by Titikoma
12. Kamu Kan Yang Melakukannya, May?
Septa berdeham pelan saat melihat Maya berdiri mencurigakan di sisi tiang yang berada tak jauh dari kamarnya. Gadis itu lalu melongok, melihat apa yang sedang diperhatikan Maya. Ustaz Faruq yang sedang duduk dan mengobrol bersama Rasi. Septa mengerutkan kening, mereka sedang apa tengah malam begini?
Namun, yang lebih mengherankannya adalah keberadaan Maya. Untuk apa anak itu berdiri mengendap-endap di sini?
“Mbak Septa?” Maya nyaris terpekik, lalu refleks membekap mulutnya.
Septa memberikan senyum tipis kepada Maya, lalu berbisik pelan, “Ngapain di sini?”
Maya tampak gelagapan. Beberapa kali dia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menghindari tatapan menyelidik dari Septa. Kemudian Maya menyerah saat Septa tak kunjung mengalihkan tatapannya.
“Aku… nggak sengaja lewat, tadinya mau ke kamar mandi, terus lihat Rasi duduk di situ sama Ustaz Faruq.” Maya mencoba menjelaskan apa yang sedang dilakukannya.
Tak ada jawaban dari Septa, gadis itu sibuk manggut-manggut sambil menunggu penjelasan lebih lanjut. Tentang Rasi dan Ustaz Faruq, Septa juga melihatnya. Yang tak habis dia pikirkan adalah, mengapa Maya tak langsung pergi kalau memang dia ingin ke kamar mandi?
“Menguping pembicaraan orang lain itu nggak sopan lho, May,” kata Septa akhirnya. “Kalau memang kamu nggak sengaja lewat, kenapa nggak nyapa Ustaz Faruq sekalian? Hm?”
Bibir Maya mengerucut. Sebelum sempat memberikan jawaban, Septa kembali menyela.
“Kamu, kan, yang melakukannya, May?”
Maya membelalak, lalu dengan cepat menoleh ke arah Septa. Matanya melayangkan tatapan penuh pertanyaan. “Maksud Mbak Septa?”
Septa tersenyum penuh arti. “Kamu tahu apa maksudku, May....”
Kali ini Maya menunduk, menyembunyikan wajahnya dan menghindar dari tatapan Septa yang membuatnya semakin merasa bersalah. Dia mendengar seluruh pembicaraan Rasi dengan Ustaz Faruq. Pembicaraan yang menyelinapkan rasa bersalah di hatinya. Dia tak menyangka Rasi mengalami semua hal itu.
Septa menumpukan tangannya ke pundak Maya, lalu menekannya perlahan. “Kamu tahu kan, Allah nggak suka sama orang yang berbohong? Apalagi orang yang mengucapkan fitnah. Ingat kan, bagaimana kejamnya fitnah?”
“Fitnah lebih kejam daripada membunuh,” sahut Maya lirih. Suaranya sudah hilang sepenuhnya ditelan rasa bersalah yang semakin membuncah di dadanya. Rasanya sesak, hatinya seolah ditimpa beban seberat ribuan ton.
“Nah, itu kamu tahu. Terus kenapa kamu melakukannya, May?”
Maya menoleh cepat ke arah Septa yang masih terus memberinya senyuman. “Mbak Septa… tahu?” tanyanya hati-hati.
Seulas senyum kembali muncul di bibir Septa. “Kenapa kamu melakukannya? Masih sebal sama Rasi?”
Maya mendengus. “Rasi iku mbencekno, Mbak![1] Usil banget dia itu. Aku kesal, makanya kubalas aja.”
“Terus, kamu senang setelah melakukannya?”
Pelan, Maya menggeleng. “Awalnya aku puas dan merasa sudah berhasil membalas Rasi, tapi waktu lihat dia ngerjain hukumannya aku nggak ngerasa senang lagi. Aku… kasihan sama dia….”
“Kalau gitu, berarti kamu harus minta maaf sama dia. Bilang kalau ini perbuatan kamu.” Septa memberi solusi yang membuat Maya kembali membelalakkan mata.
“Tapi, Mbaaaak… dia kan yang mulai duluan, kalau dia nggak usil aku juga nggak bakal balas kayak gini, kan?” Maya merajuk dan berusaha menolak solusi yang ditawarkan Septa.
“Maya, Rasi udah minta maaf kan, sama kamu? Sekarang giliran kamu dong.”
Maya berdecak, merasa kesal dengan dirinya sendiri.
“Terserah kalau kamu masih mau menyimpan semuanya sendiri dan melihat Rasi menanggung akibat dari perbuatan yang nggak dia lakukan. Kamu pasti masih ingat kan, tentang hukum tabur-tuai yang pernah diajarkan Ustaz Faruq?” Septa kembali menumpukan tangannya di atas pundak Maya. “Taburlah kebaikan, maka kamu akan menuai kebaikan pula.”
Maya tertegun. Matanya menatap nanar ke punggung Septa yang mulai beranjak meninggalkannya. Gadis kecil itu lalu menekan dadanya, terasa sesak dan berat di sana. Kemudian, dia tahu, beban itu sudah seharusnya dia lepaskan.
[1] Rasi itu menyebalkan, Mbak!