Kastil Piano

Reads
144
Votes
0
Parts
8
Vote
by Titikoma

2. Putri Peramal

Sekolah ramai. Beberapa anak bergerombol membicarakan tampak antusias. Selina mengamati hampir seisi sekolah begitu semangat.
“Ada apa sih?” tanyanya pada Tina dan Kikan yang spontan mengangkat bahu.
“Apa cuma kita yang ketinggalan berita heboh hari ini?” Kikan bertanya balik.
“Coba tanya.” Tina meminta Kikan untuk bertanya pada gerombolan gadis yang sibuk bercerita heboh. Kikan mendekati mereka. “Woy! Ada apa sih?” Tak ada sahutan. Entah. Apakah mereka tak melihat Kikan yang gedhenya sudah mirip bajaj atau memang berusaha mengabaikan.
“Lo semua budeg, ya?” Kikan kehabisan kesabaran. Dari tadi ngomong tak ada yang menanggapi. Selina menarik napas menyaksikan ini.
“Kikan tanya ada apa?” Kali ini Selina maju dan mencengkeram kuat lengan salah satu cewek sampai meringis kesakitan.
“Aduh, aduh. Ampun, Sel. Ampun. Gue nggak denger.” cewek itu mohon-mohon untuk dilepaskan.
“Makanya kalau ada orang nanya, dengerin. Dan jawab!” angkuh Selina. “Sekarang jawab ada apa, baru gue lepasin,” lanjutnya.
“Yasinta ultah,” kata cewek itu. “Sekarang lepasin dong, pliiss!” Cewek itu mohon-mohon. Selina sedikit memelintir kemudian menghempaskan. Cewek itu meringis kesakitan.
“Jawab gitu aja susah amat!” sungut Selina. Cewek itu mengibas-ngibaskan tangannya kesakitan dibantu teman-temannya yang lain.
“Lo bisa nggak jadi cewek jangan kasar!” Tahu-tahu Fandi muncul menengahi. Entah dari mana datangnya. Selina langsung balik badan. Bersikap menantang cowok di belakangnya.
“Lo ngapain ikut campur?”
Dibela seperti itu, cewek tadi langsung bersembunyi di belakang Fandi dengan muka dimelas-melasin. Seolah Selina monster jahat, dan Fandi adalah penyelamat. Panglima yang siap melindungi tuan putrinya.
Fandi tersenyum sinis. “Gue heran. Ada ya cewek sebrutal lo!” Fandi berbicara tenang. Selina sudah panas duluan, ia merangsek maju.
“Apa? Mau mukul? Lo lupa sama perjanjian kita?” Fandi malah meledek. Ia memberikan pipinya dan menunjuk. “Nih, pukul! Cuma pecundang yang berani ngelanggar aturan!”
Selina tak tahu harus bagaimana. Ia menghempaskan genggaman tangan kesal. Dari semua orang paling menyebalkan, hanya Fandi. Satu-satunya orang yang tak bisa ia pukul sesuai perjanjian permusuhan. Karena Selina, takkan membuat dirinya dilabeli pecundang oleh makhluk sesombong dia.
“Mending kita pergi aja,” bisik Kikan. Tina juga merangkul Selina. Menarik dan menjauhkan cewek itu dari Fandi sebelum terjadi perang dunia ketiga.
“Aduh, sakit! Selina kasar banget.” Cewek tadi mengaduh. Yang langsung mendapat perhatian Fandi. “Mananya yang sakit?” Semakin muaklah Selina melihat tingkah Fandi yang sok malaikat. Kegatelan!
***
Di kantin, Selina menenangkan diri.
“Sabar, Sel. Sabar!” Tina menenangkan. Sebagai pendingin, ia membelikan Selina jus jambu kesukaannya. Ya ... tak apalah dia harus merogoh kantong. Dari pada Selina ngamuk dan semua orang jadi telor mata sapi, berabe entar!
“Gue nggak tau kenapa tuh cowok selalu ikut campur urusan gue.” Selina meremat gelas plastik jus jambu yang tinggal setengah dan hampir saja tumpah.
“Aduh, Sel. Itu jus nggak perlu diremat juga kali. Kalau lo nggak mau, sini kasih gue. Mubazir tau,” sergah Tina. Bukannya apa. Dia sayang kalau duitnya harus dibuang dengan percuma.
“Gue tuh kesel!” Selina ganti menggebrak meja. Membuat lolipop Kikan hampir terlonjak dari genggamannya karena kaget. Kalau Selina marah seperti ini, Kikan lebih memilih mendiamkan. Nanti juga reda sendiri. Berbeda dengan Tina berusaha memberikan siraman-siraman rohani, agar Selina menjadi lebih tenang.
Dari arah pintu kantin. Gerombolan Yasinta datang. Selina melengos. Membuang pandang jauh-jauh enggan melihat makhluk penuh drama itu di sana. Setelah Yasinta duduk, Selina mengajak cabut teman-temannya sebelum dia bete duluan di sini.
Tapi saat kakinya melangkah .... Brukk!
Suara nyaring dari satu tempat itu, langsung membuat seluruh siswa menoleh. Selina jatuh tengkurap dengan kepala terbentur meja. Sampai meja itu bergeser terdesak oleh dorongan tubuhnya.
Ups, sorry!” Suara sok lemah lembut itu, ingin sekali Selina meraup mukanya. Menjambak dan menghantam-hantamkannya ke meja. Ia menggenggam kuat, segera bangkit. Beberapa mentertawakan terang-terangan. Beberapa hanya berani mengulum senyum karena takut ditelan bulat-bulat oleh Selina. Sebagian cuek tak peduli. Hanya menoleh sekilas dan menganggap angin lalu.
“Lo sengaja ngejegal gue, ya!” Selina melotot pada Yasinta yang hanya duduk setengah meter di depannya.
“Ehm ... maaf, Sel. Aku nggak tau kalau kamu mau lewat. Kenapa kamu nggak liat jalannya?” Yasinta berkata sambil menggigit bibir. Memasang muka bersalah.
“Lo!” Selina menunjuk muka cewek itu sebelum menggebrak meja.
“Aku benar-benar minta maaf. Nggak sengaja.” Yasinta memohon, berdiri menyeimbangi tinggi Selina.
“Bacot lo! Sok elite. Sok alim. Sok malaikat. Muka malaikat lo nggak mempan buat gue. Awas aja nanti, kalau lo nyari gara-gara sama gue! Dasar manipulatif!” Digertak seperti itu Yasinta menunduk sedih sambil sesekali berjengit kaget mendengar bentakannya.
“Lo jangan kasar-kasar sama Yasinta!” Suara cowok membahana memecah keheningan yang lain. Selina mendelik galak.
“Apa? Lo mau belain dia si putri drama? Kamuflase? Yang sok baik tapi licik?”
“Stop, Sel! Gue nggak terima soal tuduhan lo buat Yasinta.” Kali ini, Salma berdiri. Tina terkejut melihatnya. Salma melihat kakaknya.
“Dan buat lo! Lo ajarin temen lo tata krama. Nggak pernah di sekolahin, ya, mulutnya?” Selina tak tahan dengan omongan Salma. Segera dia menampar keras gadis itu sampai terpelanting.
“Iblis lo Sel! Beraninya main kekerasan!”
“Setan nih cewek.” Cowok-cowok berang melihat cewek pujaannya diperlakukan semena-mena. Salah seorang maju menyiramkan jus. Lalu berlanjut dengan bakwan yang menemplok tepat di kening Selina. Saos, mayonaise, kecap, bubuk lada, mie ayam ditumpahkan ke kepalanya. Selina merasa panas karena kuah itu. Matanya perih.
“Hentikan! Hentikan!” Kikan dan Tina berusaha menghalangi. Mereka juga kena hantaman-hantaman makanan itu. Selina mengamuk. Menghajar siapa pun membabi buta. Ia meraup muka untuk mengurangi rasa perih dari kuah yang masih mengalir. Tapi lemparan-lemparan itu terus berlanjut.
“Hentikan!” Selina terperanjat saat melihat Fandi muncul di pintu. Ajaibnya, semua tersihir oleh omongan Fandi. Dan mampu menyelamatkan Selina dari amukan masa. Cowok itu seperti punya kendali penuh.
Selina menatap sinis Fandi. Mengajak dua sahabatnya yang tak berbentuk sama sepertinya. Begitu sampai di pintu, ia berkata menantang, “Apa! Lo mau ngetawain gue? Puas lo liat gue kayak gini?” Fandi membuang muka enggan menanggapi Selina.
“Yuk, pergi! Ini bukan tempat kita!” ajak Selina menarik kedua tangan temannya yang diiringi teriakan “huu!” dari seluruh penghuni kantin.
***
Ketiga orang gadis, berdiri di ketinggian gedung menatap bukit belakang sekolah, menantang matahari. Sekalian sambil mengeringkan tubuh mereka yang basah. Selina, Tina dan Kikan terdiam. Hanya deru angin yang cukup kencang menerpa mereka. Hampir setiap sudut sekolah, menolak. Hanya di sinilah, tempat yang paling layak dan tanpa protes menerima kehadiran mereka. Atap gedung sekolah.
“Sumpah, ini penghinaan paling nista sepanjang hidup gue!” Tina berkata penuh penekanan.
“Gue juga.” tanpa berpaling dari lolipopnya Kikan menyahuti. Ia membuka dua bungkus lolipop sekaligus.
“Gue nggak terima sama omongan Salma. Jelas-jelas satu dunia tau, kalau Yasinta emang sengaja ngulurin kakinya biar Selina jatuh.” Tina meninju besi balkon.
“Gue juga.” Kikan menyahuti di sela-sela menjilati lolipopnya. Membuat Tina menoleh.
“Lo dari tadi gue juga gue juga mulu. Nggak kreatif amat ngomongnya,” kesal Tina. Kikan menghentikan kegiatannya, menoleh.
“Lo nggak liat? Gue makan dua lolipop sekaligus. Itu artinya gue stress, marah, kesel,” sungut Kikan. Lalu kembali menjilati lolipopnya.
“Tapi kenapa ekspresi lo nggak ngegambarin itu semua?” Tina mengernyit.
“Terus mau lo? Gue harus marah-marah? Brutal? Ngehajar orang?” sahut Kikan lebih tenang. Sibuk dengan lolipop.
“Udah, udah. Udah cukup penghinaan hari ini. Otak gue udah panas. Jangan ditambah sama omelan lo berdua.” Selina menginterupsi membuat keduanya sama-sama terdiam.
“Gue mau pulang aja,” celetuk Tina kemudian.
“Gue juga.” Kikan menimpali. Sementara Selina terdiam menatap kosong hamparan bukit belakang sekolah.
“Buat apa kita di sekolah. Udah kadung bete gue. Masuk kelas juga percuma,” jelas Tina. “Lo nggak ikut pulang, Sel?” Tina coba mengintip muka datar Selina yang tampak terluka. Geming.
“Lo duluan aja,” singkat Selina. “Gue masih mau di sini.”
“Uhm ... jaga diri, ya, Sel. Jangan sampai besok pagi gue denger berita tentang Marselina Andrea mati lompat dari rooftop sekolah.” Tina menepuk bahu Selina, membuat Kikan bergidik.
“Ngaco, lo! Mana mungkin Selina mau bunuh diri,” sergahnya.
Tina mengangkat bahu, “Siapa tahu?”
“Gue kok jadi ngeri ya, bayangin?” Kikan menelengkan wajah, mengamati muka Selina. “Sel, lo bener-bener nggak akan ngelakuin itu, kan?” Kikan memastikan. Mengambil sesuatu di kantongnya. “Ini, lo harus makan ini.” sambil membuka tangan Selina memberikan lolipop warna-warni berbentuk hati. Ada pita lucu pengikatnya.
“Dan lo harus inget, satu dunia pun benci sama lo, lo masih punya kita. Gue dan Kikan nggak akan pernah ninggalin lo.” Tina menepuk bahu Selina. Yang sejujurnya mampu meneteskan air mata. Tapi itu hanya membuat Selina tampak lemah. Sebisa mungkin, ia membendung air mata.
Usai ditinggal Tina dan Kikan, suasana menjadi senyap. Hanya suara angin ribut dengan pohon-pohon. Tanpa sadar, air mengalir di pipinya. Ia membiarkan begitu saja.
“Gue benci hidup gue. Gue benci mereka. Gue benci semuanya!” teriak Selina. Sampai suaranya serak dan terbatuk. Ia bungkuk-bungkuk memegangi perut dan tenggorokan yang seperti tersumbat. Sambil menangis, Selina menyanggakan kedua tangan ke besi balkon, tampak rapuh.
“Kenapa sih? kenapa hidup gue kayak gini banget? Kenapaaa!” Kata terakhir, Selina mendongak, menantang langit kelabu. Ia menumpahkan semua amarahnya. Matahari mendadak bersembunyi dibalik tirai awan, dan aura mencekam menyergap bumi. Seolah turut berduka bersama dirinya.
“Kalau boleh, gue pengen mati aja!” teriaknya nyaris tak terdengar. Benar-benar kehabisan suara. Peringatan Tina dan Kikan terus membayang-bayangi. Bagaimana kalau dia mati saja? Toh percuma hidup. Dia sama sekali tak pernah bahagia. Selina berpikir keras. Ia naik ke besi pertama balkon, lalu menaikkan satu tingkat lagi di besi kedua. Ada tiga besi di sini. Dengan hati-hati Selina merentangkan tangan. Pikirannya berkelebat antara takut dan enggan hidup.
Langit benar-benar gelap. Awan menggulung-gulung dirinya hitam pekat. Pohon-pohon ribut dengan angin. Aksi bunuh diri Selina sepertinya benar-benar mengenaskan didukung suasana alam seperti ini. langit pecah oleh kilatan-kilatan cahaya. Selina merasa tubuhnya tercambuk, menjadi gosong. Rambutnya mengembang seperti orang habis kena setrum.
“Arrghhh!” Selina terduduk kaget. Napasnya ngos-ngosan dan mulai sadar. Jika dirinya tidak di atap sekolah lagi. Melainkan di kamarnya sendiri.
“Sial!” Ia memukul kasur. Mengusap keringat di dahi dan meraup muka berkali-kali. “Masa gue mimpi disamber geledek,” gerutunya menggeleng memustahilkan. Kemudian mengalihkan pandang ke jam bekker di meja kecil sisi tempat tidur.
Pukul lima sore. Selina baru sadar, ia masih mengenakan seragam sekolah dan ketiduran. Terakhir yang ia ingat, cabut dari sekolah saat jam pelajaran berlangsung. Beberapa menit setelah Kikan dan Tina cabut duluan.
“Gara-gara omongan mereka nih. Gue jadi kepikiran buat bunuh diri,” omelnya. Terus terang, sepanjang perjalanan pulang, omongan Kikan dan Tina terus terngiang-ngiang di telinganya. Membuat Selina sempat kepikiran untuk melakukan hal gila itu.
“Bunuh diri enak kali, ya? Otomatis penderitaan gue terhenti,” keluhnya frustrasi. Selina menggaruk-garuk pelipis. Mengacak rambut depresi dan turun dari ranjang. Tenggorokannya begitu kering. Ia berniat mengambil minum. Tapi begitu buka pintu kamar, Ibunya sudah bertolak pinggang menyambutnya.
“Jadi kamu tadi bolos sekolah?!” geram Ibunya. Selina meringis.
“Selinaaa!” Mendadak seluruh isi rumah terguncang oleh teriakan membahana. Gempa bumi. Selina cepat-cepat menutup pintu sebelum rumahnya benar-benar ambruk.
“Awas kamu, ya! Uang jajan sebulan Mama potong!”
***
Saat belajar malam, Selina mendengar suara mobil memasuki halaman rumah. Seperti bukan mobil Ibunya. Ia penasaran melongok di jendela. Mengintip dari sibakan gorden. Sebuah fortuner hitam metalic dan seorang pria paruh baya dengan setelan jas rapi turun dari mobil itu. Tak lama kemudian, Selina melihat Ibunya keluar menyambut. Heran. Tidak biasanya Selina melihat Ibu memakai pakaian feminin. Dress merah cerah yang membuat tubuhnya lebih seksi. Biasanya, berpenampilan gotik. Demi meyakinkan para klien, akan keahliannya meramal. Tapi ini ... sepertinya tamu itu bukan klien Ibunya. Mendadak Selina punya firasat tidak enak.
Ia menekap mulut saat Ibunya dan pria itu cipika-cipiki mesra. Bahkan Selina tak pernah melihat senyum Ibu semerona itu. Mereka masuk ke dalam rumah. Sesaat, pria itu kembali ke mobil, mengambil sesuatu. Sebuah boneka beruang besar dan beberapa tas karton. Seperti habis belanja. Bener, kan? Pasti ada yang nggak beres!
“Selina!” teriakan dari luar kamar membuat Selina melebarkan mata. Cepat-cepat ia merapikan gorden, dan kembali ke tempatnya semula.
Ibu Selina tersenyum begitu mendapati anaknya tengah sibuk berkutat dengan buku pelajaran. Ia menghampiri putrinya.
"Sel, boleh Mama ganggu sebentar?” Selina menoleh, memperhatikan penampilan Ibunya yang benar-benar berbeda.
Tumben?” selidiknya menelengkan kepala. Ibunya mengerutkan kening tak mengerti.
“Tumben penampilan Mama berbeda?” Selina memperjelas maksud pertanyaannya.
“Apanya yang beda?” Ibu Selina menanggapi tertawa.
“Lebih cantik? Lebih seksi?” telisik Selina. “... dan bahagia.” Di bagian ini, Ibunya tampak tersenyum malu.
“Mama ingin kenalin kamu sama seseorang. Dia sudah ada di bawah.” Nada suara Ibu terdengar jelas begitu bahagia.
Selina mengernyit curiga, “Siapa?”
"Kamu pasti akan menyukainya. Dia orang yang baik,” imbuh Ibu Selina bersemangat.
"Jangan bilang pengganti Papa. Selina nggak mau!” seketika raut wajah Ibunya berubah keruh.
***
Dengan terpaksa, Selina akhirnya turun menemui kekasih Ibu. Bukan main senangnya Ibunya, meski setengah memelas pada anak gadisnya.
“Apa kamu nggak ingin lihat Mama bahagia?” Wanita itu memohon-mohon untuk tidak mengecewakan malam ini. Sebab dia sudah janji untuk memperkenalkan pria itu dengan putrinya. Hitung-hitung untuk pedekate.
Dengan muka ditekuk, Selina turun dan mau makan malam bersama.
“Wah ini putrimu?” Lelaki dengan jambang tipis itu menyambut Selina. Ih! Jangan harap dia bisa jadi Papaku!
Selina sudah menampakkan ketidak senangannya. Salaman pun enggan ia menyambut uluran tangan pria itu.
“Ehm ... maafkan dia, Mas.” kali ini Ibu Selina yang merasa tak enak.
“Nggak masalah. Mungkin Selina masih merasa asing dengan Om.” Lagi, pria itu membuat tampangnya dimanis-manisin. Kelihatan banget ada maunya!
“Om punya sesuatu buat Selina.” Lelaki itu mengambil barang-barang di sampingnya. Boneka beruang merah muda besar. Memang dia pikir aku anak kecil? Cih! Selina mengomentari setiap sikap pria itu.
Tak bersambut baik. Selina tak tersentuh sama sekali dengan oleh-olehnya. Sampai Ibu menggeram menatap anak gadisnya setengah melotot. Membuat Selina terpaksa memungut boneka itu dan menggeletakkan di kursi sebelahnya.
“Apa selina nggak suka boneka? Terus Selina suka apa dong? Biar nanti Om nggak salah bawain.” Pria itu masih setia dengan sikap hangat dan ramah tamahnya. Sekalipun Selina tetap teguh memusuhi. Aku nggak akan luluh! Janji Selina pada diri sendiri.
“Oh iya. Selina kelas berapa?” Tak ada jawaban. Makan malam kali ini benar-benar membawa neraka bagi Ibu Selina. Kenapa putrinya sama sekali tak bisa diajak kompromi sedikit? Ia menendang kaki putrinya di bawah meja sambil sedikit melebarkan mata.
“Sebelas!” Selina menyahut ketus. Masih dengan muka betenya enggan menanggapi. Pria itu menarik napas mendengar jawaban Selina.
“Benarkah? Berarti kamu seumuran anak Om. Dia juga kelas sebelas. Nanti kapan-kapan, Om kenalin kamu sama dia.” Nggak sudi!
“Kenalin. Nama Om, Taufik Gunawan. Panggilan akrabnya, Topik. Ya, pakai O dan P.” gelak tawa khas pria dewasa tampak berkharisma dan penuh wibawa seorang bapak, pria itu tonjolkan. Tapi sama sekali tak berpengaruh bagi Selina. Dasar caper!
“Orang kalau manggil memang suka nyari gampangnya ya. padahal sudah bagus-bagus Taufik diganti Topik. Ada juga namanya Arif jadi Arip. Syifa jadi Sipa, dan Vera jadi Pera.” Ibu melempar lelucon garing untuk memecah suasana. Yang sama sekali tidak ada lucu-lucunya. “Biasanya orang jawa yang suka begitu.”
“Biar lebih mudah. Hahaha. tapi aku sama sekali tidak keberatan.” lelaki itu sok asik. Selina tersenyum miring tak suka. Terlebih saat kedua pasang mata itu saling bertemu dan melempar tatapan hangat penuh cinta. Mereka segera terkaget saat Selina sengaja menekan pisau lebih keras untuk memotong daging. Bahkan sengaja membuat berisik dengan tekanan garpu di piring.
“Om suka sama Mama saya? Mama saya peramal, lho. Om nggak takut dipelet? Jangan-jangan Om suka sama Mama saya karena disihir,” sengit Selina memasukkan daging ke dalam mulutnya menyindir.
“Selina jaga bicaramu!” Ibu Selina angkat bicara. Wajahnya memerah. seolah takut, Taufik terpengaruh oleh ucapan anaknya.
“Lho, kenapa? Benerkan yang Selina bilang? Bisa jadi Om kena sihir Mama. Makanya jatuh cinta. Terus kalian berdua bisa menikah. Asal Om tau, ya! Om nggak akan pernah bisa gantiin Papa.” Selina melempar garpu dan pisau bersamaan ke piring sampai berbunyi keras dan berlari ke kamar.
“Selina!” Suara teriakan Ibunya tak dihiraukan. Ia buru-buru cepat menaiki tangga. “Sebelum semua terlambat, mending Om cepet-cepet cari dukun buat sembuhin diri. Biar nggak menyesal nantinya. Dan saran Selina, Om jauhi Mama. Karena Mama berbahaya.” dua orang di bawah memandang gadis itu yang terus mengomel sampai masuk kamar.
“Anak ituuu! Benar-benar keterlaluan!” Mama memukul meja.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices