi terlihat akan kembali mengutarakan pembelaan diri.
Mereka sampai di Jombang setelah melalui berjam-jam perjalanan yang membosankan, karena Rasi terus saja mendengar omelan mamanya mengenai hal yang sama secara berulang-ulang. Dia sampai hafal kalimat apa yang akan diucapkan mamanya. Kalau sedang iseng, dia justru melanjutkan kalimat mamanya itu, membuat darah Lusi semakin mendidih.
Bahkan ketika mereka turun di Stasiun Jombang, Lusi belum lagi berhenti mengomel. Rasi dengan sengaja meninggalkan mamanya yang masih mengomel jauh di belakang, menyongsong Mbah Kung dan Mbah Uti yang sengaja menjemput mereka.
“Lihat, tuh, kelakuan cucu Ibu!” sergah Lusi ketika berhasil menyusul Rasi dan berada di antara kedua orangtuanya. “Nggak pernah mau dengerin aku, omonganku tuh selalu dianggep angin lalu sama dia.” Seperti anak kecil, Lusi mulai mengadukan tingkah Rasi pada ibunya—nenek Rasi.
Wanita berusia kisaran empat puluh lima hingga lima puluh tahun itu tersenyum tipis, tak menanggapi aduan anaknya. Beliau malah merengkuh tubuh Rasi ke dalam pelukan, setelah itu suaminya pun melakukan hal yang sama pada cucu pertama mereka itu. Setelah puas memeluk Rasi, kedua orang tua itu lalu beranjak merengkuh tubuh Lusi bergantian.
“Kita langsung ke pondok sekarang?” tanya Lusi pada ibunya.
“Kamu yakin, Lus? Biarin dia istirahat sebentar di rumahlah.” Kali ini kalimat pembelaan keluar dari mulut ayahnya.
“Enggak, Pak. Dia harus belajar menurut, belajar sopan, belajar menjadi lebih baik. Lebih cepat kita masukkan dia ke pondok lebih baik, karena liburnya cuma lima belas hari.”
“Ya sudah kalau itu maumu, kita langsung ke pondok aja.”
Rasi tak sempat menolak ataupun protes. Dia sudah lelah mendebat mamanya, kalau sekarang dia harus mendebat lagi maka bisa jadi mama akan membuatnya benar-benar mondok, bukan cuma ikut pesantren kilat.
Gadis kecil itu tak ingat lagi apa yang telah dia lewati dalam perjalanan menuju pondok. Perjalanan yang sebenarnya tak cukup jauh, terasa seperti ribuan tahun cahaya bagi Rasi. Begitu mereka sampai di pondok, Rasi malah merasa pantatnya menempel di jok mobil, meleleh dan lengket saking lamanya duduk.
enggan dia mengikuti langkah mama dan Mbah Uti menuju ke tempat pendaftaran khusus peserta pesantren kilat. Di sana mereka bertemu dengan Ustaz Faruq—kalau tadi Rasi tak salah mendengar. Ustaz Faruq adalah koordinator pesantren kilat di pondok itu.
Beliau mengatakan banyak hal, tentang peraturan, hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama di pesantren. Rasi tak ingat apa-apa saja peraturannya, biarlah, toh dia masih bisa membacanya di papan pengumuman, itu pun kalau ada yang mau berbaik hati menunjukkan padanya di mana peraturan itu ditempel.
Sebenarnya, hatinya ingin menjerit, bahkan sejak masih di dalam mobil tadi. Namun, Rasi masih berusaha menahan diri. Berharap dia akan menemukan teman-teman yang menyenangkan di sini.
Kemudian, saat mama dan Mbah Uti pergi begitu saja setelah urusan birokrasi pendaftarannya selesai, Rasi merasa dibuang. Bahkan saat Ustaz Faruq mengantarnya ke asrama perempuan, mengenalkannya pada pengawas asrama serta ketua asrama yang menjadi pengawas kedua di dalam asrama, Rasi semakin merasa terasing. Semua orang di dalam pondok itu tidak ada yang seperti dirinya, paling tidak yang bisa melihat derita di dalam hatinya. Tidak ada.
Aku nggak mau di sini!
Kali ini hati Rasi benar-benar menjerit, tapi tak ada yang mampu mendengar. Semua orang sibuk tersenyum, saling menyapa dan berbasa-basi.
[1] Denger nggak sih
[2] Kuteleponkan Mbah Uti sekarang
[3] Jangan membantah!