Kuntilanak Gaul

Reads
175
Votes
0
Parts
16
Vote
by Titikoma

2. Rencana Jahat Lidya

“Filmnya serem banget ya, gue sampai merinding dibuatnya,” komentar Reisha begitu keluar dari gedung bioskop. Dia, Edward dan Lidya baru saja nonton bioskop sebagai traktiran untuk Lidya karena mereka berdua telah jadian.
“Menurutku biasa aja,” komentar Edward menimpali Reisha.
“Lidya, lu sependapat sama gue atau Edward?” Reisha menyenggol lengan sahabatnya.
“Eh, iya, filmnya imajinatif banget,” komentarnya.
“HAH?!” Reisha dan Edward kaget mendengar komentar Lidya, keduanya saling bertatapan heran. Lidya kaget dengan ucapannya sendiri.
“Gue cuma bercanda kok,” dia tersenyum, ada sesuatu yang dia sembunyikan dari mereka. Sesuatu yang mungkin akan sangat berbahaya nantinya.
“Kalian mau makan dulu atau langsung pulang?” Edward melihat arlojinya, jarum kecil itu sudah menunjukkan pukul 17.00.
“Lid, bagaimana kalau kita makan dulu?” tanya Reisha.
“Hmmm... sebenarnya gue pengen makan bareng kalian, tapi sorry banget gue nggak bisa. Ada sesuatu yang harus gue kerjain,” jawab Lidya. Reisha cemberut.
“Baiklah, mungkin lain kali kita bisa makan bareng,” dipeluknya sahabatnya sebelum mereka berpisah.
“Hati-hati ya...” Reisha melambaikan tangan. Lidya membalas lambaian tangan sahabatnya dan segera menuruni tangga. Edward langsung meletakkan tangannya di bahu Reisha, seragam sekolah mereka telah diganti dengan pakaian biasa jadi tidak akan ada pengunjung mal yang memandang mereka dengan tatapan menyelidik karena jam segini masih ada anak SMA yang kelayapan pakai seragam sekolah.
Lidya menuruni tangga sambil sesekali menoleh ke belakang, dilihatnya Reisha dan Edward bergandengan mesra sambil bercanda-tawa. Melihat mereka seperti itu membuat api cemburu di dadanya semakin berkobar-kobar.
Bugh! Lidya menabrak sesuatu.
“Woiii... kalau jalan hati-hati dong!” semprot seseorang.
“Maaf... maaf...” dia membungkuk.
“Hei, lu Lidya kan?!” seru cowok yang baru saja dia tabrak. Lidya mendongak, matanya menyipit dan dahinya berkerut mencoba mengingat siapa makhluk sangar yang berdiri di depannya ini.
“Gue Rico, temen SD lu dulu,” cowok yang mengaku bernama Rico mencoba mengingatkan Lidya. Beberapa menit kemudian. “Ya ampuuun ternyata lu Rico,” Lidya menatap tak percaya. Rico teman semasa SD dulu yang berpenampilan cupu kini telah banyak berubah, dia tumbuh menjadi sosok cowok yang berpenampilan necis ala roker.
Rico mengangguk senang karena ternyata Lidya masih ingat dengan dirinya.
“Lu sendirian?” dia celingak-celinguk. Lidya mengangguk.
“Kebetulan banget, bagaimana kalau kita makan sambil ngobrol. Sudah lama kita nggak ketemu?” tawarnya. Lidya tampak berpikir dan kemudian mengangguk. Setengah jam kemudian mereka sudah duduk di salah satu kursi cafe.
“Gitu ceritanya...” Lidya mengakhiri ceritanya.
“Terus lu maunya gimana?” tanya Rico.
“Gue nggak rela kalau Reisha sampai mendapatkan Edward, gue mau hubungan mereka berantakan kalau perlu sampai putus. Lu bisa kan bantu gue?” pinta Lidya seraya menggenggam jemari Rico. Rico kaget, dia tidak menyangka kalau Lidya akan menggenggam jemarinya. Sudah lama dia naksir cewek ini, Lidya memang tidak cantik tapi senyumnya yang begitu memesona mampu memikat hatinya. Dia mengira perasaan itu telah lama hilang, tapi sekarang perasaan itu muncul kembali dan Rico sungguh tidak tega untuk tidak membantunya.
“Kenapa lu ingin sekali merusak hubungan mereka, apa lu mencintai Edward?” tanyanya penuh selidik. Lidya kaget, tidak mungkin dia mengaku pada Rico kalau dia memang mencintai Edward karena dengan begitu maka akan merusak semua rencananya. Perlahan dia menggeleng.
“Edward terlalu baik untuk Reisha, gue nggak tega kalau Reisha sampai menyakitinya. Reisha itu playgirl, suka gonta-ganti cowok dan dia juga cewek nggak bener,” bisiknya. “Gue bener-bener nggak rela kalau cewek itu sampai menghancurkan sahabat gue,” Lidya mencoba memberi penekanan pada kalimat terakhirnya agar Rico percaya. Padahal yang menjadi sahabatnya adalah Reisha dan sifat Reisha sangat jauh bertolak belakang dengan apa yang diceritakan Lidya pada Rico. Reisha merupakan teman yang baik, bahkan begitu sangat baik.
“Hm... kasihan juga kalau cowok sebaik Edward harus mendapatkan cewek nggak bener seperti itu,” komentar Rico. “Baiklah gue akan bantu lu, apa yang bisa gue lakuin?” tanyanya.
“Sini deh!” Lidya menyuruh Rico mendekat dan membisikkan sesuatu di telinganya.
“HAH!” Rico tersentak, dia menatap Lidya tak percaya. Langsung saja dia menggeleng tidak setuju dengan ide Lidya.
“Ini terlalu berbahaya, gue benar-benar nggak bisa bantuin lu,” ucapnya.
“Ini cuma permainan, gue yang akan bertanggung jawab sepenuhnya,” janjinya. “Please... tadi lu udah janji untuk bantu gue, kenapa sekarang malah kayak gini?”
“Tapi bukan untuk hal yang berbahaya seperti ini,” Rico mencoba membuat Lidya berubah pikiran. Ini benar-benar hal konyol baginya, Lidya menyuruhnya mencari preman untuk ngerjain teman sekolahnya sendiri. Menyewa preman? Bagaimana mungkin remaja kelas 2 SMA punya pikiran seperti itu? Dia saja yang cowok dan terkenal bandel tidak pernah terbersit pikiran semacam itu. Lidya masih menatapnya dengan penuh harapan.
“Oke gue bakal bantu lu cari preman, tapi gue nggak mau terlibat jika sampai terjadi sesuatu,” akhirnya Rico mengalah, “Perlu lu tahu, preman itu jarang yang bisa dipercaya omongannya, sekali lu terlibat dengan mereka bakal susah untuk lepas darinya,” ingatnya.
Lidya mengangguk senang, “Terima kasih ya...”
@@@
Ternyata Rico memang bisa diandelin, sore ini dia mengajak Lidya bertemu dengan preman bayaran itu.
“Bang Jon, kenalin ini Lidya, dia yang membutuhkan tenaga Abang,” ucapnya pada seorang pria bertubuh kerempeng dengan rambut gondrong dan tato kepala ular di pergelangan lengannya. Pria yang bernama Bang Jon menatap Lidya.
“Sepertinya lu masih anak SMA, apa yang lu inginkan dari gue?” tanyanya tanpa basa-basi. Lidya bergidik ditatap seperti itu, dia langsung menyenggol lengan Rico.
“Lu belum cerita ke dia?” bisiknya.
“Sudah kok” jawab Rico, dia kemudian menoleh ke arah Bang Jon. “Jangan galak-galak seperti ini Bang,” Rico meninju pelan lengan Bang Jon. Bang Jon tertawa ngekeh, tangannya merogoh saku mengeluarkan bungkus rokok. “Kalau lu setuju dengan harganya, semuanya bisa diatur,” ucapnya sambil menarik sebatang rokok dan mulai menyulutnya.
“Bagaimana Lid?” Rico kembali menoleh menatap Lidya. Lidya mengangguk tanda setuju. “Gue bayar separo di muka, sisanya gue kasih jika semuanya sudah beres,” ucap Lidya takut-takut.
Tawa Bang Jon kembali terdengar, “Kecil-kecil ternyata lu pandai berbisnis juga. Baiklah, kalau lu udah setuju seperti ini, gue tinggal nyiapin anak buah,” ucap Bang John. Lidya mengangguk, dia membuka tas dan mengeluarkan amplop cokelat.
“Di dalam sini ada foto targetnya,” katanya sambil menyerahkan amplop. Bang Jon menerima amplop itu, membukanya sedikit untuk mengintip uang mukanya dan menarik selembar foto.
“Hm... cantik!” gumamnya begitu melihat foto itu. Rico hanya menatap Bang Jon dan Lidya secara bergantian, dia sama sekali tidak tahu seperti apa wajah Reisha yang menjadi target permainan antara Bang Jon dan Lidya.
“Ingat Bang, just game! Jangan sampai melakukan sesuatu yang berbahaya,” Rico mengingatkan, Bang Jon hanya tersenyum tanpa menjawab dan mengalihkan tatapannya dari foto itu. Lidya tersenyum, sebenarnya dia ingin sekali Bang Jon melakukan sesuatu yang lebih pada Reisha dan dari tatapan mata Bang Jon sepertinya apa yang dia inginkan akan tercapai.
@@@
“Capek banget gue...” Reisha membaringkan tubuhnya di samping Lidya. Siang ini mereka berdua sedang menyelesaikan tugas kelompok di kamar Lidya. Setelah hampir dua jam mereka berkutat dengan rumus-rumus kimia akhirnya tugas kelompok itu selesai juga.
“Lu beneran nggak mau nginep di sini?” tanya Lidya.
“Sebenernya gue pengen nginep di sini, sudah lama kita nggak curhat dan share. Tapi gue harus pulang, nanti malam Edward akan jemput gue,” ceritanya.
“Kalian mau ke mana?” tanya Lidya penasaran.
“Kakaknya ulang tahun jadi dia ingin gue datang, tapi sebelum gue ke ulang tahun kakaknya gue harus ke rumah Edwad dulu, katanya sih mau dikenalin sama orang tuanya,” jawab Reisha.
“Apa nggak terlalu cepat? Hm... maksud gue, kalian berdua jadian belum ada satu minggu tapi kenapa harus bertemu dengan keluarga besarnya?” Lidya mencoba mencari alasan agar sahabatnya tidak curiga dengannya.
“Gue udah bilang seperti itu sama Edward, tapi Edward tetap bersikeras pengen ngenalin gue sama keluarganya. Kalau udah kayak gini apa boleh buat, gue tinggal ikutin aja kemauan dia,” Reisha tertawa. Ditatapnya langit-langit kamar Lidya yang berwarna hijau, berada di sini membuat hatinya semakin berwarna. Reisha sangat menyukai dekorasi kamar Lidya yang seperti pelangi, dan warna itu terasa semakin kontras dengan barang-barangnya yang nggak kalah lucu.
Sementara Reisha tengah asyik menikmati nuansa kamar Lidya, Lidya malah sibuk dengan beragam pikiran yang berkecamuk dalam otaknya. Dia sangat tidak rela kalau Reisha sampai bertemu atau berkenalan dengan keluarga Edward, baginya jika hal itu sampai terjadi akan membuatnya semakin susah untuk memisahkan mereka berdua. Pokoknya dia harus melakukan sesuatu agar Reisha tidak bisa bertemu dengan keluarga Edward.
“Lu nggak pengen ke salon?” tanya Lidya. Reisha menoleh dan menatap sahabatnya, “ke salon?!” dia kaget. Sama sekali tidak terbersit di pikirannya untuk pergi ke salon.
Lidya mengangguk, “Iya ke salon, lu kan mau ketemu sama orang tua Edward, jadi lu harus tampil istimewa,” Reisha berpikir, “Sepertinya nggak perlu sampai ke salon segala. Selama ini gue ke salon cuma potong rambut dan creambath, gue malah takut kalau ntar ke salon jadi kayak ondel-ondel,” dia menggeleng.
“Gue temenin deh! Gue jamin penampilan lu nggak bakal ancur kayak ondel-ondel,” tawarnya. Awalnya Reisha masih bersikeras tidak mau, tapi karena bujukan dari Lidya, akhirnya dia bersedia.
“Sebelum ke salon mampir ke rumah gue dulu ya...” pintanya. Lidya mengangguk tanda setuju.
@@@
Drrrtt... handphone Reisha bergetar.
“Hallo...” sapanya.
“Sayang, maaf ya aku nggak bisa jemput, kamu ke sini sendiri nggak apa-apa kan?” tanya Edward tanpa basa-basi, ada nada bersalah dalam ucapannya. Reisha menggeleng,
“Iya nggak apa-apa kok, aku bisa berangkat sendiri,” ucapnya sambil melirik Lidya yang sedang menyetir.
“Baiklah, sampai ketemu di sini ya, bye...”
“Bye...” Edward mematikan sambungan.
“Edward nggak bisa jemput?” tanya Lidya yang masih fokus menyetir, jalanan ramai dan itu membuatnya harus berhati-hati. Reisha mengangguk, “Kita nggak usah ke salon, sekarang hampir jam empat, gue takut kalau waktunya nggak cukup,” ucapnya setelah melihat arloji.
“Baiklah...” Lidya mengangguk, “Sekarang langsung ke rumah lu kan?” tanyanya memastikan.
“Iya,” jawab Reisha. Lima belas menit kemudian mereka sampai di depan rumah Reisha.
“Lu nggak mau masuk dulu?” tanyanya setelah keluar dari mobil. Lidya menggeleng. “Gue harus ketemu temen lama, jadi sorry banget ya, nggak bisa nganterin lu ke rumah Edward.”
“Nggak apa-apa kok, gue bisa ke sana pakai mobil sendiri. Thank’s ya udah dianterin pulang. Bye...” Reisha melambaikan tangan seiring dengan melajunya mobil Lidya yang semakin menjauh. Dilihatnya arloji, masih ada waktu satu jam. Segera dia berlari masuk ke dalam.
@@@

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices