kastil piano
Kastil Piano

Kastil Piano

Reads
129
Votes
0
Parts
8
Vote
by Titikoma

1. Perjanjian Dengan Kakek Peyot

“Selina, Sayang! Makan dulu.” Ibu Selina berteriak dari bawah. Gadis itu setengah berlari menuruni tangga.
“Nggak usah,” jawab Selina dingin. Enggan melihat Ibunya.
“Kamu nggak ngehargain Mama banget, sih? Mama udah capek-capek bangun pagi masak buat kamu.” Ibu menahan geram, melihat putrinya yang bahkan salim saja tidak, malah nyelonong pergi.
“Selina!” Tak didengarkan. Selina cuek saja dengan teriakan Ibunya, ia segera mengambil sepeda di garasi sebelah induk rumah. Mengayuh kuat.
“Dasar anak itu!” Ibu Selina menggeram melihat tingkah anaknya. Selalu menyalahkan kenapa dia harus memiliki seorang anak sebengal Selina. Hobinya melawan, susah diatur dan tak pernah menghargai kerja kerasnya untuk membahagiakan putri semata wayang itu.
***
Belum reda rasa kesal Selina kepada Ibunya, baru saja keluar gerbang rumah, tahu-tahu muncul sepeda lain dari arah berlawanan dan hampir membuat ia terjungkal ke got kompleks.
“Sialan! Lo sengaja mau bikin gue celaka?!” semprot Selina. Gadis itu menebar aura horor yang dibalas tatapan tajam cowok di depannya.
“Atau lo yang sengaja? Mau bikin gue cidera biar nggak bisa ikut lomba balap sepeda tahun ini?” Tatapan sinis dilayangkan tetangga super menyebalkan Selina. Namanya Fandi—oke. Sensor untuk namanya. Selina begitu anti untuk menyebut nama cowok ini. Dia lebih senang memanggilnya “Kakek Peyot” yang hobinya senang melihat Selina sengsara.
“Picik banget gue, yak!” Selina tertawa sinis. “Gue bisa menang tanpa harus ngelakuin hal senista itu,” remehnya. Fandi merasa panas melihat cara pandang Selina. Ia balas tersenyum tak kalah sinis.
“Mau buktikan?” tantangnya. Selina membusungkan dada. Dia paling tidak bisa mendapat tantangan seperti ini. Segala hal yang menyangkut harga dirinya, Selina akan menerima risiko apa pun demi harga diri tak jatuh. Karena satu hal yang paling dia benci : “Diremehkan!”
“Gue bukan pecundang!” Selina menaikkan ujung bibirnya. Fandi menatap sengit.
“Kita buktikan siapa pecundang sebenarnya!” Secepat kilat dua remaja mirip sepasang kutub magnet yang sama itu—saling tolak-menolak dan tidak akan pernah menyatu—menghadapkan sepedanya ke dua jalur berlawanan. Karena sesuai kesepakatan, meski mereka satu sekolah, Fandi dan Selina berjanji untuk tak saling berangkat di satu jalur yang sama.
“Bersediaaa ...!” seru Fandi. “Mulai!” Secepat kilat Selina mengayuh kuat-kuat kayuhan pertamanya. Ia begitu lihai mengendarai sepeda.
“Minggir!” teriak Selina pada barisan ibu-ibu yang berkerumun membeli sayur. Beberapa mengumpat marah menyerapah dengan aksinya yang hampir saja menyerempet gerobak tukang sayur. Sreeet! Selina mengerem sepedanya di belokan depan sampai berdecit keras antara gesekan ban dan paving jalan. Ia bergaya selayaknya pembalap sepeda profesional. Mengayuh kuat-kuat lagi sampai, yeah! Selina mencapai gang selatan kompleks. Matanya langsung menoleh ke ujung gang utara, di mana Fandi juga sampai pada waktu yang sama.
“Lo nggak akan bisa ngalahin gue!” Fandi terkekeh. Dada Selina naik turun, menahan emosi.
“Jangan bangga dulu,” sergahnya. Segera mengayuh lebih dulu dengan napas tak beraturan. Payah! Ia mengomel dalam hati. Baru juga jarak segitu. Dia sudah ngos-ngosan. Sementara Fandi tampak lebih santai, tak seambisius Selina. Mereka memilih dua jalur memutar. Jika Selina lewat persawahan yang lebih sepi, Fandi lewat jalur pertokoan. Ini jalanan rutin, yang mereka pilih dalam perjanjian yang di simpan rapi di “Rumah Bintang”—rumah pohon yang berada di tengah-tengah antara rumah Selina dan rumah Fandi.
Selina melihat kecepatannya dengan menghitung perdetik di jam digital. Senyum terukir di bibirnya begitu tampak perempatan lampu merah depan.
“Rasakan cowok sombong!” Selina terkekeh. Sebentar lagi! sedikit lagi! ayo cepat-cepat! Selina makin bersemangat mengayuh sepedanya habis-habisan. Keberuntungan bagi Selina saat melihat lampu hijau menyala.
“Yes!” mantapnya begitu melewati perempatan. Ia menoleh ke arah utara, di mana Fandi harusnya sudah menyembul dari sana. Tapi tak ada tanda-tanda kemunculan cowok itu.
Gue menang! Batin Selina tersenyum bangga. Sebelum senyumnya surut karena melihat sesosok tengah menantinya tepat di depan gerbang sambil selebrasi.
“Gue turut prihatin,” ujar Fandi dengan senyum remeh. Lalu mengayuh sepedanya menuju parkiran masih dengan gaya selebrasi. Merentangkan tangan, bersiul-siul penuh kemenangan.
Selina memukul stang sepedanya.
“Sialan! Kenapa sih, gue nggak pernah menang lawan dia!”
***
Muak Selina melihat kerumunan cewek-cewek norak menyambut kemenangan Fandi di parkiran. Seorang yang tak kalah menyebalkan bagi Selina, bersorak kegirangan.
“Kamu pasti balapan lagi, ya, sama Selina.” Yasinta langsung nemplok ke lengan Fandi diikuti para dayangnya. Spontan, membuat Selina ingin muntah dengan tingkah genit mereka.
“Kayak nggak ada cowok lain aja. Yang lebih keren dan lebih layak untuk diidolakan.” Selina tersenyum sinis memandang rendah Yasinta CS. Cowok sombong seperti Fandi, akan semakin besar saja kepalanya melihat ia begitu dipuja-puja karena kemenangan tadi.
“Kamu hebat bangeeet!” Yasinta menatap penuh kekaguman. Bukan dia saja, tapi teman-temannya juga. Menatap kagum dan gemas seolah Fandi seorang bayi yang begitu menarik dan lucu. Itu benar-benar menggelikan bagi Selina. Sekaligus—menjijikkan!
“Ah, terlalu berlebihan.” Fandi menggaruk belakang kepalanya saat menerima pujian. Matanya menangkap Selina yang langsung melengos ketahuan memandanginya. Cowok itu menyeringai.
“Kalian udah pada makan belum? Gue belum nih. Ke kantin, yuk!” Ajakan Fandi membuat cewek-cewek itu semakin buas mengerubutinya. Selina menghentakkan kaki kesal. Pasti Fandi ingin merayakan kemenangan telah mengalahkannya untuk yang kesekian kali. Pake suara dikeras-kerasin lagi! Selina tahu, Fandi sedang berusaha pamer kepadanya.
Dengan muka bete, Selina duduk di bangkunya membuka tas kasar. Lalu mengambil black note—bukan catatan hitam seperti milik L Ryuzaki. Yang bisa mengabulkan apa saja. Tapi jujur ia terinspirasi dari sana, untuk membuat buku catatan hitam juga. Hanya, catatan ini tentang kekalahannya balap sepeda dengan Fandi.
Komplit. Tertulis di sana hari apa tanggal berapa jam berapa, Selina menghitung berapa kali kalah, seri sampai menang. Hanya saja yang paling banyak tertulis di sana adalah—kalah.
Selina benci kekalahan, benci diremehkan. Ia menutup kasar bukunya, menenggelamkan wajah di atas buku.
Pokoknya, dia harus mengalahkan cowok itu suatu saat, bagaimanapun caranya! Titik!
***
Istirahat pertama, seperti biasa Selina ditemani dua sohibnya Kikan dan Tina duduk di tongkrongan wajib mereka. Yaitu di kursi panjang, dekat mading. Biar ala-ala anak rajin, nongkrongnya depan mading. Padahal, tiga cewek itu mana peduli dengan setiap tulisan yang tertempel di sana.
“Hanya basa-basi,” komentar Kikan pada tulisan-tulisan di mading, sambil mengemut lolipopnya. Cewek dengan tubuh gembul yang paling suka mengkonsumsi gula. Berkali-kali Selina dan Tina berusaha mengingatkan, sampai mereka menyerah dan berhenti, kalau kebanyakan gula itu tidak baik. Tapi Kikan tak peduli.
“Hidup cuma sekali. Gue ngerasa hidup gue terlalu pahit. Jadi itu sebabnya gue pengen makan yang manis-manis.” Antara miris dan prihatin, Selina dan Tina saling pandang. Karena tubuhnya yang gemuk, Kikan sejak kecil dibully. Selalu dijadikan lelucon yang membahas tentang fisiknya. Bahkan ibunya lebih sayang kepada adik Kikan yang saat ini menjadi model di salah satu majalah remaja terkenal. Meski masih SMP.
"Sebenarnya, gue bingung gue anak siapa,” celetuk Kikan dengan mulut sibuk menjilati lolipopnya.
Selina mengernyit. “Kok lo ngomong begitu nggak ada sedih-sedihnya?”
“Gue aja, yang denger kisah lo, mau nangis nih.” Tina menatap berkaca-kaca. Nasib malang Kikan tak beda jauh dengan dirinya.
“Kan gue udah bilang, selama ada yang manis-manis hidup gue bakal selalu happy.” Masih tak mengenyahkan lolipop berbentuk hati dari bibirnya yang tebal. Sejak ayahnya pergi meninggalkan rumah dan tak kembali, Kikan selalu diperlakukan tak adil oleh ibunya.
“Bener apa yang dibilang Kikan. Buat apa kita sedih-sedih.” Tina berkata lebih semangat—lebih tepatnya menyemangati diri.
“Nasib gue juga nggak kalah mengenaskan dari dia,” lanjutnya. Berkebalikan dari Kikan yang gembul dan pendek. Tina sebaliknya. Ia gadis berkulit kuning langsat, rambut keriting mengembang dan mata belok bulat teletubbies. Tina sering dibully karena nilai-nilainya yang jelek dan selalu merah.
“Padahal gue udah belajar mati-matian,” jelasnya putus asa. Julukan paling menyakitkan hatinya adalah “idiot”. Sama seperti Kikan, Tina dikucilkan di keluarganya sendiri. Ia punya seorang Kakak yang saat ini bersekolah di Jepang karena prestasinya. Sedang adik Tina, selalu dinobatkan ranking satu. Sebagai juara bertahan sejak SD sampai dia kelas satu SMA. Namanya Salma. Dan saat ini menjadi anggota tetap geng “Starlight” pimpinan Yasinta. Tina dan adiknya hanya berjarak satu tahun. Mereka terlahir dari rahim yang sama hanya benar-benar seperti langit dan bumi. Salma yang cantik dan menjadi salah satu cewek beken di sekolah. Sedang Tina adalah orang-orang terpinggirkan. Tak kasat mata.
Setiap tingkah anak-anak Starlight selalu menarik perhatian. Bahkan ketika mereka berjalan saja, mata cowok seperti mau copot. Satu adegan mengundang perhatian dari koridor sebelah. Yasinta berjalan kerepotan dengan buku-buku di tangannya sampai terjatuh. Beberapa cowok segera datang dan berniat menggantikan kesusahannya membawakan buku-buku itu. Seolah tak membiarkan gadis secantik Yasinta, kecapaian.
“Jadi cewek populer enak, ya. Baru buku jatuh aja, udah pada langsung bantuin,” cetus Tina.
“Gue nggak ngebayangin kalo itu gue.” Kikan sibuk memperhatikan dengan lidah terus-menerus menjilat lolipopnya. Yang segera disambut kekehan lengking Tina.
“Bahkan lo pingsan sekalipun, mana peduli mereka. Hahaha.”
Kikan menjitak Tina dengan tangannya yang empuk penuh daging. Meski begitu tetap terasa sakit. “Apaan sih!” Tina mengelak saat Kikan hendak menjitak untuk kedua kalinya.
Selina mengamati Yasinta yang dia pikir, itu hanyalah caper. Matanya dari tadi berganti-ganti antara ke Yasinta dan ke lapangan tempat di mana Yasinta memusatkan pandangan. Fandi. Cowok itu sibuk memantulkan bola dan menembak ke dalam ring.
“Dih.” tepat sesuai dugaan Selina. Yasinta hanyalah caper ke cowok sombong tingkat nasional itu.
Merasa dilihati, Fandi balas tersenyum pada Yasinta. Tampak rona-rona merah di pipinya sudah nyaris semerah tomat. Apalagi saat Fandi menghampiri gadis itu, karena berusaha membawa buku kerepotan. Dia menolak siapa pun yang ingin menolongnya. Dengan muka malaikat bilang “Nggak ingin ngerepotin,” sambil tersenyum cantik.
Jelaslah dia nggak mau ngerepotin! Orang dia cuma ingin ngerepotin satu orang! Gerutu Selina dalam hati.
“Mau dibantuin?” Yasinta menunduk menatap buku-buku seolah berpikir.
“Ehm ... eh. Emang nggak ngerepotin?” tanyanya ragu-ragu.
“Bukan masalah.” Fandi berkata lembut. Siapa sih yang berani membentak gadis secantik Yasinta? Yang sudah mirip artis Hollywood dengan rambut cokelat kepirangan.
“Kakek Tua bodoh! Norak!” Selina meninju bangku, menahan geramnya. Apa dia tak melihat tingkah ganjen Yasinta yang benar-benar mencari perhatian padanya? Kecuali cowok itu memang tak ada bedanya dengan Yasinta? Sama-sama menginginkan? Dan mereka akan menjadi pasangan paling menjijikan di mata Selina. Sok malaikat, dan bertampang memuakkan.
Selina menghentakkan kaki kesal, beranjak masuk ke kelas. Tina dan Kikan berhenti bertengkar menatap bingung sahabatnya. “Lo kenapa, Sel?”
“PMS!” jawab Selina ngasal.
***
Dua orang lelaki keluar dari paviliun rumah Selina. Di rumah ini ada tiga bangunan. Rumah induk, garasi yang berada tepat di sebelah dan tersambung dengan rumah induk. Terakhir, satu bangunan kesayangan mendiang Ayah Selina yang—menurut Selina—disalahgunakan oleh Ibunya.
“Terimakasih sudah mempercayakan kepada saya. Semoga, pelayanan saya memuaskan.” Mama Selina dengan pakaian gemerlap hitam, dan mengikat kepalanya dengan kain hitam penuh payet. Lipstik hitam, ditambah dengan make-up bernuansa gotik mengantar para tamunya ke halaman.
“Itu siapa? Cantik ya.” salah seorang menatap Selina yang menuntun sepeda gunungnya.
“Dia putri saya,” jelas Ibu Selina tersenyum. Meski dari wajahnya, Selina sudah melayangkan tatapan permusuhan kepada Ibu dan dua kliennya.
“Sayang, ayo kasih salam sama tamu Mama,” pinta Ibu Selina. Tapi Selina malah menatap sengit. Mengabaikan permintaan Ibunya tanpa sepatah kata, nyelonong masuk ke garasi.
“Selinaaa!” Merasa malu dengan tingkah Selina yang tak sopan kepada dua tamunya, Ibu Selina meminta maaf. “Maafkan tingkah Putri saya, Tuan,” ujarnya dengan nada berat penuh penyesalan. Dua laki-laki itu malah terkekeh sama sekali tak tersinggung.
“Wajar, Madam! Anak-anak.” Ibu Selina menarik napas lega dengan sikap mulia tamunya yang sama sekali tak marah. Ia segera masuk ke dalam rumah begitu tamunya pergi. menaiki tangga cepat, menggedor kamar Selina.
“Selina! Buka!” hardiknya. “Buka Selina! Kamu semakin lama semakin susah diatur, ya! Selinaaa!”
Di kamar, Selina berusaha menutup telinganya dengan bantal. Sampai dia tak tahan karena Ibunya tak menyerah terus mengganggunya. Ia akhirnya membuka pintu. Ibu Selina terdiam menahan amarah, melihat wajah putrinya yang masih belum berganti seragam.
“Kamu boleh nggak hormat sama Mama. Kamu boleh marah sama Mama. Kamu boleh cuekin Mama. Tapi tidak tamu-tamu Mama!” Ibu Selina melebarkan mata gotiknya. Yang sama sekali tak membuat Selina takut. Malah membuang muka, malas meladeni.
“Terus?” Mata Ibu Selina semakin melotot lebih kencang melihat respon anaknya.
“Kamuuu!” Sudah tak tahan. Tangan itu melayang, memberi stempel pada pipi kiri Selina. Plak! Ibu Selina berusaha mengontrol diri, supaya dia tidak mengulangi lagi tamparannya. Bukannya menangis, Selina sambil memegang pipinya yang terasa panas menatap sang Ibu dengan pandangan tak mempercayai hal ini.
“Oh, jadi sekarang Mama sudah main tangan? Demi mereka? Hanya demi mereka Mama pukul aku?” Seperti baru tersadar, Ibu Selina melihat telapak tangannya. Bersamaan dengan suara gebrakan Putrinya menutup pintu.
“Selina, Sayang! Maafkan Mama. Mama nggak bermaksud. Selina, buka Sayang.” kali ini suaranya lebih lembut. tapi Selina sudah meringkuk di atas kasur dengan telinga ditutup bantal.
“Aku benci Mama!”
“Sayang, maafkan, Mama. Mama melakukan ini, demi kebaikanmu.” Ibu Selina merasa bersalah. Selama ini, semarah-marahnya ia pada Selina, belum pernah sampai memukul. Selina menutup telinga rapat-rapat, enggan mendengarkan setiap ucapan Mamanya sampai tak ada lagi gedoran pintu. Dan hanya keheningan yang menyergapnya.
***
Usai pertengkaran tadi siang, Selina malas keluar kamar. Dari kaca jendela, ia mengamati mobil Ibunya yang keluar dari garasi. Tahu Ibunya tak ada, perlahan ia membuka pintu. Turun ke bawah menemui Mbok Jum. Asisten rumah tangga di rumah Selina. Seorang perempuan yang selalu membanggakan kebaya dan tembang-tembang jawa warisan peradaban.
“Eh, Non Selina.” wanita tua itu segera menghampiri Selina yang berdiri di anak tangga kedua lantai dasar.
“Akhirnya Nona keluar juga. Mbok Jum sudah masakin masakan kesukaan Nona. Martabak kol,” infonya dengan mata berbinar. “Tenang, Nyonya pergi. Mumpung Nyonya pergi, Non makan yuk!” rayu Mbok Jum.
“Mama pergi ke mana?”
“Katanya urusan bisnis,” jelas Mbok Jum. Seketika membuat emosi Selina meluap lagi. Pasti nemuin klien lagi! Orang-orang bodoh yang mau-maunya ditipu Mama! Tapi khusus hari ini, ia sedang tak ingin marah-marah. Setelah tenaganya habis digunakan untuk menangis.
“Ayo Nona makan martabaknya. Tapi, ada syaratnya. Nona habisin dulu nasi gorengnya, ya,” lembut Mbok Jum. Ia tahu, dan paling pengertian. Selina tak menyukai Ibunya. Dan akan menahan lapar mati-matian karena tak ingin diremehkan oleh Ibunya.
“Bentar lagi juga keluar. Bentar lagi juga makan. Nggak mungkin nasi yang nyari orangnya. Paling orangnya yang nyari nasinya,” sindir Ibunya tiap kali mereka bertengkar dan Selina memutuskan untuk mengurung diri di kamar.
“Selina nggak laper, Mbok,” lirih Selina serak. Ia malah melangkah menuju pintu utama.
“Tapi, Non. Non kan belum makan sejak pulang sekolah. Terus siapa yang mau ngabisin.” Mbok Jum bernada sedih.
“Mbok aja,” tandas Selina sebelum keluar dari pintu utama. Langkahnya menyusuri halaman paving, mendekati pohon ek besar, yang telah didesain sedemikian rupa oleh mendiang Ayah Selina. Pohon ini, berada di halaman rumah Selina namun cabangnya sampai ke rumah Fandi. Bahkan Ayah Selina membuatkan dua tangga di sana. Tangga tali, di dua sisi tembok. Baik Fandi maupun Selina, bisa naik dari halaman masing-masing, yang berbatas tembok. perlahan, ia menginjak satu persatu anak tangga.
Desain interior yang keren bagi Selina. Ayahnya adalah seorang arsitek. Ia tersenyum diam-diam merasa bangga kalau mengingat. Dengan papan-papan cokelat penuh stiker bintang yang tertempel di setiap bagian. Tirai lampu kelap-kelip, dan lampu bohlam sebagai penerang. Selina menekan sakelar, menyalakan lampu-lampu itu. Ia duduk memeluk lutut. Hanya di sini, di sinilah tempatnya menenangkan diri. Mengingat masa-masa bahagia yang terhenti saat usianya 6 tahun. Setelah kematian Ayah, hidupnya benar-benar kelam. Ia kehilangan semuanya. Ibunya, dan teman-temannya. Selina menjadi terbully. Terlebih saat Ibunya memilih bekerja menjadi peramal. Selina benci Ibunya, sangat membencinya. Tak ada lagi yang menginginkannya. Teman-teman menjauhi—kecuali Tina dan Kikan—Bahkan Fandi, teman terbaik yang pernah dia punya, menjadi begitu menyebalkan. Selina jadi ingat sesuatu.
Ia berdiri, mengambil sesuatu di laci atas Rumah Bintang. Sebuah botol bening berisi gulungan kertas yang terjaga sampai sekarang. Selina membuka tutupnya, dan mengangsurkan isi botol itu keluar, lalu membaca ulang.
Perjanjian Permusuhan
Mulai hari ini, tanggal 27 Juli 2007, kami resmi bermusuhan. Bahwa :
Selina akan selalu memanggil Fandi Kakek Peyot
Fandi akan selalu memanggil Selina Nenek Angry
Kakek Peyot nggak boleh lewat di jalan yang sama dengan Nenek Angry.
Nenek Angry nggak boleh memukul Kakek Peyot.
Kakek Peyot nggak boleh main ke rumah Nenek Angry.
Nenek Angry berjanji nggak bakal ke rumah Kakek Peyot.
Kakek Peyot harus jauh-jauh dari Nenek Angry kalau nggak mau dipukul.
Ia masih ingat, 10 tahun yang lalu, perjanjian itu ditulis. Dengan tulisan cakar ayam dan dibubuhi tanda tangan di sana. Mereka sepakat untuk menjadi musuh selamanya. Selina ingat kenapa perjanjian itu dibuat dan dimulai. Itu semua karena Fandi ikut-ikutan mengejeknya sebagai putri peramal. Membuat Selina marah dan memukul Fandi.
Cowok itu mengalami hidung berdarah dan pulang menangis saat itu juga. Malamnya, mereka bertemu untuk yang terakhir kalinya di rumah Bintang. Bahkan Selina juga membuat jadwal, hari apa saja, Fandi boleh naik ke Rumah Bintang. Semua sudah terjadwal. Jika Fandi hanya boleh mengunjungi rumah Bintang di malam, Senin, Rabu, dan Jumat. Sisanya Selina. Sedang malam minggu adalah malam terlarang siapa pun untuk naik. Tapi malam ini Selina melanggar aturan itu. habis mau bagaimana lagi. ia sedang kacau, dan hanya ini satu-satunya tempat paling menenangkan. Aslinya Selina sering melanggar sih—ssst! Sejauh ini, ia tak pernah ketahuan.
Suara mobil berhenti, membuyarkan lamunannya. Selina melongok dari jendela kecil Rumah Bintang. Mobil itu berhenti di depan rumah Fandi. Benzz merah keluaran terbaru yang sudah tak asing lagi. Itu mobil Yasinta. Tak lama berikutnya, Fandi turun dari mobil itu. Yasinta, membuka jendela mobilnya. Tersenyum. Menumpukan kedua lengannya di jendela pintu.
“Makasih, ya. Udah mau nemenin malam ini.” Yasinta berkata dengan senyum tak lepas dari wajahnya. Bahagia banget, kayaknya!
“Sama-sama.” Fandi sedikit membungkuk, menyamakan tingginya dengan tinggi mobil.
“Kapan-kapan kalau aku ajak keluar lagi, mau, ya?” Yasinta berkata dengan suara manja. Membuat Selina geli sendiri mendengarnya. Menjijikan!
“Boleh dong!” jawab Fandi tak kalah hangat. Benar-benar sepasang manusia ganjen. Sama-sama alay, norak, menjijikan dan serta mertanya. Selina mendengus mengamati. Bibirnya terkembang senyum licik. Ia turun, memunguti kerikil, lalu naik lagi. diam-diam, Selina melempari Fandi dan tepat mengenai punggung cowok itu.
“Kenapa?” tanya Yasinta saat melihat Fandi tolah-toleh kebingungan dan tampak terkejut.
“Enggak. Nggak apa-apa,” ujar Fandi dengan senyuman yang dipaksakan. Matanya masih mengedar mencari siapa yang telah menimpuknya. Di atas pohon, Selina menutup mulut, mati-matian menahan tawa.
“Ya udah. Aku pulang dulu, ya. Daagh, Fandi!” Yasinta melakukan kiss bye. Membuat mata Selina melebar dan menggeleng tak habis pikir.
“Bisa ya, cewek sepopuler Yasinta kecentilan begitu,” sengitnya. Fandi balas tersenyum melambaikan tangan, mengiringi mobil yang semakin menjauh. Sekali lagi, Selina melempar kerikil.
“Aw!” Fandi mengelus kepalanya. “Siapa sih yang iseng!” Cowok itu tolah-toleh kesal. Tak ada siapa pun. Ia bergidik dan buru-buru masuk ke dalam rumah.
“Rasain cowok sombong!” gumam Selina disusul tawa hebat.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices