by Titikoma
1. Cinta Segitiga
Untuk kesekian kalinya Reisha merapikan rambut panjangnya. Malam ini ulang tahun sahabatnya, Lidya. Hampir lima tahun mereka bersahabat jadi malam ini dia tidak ingin mengecewakan sahabatnya di hari istimewanya ini. Padahal tanpa berdandan pun Reisha sudah sangat cantik, dia memiliki kulit berwarna putih dengan body proporsional untuk remaja seusianya, dan Reisha mewarisi kecantikan neneknya yang berkebangsaan Jerman.
Drrrtt... ponselnya bergetar, tertera nama Lidya di layar.
“Lu di mana?! Kenapa jam segini belum nongol?!” semprot Lidya begitu Reisha menjawab telepon. Dengan cepat benda kecil dan tipis itu dia jauhkan dari telinga.
“Woiii, kenapa lu dieeem?!” Lidya kembali berteriak. Perlahan Reisha menempelkan handphone, “Iya... iya, bentar lagi gue ke sana.”
“Apa?! Lu masih belum berangkat?!” Lidya kembali berteriak. “Tega banget lu datang terlambat di momen spesial gue!”
“Kalau lu terus berteriak seperti ini bagaimana gue bisa berangkat!” Reisha ikut berteriak.
Lidya cengengesan, “Ya sudah, setengah jam lagi lu harus sampai di sini!” tut... tut... tut...” setelah mengucapkan kalimat itu sambungan langsung diputus. Untuk terakhir kali Reisha melihat penampilannya di kaca, malam ini dia memakai metallic dress berwarna cream dengan pump shoes black polka senada dengan clutch-nya. Headband dengan bulir-bulir mutiara menghiasi kepalanya. Setelah dirasa sempurna, dia menyambar kunci mobil dari atas meja dan berlari keluar kamar.
@@@
“Siaaall!” dengan kesal Reisha menendang ban mobilnya yang kempes. Tinggal tiga belokan lagi dia sampai di kompleks rumah Lidya tapi sekarang ban mobilnya bocor.
Hampir sepuluh menit dia berdiri mencari tumpangan tapi tak satupun kendaraan yang lewat. Dilihatnya arloji yang melingkar di tangan kanannya, jam itu menunjukkan pukul 18.45. Lima belas menit lagi party sweet seventeen Lidya akan dimulai.
Tak berapa lama kemudian terdengar deru mobil dan dari ujung jalan terlihat sepasang lampu sorot. Reisha melambaikan tangan meminta mobil tersebut berhenti, tapi mobil itu terus melaju melewatinya. Dia tertunduk lemas, tampang Lidya muncul dalam benaknya sambil marah-marah dan berkacak pinggang.
“Lidya bisa bunuh gue kalau sampai datang terlambat!” gumamnya ketakutan. Lidya memang sahabatnya, tapi watak yang keras dan rada kaku membuatnya tidak akan menoleransi kesalahan apalagi yang bisa merugikan dirinya. Lidya masih mempunyai darah keturunan Madura dan kakeknya mantan kolonel, jadi kedisiplinan dari kakeknya dalam mendidik membuatnya bersifat keras seperti itu. Maklum saja karena kedua orang tuanya sudah meninggal jadi dia hanya tinggal berdua dengan kakeknya.
“Lu ngapain berdiri di pinggir jalan?” Reisha terlonjak kaget, dia mendongak mencoba melihat wajah seseorang yang berdiri tidak jauh darinya. Tiba-tiba hatinya berdesir, cowok itu adalah Edward, teman sekelasnya yang sudah lama dia taksir. Sebenarnya banyak dari teman-teman ceweknya yang juga naksir Edward, termasuk salah satu di antaranya adalah Lidya.
“Hmm... ban mobil gue kempes” Reisha gugup.
“Ada ban serepnya?” Edward menggulung lengan kemeja dan melangkah mendekati mobil Reisha yang terparkir di tepi jalan.
“Ban serepnya masih di bengkel, padahal tadi pagi mobil ini baru selesai di-service,” jelasnya. Dia berjalan mengikuti Edward dari belakang. Tiba-tiba Edward menoleh dan menatapnya, Reisha kaget dengan gerakan tubuh Edward yang tiba-tiba. Jantungnya berdegup semakin cepat, untung saja dia berada satu meter dari Edward.
“Lu mau ke mana?” tanya Edward.
“Ke rumah Lidya, malam ini dia ulang tahun.”
“Bareng gua aja, kebetulan gua juga mau ke sana,” Edward menawarkan tumpangan. “Lagipula di kompleks sini taksi jarang lewat kalau memang tidak ada orderan,” dia melihat sekeliling mencari pembenaran dari ucapannya.
“Gimana?” dia kembali bertanya karena Reisha belum juga memberi jawaban. Sebenarnya Reisha sangat senang mendengar tawaran dari Edward, tapi dia teringat dengan sahabatnya. Jika Lidya sampai melihat dirinya datang ke sana bersama Edward, pasti akan merusak mood party-nya, tapi kalau dia tidak ke sana sekarang pasti juga akan membuatnya hipertensi. ”Daripada ambil resiko lebih baik gue terima tawaran Edward, urusan Lidya marah belakangan yang penting gue sampai di sana dulu,” gumamnya. Akhirnya dia mengangguk menerima tawaran itu.
@@@
“Terima kasih ya ...” Reisha turun dari mobil Edward tepat di depan gerbang rumah Lidya, dia benar-benar tidak mau kalau sahabatnya sampai melihat dirinya datang bersama dengan Edward.
“Tolong jangan bilang pada siapapun kalau kita ke sininya bareng, termasuk kepada Lidya, please...” ditelungkupkannya kedua tangan di depan muka. Edward tersenyum dan mengangguk, “Asalkan lu mau gue anterin pulang,” ucapnya. “Bagaimana?” tanyanya lagi.
“Duuuh, bagaimana ya...” Reisha garuk-garuk kepala bingung.
“Oke! Jawaban lu gue artiin setuju, ntar kita ketemu lagi di sini,” tanpa menunggu jawaban Reisha, Edward langsung melajukan mobil memasuki halaman.
Perlahan Reisha melangkahkan kaki melewati halaman. Rumah bernuansa kolonial Belanda itu terlihat lebih hidup dengan penerangan lampu-lampu pijar yang dipasang di setiap sudut. Ucapan Edward masih terlintas di pikirannya dan itu membuat hatinya berdendang riang. Harusnya ini merupakan kabar istimewa, tapi ucapan Lidya tempo hari membuat senyum di wajahnya memudar.
“Reisha gue mau minta izin sama lu,” Lidya menggenggam jemari sahabatnya. Reisha menatapnya bingung, tidak seperti biasanya Lidya meminta izin pada dirinya setiap akan melakukan sesuatu.
“Tumben banget lu minta izin sama gue?” tanyanya curiga.
Lidya tersenyum, “Karena lu sahabat gue makanya gue minta izin dulu sama lu,” ucapnya. “Lu bisa kan ngabulin permintaan gue?” tanyanya lagi.
“Lu minta apa?”
“Janji dulu lu nggak akan marah dan bakal ngabulin permintaan gue!” Lidya meminta Reisha mengaitkan jari kelingking pada jari kelilingnya. Akhirnya Reisha mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Lidya.
“Lu minta apa?”
“Gue mau potongan kue pertama gue, gue kasih untuk Edward, lu nggak marah kan?”
“HAH!!” Reisha kaget, dia sama sekali tidak menyangka kalau Lidya menginginkan hal itu darinya, selama ini mereka memang terang-terangan saling mengaku menyukai ketua club basket di sekolahnya itu. Edward cowok cute seantero sekolahnya, selain berotak encer dia juga supel dan ramah, maka tidak jarang sebagian cewek di sekolahnya sangat mengidolakan dirinya.
“Gue nggak bermaksud apa-apa kok, selama ini potongan kue pertama gue selalu gue kasih Opa karena dia yang menjaga gue semenjak kematian ortu. Tapi di momen istimewa ini, gue mau kasih pada seseorang yang spesial juga. Please... lu nggak keberatan kalau gue kasih ke Edward kan?” Lidya mulai merajuk. Melihat sahabatnya seperti itu Reisha jadi tak tega dan akhirnya dia mengangguk, lagipula antara dia dan Edward tidak ada hubungan yang khusus jadi siapapun boleh melalukan apa saja karena itu sama sekali bukan urusannya.
“Thank’s ya...” Lidya memeluk sahabatnya, “Kalau lu ulang tahun nanti, lu juga boleh kasih potongan kue pertama untuk Edward” ucapnya. Keduanya tersenyum.
“Reisha!” teriakan cempreng membuyarkan lamunan Reisha. Seseorang menubruk tubuhnya. Reisha langsung tahu kalau itu adalah Lidya.
“Sorry gue telat, happy birthday ya...” dia menarik tubuhnya dari pelukan Lidya.
“It’s ok no problem... oh ya mobil lu mana?” Lidya celingukan mencari sedan silver yang biasa dipakai sahabatnya.
“Hmm... gue, gue ke sini nggak bawa mobil tapi naik taksi,” bohongnya.
“Kenapa lu nggak bilang? Gue kan bisa nyuruh supir untuk jemput lu.”
Reisha menggeleng, “Nggak apa-apa kok,” ucapnya sambil tersenyum, ini untuk pertama kalinya dia berbohong pada sahabatnya.
“Ayo masuk! Gue dari tadi nungguin lu,” Lidya langsung menyeret sahabatnya masuk ke dalam. Acara ulang tahun sweet seventen Lidya pun dimulai. Selesai menyanyikan lagu happy birthday, Lidya make a wish sebelum meniup lilin dan potongan kue pertama dia hadiahkan pada Edward. Edward sampai tersipu malu mendapatkan kejutan yang tidak terduga itu dan teman-teman mereka menyoraki. Acarapun dilanjutkan dengan game, perlahan Reisha keluar dari keramaian karena dia lebih suka dengan suasana sunyi. Hingar bingar musik dan teriakan teman-teman membuat telinganya terasa sakit.
“Lu nggak ikutan game di dalam?” sebuah suara mengejutkannya, Reisha menoleh, Edward sudah berdiri di sampingnya sambil membawa segelas minuman.
“Gue nggak suka keramaian,” dia kembali menatap angkasa, mencoba mencari sesuatu yang mungkin tidak akan pernah dia temukan di dalam. Andai saja ada kehidupan lain tanpa harus membuatnya berbagi perasaan dengan orang lain pasti akan sangat menyenangkan. Pikirnya.
Di sampingnya Edward hanya manggut-manggut.
“Gue tadi surprise banget waktu Lidya ngasih potongan kue pertamanya,” dia membuka percakapan. Sepintas ekor matanya melirik Reisha untuk melihat respons dari ucapannya barusan, tapi Reisha tetap diam mematung melihat langit yang tanpa dihiasi bintang-bintang.
“Reisha...” panggilnya. “Hello...” Edward melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajah Reisha.
“Eh, ya, ada apa?” Reisha gugup.
“Gua perhatiin dari tadi lu selalu diem, apa ada sesuatu?” tanyanya, kedua bola matanya tajam menatap mata Reisha.
Reisha menggeleng, “Nggak ada apa-apa, gue cuma berpikir apakah ada kehidupan lain selain kehidupan kita ini.”
Dahi Edward berkerut. “Maksud lu?” tanyanya bingung.
“Kehidupan lain seperti alien atau mungkin hantu,” Reisha menoleh melihat Edward. “Apa lu percaya tentang hantu?”
“Hahaha... pertanyaan lu konyol banget, mana mungkin ada hantu. Itu hanya bisa-bisanya orang di dunia perfilman untuk menarik penonton, makanya mengangkat cerita tentang horror,” Edward malah ngekeh. Mendengar jawaban Edward ada sedikit kekecewaan di hati Reisha, jawaban yang diberikan Edward sama persis dengan jawaban dari Lidya. Mungkin selama ini hanya dirinya sendiri yang percaya tentang kehidupan lain selain kehidupan manusianya.
“Sudahlah nggak usah terlalu dipikir, nanti jadi gue anterin pulang kan?” Edward mengingatkan. Sejenak tubuh Reisha mematung, hampir saja dia lupa tawaran Edward.
“Baiklah,” ucapnya sambil tersenyum. Keduanya kembali mengobrol dan sesekali tertawa bila ada sesuatu yang mereka anggap lucu. Tanpa sepengetahuan mereka sepasang mata menatap dengan iri, kedua jemari tangannya terkepal menahan emosi.
@@@
Pyaaar... sebuah kaca rias pecah terkena lemparan vas bunga. Tampak seorang cewek dengan napas memburu tidak teratur menatap bayangan dirinya dalam kaca yang telah retak itu.
“Gue memang tidak cantik tapi kenapa harus selalu dia yang berhasil mendapatkan perhatian dari orang yang gue suka?!” teriaknya lebih pada dirinya sendiri.
Dengan kasar dia menghempaskan pigura yang bertengger di atas meja belajar tak jauh dari tempatnya berdiri. Praaang... pigura itu terjatuh dan kacanya pecah. Diambilnya foto itu, terlihat dua orang gadis sedang tertawa lepas sambil berpelukan antara satu sama lain. Foto itu diambil tiga tahun yang lalu ketika mereka sedang liburan akhir tahun di Bali.
“Kali ini gue nggak bakalan membiarkan dia jatuh dalam pelukan lu, Edward harus menjadi milik gue. Hanya gue yang berhak mendapatkan dia, kalau perlu gue akan menyingkirkan lu, meski lu sahabat gue sendiri!” dirobeknya foto itu menjadi dua dan Lidya tertawa puas setelah berhasil membakar sebagian foto dengan gambar gadis cantik bermata sipit.
@@@
“Hadiah dari gue kok nggak dipakai, lu nggak suka ya?” Reisha kecewa karena arloji yang khusus dia pesan dari Jerman tidak dikenakan sahabatnya, padahal demi membeli arloji itu dia rela menyisihkan separo dari uang jajannya setiap hari.
Lidya tersenyum. Selain cantik, Reisha juga kaya, jadi harga arloji itu sama sekali tidak masalah buat dirinya. Untuk kesekian kalinya Lidya benar-benar merasa iri pada sahabatnya ini.
“Gue suka, sayang kalau harus dipakai ke sekolah jadi gue simpen aja di rumah,” alasannya karena merasa tidak enak pada sahabatnya. “Lagipula arloji itu terlalu mahal untuk dipakai di sekolah,” sindirnya.
DEG!! Jantung Reisha seperti berhenti berdetak mendengar ucapan sahabatnya. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Lidya berkata kasar pada dirinya, tapi entah mengapa dia merasa ada yang berbeda dengan diri sahabatnya ini.
Teeett... bel masuk berbunyi. Tak lama kemudian Pak Andik, guru Sejarah mereka masuk. Selesai mengisi presensi murid, beliau mulai mengajar. Selama jam pelajaran keduanya saling diam membisu, padahal biasanya mereka selalu bergosip karena pelajaran Sejarah merupakan pelajaran yang sangat membosankan bagi mereka. Pak Andik yang umurnya berkisar lima puluh tahunan itu mengajar dengan menggunakan metode ceramah dan kebanyakan dari siswanya tidak ada yang mendengarkan, mereka malah asyik BBM atau yang paling parah mereka malah tidur di kelas.
Reisha melirik Lidya yang tengah sibuk membuat benang kusut di bukunya, semalam sikap Lidya masih baik-baik saja pada dirinya tapi kenapa pagi ini dia kelihatan jutek dan kesal. Sudah lama Reisha kenal dengan sahabatnya jadi dia tahu kapan Lidya merasa senang dan kapan dia sedang marah.
“Lid...” Reisha berbisik. Sekilas Lidya melirik tapi kemudian dia kembali sibuk dengan pulpen dan kertasnya.
“Lu marah sama gue? Kalau gue punya salah gue minta maaf.”
Lidya tersenyum dan menggeleng, tapi Reisha tahu kalau senyum itu senyum keterpaksaan dan bukan tulus dari dalam hatinya.
@@@
“Lu berantem sama Lidya?” tanya Edward. Sedari tadi dilihatnya Reisha hanya mengaduk-aduk makanan tanpa berniat mencicipi sedikitpun. Siang ini mereka pulang sekolah bareng dan mampir ke warung bakso langganan Edward.
“Gue ngerasa Lidya sedikit aneh, pagi ini sikapnya dingin banget sama gue,” cerita Reisha. Pulang sekolah Reisha semakin merasa kalau Lidya sengaja menghindari dirinya dengan alasan harus ke apotek membeli obat untuk kakeknya. Reisha sudah menawarkan diri untuk menemaninya tapi Lidya menolak.
“Bukannya Lidya sifatnya memang seperti itu, pendiem dan agak emosional?”
“Iya, tapi kali ini gue ngerasa ada yang nggak beres dengan dirinya. Seperti sedang menyembunyikan sesuatu.”
“Huuustt... jangan paranoid kayak gitu sama sahabat sendiri,” ingatnya.
Reisha mengangguk dan mencoba mengusir pikiran buruk tentang sahabatnya. Bagaimanapun juga mereka sudah berteman cukup lama jadi dia harus tetap menjaga kepercayaan dirinya untuk sahabatnya itu.
“Hmmm... malam Minggu besok lu ada acara nggak?” Edward sedikit gugup bertanya seperti itu. Reisha menggeleng, hampir satu tahun dia menyandang status jomblo. “Memangnya kenapa?” tanyanya datar, dia tengah sibuk memfokuskan pikiran untuk Lidya jadi tidak begitu menyadari nada bicara Edward yang berubah jadi gugup dengan rona muka yang sedikit memerah.
“Boleh nggak kalau gua main ke rumah lu?” tanyanya lagi.
“Main saja, nggak ada yang ngelarang kok!” Reisha menjawab sekenanya. Edward manggut-manggut mengetahui jawaban Reisha yang sangat biasa seperti itu, padahal dia berharap Reisha akan sedikit gugup dan menjawab pertanyaannya dengan wajah tersipu malu.
“Baiklah,” dia mengakhiri percakapan dan kembali sibuk dengan mangkuk baksonya. Tanpa Edward sadari tubuh Reisha mengejang, dia baru mengerti ke mana maksud dari ucapan Edward tadi. Perlahan dia mendongak melihat wajah cowok jangkung yang tengah duduk di depannya. Penampilannya begitu tenang untuk cowok seusia delapan belas tahun yang baru saja mengajaknya nge-date. Cukup lama dia memperhatikan Edward hingga akhirnya Edward menyadarinya dan mendongak.
“Kenapa?” tanyanya sebelum memasukkan bola bakso terakhir ke dalam mulut.
Reisha langsung menggeleng dan menunduk lalu mulai menyuapkan bakso ke mulutnya. “Lidya, bukan salah gue kalau akhirnya gue yang berhasil ngedapetin Edward,” pikirnya. Sebuah senyum kemenangan menghiasi bibir tipisnya.
@@@
Reisha masih syok mendengar pernyataan Edward barusan, kalau saja sekarang Edward tidak sedang berjongkok di depan kakinya sambil menyodorkan boneka teddy bear yang super gede dan setangkai mawar merah pasti dia merasa kalau ini hanya mimpi belaka.
“Reisha aku serius, apa kamu mau jadi pacarku?” ulangnya lagi mungkin untuk yang kelima kali.
Perlahan Reisha mengangguk, “Iya gue mau, eh maksudnya aku mau jadi pacar kamu,” ralatnya. Diambilnya boneka teddy bear dan diciumnya mawar merah itu, harum.
“Yuhuiii...” Edward terlonjak senang karena cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, langsung saja dia memeluk cewek yang telah resmi menjadi kekasihnya ini sebagai luapan dari rasa bahagianya.
“Aku bahagia sekali, i love you so much Reisha...” bisiknya, kemudian mendaratkan sebuah kecupan di kening Reisha. Reisha tersenyum, dia juga sangat bahagia karena sekarang telah resmi jadian dengan Edward.
“Keluar yuk,” ajak Edward.
“Baiklah, aku minta izin sama Mama dulu,” Reisha masuk ke dalam, tak lama kemudian dia keluar bersama Mamanya.
“Mau jalan-jalan ya?” Mama menatap Edward.
Edward mengangguk, “Iya Tante, itupun kalau Tante mengizinkan saya keluar bersama Reisha.”
“Baiklah Tante kasih izin, tapi sebelum jam sepuluh kamu sudah harus mengantarkan Reisha pulang,” Edward kembali mengangguk. “Iya Tante,” ucapnya lagi.
“Ma, Reisha pergi dulu ya, bye...” dia melambaikan tangan setelah mengecup pipi Mamanya. Mereka berjalan melewati teras.
“Kita naik apa?” tanya Reisha karena dia tidak melihat Volvo kodok milik Edward yang berwarna merah. Edward tidak menjawab, dia terus saja melangkah ke sisi halaman rumah sebelah kiri. Tak berapa lama kemudian dia berhenti di bawah pohon palem dan Reisha baru menyadari kalau ada sebuah motor bertengger di sana.
“Kita naik motor?” Reisha kaget, langkah kakinya berhenti dan ditatapnya Edward. Edward mengangguk, diurungkannya niat untuk menyerahkan helm pada Reisha.
“Kamu nggak suka naik motor?” tanyanya merasa bersalah, dia menyesal kenapa tadi tidak membawa mobil. Reisha langsung menggeleng begitu melihat sorot kecewa di mata Edward. “Dari dulu aku selalu kepengen naik motor tapi nggak pernah dikasih izin sama Mama,” jelasnya.
“Kalau begitu kita naik taksi aja,” Edward hendak meletakkan kembali helm itu, tapi dengan cepat tangan Reisha langsung menyambarnya.
“Nggak apa-apa kok, kita naik motor aja.”
“Tapi Mama kamu...”
“Tante percaya kalau kamu bisa jaga Reisha, asal naiknya jangan ngebut-ngebut,” suara Mama terdengar begitu dekat. Keduanya menoleh, Mama sudah berdiri tepat di belakang Reisha. Reisha girang sekali diperbolehkan naik motor. Semenjak Papanya meninggal karena kecelakaan motor, Mama jadi overprotektif pada dirinya. Namun kali ini beliau percaya sama Edward, mungkin karena tempo hari Edward telah menyelamatkan nyawa Mama dari pengemudi jalanan yang ugal-ugalan.
Reisha telah duduk di boncengan motor Edward, dia melambaikan tangan seiring dengan mulai melajunya motor itu. Tepat setelah motor mereka melewati gerbang, dari arah berlawanan muncul sebuah mobil dengan seorang cewek yang duduk di belakang kemudinya.
@@@
Sebuah mobil bernomor polisi B 101 LD memasuki halaman rumah yang bergaya Eropa dan memiliki halaman begitu luas, mobil itu berhenti di bawah pohon palem. Seorang cewek keluar.
“Tante...” panggilnya begitu melihat seorang wanita separo baya yang hendak melangkah memasuki rumah. Wanita itu menoleh dan tersenyum. “Lidya,” ucapnya.
Lidya segera mempercepat langkahnya menghampiri Mama Reisha. “Reishanya ada Tan?”
“Waduh, baru saja Reisha pergi. Belum ada lima menit.”
“Pergi sama siapa?” Lidya mengerutkan kening.
“Edward.”
“Edward?!”
“Iya, katanya mau jalan-jalan. Apa Reisha nggak bilang sama kamu kalau malam ini dia nggak di rumah?”
“Udah kok Tan, kebetulan tadi saya lewat sini jadi sekalian mampir,” Lidya mencoba tersenyum menyembunyikan kekagetannya. Mama Reisha manggut-manggut.
“Ayo masuk!” ajaknya. Lidya menggeleng,
“Terima kasih, tapi saya langsung pulang saja. Permisi...” setelah mengecup tangan Mama Reisha, Lidya pamit. Dia benar-benar merasa dikhianati oleh sahabatnya sendiri, kenapa Reisha tidak bilang terlebih dahulu pada dirinya kalau malam ini Edward akan main ke rumahnya? Padahal dia ke sini untuk minta maaf atas sikap juteknya tadi pagi di sekolah, tapi dengan adanya insiden ini dia merasa tidak perlu minta maaf lagi. Sekarang yang harusnya minta maaf adalah Reisha, bukan dirinya.
“Gue bener-bener nggak rela kalau Reisha sampai mendapatkan Edward, Edward harus menjadi milik gue, hanya gue yang berhak mendapatkan dia!” Lidya menggenggam kemudi dengan sangat erat, seperti seorang anak kecil yang takut kehilangan benda berharganya. Sebuah senyum misterius menghiasi bibirnya dan matanya berkilat-kilat penuh ambisi, sungguh mengerikan.
@@@
“Sampai ketemu nanti ya...” Edward melambaikan tangan. Reisha mengangguk, begitu Edward hilang dari pandangan matanya dia segera berbalik dan masuk kelas. Lidya sudah duduk di bangku mereka sambil membaca sebuah buku. Reisha tidak begitu memperhatikan buku apa yang sedang dibaca Lidya karena hari ini dia sangat bahagia dan dia ingin segera membagi kebahagiaan ini dengan sahabat baiknya.
“Malam Minggu kemaren Edward main ke rumah gue,” Reisha mulai bercerita.
“Gue udah tahu,” ketus Lidya.
“Dia nembak gue dan sekarang kita resmi jadian,” Lidya meletakkan bukunya karena kaget, wajahnya menoleh melihat Reisha.
“Apa?! Lu jadian sama Edward?!” ucapnya tak percaya. Reisha mengangguk, “Iya, kita udah jadian. Maaf ya... kalau akhirnya gue yang berhasil mendapatkan Edward,” Ditatapnya Lidya dengan perasaan bersalah, tapi sebuah kebahagiaan tetap terlihat dari pancaran bola matanya. Lidya menggeleng tak percaya.
“Nggak, mana mungkin Edward nembak lu. Selama ini hubungan kalian biasa-biasa aja, hmm... maksud gue, tidak ada sesuatu yang istimewa di antara kalian berdua. Jadi, mana mungkin Edward bisa nembak lu secepat ini?” Reisha meraih jemari Lidya dan menggenggamnya dengan erat. Tatapan matanya tajam melihat kedua bola mata sahabatnya.
“Maafin gue...” ucapnya. Lidya mengerutkan kening tidak mengerti maksud pembicaraan sahabatnya. “Untuk?!”
“Gue sudah nggak jujur sama lu. Pada saat party sweet seventen lu sebenarnya gue berangkatnya bukan naik taksi tapi bareng sama Edward,” spontan Lidya menarik tangannya, dia menatap sahabatnya tak percaya.
“I am sorry Lidya... waktu itu mobil gue mogok, kebetulan Edward lewat dan menawarkan tumpangan. Karena gue nggak mau datang terlambat, gue terima tawaran dia,” Reisha menunduk merasa bersalah karena tidak menceritakan semuanya dari kemaren.
“Apa sejak saat itu kalian...” Lidya tidak meneruskan ucapannya, kenyataan ini terlalu pahit untuk diucapkan. Reisha mengangguk.
“Sejak saat itu kita mulai dekat, dia juga yang mengantarkan gue pulang. Lusa kemaren ketika lu ke apotek, dia ngajak gue makan bareng dan siang itu juga dia bilang kalau ingin main ke rumah. Sungguh Lidya, gue sama sekali nggak tahu kalau akhirnya dia bakal nembak gue,” terangnya.
“Tapi lu seneng kan?” perlahan Reisha mengangguk.
“Kita sama-sama tahu kalau kita saling menyukai Edward, tapi kita tidak pernah tahu siapa akhirnya yang bakal dia pilih,” Reisha mengulang ucapan Lidya beberapa bulan yang lalu, tepatnya ketika mereka sedang mulai berkompetisi untuk merebut hati Edward.
“Sekarang semuanya sudah jelas, Edward lebih memilih lu daripada gue, selamat ya. Gue harap lu bisa jagain Edward, jangan sampai dia pindah ke lain hati apalagi sampai jatuh pada pelukan wanita lain,” ucap Lidya. Lidya pun mengulurkan tangan. Reisha membalas uluran tangan Lidya dan mengangguk, “Gue yakin Edward bukan tipe cowok seperti itu.”
“Mungkin Edward memang bukan tipe cowok seperti itu, tapi gue yakin, gue pasti bisa menaklukkan hatinya dan membuatnya berpaling dari lu,” ucap Lidya dalam hati. Lidya tersenyum, dia yakin rencananya pasti akan berhasil.
@@@