hellend ( noni belanda )
Hellend ( Noni Belanda )

Hellend ( Noni Belanda )

Reads
192
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

Chapter 2

Hari menjelang malam. Di ruang kerja kantor penerbitannya, Pak Kasman seperti sedang memilah tumpukan berkas-berkas di atas meja. Dari sejumlah naskah novel yang dikirimkan ke penerbitannya, lelaki berbadan tegap tersebut akhirnya memutuskan memilih salah satu di antaranya.
Dengan penerangan yang terkesan remang, Pak Kasman membuka lembaran terakhir berkas novel di tangannya. Bagian biodata penulis. Pemilik penerbitan Black Rabbit tersebut lantas tersenyum penuh arti begitu mendapati kriteria yang ia cari ada di sana: mampu berbahasa Balanda. Tak lupa, Pak Kasman mengamati foto si penulis yang berpose bersama suami dan seorang putri kecil.
Pak Kasman lalu meraih ponsel yang sedari tadi ia letakkan di sisi sebelah kanan laptop di depannya dan menekan angka yang tertera di lembar biodata penulis tadi.
Tuuut …!
Terdengar nada tersambung yang terhubung. Sesaat kemudian, di seberang panggilan, dering ponsel bergema memenuhi sebuah ruang kamar bernuansa pastel. Pemiliknya, Sarah Astari, sedang menggosok gigi di kamar mandi dan bersiap makan malam. Mendengar dering nada panggilan, Sarah segera berkumur dan beranjak meraih ponselnya di luar. Ia lihat nama si penelepon. Tidak ada. Panggilan itu berasal dari nomor baru.
“Halo ….” Sarah mengangkat telepon.
“Selamat malam!” sapa suara berat seorang lelaki dari seberang saluran.
“Malam. Ini siapa, ya?”
“Benar dengan Sarah Astari?”
Sarah terdiam sejenak, sambil berusaha menerka dari mana si penelepon tersebut bisa mengetahui nama lengkapnya. “Ya, benar, dengan saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”
“Perkenalkan, saya Kasman Wijayakusuma dari Penerbit Black Rabbit. Apa benar kamu pernah mengirimkan naskah berjudul ‘Bloody Money’ ke penerbitan kami?”
Setelah sesaat mencoba mengingat-ingat dan yakin, akhirnya Sarah menjawab. “Ya, benar. Sekitar dua bulan yang lalu.”
Sedikit terkekeh, meski sebenarnya tidak ada yang lucu dari ucapan Sarah, Pak Kasman lantas menyampaikan maksudnya. “Untuk naskah tersebut, masih dalam proses pertimbangan kami. Namun, saya mempunyai penawaran menarik buat kamu. Apa kamu bersedia jika saya kontrak untuk menulis sebuah novel horor?”
“Horor?” Sarah menjeda sejenak ucapannya. “Maaf, Pak. Saya biasanya menulis novel bergenre suspense dan thriller. Seperti ‘Bloody Money’ yang saya kirimkan ke penerbitan milik Bapak. Belum pernah mencoba menulis novel bergenre horor. Hmm … tapi bisa saya pertimbangkan. Namun, saya tentu butuh waktu untuk memikirkan hal tersebut.”
“Oh, tidak masalah. Saya tunggu kabar baiknya. Selamat malam.”
“Selamat malam,” jawab Sarah sebelum kemudian terdengar nada telepon terputus dari seberang panggilan.
Setelahnya, Sarah meletakkan kembali ponselnya ke atas meja. Sebuah senyum semringah mekar di wajahnya. Ia tak menyangka, cita-citanya untuk menjadi penulis besar akan segera terwujud. Padahal tadi ia hendak langsung mengiyakan penawaran Pak Kasman. Namun ia sadar, dengan begitu Pak Kasman akan menganggapnya sebagai penulis yang terlalu mudah menerima tawaran. Kurang gereget, batinnya.
Sesaat kemudian Amely, putri Sarah yang belum genap berusia tujuh tahun, memanggil dari muka pintu kamar yang terbuka. Gadis kecil itu mengajak ibunya untuk segera makan malam.
“Mommy, ayo kita makan malam. Papi sudah menunggu di meja makan.”
“Sebentar, Sayang. Mommy baru saja selesai menerima telepon.”
Sarah tersenyum ke arah Amely. Ia sungguh beruntung memiliki seorang putri yang menggemaskan, hasil dari pernikahan dengan Kevin Maulana, sang suami. Tak lupa, Sarah mengecup lembut kening Amely dan mengajaknya melangkah ke ruang makan. Sebab, kalau boleh jujur, sedari tadi perut Sarah sudah berkali-kali terdengar keroncongan.
***
Seminggu setelah percakapan dengan Pak Kasman, pemilik penerbitan Black Rabbit, Sarah menyempatkan diri berkunjung ke kantor penerbitan milik lelaki itu. Tujuannya satu. Setelah memikirkan masak-masak keputusannya, akhirnya Sarah memutuskan untuk menerima penawaran lelaki berkacamata tersebut. Apalagi bayaran yang dijanjikan terbilang fantastis untuk penulis yang kurang terkenal sepertinya.
“Bagaimana? Sudah kamu pikirkan keputusanmu?” Pak Kasman menyambut kedatangan Sarah dengan pertanyaan demikian.
“Terus terang, ini kali pertama saya akan menulis novel horor,” jawab Sarah jujur seperti halnya ketika dihubungi melalui telepon.
“Tidak masalah. Beberapa penulis justru terkenal dari karya pertamanya.” Pak Kasman menarik kursinya agar semakin dekat dengan meja kerja. Dari laci, lelaki berpenampilan rapi tersebut menarik sebuah amplop cokelat berukuran besar. Dengan yakin, Pak Kasman lalu menyodorkan amplop tadi kepada Sarah.
“Semua data dan informasi, termasuk outline mengenai cerita yang akan kamu tulis ada di dalam situ. Tapi, jangan terpaku dengan apa yang sudah saya siapkan di dalamnya. Kamu bebas mengembangkannya. Dan yang paling penting, semoga novel horor tersebut selesai sesuai deadline.”
“Terima kasih.” Sarah tersenyum. Manis.
“Oiya, mulai besok, kamu juga bisa menggunakan fasilitas rumah pribadi yang saya sediakan untukmu. Saya rasa suasana di sana tenang dan cocok untuk mendukung feel menulismu.”
Sekali lagi Sarah tersenyum. Ini kali pertama ia mendapat kontrak penulisan dengan fasilitas yang ‘wah’ dan bayaran yang terbilang sangat besar. Tak heran memang, sebab semua penulis, termasuk dirinya, begitu mengenal Penerbit Black Rabbit sebagai salah satu penerbitan besar dan ternama.
“Sekali lagi, terima kasih, Pak Kasman. Saya akan berusaha menyelesaikan novel ini dengan sebaik-baiknya.” Sarah berdiri, lalu sedikit membungkuk sebelum kemudian ia berpamitan. Ia bahkan tak memperhatikan ekspresi Pak Kasman yang tersenyum penuh arti.
Hari mulai petang. Sepanjang perjalanan pulang dari kantor penerbitan Black Rabbit, Sarah terus-terusan semringah. Begitu sampai di rumah, perempuan berambut hitam panjang tersebut langsung memeluk Kevin, suaminya, yang sedang menggosok gigi.
“Kamu kenapa, Sayang?” Kevin merasa sedikit aneh ketika mendapati kelakuan Sarah yang mendadak manja. “Gimana kontrak penerbitan novel horormu?” lanjutnya.
“Hmm ….”
“Gimana?” Kevin menaikkan sebelah alisnya. Penasaran.
“Taraaa …!” Sarah mengibas-ngibaskan amplop cokelat yang tadi diserahkan Pak Kasman padanya di depan Kevin.
“Kamu terima?”
Sarah mengangguk. “Nilai kontraknya juga sangat fantastis. Mereka bahkan memberi fasilitas rumah yang nyaman untuk mendukung suasana menulisku.”
“Really? Kamu serius?”
Sekali lagi Sarah mengangguk.
“Eh, tapi, emangnya mesti, ya, kita pindah rumah?” Kevin memandang wajah istrinya yang tampak cantik meski masih dibalut raut keletihan.
“Nggak ada salahnya, kan, mencoba suasana baru, Pa?”
Kevin hanya tersenyum. Kali ini ia yang balas memeluk Sarah dengan mesra.
“Cie … yang bakal jadi penulis tenar.”
Sarah lantas mengecup pipi suaminya.
***
Tiga hari kemudian, di depan sebuah rumah berlantai dua dengan arsitektur bergaya kolonial, mobil yang dikendarai Kevin menepi. Sarah turun dari kursi di samping kemudi, diikuti Amely yang segera berlari kegirangan ke arah rumah.
“No, Amely. Tunggu Mommy!” larang Sarah. Sebab, di dalam rumah pasti masih banyak barang yang berserakan. Ia tak mau Amely menabrak sesuatu. Apalagi di dekat mereka, mobil pengangkut barang tengah terparkir. Tampak dua orang petugas dari jasa pengangkutan tersebut sedang memindahkan barang-barang Sarah dan keluarganya ke dalam rumah yang akan mereka tinggali selama beberapa waktu ke depan. Rumah yang disediakan Black Rabbit untuk mendukung Sarah menyelesaikan proyek novelnya.
Mendengar namanya disebut, bocah yang tahun depan baru akan masuk sekolah dasar itu, berbalik. Ketika hendak berbalik itulah Amely melihat sesosok perempuan berwajah pucat sedang berdiri di depan jendela kamar di lantai dua. Tapi, bocah perempuan itu tak berpikiran macam-macam. Ia abaikan begitu saja.
Salah seorang petugas kali ini sedang menurunkan beberapa lukisan milik Sarah ke dalam rumah. Selain sebagai penulis, Sarah juga hobi melukis di sela waktu luangnya sebagai ibu rumah tangga. Baginya, melukis adalah cara lain menuangkan perasaan. Kuas dan palet menjadi teman karibnya ketika menghabiskan akhir pekan. Apalagi ketika Kevin, suaminya yang seorang arsitek, sibuk bekerja. Bahkan beberapa kali lelaki dewasa itu harus meninggalkan anak dan istrinya berdua di rumah untuk bertugas ke luar kota.
“Pak, meja ini mau diletakkan di mana?” seorang petugas yang lain bertanya pada Kevin yang tampak memeluk mesra Sarah. Keduanya sedang dilanda kebahagiaan.
“Letakkan saja di ruang belakang. Biar nanti saya yang menatanya sendiri.”
“Baik, Pak.” Petugas jasa angkut barang tersebut lantas memanggil rekannya yang baru saja ke luar dari rumah, yang selesai memasukkan semua lukisan milik sarah. “Bantu angkat ke ruang belakang,” katanya lagi untuk meminta bantuan.
Sarah dan Kevin lalu kembali membuka pintu belakang mobil. Ada beberapa barang ringan yang sengaja mereka angkut di dalam mobil mereka.
“Amely, bantu Mommy angkat barang, Sayang,” pinta Sarah sambil merapikan kardus berisi berkas-berkas pendukung dan segala macam informasi untuk membantunya menyelesaikan proyek novel. “Bawa bonekamu itu ke dalam, Sayang,” katanya kemudian.
“Baik, Mommy.” Amely lantas mengambil boneka berukuran cukup besar dari kursi belakang dan meletakkannya ke dalam pelukan.
Sekali lagi manik mata bocah berkulit bersih itu tertuju pada jendela kamar di lantai dua. Tapi, sosok perempuan yang tadi sempatnya dilihatnya di sana sudah tidak ada lagi. Entah ke mana menghilangnya.
Di tempat lain, di dalam ruang belakang rumah berdesain interior klasik yang diberikan sebagai fasilitas untuk Sarah menulis novelnya, dua orang petugas yang baru saja meletakkan meja gambar milik Kevin, tiba-tiba mendengar suara asing dari halaman belakang. Suara beberapa perempuan yang tengah berbincang-bincang dengan bahasa yang tak sedikit pun dimengerti kedua petugas tersebut. Penasaran, mereka mendekati jendela dan seketika merasa aneh. Di halaman belakang, beberapa sosok perempuan berpakaian khas Belanda zaman dulu tengah menari-nari. Bersendau gurau. Terbahak-bahak.
Ketika menyadari ada yang memperhatikan mereka dari jendela, beberapa noni Belanda menoleh. Mata mereka saling bersirobok dengan netra dua petugas tadi. Lalu senyuman memikat, mereka lemparkan pada keduanya. Tapi menyadari ada yang aneh, kedua petugas tersebut memilih mundur beberapa langkah. Tak menghiraukan seorang noni yang malah melambaikan tangan, memanggil keduanya. Benar saja, sesaat kemudian noni berwajah pucat namun cantik tersebut tiba-tiba ekspresinya berubah menjadi amat menyeramkan. Menyeringai dan bergerak ke arah jendela tempat petugas tadi berdiri dengan gerakan cepat. Setengah melayang!
Dua orang laki-laki itu lari tunggang langgang. Pintu utama menjadi tujuan keduanya. Terburu-buru, sembari berkali-kali menoleh ke arah belakang lantaran takut ada yang mengikuti, dua orang petugas tadi bahkan tak memperhatikan jalan. Tepat di depan pintu utama, Amely yang tengah menggendong boneka kesayangannya, baru saja hendak masuk ke rumah. Sedang dari dalam, dua petugas angkut barang berlari dengan terbirit. Nyaris saja Amely tertabrak. Untunglah, ada yang segera menarik tubuh gadis mungil tersebut. Hingga tabrakan dahsyat tersebut mampu terelakkan.
Merasa ada yang menyelamatkan, Amely menoleh ke sekitar. Namun, anehnya, tidak ada siapa-siapa di dekatnya. Kosong. Sedang, Sarah maupun Kevin masih berada di dekat mobil mereka. Mereka tidak menyadari apa yang barusan terjadi.
“Semua barang sudah selesai kami masukkan, Pak. Kami izin pamit.” Salah satu petugas menemui Kevin, sedang rekan yang satu lagi, sudah naik ke kursi kemudi. Tampak benar kepanikan terpatri di wajah mereka.
Tanpa menunggu Kevin yang merogoh saku celana bagian belakang—hendak memberikan tip, petugas tadi segera berlari dan menyusul rekannya yang sudah lebih dulu berada di dalam mobil. Meninggalkan Kevin dan Sarah yang saling tatap keheranan.
“Kenapa mereka? Aneh,” gumam Sarah.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices