Ada Apa Dengan Rasi

Reads
189
Votes
0
Parts
16
Vote
by Titikoma

5. Asrama Lily Dan Mbak Septa

“Hai, aku Septa. Ketua asrama Lily. Selama di sini, kamu akan tinggal bersama kami di asrama Lily ini.” Seorang gadis berusia enam belas tahun menyambut kedatangan Rasi dengan ceria. Tadi Ustaz Faruq sudah berpesan padanya, bahwa hari ini akan ada anggota baru yang menghuni asrama Lily selama dua minggu ke depan.
Septa menelusuri penampilan Rasi, celana jins, kaus panjang berwarna hijau limau, serta jilbab berwarna kuning pucat yang kedodoran. Tampak sekali, dari penampilannya yang tidak begitu baik itu, Rasi bukanlah anak yang terbiasa memakai jilbab sehari-harinya. Wajah tidak ramah gadis kecil itu juga begitu kentara menunjukkan bahwa dia sebenarnya tidak ingin masuk ke pesantren itu.
Namun, sebagai ketua asrama, Septa tentu tak habis akal untuk menyenangkan anggota barunya. Maka, gadis itu segera menggamit lengan Rasi yang tampaknya masih enggan melangkahkan kaki barang satu milimeter pun untuk masuk ke dalam asrama.
Dengan cekatan, tapi tetap memperhatikan detail-detail yang perlu dijelaskan, Septa mengajak Rasi berkeliling asrama. Membiarkan gadis kecil itu memanjakan diri dengan pemandangan yang tersuguh di sekeliling salah satu asrama santri perempuan yang dikelola oleh pondok pesantren Darrul Najah.
Rasi hanya mengikuti saja ke mana Septa akan membawanya. Matanya bosan melihat hal yang sama sejak satu jam yang lalu kakinya menginjak pondok itu. Para santri yang ke mana-mana membawa mushaf di tangan mereka, masjid pondok yang selalu penuh dengan jemaah ketika suara azan dikumandangkan, dan suara orang mengaji yang samar-samar terdengar mirip seperti dengungan lebah.
“Nah, kita sudah sampai di kamar!” seru Septa saat langkah mereka berhenti di depan sebuah kamar yang pintunya tertutup sebagian. “Mulai hari ini hingga dua minggu ke depan, kamu bisa berbagi kamar dengan Maya,” lanjut Septa sembari tersenyum.
“Berbagi kamar?” tanya Rasi tak mengerti. “Kukira aku akan dapat kamar sendiri.”
Septa tertawa. “Di sini, nggak ada yang dapat kamar sendiri,” katanya kemudian, setelah tawanya berhenti. “Semua orang berbagi kamar. Setiap kamar terdiri dari dua orang untuk kamar berukuran kecil, seperti kamar yang kamu tempati ini. Sedangkan kamar besar, seperti kamarku yang ada di seberang itu,” Septa menunjuk ke arah koridor yang letaknya berseberangan dengan koridor kamar yang akan ditempati Rasi.
Di koridor itu hanya terdapat dua buah kamar, sementara di koridor sebelah sini ada empat buah kamar. Dari jumlah kamar itu saja dapat dilihat perbedaan luasnya. “Kami berbagi bersama empat orang lainnya,” lanjut Septa.
Rasi hanya manggut-manggut, tak tahu harus bagaimana menanggapi penjelasan Septa itu. Perlahan dia membuka pintu kamar yang sudah terbuka sebagian itu lalu melongokkan kepalanya melewati pintu.
Kamar itu terlihat rapi, tak ada pakaian yang berserakan di lantai atau di tepian tempat tidur seperti kamar mama, kamar itu kurang lebih sama dengan kamar Rasi yang ada di rumah, bersih dan teratur. Tetapi itu tak lantas membuatnya memiliki keinginan untuk tetap tinggal di pondok itu.
“Kenapa?” tanya Septa ketika melihat Rasi sedikit bengong. “Kamu nggak mau di sini? Mau pindah ke kamar Mbak?”
Perlahan, Rasi menggeleng. Dia membayangkan bagaimana rasanya tinggal berempat dalam satu kamar. Kalau cuma berdua, menurutnya masih lumayan, tapi berempat? Bisa-bisa dirinya tak mendapat privasi di dalam kamar itu.
“Ya udah kalau gitu, nanti kalau perlu apa-apa kamu panggil Mbak aja. O, iya, Maya masih ngaji kayaknya tadi, kamu masuk aja nggak pa-pa.”
“Maya?” Rasi mengulang nama yang tadi disebutkan Septa.
“Ah, itu. Teman sekamar kamu. Namanya Maya. Dia juga masih kelas enam, sama kayak kamu. Tapi dia memang mondok di sini sejak masih TK.”
Rasi nyengir. Informasi yang terakhir itu sebenarnya tidak penting, untuk apa diberitahukan padanya? Dia menurut saja saat Septa mendorongnya masuk.
Ragu masih bergelayut di hati Rasi, tapi dia tak lagi bisa menghindar. Mama dan neneknya langsung pergi tadi begitu Ustaz Faruq menerima dan membawanya menuju asrama perempuan. Nekat kabur dari sini sama saja dengan bunuh diri.
Dia sama sekali tak mengenal kota ini, jalan-jalannya, seluk beluknya. Alih-alih berhasil pulang ke Surabaya, dia mungkin malah akan meringkuk ketakutan di kolong bawah pohon beringin yang ada di tengah kota, itu pun kalau dia berhasil kabur sampai sejauh itu. Karena pondok yang kini dia tempati, setahunya, cukup jauh dari pusat kota dan lebih dekat ke rumah nenek. Tetapi seberapa dekat dengan rumah nenek pun Rasi tak tahu.
Dengan terpaksa, dia menerima keputusan mamanya.
Rasi memilih menunggu Maya sebelum meletakkan barang-barangnya di lemari atau di bagian mana pun dalam kamar itu. Dia tak ingin disebut sebagai anak baru yang merebut tempat anak lama. Bisa saja kan, dia salah memasukkan pakaian-pakaiannya ke laci lemari yang sudah ditempati Maya?
Gadis cilik itu membuka jilbabnya kasar. Gerah. Dia yang tak terbiasa mengenakan jilbab, kini harus mengenakannya setiap hari, setiap saat keluar dari kamarnya. Belum lagi, dia juga harus selalu mengenakan busana muslimah, karena dia tak memiliki cukup banyak baju muslimah maka baju yang akan dia pakai sehari-hari adalah kaus lengan panjang kedodoran yang sebagian besar milik sepupunya, juga celana jins yang tidak terlalu banyak jumlahnya. Mamanya kemarin bilang akan datang lagi dalam beberapa hari dan berjanji membawakannya gamis serta rok panjang yang Rasi sendiri ragu untuk mengenakannya.
Kamar itu tampak penuh karena dua buah dipan kecil masing-masing untuknya dan Maya. Rasi merebahkan tubuhnya di salah satu dipan, lalu meringis saat merasakan punggungnya beradu dengan batu alih-alih dengan kasur. Dalam hati dia mengumpat, mama nggak pernah bilang kalau kasur di pesantren itu keras.
Rasi menatap lurus ke langit-langit kamar yang putih polos. Lalu pandangan itu seolah bisa menembus atap kamar itu hingga mengangkasa. Biasanya, sore begini dia sudah duduk manis di loteng, bersiap menunggu kedipan mata si Venus.
Rasi mendesah. Seharusnya dia membawa teleskopnya untuk mengusir rasa bosan. Namun dia kembali ragu, tidak mungkin pengurus pondok akan memperbolehkannya masuk dengan membawa benda-benda seperti itu.
Rasi hanya membawa beberapa buku dongeng astronomi dan juga satu ensiklopedia astronomi saja. Dia harus berpuas diri, setidaknya benda-benda itu diizinkan masuk ke asrama.
“Oh, halo,” sapa seseorang, membuat Rasi segera menegakkan tubuhnya.
Seorang anak perempuan seusianya, berdiri di ambang pintu, membawa sebuah mushaf yang didekap di dada. Rasi menelusuri penampilan anak yang berdiri di hadapannya kini. Rok panjang berwarna cokelat yang senada dengan warna jilbabnya serta atasan warna putih yang panjangnya sekitar sepuluh senti di atas lutut, membuatnya tampak anggun dan lebih dewasa daripada usia sebenarnya.
Dia melangkah mendekati Rasi, lalu mengulurkan tangannya. Senyumnya terkembang lebar. “Kenalin, aku Maya.”
Ragu-ragu Rasi membalas menjabat tangan Maya. “Rasi,” jawabnya.
Mata Maya lalu menemukan tas Rasi masih teronggok begitu saja di lantai dekat dengan kaki dipan. “Kenapa bajunya belum ditata?” tanyanya.
Refleks, telunjuk Rasi menggaruk rambut di atas telinganya, bingung hendak menjawab apa. “Aku nunggu kamu, karena nggak tahu yang mana bagian lemariku.”
Maya terkekeh. “Aduh, kayak apaan aja. Udah taruh aja sama-sama di sana. Masih ada tempat kosong, kan?”
Rasi mengangguk.
“Kalau nggak ada biar kutata ulang punyaku.”
“Masih banyak yang kosong, kok. Lagian aku nggak bawa banyak baju.” Rasi menggigit bibir bawahnya. “Cuma, aku bingung mau naruh ini di mana.” Dia lalu menunjukkan buku bawaannya pada Maya.
Reaksi pertama Maya adalah mengernyit. Ini pertama kalinya dia melihat buku selain mushaf dan kitab-kitab. Buku dongeng yang pernah dibacanya hanyalah kisah para nabi, kisah istri para nabi, dan cerita-cerita semacam itu. Belum pernah dia melihat buku dongeng tentang... Maya melongokkan kepalanya untuk melihat judul buku yang dibawa Rasi itu lebih jelas, BINTANG!
“Kenapa? Nggak boleh ya, bawa buku beginian ke sini?” tanya Rasi takut-takut. “Tapi tadi ini dilolosin kok sama pengawas asrama, boleh dibawa masuk katanya.”
Maya menggoyang-goyangkan kelima jarinya. “Bukan, bukan. Bukan karena nggak boleh, tapi karena aku yang baru pertama kali lihat buku kayak gini.”
Kini, ganti Rasi yang melongo. Pertama kali? Oh, ya memang buku-buku yang dia bawa ini cukup langka dan tidak semua orang tahu serta menikmati isinya, sih.
“Aku... boleh pinjem nggak nanti?” Maya bertanya takut-takut.
Rasi mengerjap sekali, lalu senyumnya terkembang. “Tentu aja. Kalau ada yang nggak kamu ngerti, bisa tanya ke aku. Aku udah hafal di luar kepala isi dari buku-buku ini,” ujar Rasi bangga. Akhirnya setelah sekian lama dia bisa membanggakan kegemarannya juga di hadapan orang lain.
Binar di mata Maya menunjukkan ketertarikan yang cukup kuat, sehingga Rasi percaya diri dengan kegemarannya itu. Maya tidak akan membuatnya terlihat aneh, atau bodoh, atau gila karena selalu menganggap bintang sebagai seorang teman. Maya tidak akan meremehkannya!

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices