Kacamata Kematian

Reads
177
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

7. Membuat Dia Tertawa Lepas

Langit
Hari ini aku ke kampus lebih pagi dari biasanya. Tentu saja ada maksud terselubung, biar bisa ngobrol-ngobrol sama Arshita dulu. Aku dan Arshita satu ruangan. Kami sama-sama mengambil jurusan desain grafis.
Begitu memasuki ruangan, aku melihat Arshita sudah stand by di tempat duduknya. Dia hanya melamun. Raut wajahnya murung. Aku melangkahkan kaki menuju tempt duduk. Kebetulan tempat dudukku berseberangan dengan tempat duduk Arshita.
“Hey, cantik. Pagi-pagi udah bengong aja ntar kesambet loh. Wajahmu juga sedih, lagi masalah ya? Cerita dong sama aku. Siapa tau aku bisa ngasih solusi buat masalahmu.”
“Masih soal Chiara. Udah lima hari berlalu tapi sampai detik ini Chiara masih aja marah sama aku. Tiap aku menjelaskan, dia nggak mau denger. Aku mesti ngapain biar Chiara nggak marah lagi?”
“Kan dah aku bilang biar waktu yang menenangkan Chiara. Aku yakin kok dia nggak bakal bisa marah lama-lama sama kamu. Kan kamu sahabat terbaiknya.”
“Iya, sih. Tapi kapan? Aku nggak sanggup dia marah sama aku lama-lama.”
“Shit, pulang kuliah kamu ada acara apa?”
“Kayaknya nggak ada acara apa-apa deh.”
“Mau nggak ikut sama aku?”
“Kemana?”
“Ada deh. Pokoknya aku akan bawa kamu ke tempat yang bisa bikin kamu tertawa lagi.”
“Males ah.”
“Ayolah, please!” ucapku sambil menelungkupkan tangan serta mengeluarkan ekspresi muka melas.
“Ya, udah deh. Aku mau ikut sama kamu. Tapi jangan ngajak aku ke tempat aneh-aneh ya!”
Yes, ini saat yang aku tunggu-tunggu sejak enam tahun yang lalu. Akhirnya Arshita mau juga kuajakin jalan. Aku bertekad di sana bikin Arshita tertawa lepas dan membuat kegalauan dia hilang.
***
Sesuai janjiku sepulang kuliah, aku mau bawa Arshita ke tempat yang bisa bikin dia tertawa lepas. Dan tempat yang kupilih adalah Jungleland, dunia petualangan seru. Terletak di Sentul Nirwana Bogor. Aku memilih tempat ini karena lihat sinetron Anak Jalanan. Episode ke berapa gitu ada adegan Raya ke junleland. Raya bisa tertawa lepas di jungleland. Siapa tau Arshita mengikuti jejak Raya.
Di jungleland ini ada anyak wahana permainan. Di antaranya : Fligth Academy, Texan Train, 3 poin basket, water flume, ship adventure, dan disk’o. Tiket masukny sendiri lumayan mahal. Hari senin-jumat tiket masuknya 165 ribu perorang.
Berhubung aku yang ngajakin, jadi aku juga yang bayar tiket masuknya. 165 ribu lumayan kan buat beli kouta internet selama tiga bulan? Tapi demi kebahagian Arshita, aku rela mengeluarkan uang segitu Cuma buat satu hari.
“Arshita, kita main wahana itu yuk!” tanganku menunjuk sebuah wahana yang bernama disk’o. Cara wahana ini bekerja dengan berputar dan berayun di atas piring raksasa hingga ketinggian 15 meter. Pasti sensasinya beda.
“Nggak ah. Aku takut. Gimana kalau tiba-tiba wahananya rusak dan akhirnya kita jatuh?”
“Kan ada aku, aku pasti melindungi kamu.”
“Ya udah deh. Kita coba main wahana itu ya.”
Arshita mah gitu orangnya. Kalau diajakin pasti nolak dulu. Tapi ujung-ujungnya mau juga. Namanya juga cewek. Malu-malu kucing.
Ketika kami menaiki wahana disk’o, terlebih saat berada di pucak ketinggian 15 meter si Arshita merentangankan kedua tangannya. Mulutnya tak ada henti-hentinya berteriak dan tertawa lepas. Bahagiamu, bahagiaku juga. Semakin dia tertawa lepas aku semakin bahagia.
Waktu terus bergulir. Saking asyiknya naik wahana permainan, aku dan Arshita baru sadar bahwa hari sudah hampir senja.
“Shit, kita pulang yuk! Udah sore nih. Kamu nggak takut dicariin mama?”
Arshita menggeleng. “Mamaku mah sibuk di luar kota. Jarang pulang ke rumah. Biasana yang sering nemenin aku di rumah itu Chiara. Makanya aku sedih banget begitu Chiara marah sama aku.” Raut wajah Arshita kembali mendung.
Ah, sial. Aku bikin dia sedih lagi.
“Gimana kalau sebelum pulang kita mampir ke café dulu? Ya, sekadar makan atau minum jus gitu.”
“Boleh. Tapi aku pengennya ke one fifteenth coffe. Aku kangen minum kopi aja sih. Gimana?”
Mataku berbinar. Nggak menyangka Ar
***
One fifteenth coffe termasuk kedai kopi terngehits nomor 1 di Jakarta. Letaknya di bilangan selatan Jakarta, tepatnya di jalan Gandaria Jakarta Selatan. Didirikan oleh Doddy Samsura juara Barista Champions asal Indonesia, sudah nggak diragukan lagi kalau rasa kopi di sini juga juara.
Tempat juga terang dengan pencahayaan alami, bisa bikin pengunjung betah berlama-lama minum kopi di sini.
“Arshita, kamu tunggu di sini aja. Biar aku aja yang pesen. Kamu mau minum kopi apa?” tanyaku.
Di one fifteenth coffe nggak ada waiters-nya. Jadi kita sendiri yang pesen kopi ke dapur dan bawa kopi kembali ke tempat duduk.
“Aku pesan Rojali aja deh.”
Rojali di sini bukan nama orang. Melainkan menu utama di one fifteenth coffe. Pembuatan Rojali sendiri itu diperas selama 12 jam, lalu dicampur dengan sedikit soda dan perasaan jeruk kemudian disajikan dingin. Sekilas rasa Rojali seperti tequila di lidahmu. Tapi kalau kamu mencecapnya dengan saksama rasa kopi akan tetap terasa.
Aku melangkahkan kaki menuju dapur. Ntah mengapa aku merasakan ada seseorang mengikutiku, ketika membalikkan badan nggak ada siapa-siapa. Apa perasaanku saja? Ntahlah. Aku kembali melanjutkan langkah.
“Mbak, saya pesan Rojali dua gelas ya,” ucapku pada Barista one fifteenth coffe.
“Baik. Tunggu sebentar ya.”
Drrttt … Drrrt
HP di sakuku bergetar. Sambil menunggu pesanan kopi jadi, tak ada salahnya kan ngecek HP dulu? Ternyata ada sms masuk.
From : 08785667889
Gue tau lo lagi di one fifteenth coffe. Gue pastiin bentar lagi lo akan berpisah sama Arshita, karena gue nggak akan rela lo bersama dia.
Shit, siapa sih pake ngancem-ngancem segala? Mendadak aku jadi ingat kasus Mirna. Kematian Mirna di café saat minum kopi. Jangan-jangan Jessica ada di sini. Ih, ngeri.
Drrrt … Drrt
HP yang masih kupegang bergetar lagi. Ada sms masuk lagi.
KLO LO MAU TAU SIAPA GUE, BURUAN LO KELUAR DARI KEDAI ONE FIFTEENTH COFFE.
Muncul rasa penasaran di hati. Rasa penasaran tingkat dewa membuatku mengikuti permintaannya untuk keluar sebentar dari one fifteenth coffe. Sesampai di luar nggak ada siapa-siapa. Aku celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri nggak ada orang yang mencurigakan.
Woy, gue dah di luar one fifteenth coffe nih. Ayo buruan tunjukkin batang idung lo.
Klik sent ke nomor orang yang tadi menyuruhku keluar dari one fifteenth coffe. Sepuluh menit aku menunggunya, dia nggak kunjung menampakkan batang hitungnya. Smsku pun nggak dibalas.
“Apa ini kerjaan orang iseng doang?” pikirku. Aku kembali ke dapur untuk kembali mengambil kopi pesanan. Ya, kopi ternyata sudah tersedia. Tinggal bawa ke depan.
Arshita memanyunkan bibir. “Kok manyun? Ntar cantiknya ilang loh.” Aku mencolek dagunya.
“Abis kamu sih lama banget sih mesen kopinya? Biasanya lima menit juga kopinya dah jadi. Jamuran tau nungguin kamu.”
“Iya, deh. Maaf. Tadi itu aku sakit perut jadi ke toilet dulu.” Aku sedikit berbohong. Kalau aku jujur ntar dia panic dan parno.
Arshita mengambil gelas kopi lalu menyesapnya secara perlahan. Di luar dugaanku, dalam hitungan menit setelah Arshita menengak kopi tersebut tubuh dia jadi kejang-kejang, matanya melotot sambil memegangi leher. Kemudian mulutnya berbusa.
“Arshita, kamu kenapa? Tolong! Tolong!” Aku jadi panic sendiri.
Kepanikanku semakin bertambah kala melihat beberapa orang pilisi datang dan mengacungkan pistol ke arahku. “Jangan bergerak. Anda tertuduh sebagai pelaku pembunuhan dengan meracuni wanita ini.”
Aku jadi cengo. “Hah? Maksud Bapak apa sih? Saya aja nggak tau kenapa dia jadi kayak gitu.”
“Semua jelaskan di kantor polisi saja!”
Dua orang polisi memborgol tanganku ke belakang. Kalau sudah seperti ini mau nggak mau harus ke kantor polisi. Alamak, kok jadi kayak gini sih? Oh Tuhan apa rencanamu di balik semua ini?
***
Duduk berhadapan dengan Pak polisi membuat peluh membanjiri keningku. Situasi seperti ini jauh lebih menakutkan dibanding saat berhadapan dengan soal ujian nasional. Pak polisi mengatakan bahwa kopi yang diminum Arshita itu ada sianida.
Menceritakan pada polisi tentang kronologis kejadian di one fifteenth coffe sampai menunjukkan sms ancaman yang aku terima juga sudah kulakukan. Tapi tetap saja polisi di depanku ini nggak percaya. Bahkan dia memaksaku untuk mengaku. Masa aku harus mengakui perbuatan yang nggak kuperbuat?
Pak polisi memutuskan istirahan dulu, satu jam kemudian dia kembali menginterogasiku. Dinterogasi sampai seratus kali pun jawabanku tetap sama, aku nggak masukin sianida ke kopi yang diminum Arshita.
Ujung hidung terasa penat, terpaksa aku harus melepas kacamata yang aku pakai.
“Asal lo tau, kacamata yang lo pake itu ada efek sampingnya dan efek sampingnya adalah dikit aja lo nyakitin hati cewek maka malapetaka menghampiri hidup lo.” Kata-kata Franco kembali terngiang di telingaku.
Muncul rasa penyesalan di hati. Mungkin benar yang dikatakan Franco, kacamata yang kupakai ini ada efek sampingnya. Apa yang kualami ini karma dari perbuatanku karena melukai hati Chiara.
Andai aja waktu itu aku mensyukuri wajah pemberian Tuhan, nggak beli kacamata ini dan dengerin kata-kata Franco pasti nggak akan jadi seperti ini. Nasi sudah jadi bubur. Semua yang sudah terjadi nggak akan terulang lagi.
Jadi kangen sama Franco. Coba aja kalau dia nggak marah sama aku pasti dia orang pertama yang ngasih solusi buat masalahku. Sekarang aku baru menyadari bahwa persahabatan jauh lebih berharga dari cinta.
Terbukti cinta lah yang membuatku harus berada di kantor polisi.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices