by Titikoma
13. Dia Lebih Membutuhkan Kalian
Lusi datang ke pondok tempat Rasi mengikuti pesantren kilat dengan tujuan untuk melihat perubahan pada diri anaknya itu. Namun, begitu sampai di asrama Lily, dia langsung mendapat kabar tak sedap dari Rasi. Tentang pencurian itu. Lusi tak habis pikir, apa sih yang ada di pikiran Rasi kali ini? Bukannya berubah, gadis itu malah makin menjadi.
“Jadi, di mana Rasi sekarang, Pak?” tanya Lusi gusar.
Ustaz Faruq menjawab dengan sebuah senyuman. “Sedang dipanggilkan, Bu. Sementara itu, ada yang ingin saya sampaikan sama Ibu.”
Lusi mengulum bibirnya yang saat ini tengah dipulas dengan lipstik berwarna jingga tua. “Pasti tentang pencurian yang dilakukan Rasi ya, Pak? Tolong maafkan anak saya, Pak. Dia nggak pernah seperti itu sebelumnya. Sejak enam bulan lalu dia berubah nakal.”
“Bu Lusi tahu kenapa Rasi seperti itu?”
Lusi mengernyit, tak mengerti.
“Maaf sebelumnya kalau saya terkesan lancang, saya hanya ingin yang terbaik untuk Rasi.”
“Saya masih nggak ngerti, Pak?”
“Dia lebih membutuhkan kalian, orangtuanya, daripada guru, ustaz, ataupun teman-temannya. Saat kalian memutuskan untuk bercerai, apa sebelumnya pernah berkonsultasi dengan ahlinya tentang dampaknya terhadap anak? Hukum perceraian itu makruh, sesuatu yang dibenci oleh Allah. Kalau masih bisa diselesaikan dengan baik-baik, kenapa sih, Bu, harus bercerai?”
Dahi Lusi semakin mengernyit. Rahangnya mengeras, tampak sekali dia tidak suka dikoreksi. “Pak Ustaz nggak punya hak untuk ikut campur urusan rumah tangga saya, ya,” sahutnya ketus.
Ustaz Faruq hanya tersenyum. “Benar, Bu. Saya bicara di sini dengan kapasitas saya sebagai seorang guru. Dan yang saya lihat, Rasi memang hanya membutuhkan kehadiran kedua orangtuanya, bukan yang lain.”
“Keputusan saya bercerai sudah final, Pak.” Lusi berkata dingin.
“Baik kalau memang keputusan itu sudah nggak bisa diubah, saya juga tidak berhak memaksa.” Sekali lagi, Ustaz Faruq tersenyum. “Rasi berhak bahagia, Bu. Di usianya, dia sudah memiliki pendapat sendiri. Ada baiknya tanyakan apa yang membuatnya bahagia sebelum membuat sebuah keputusan. Masa kanak-kanak nggak akan terulang, apa nggak sayang kalau masa itu terlewat dengan kenyataan pahit dan perasaan seolah dibuang oleh orangtua?”
Lusi tertegun. Dia ingin menyela, tapi lidahnya kelu. Membicarakan kebahagiaan Rasi memang selalu membuatnya kehilangan kata-kata. Dia bahkan tidak tahu saat ini apa yang menjadi hobi dan kegemaran anaknya itu. Masihkah seputar astronomi dan dunia bintang? Atau malah sudah berubah ke lain hal?
Ustaz Faruq melanjutkan, “Yang sekarang Rasi rasakan adalah, dia merasa nggak disayangi sama orangtuanya. Dia merasa sudah dibuang. Kemarin malam dia bercerita banyak sama saya. Tentang masa kecilnya yang bahagia bersama kedua orangtuanya. Saya nggak bisa bayangin bagaimana hancurnya hati Rasi kalau tahu orangtuanya tetap pada ego masing-masing.”
Lusi menunduk, lalu tangannya menyibakkan anak rambut ke belakang telinga. Saat mengangkat wajah, setetes air terjatuh dari pelupuk matanya. Dia juga tahu itu. Dia tahu benar betapa hancurnya hati Rasi ketika mendengar tentang berita perceraiannya. Hanya saja, dia membutakan diri. Berusaha mengisi dirinya dengan pikiran positif, bahwa Rasi anak yang kuat dan tegar.
“Jangan biarkan anak-anak menjadi korban keegoisan orangtua, Bu.” Itu pesan terakhir dari Ustaz Faruq sebelum Rasi datang menemui mamanya.
***
Ada perasaan lega saat melihat Rasi berdiri di hadapannya. Lusi langsung menghambur memeluk dan menciumi wajah gadis kesayangannya. Rasi tak berusaha menghindar meski sebenarnya risih, ataupun membalas perlakuan mamanya meski sebenarnya ingin. Dia hanya diam mematung, tak merespons apa pun yang dilakukan mamanya.
Baru setelah mamanya bicara, mengucapkan kata-kata maaf, air mata Rasi tak lagi dapat dibendung. Kedua ibu dan anak itu bertangis-tangisan, saling berpelukan di hadapan Ustaz Faruq dan Septa.
“Maafin Mama, ya, Nak,” ucap Lusi untuk kesekian kalinya. “Mama nggak pernah peduliin perasaan kamu, Mama egois.”
“Maafin Rasi juga, Ma, karena udah bikin Mama malu.” Rasi sesenggukan menahan isak. Berkali-kali air mata itu diusap, berkali-kali pula dia masih terjatuh.
“Ayah juga minta maaf, ya.”
Rasi dan Lusi kompak menoleh ke arah pintu masuk. Sebuah suara bariton tegas yang familier menyapa telinga mereka. Rasi langsung menghambur memeluk ayahnya saat melihat sosok itu di ambang pintu. Dia yakin sekali pasti Ustaz Faruq yang memanggil ayahnya. Malam itu beliau sempat menanyakan nomor ponsel ayahnya, beruntung sekali Rasi hafal nomor ayah maupun nomor mamanya.
Lusi menatap suaminya dengan pandangan nanar. Mulutnya terkatup rapat, tak hendak mengatakan sepatah kata pun. Suaminya, yang masih memeluk Rasi dengan penuh kerinduan, menemukan tatapan itu. Kemudian, setelah melepas Rasi, dia beranjak menghampiri Lusi.
“Aku minta maaf,” ujarnya. “Harusnya aku memperjuangkan kalian, bukannya menyerah seperti seorang pengecut.”
“Apa wanita itu meninggalkanmu lalu kamu mau kembali pada kami?” sahut Lusi ketus. Wanita itu memalingkan wajahnya untuk mengurai air mata yang lancang terlepas agar tak diketahui suaminya.
“Jawabanku selalu sama. Aku nggak punya wanita selain kamu dan Rasi. Mungkin aku memang berengsek, tapi aku bukan pembohong.”
Lusi tak dapat menyembunyikan air matanya lagi. Ketegarannya runtuh seketika. Meski ingin, nyatanya dia tak bisa memungkiri bahwa dirinya merindukan suara bariton itu selama enam bulan mereka berpisah rumah.
“Ayah nggak pernah bohong, Ma. Sama kayak Rasi. Karena itu memang ajaran Ayah. Sejak kecil Ayah selalu bilang sama Rasi, kita boleh jadi nakal atau menyebalkan, tapi jangan jadi pembohong. Dan ajaran itu selalu Rasi pegang sampai sekarang.”
“Kalau gitu kenapa kamu bohong dan bilang enggak mencuri uang di sini, padahal buktinya ada di bukumu?” sergah Lusi jengah.
“Rasi enggak bohong. Rasi emang nggak nyuri, kok. Rasi nggak peduli kalau orang lain nggak percaya, yang penting Rasi nggak bohong.”
Ustaz Faruq baru saja akan menyela saat Maya tiba-tiba masuk ke ruangan. Ada jeda yang cukup lama setelah kedatangan Maya. Gadis kecil itu terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi masih ragu. Ada kilat ketakutan bercampur cemas dan rasa bersalah di matanya yang bulat.
“Ada apa, Maya?” Ustaz Faruq memutuskan untuk bertanya.