Kastil Piano

Reads
148
Votes
0
Parts
8
Vote
by Titikoma

6. Obsesi 2

Mengesalkan bagi Selina. Rumor tentang dirinya yang pakai jampi-jampi tersebar begitu cepat. Terutama di kalangan anak-anak yang notabene tidak menyukainya.
“Dasar iri!” dengus gadis itu. Bahkan Roy sempat memukul beberapa orang yang berani menanyakan itu terang-terangan.
“Lo kan Putri Peramal, Sel?” tanya seorang siswi. Membuat Selina jengah. Harusnya hal seperti ini, tidak menjadi masalah ataupun menimbulkan kecurigaan, kalau Ibunya bukan seorang peramal. Semua ini memang salah Ibunya yang memilih profesi tidak ada keren-kerennya itu.
Kenapa harus peramal, sih? Kan sekarang, Selina jadi dituduh yang tidak-tidak? Meski sebenarnya dia memang menggunakan bantuan sihir, Kastil Piano untuk mewujudkan ini semua.
Selina mengayuh sepedanya di sore hari keliling kompleks. Ia parkir di taman, dan duduk di bangku panjang. Tapi ada seseorang di sana.
“Udah kelar bertapanya? Sekarang mending lo cabut, giliran gue,” cetus Selina yang membuat pemuda itu mendongak menatapnya.
“Emang lo siapa bisa usir-usir gue? Jelas-jelas yang sampai di sini duluan itu gue.” Fandi berkata santai. Ia malah merentangkan tangannya panjang di sandaran bangku taman. Di kompleks ini ada taman mini yang sering Selina kunjungi setiap sore. Dulu, setiap hari mendiang Ayah Selina sering mengajaknya menghabiskan sore di sini. Tapi kebiasaan itu raib setelah Ayahnya meninggal.
Selina berdecak, bertolak pinggang. “Lo bisa nggak sih, ngalah sedikit aja?” Fandi mendesis berusaha menahan diri untuk tak terpancing emosi.
“Kalo mau duduk, duduk aja! Tapi yang jelas, gue nggak akan pergi,” jawab cowok itu yang nyaris membuat Selina mencak-mencak geregetan.
“Kenapa sih! Di hidup gue, selalu ada lo. Ketemu elo. Lo lagi, lo lagi. Dan juga kenapa, lo selalu ikut campur urusan gue? Bukankah kita udah bikin perjanjian buat nggak saling menganggu?” Selina tak tahan. Entah apakah cocok untuk membahas ini sekarang. Tapi yang jelas, ia ingin menuntaskan emosi yang melahar di dadanya.
“Lo selalu ikut-ikutan gue. Sejak kapan lo suka bersepeda sampai mau daftarin diri buat ikut lomba balap sepeda bulan depan? Padahal selama ini lo nggak pernah suka sepeda, kan? Lo phobia? Kenapa sekarang lo malah nyaingin gue?” Selina menatap nanar. Padahal hanya dengan bersepeda, ia bisa menunjukkan jika dirinya berguna. Meski Selina punya Kastil Piano yang mampu mewujudkan segalanya, tetap saja. Ia ingin membuktikan, jika dirinya mampu mendapatkan sesuatu bukan dari bantuan sihir, tapi dengan usahanya sendiri. Selina tahu, cowok itu hanya ikut-ikutan hobinya dan sengaja membuatnya kesal.
Fandi menyipitkan mata. “Jadi, lo ngerasa tersaingi?”
“Jelaslah! Lo masih dendam, kan, sama gue? Soal masa kecil kita? Itu semua juga salah lo. Lo yang ikut-ikutan mereka ngehina gue sebagai anak peramal!” Selina mengungkit-ungkit masa lalu, yang merupakan akar dari permusuhannya dengan Fandi. Cowok itu menarik napas, menahan emosi. Wajahnya sudah menampakkan muka bete—tapi memang sehari-harinya bete tiap kali bertemu Selina. Hanya saja, kali ini jauh lebih bete—menandakan dia sudah di puncak kesabaran. Cowok itu menarik napas besar.
“Lo nethink mulu sama gue. Ambisi, udah bikin hati lo mati.” Selina terkekeh mendengar omongan Fandi.
“Hahaha. Nggak usah sok bijak, deh. Sampai kapan pun, lo itu musuh gue. Kita ini saingan. Dan gue nggak akan biarin lo menang. Kalo itu terjadi, gue nggak akan bisa jadi yang terbaik,” cetus Selina. Fandi berdiri dari duduknya, menatap gadis yang masih berada di atas sepedanya.
“Percuma jadi yang terbaik. Kalo lo nggak pernah ngerasain, ada orang yang beneran peduli, sama lo!” Tanpa banyak kata, cowok itu pergi mengambil sepedanya. Selina meremat tangan emosi.
“Gue nggak butuh peduli dari orang!” Karena memang tidak ada yang mempedulikannya selama ini.
“Sialan! Mentang-mentang banyak yang peduli dengannya.” Selina menggeram. Karena di sekolah, Fandi memang cukup punya banyak teman. Bahkan mereka seperti bodyguard. Apalagi cewek-cewek centil itu yang suka caper-caper. Selina berdecih. Melempar sepedanya, kemudian beringsut di bangku. Terdiam, sampai cairan bening luruh dari matanya.
“Pokoknya, gimana pun caranya, gue harus ngalahin dia di pertandingan bulan depan!” tekad Selina.
***
Belum habis kesialannya hari ini. Baru saja dia pulang, Selina melihat Ibunya tampak sibuk dengan Mbok Jum menatap meja makan.
“Ada apa ini?” tanyanya melihat isi meja yang tidak biasa. Ada banyak makanan.
“Malam ini, Om Topik sama Yasinta Mama undang makan malam,” terang Ibunya dengan senyum merekah. Kebahagiaan yang tak bisa ditutup-tutupi. Selina mengusap kasar belakang kepalanya. Ia baru saja membuka mulut hendak melontarkan, tapi Ibunya buru-buru interupsi.
“Itung-itung ini sebagai permintaan maaf karena kamu sudah bikin kacau pesta ulang tahun Yasinta. Jadi Selina, nggak ada alasan buat kamu nggak mau makan malam nanti. Dan tolong, kamu bersikap yang sopan, atau kalau tidak ....” Ibunya melempar aura mencekam.
“Kalau tidak apa?” Selina penasaran.
“Uang jajanmu, nggak hanya Mama potong. Tapi juga mama stop selama satu bulan!” Hash! Sial! Ini selalu menjadi andalan Ibunya untuk menggertak Selina. Hahaha. seulas senyum muncul di bibir Selina. Saat ini, ia tidak perlu takut lagi. toh dia punya Kastil Piano yang bisa mengabulkan segalanya? Termasuk uang jajan.
“Iya, deh. Tapi Selina nggak janji,” ucap gadis itu menghambur menaiki tangga.
“Anak ituuu!”
***
Selina turun ogah-ogahan dari lantai atas menemui Yasinta dan ayahnya di lantai dasar. Malam ini, Yasinta mengenakan dress jingga mengembang, yang membuat dirinya tampak cantik tampil sesuai usianya. Beda dengan Selina yang hanya mengenakan celana pendek dan kaus oblong kedodoran yang ujung lengannya digulung sampai atas. Rambutnya juga dikuncir ke atas.
Yasinta menyambut tersenyum dengan muka polos. Cewek ini, memang pandai berakting. Pantas saja dia begitu mudah mengambil perhatian banyak orang. Selain cantik, dia juga pandai membawa diri. Berbeda dengan Selina yang brutal dan kasar. Secara logika, cowok lebih memilih gadis lemah yang berhak dilindungi seperti Yasinta. Bukan memelihara singa liar seperti Selina. Fandi pun, termasuk ke dalam kelompok cowok-cowok yang memiliki selera cewek-cewek feminin seperti itu. Cewek-cewek yang mengandalkan air mata dan kelembutan untuk mengelabui dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sehingga membuat tak tega untuk tidak dituruti.
“Ayo dimakan,” ramah Ariny. Yasinta dan Selina yang duduk dalam satu garis lurus saling menatap. Tampak seperti iblis dan malaikat. Yasinta yang lembut dan kalem menatap bersahabat, Selina justru sebaliknya. Ia melayangkan tatapan permusuhan penuh kebencian.
Ariny berusaha baik-baik saja dan mengajak ngobrol untuk mengalihkan sikap Selina. Mencoba mencairkan suasana di antara mereka.
“Pa, Tan. Boleh nggak, aku tinggal di sini. Biar bisa lebih dekat dengan kalian?” Yasinta tersenyum lembut. Selina seketika tersedak. Ia cepat-cepat mengambil air.
“Nggak sudi! Gue nggak sudi lo tinggal di sini,” bantahnya cepat. Yang langsung membuat wajah Yasinta redup.
“Selina!” Ah! Sial! Kenapa sih Ibunya tidak peka. Cewek itu ada maunya. Selina tidak membayangkan kehidupannya akan menjadi sangat-sangat buruk kalau Yasinta harus tinggal di sini. Dan jangan sampai dia yang akan menjadi anak tiri di rumahnya sendiri.
“Menurut Papa itu ide yang bagus. Sekalian kalian adaptasi. Itu pun, kalau Selina tidak keberatan,” ujar Ayah Yasinta memandang teduh Selina. Dih! Apa dia pikir dengan bersikap baik padanya, itu cukup untuk membuat dirinya diterima? Sampai kapan pun nggak sudi dia menjadi penggganti Ayahnya. Selina mengutuk mati-matian mereka.
“Bagaimana Selina?” tanya Om Topik. Selina hendak menyahut tapi buru-buru dinterupsi oleh Ibunya.
“Tentu Selina tidak keberatan. Tante sangat senang kalau kamu tinggal di sini. Itung-itung pedekate sama Selina,” tandas Ibu Selina. Yang spontan membuat Selina melempar sendok dan garpu langsung meninggalkan meja makan tanpa bicara lagi. semua terdiam menyaksikan gadis itu berlari menaiki tangga.
“Selina!” Tak dihiraukan. Selina menutup kasar pintu kamarnya sampai berbunyi keras. Bisa-bisanya, Ibunya memperlakukannya seperti ini.
“Apa Yasinta menyakiti Selina, Tan?” Mimik muka sedih Yasinta membuat Ariny tak enak hati.
“Sudah jangan dihiraukan. Soal Selina, biar Tante yang urus. Kamu tetap bisa tinggal di sini bersama Tante.” Seketika wajah Yasinta mendadak cerah.
“Beneran, Tan?” Ibu Selina mengangguk membuat Yasinta kegirangan memeluknya.
“Papa seneng lihat kamu dan Tante Ariny akur begini,” ujar Ayah Yasinta. Dalam pelukan Ariny, Yasinta tersenyum penuh maksud. Jelas saja ia mau tinggal di sini. Ini demi mengungkap keanehan yang terjadi pada Selina.
***
Selina membuang apa pun yang ada dalam kamarnya. Marah, kesal. Sampai lelah sendiri dan ngos-ngosan. Ia teringat Kastil Piano dan mengambilnya di bawah kolong kasur. Selina tak ingin Ibunya atau siapa pun melihat benda ini yang begitu mencolok. Ia membuka dan menyebutkan permintaanya.
AKU INGIN MAMA DAN OM TOPIK PISAH. HULALA HULALA SEMUA AKAN MENJADI NYATA!
Seketika kristal kristal bening dan bunyi piano berdenting tanda permintaan akan segera terkabul.
Haha. Selina tertawa jahat. Dengan benda ini, segala hal yang dia inginkan akan benar-benar menjadi nyata.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices