Kuntilanak Gaul

Reads
187
Votes
0
Parts
16
Vote
by Titikoma

4. Dusta Sahabat

Sesosok wanita dengan pakaian yang tidak bisa dibilang layak terlihat mencoba melangkahkan kakinya. Ia hanya mematung sejak kelamnya malam semakin menyelimuti kawasan pinggir kota itu. Samar-samar kedua bola matanya terus melihat aktivitas beberapa pemuda yang masih bercokol dalam ingatannya. Ingin rasanya ia melampiaskan rasa benci yang sudah sangat akut kepada mereka semua, namun ia tak kuasa untuk menggerakkan tubuhnya. Sakit yang masih mendera dalam tiap inchi tubuhnya masih sangat terasa.
Dialah sosok yang hari ini merasakan sakit hati teramat dalam karena melihat kekasihnya berciuman mesra dengan sahabatnya, kemudian dijahati preman-preman yang sama sekali tidak ia ketahui alasannya, lalu dilempar ke jurang dan ditabrak mobil seseorang yang juga tidak ia ketahui. Dialah Reisha.
“Waaaahh!” serunya ketika mata sipitnya melihat ke bawah, “Gue melayang! Gue bisa terbang!” ia takjub dengan kenyataan yang baru saja ia lihat. Ia teringat ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar dulu, ia begitu ingin bisa terbang layaknya seekor burung.
“Jadi burung itu enak ya, Ma! Gak perlu capek-capek jalan kaki,” seru Reisha kecil seraya menunjuk kawanan burung yang sedang terbang untuk mencari makan. Saat itu Mama sedang menggandeng tangan mungilnya menuju sekolah yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah mereka.
“Manusia itu makhluk yang paling sempurna, Sayang. Burung juga capek kalau terbang terus,” jelas Mama.
“Tapi…” Reisha kecil masih mempertahankan pendapatnya, “Burung bisa lihat kehidupan manusia dari atas. Seru, Ma!” sejenak ia berhenti berbicara, memberikan kesempatan bagi Mama untuk mengomentari ucapannya.
“Kalau kita sudah meninggal…” ia mendongakkan kepalanya menatap Mama, “Mungkin kita bisa seperti burung ya, Ma?” lanjutnya setelah melihat senyum Mama sebagai jawaban atas ucapan sebelumnya.
“Nanti kita naik pesawat aja biar kamu bisa lihat kehidupan dari atas sana,” jawab Mama kemudian.
Reisha tersentak mengingat kenangannya sewaktu kecil.
“Meninggal?” gumamnya sendiri. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya ketika matanya secara samar-samar melihat preman tadi menyeret jasadnya yang masih bisa ia kenali.
“Aku sudah meninggal?” ucapnya tak percaya. Perlahan ia menundukkan kepalanya, menarik napas dalam dan dalam hitungan detik ia sudah berteriak.
“Wooooooiii!!! Dengar suara gue gaaaaaaaakk?!!” ia memperhatikan kembali preman-preman yang masih asyik dengan urusannya tanpa memedulikan kehadirannya.
“Mereka gak denger. Ternyata gue memang sudah meninggal,” ucapnya lesu. Sedetik kemudian wajahnya kembali sumringah, luka di sekujur raganya ternyata sudah tidak membekas di rohnya itu dan sakitnya juga sudah meluap seiring sadarnya ia akan kematiannya sendiri.
“Ahha!” ia menjentikkan jarinya seolah telah menemukan solusi terhebat dari sebuah permasalahan, “Preman juga pasti takut sama hantu. Gue mau bales dendam sekarang! Gue kerjain nih preman-preman sialan!” ia menggerutu seraya melangkahkan kakinya yang kini melayang di atas permukaan tanah, tidak lagi mampu tertangkap gaya gravitasi bumi.
“Baaa....!” ia mendekatkan mukanya persis di depan wajah preman yang sedari tadi ia perhatikan hanya mampu memberi perintah tanpa melakukan apapun. Namun tidak ada reaksi. Ia tidak menyerah begitu saja. Ia bergeser menuju preman yang sedang menyeret jasadnya.
“Kyaaaaaaaa!!!” baru saja beberapa meter ia mendekatkan diri ke arah preman itu, ia sudah dibuat takut dengan pemandangan menyeramkan. Ia segera menutupi wajahnya dengan telapak tangan setelah melihat seraut wajah yang setengah hancur dan berurai darah di sekujur tubuhnya.
“Duuuh…” keluhnya kesal, “Kan gue yang mau nakutin, kenapa gue yang takut?! Tapi tadi serem banget! Itu jasad gue ya?!” tanyanya sendiri. Tangannya meraba wajah halusnya. Halus, gak hancur kayak gitu, pikirnya. Ia langsung bergidik membayangan wajahnya yang begitu menyeramkan. Kemudian ia segera menuju preman lainnya yang sedang menggali lubang tempat jasadnya akan dikuburkan.
“Hualoooooooo...!” ia melayang-layang tepat di hadapan preman tersebut dan sengaja membesarkan vibra suaranya agar terkesan menyeramkan. Walaupun sudah tahu bahwa suaranya tidak akan mereka dengar namun ia mengira badannya yang kini bisa melayang-layang itu dapat mereka lihat. Wajahnya lagsung lesu manakala tidak ada respons juga dari preman yang satu ini. Ia mencoba menepuk pundak preman itu, namun tangannya menembus raga kasar milik preman itu.
“Masa gue gak bisa nakut-nakutin mereka, sih?! Gak seru ah! Kalau di film horor gue lihat hantu bisa ngerjain manusia, kenapa gue gak?!” gerutunya sendiri. Kesal dengan rencananya yang tidak berhasil ia mencoba menabrakkan dirinya ke sebuah pohon jati yang sudah sangat tua. Ia ambil ancang-ancang untuk berlari, dan dalam hitungan detik ia sudah berlari dengan sekuat tenaga. Ketika mendekati pohon jati tua itu ia memejamkam matanya. Takut sakit terbentur dengan pohon, pikirnya. Namun beberapa menit kemudian, ternyata ia tidak juga menabrak apa-apa. Ia buka kedua matanya dan menghentikan larinya.
“Waduuh...” ia menolehkan wajahnya ke belakang, “Sudah kelewat pohonnya. Gue benar-benar gak bisa menyentuh apa-apa,” seiring dengan ucapannya itu hujan mulai turun lagi membasahi bumi. Namun tidak ada setetes air hujan pun yang mengenai dirinya. Ia benar-benar telah mati, dan kini hanya tinggal rohnya yang masih terombang-ambing di alam gaib.
“Hah!!” kagetnya. “Dasar preman sialan!! Takut hujan kali, ya?! Masa jasad gue dikuburnya begitu?!! Preman gila!! Tunggu pembalasan gue!!” umpatnya pada preman-preman yang sudah melenggang entah ke mana. Reisha segera melangkahkan kakinya, ia begitu rindu pada Mamanya. Pasti Mama dan Papanya sangat mengkhawatirkannya. Ia harus memastikan kondisi Mama, semoga preman-preman tadi tidak menjahati keluarganya juga, doanya tulus. Ia segera melesat menuju perumahan elite di kawasan tersebut.
@@@
Reisha sampai di depan gerbang rumahnya. Biasanya ketika ia masih menjadi makhluk beraga, ia harus menekan tombol kecil yang terletak di sudut atas gerbang setinggi satu meter itu, atau kalau sedang mengendarai sedan peraknya ia tinggal membunyikan klakson dan dengan segera gerbang rumahnya akan terbuka. Namun dengan kondisinya kini, ia mampu menerobos masuk tanpa seorang pun dapat mencegahnya. Ia lihat Pak Subur yang tengah siaga menjaga keamanan rumahnya. Pak Subur memang sangat bertanggung jawab, pikirnya. Ia palingkan mukanya dari Pak Subur,
lalu kembali menyusuri halaman rumahnya yang sangat luas sampai akhirnya ia merasa senang bisa melihat wajah kedua orang tuanya. Ingin sekali ia menghambur dalam pelukan mereka dan menceritakan semua kejadian pahit yang dialaminya hari ini.
“Papa...” Mama Reisha menepuk pundak suami tercintanya, “Anak kita belum ada kabarnya juga!” pancaran matanya terlihat begitu resah.
“Sabar, Ma! Tadi kan Nak Edward sudah janji akan memberi kabar kalau ia sudah mengetahui keberadaan Reisha,” Papa Reisha mencoba menenangkan istrinya itu. Kedua orang tua paruh baya itu duduk gusar di sofanya yang kian terasa panas.
“Reisha di sini, Mama… Papa!” ujar Reisha dengan wajah yang kentara pucatnya. Mama dan Papanya tentu tidak mampu menangkap gelombang suara dari anaknya itu. Mereka masih asyik dengan kegelisahan sementara Reisha nampak duduk di antara keduanya tanpa mampu berbuat apa-apa.
“Seandainya gue memiliki kekuatan untuk berkomunikasi dengan manusia, gue pasti sudah memberi tahu Mama dan Papa,” gumamnya sendiri.
Kriiiiiiing... Kriiiiiiing....
Tidak berapa lama telepon rumah berdering membuyarkan kegelisahan mereka berdua. Segera Mama mengangat telepon yang tidak terlalu jauh dari tempatnya duduk. Reisha bersiap mencuri dengar percakapan yang akan berlangsung.
“Halo… Nak Edward?!” tanya Mama tanpa basa-basi.
“Iya, Tante...” terdengar suara bervibra dari ujung teleponnya, “Reisha belum juga ke rumah, Tante?” tanyanya tidak kalah panik.
“Belum,” jawab Mama lesu. Butiran kristal terlihat mengumpul di kedua sudut matanya.
“Tadi aku telepon ke rumah Lidya, Kakeknya bilang Lidya belum pulang juga dari tadi sore.”
“Lho, Lidya belum pulang juga?!” gumam Reisha sendiri. Ucapan Edward membuat mata Mama kembali bersinar.
“Mungkin mereka lagi shooping ya, Nak?!” Mama bertanya dengan nada suara yang bersemangat.
“Tapi ini sudah jam 23.17, Tante. Mana ada mall yang buka sampai jam segini,” ucap Edward membuat lagi semburat kegelisahan di mata Mama.
“Kalau sampai besok belum pulang, aku cariin ke setiap rumah teman-teman di sekolah, Tante. Tante jangan khawatir, ya! Semoga Reisha gak kenapa-napa,” ucapannya tadi sekaligus mengakhiri percakapan mereka. Mama meletakkan kembali gagang telepon berwarna biru muda ke habitatnya.
“Jangan percaya sama Edward, Ma! Gara-gara dia aku jadi kayak gini!” teriak Reisha penuh kebencian. Sedetik kemudian Reisha tersentak, “Jangan-jangan Lidya..??!” tanpa berpikir panjang lagi ia segera melesat menuju kompleks perumahan di mana Lidya tinggal.
Belum lagi sampai ia di rumah Lidya, matanya menangkap pemandangan yang membuatnya kembali didera rasa kesal.
“Preman gila! Mau dibawa ke mana sedan silver gue??!” Reisha menunda niatnya untuk pergi ke rumah Lidya. Ia ingin mengetahui aktivitas preman yang telah merampas kehormatannya dan kini tengah membawa mobil kesayangannya entah ke mana.
“Lumayan nih Bos! Dapet untung banyak dari hasil jual mobil ini,” preman bertubuh kekar dengan tato naga di lengan kirinya berkomentar.
“Iya, apalagi gue…” ujar Bang Jon selaku bos preman, “Sudah bisa melampiaskan libido ke perawan cantik, dapat uang pula, cakep deh hidup gue! Hahaha!” tawanya membahana membuat kebencian Reisha memuncak.
“Bos curang nih! Gue gak diajak!” protes preman bertato naga tadi.
“Laaah… lu kan tadi lagi main kuda-kudaan sama si Sumi di warung remang-remang,” Bang Jon membela.
“Hehehe iya sih, Bang! Tapi kalau ada gratisan buat nikmatin perawan cantik, gue tinggalin dulu tuh si Sumi!” celetuknya yang dibalas dengan sebuah tepukan keras di pundak kekar miliknya.
“Yang penting sekarang lu dapet bagian dari bisnis penjualan ini!” tegas Bang Jon membungkam protes anak buahnya yang satu itu. Transaksi penjulan mobil berlangsung lancar dan kini Reisha dapat melihat mereka berpesta alkohol di base camp yang tidak jauh dari tempat mobilnya dijual. Muak sudah ia melihat mereka, tapi apalah daya ia tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Dengan hati yang begitu kesal ia pergi meninggalkan kawanan preman yang tengah menggila dengan alkohol. Ia melayang menuju rumah Lidya untuk memastikan keadaan sahabatnya itu.
Sesampainya di rumah Lidya, Reisha segera menemukan Honda Jazz biru milik Lidya terparkir rapi dalam bagasi rumah. Berarti Lidya tidak kenapa-napa, pikirnya lega. Sesaat bayangan Lidya sedang berciuman mesra dengan Edward terlintas dalam ingatannya. Cemburunya kembali meledak. Kendati demikian, ia tidak mengurungkan langkahnya yang semakin mendekati kamar Lidya.
Matanya menangkap sosok Lidya tengah berbicara melalui handphone dengan seseorang di kamarnya. Ia dekatkan tubuhnya sehingga mampu mencuri dengar pembicaraan sahabatnya itu.
“Iya, hari ini rencana gue sudah dilaksanakan…” terdengar suara Lidya yang membuat penasaran Reisha.
“Yoi... gue punya ajian hipnotis kali!” seru Lidya semakin membuat Reisha menempelkan indra pendengarnya tepat di handphone Lidya. Terdengar suara cowok di seberang sana. Mungkinkah itu Edward? tebak Reisha.
“Lu apain tuh si Edward?” tanya cowok itu.
“Oh, ternyata bukan Edward,” ucap Reisha lega.
“Gue hipnotis biar sejenak lupa sama ceweknya yang sok kecakepan itu!” jawaban yang membuat Reisha terhenyak. Ia tidak menyangka sahabat baiknya itu bisa berbicara yang tidak enak terhadap dirinya.
“Terus ceweknya kabur dan dikerjain sama Bang Jon?? Sekarang kondisi cewek itu bagaimana??” tanya cowok di ujung handphone itu lagi.
“Rico... masalah bagaimana nasib tuh cewek kampungan bukan urusan lu! Yang jelas preman-preman dari lu itu bisa gue andelin. Dan lu ingat ya, Rico. Apapun yang akan terjadi sama cewek itu lu harus janji untuk tutup mulut. Jaga rahasia ini!” Lidya menekankan ucapan terakhirnya.
“Iya. Tapi lu hati-hati. Gak selamanya preman-preman itu menguntungkan buat lu,” Nasihat Rico yang tidak dipedulikan sama sekali oleh Lidya. Meskipun kini Reisha hanyalah roh tanpa raga, akan tetapi mendengar semua ucapan Lidya barusan tak pelak menorehkan luka yang mendalam di hatinya. Ia merasa tidak mengenali lagi sahabatnya itu. Sakit yang begitu menyesakkan dada membuat Reisha tidak mampu berlama-lama di rumah Lidya. Dengan berurai air mata ia segera berlalu meninggalkan Lidya yang masih berbincang-bincang di dalam kamarnya.
Reisha melayang tidak tentu arah, hanya mengikuti arah angin membawanya. Hingga tidak disadarinya ia telah berada di halaman rumah Edward, kekasihnya. Alunan musik dangdut dari pos satpam tempat Mang Parman berjaga terdengar begitu histeria. Membuyarkan segala lamunannya sepanjang ia melayang tadi.
“Lho...” kaget Reisha, “Kenapa gue ada di sini?!” ia menghapus sisa-sisa air mata yang masih membasahi kedua pipi pucatnya. Bibirnya menyunggingkan senyum manakala matanya menangkap sosok Mang Parman yang tengah asyik berjoged ria. Mang Parman selalu saja begitu, pikirnya.
Ia beranjak mendekati sosok laki-laki yang tengah duduk gelisah di teras rumah. Diperhatikannya sosok itu dengan seksama. Ada butiran bening menggenang di kedua sudut matanya.
“Edward menangis??” tanya Reisha sendiri. Baru kali ini ia lihat sosok Edward yang tengah menangis. Wajahnya begitu memancarkan gurat-gurat kesedihan dan kekhawatiran yang berbaur menjadi satu. Ia mencoba menghapus air mata Edward yang mulai meluncur membasahi kedua pipinya. Tidak ada hasil apapun dari usahanya tadi.
“Reisha sayang…” isak Edward seraya menyebut nama gadis yang dicintainya, “Kamu ke mana, sih? Aku khawatir banget sama kamu!” miris hatinya melihat kekasih tercintanya berurai air mata. Air matanya kembali bercucuran dengan deras. Karena merasa tak ada yang bisa dilakukannya untuk membuat air mata kekasihnya itu berhenti, maka ia memutuskan untuk ambil langkah seribu meninggalkan Edward dengan tangisan yang juga membasahi kedua pipinya.
@@@

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices