by Titikoma
Chapter 1
Pak Kasman yang baru saja terbangun dari tidurnya, langsung menoleh ke arah jendela. Belakangan ini, ada-ada saja hal aneh yang sering mengganggu malamnya. Seperti apa yang barusan terjadi. Ia mendengar suara tarikan napas berat yang berasal dari arah jendela kamar. Namun, sepanjang penglihatan manik mata lelaki itu, ia justru tak mendapati apa-apa. Hanya udara kosong yang ia temui. Lelaki berusia nyaris lima puluh tahun itu lantas mengedarkan sekali lagi pandangannya ke sekitar, ke arah sudut-sudut kamar yang temaram. Ia merasa ada yang tengah memperhatikan gerak-geriknya. Tapi, tetap tak ada siapa-siapa di sana.
Pak Kasman memutuskan untuk kembali tidur. Sebab, jam dinding baru menunjukkan pukul satu dini hari. Namun, baru saja lelaki itu hendak kembali menutup mata, tiba-tiba indra pendengarannya sekali lagi menangkap suara napas berat yang sama. Jelas suara itu bukanlah miliknya.
Menatap ke arah jendela, kali ini mata Pak Kasman seketika terbelalak. Sebab di sana, dengan penerangan seadanya, manik mata Pak Kasman menangkap siluet sosok perempuan berpakaian kuno. Seperti pakaian perempuan dari masa kolonial.
Tubuh Pak Kasman terpaku, seperti beku. Hingga tanpa peringatan, tiba-tiba sosok perempuan berwajah pucat menyeramkan tadi, dengan gerakan cepat, merangkak naik ke atas tempat tidur. Membuat Pak Kasman serta-merta berteriak.
Pak Kasman seketika terbangun dari mimpinya. Napasnya tersengal-sengal. Tubuhnya dibasahi gumpalan peluh. Rupanya apa yang sedari tadi terjadi hanyalah bunga tidur semata. Namun, ini bukan kali pertama. Berkali-kali mimpi buruk yang hampir sama, menghantui nyaris di setiap malam-malamnya. Sudah hampir seminggu belakangan, mimpi tentang hantu perempuan bergaun zaman kolonial terus berulang. Seperti memberikan ia peringatan dan sebuah petunjuk.
Pak Kasman bahkan ingat mimpinya kemarin. Mimpi tentang sosok perempuan Belanda yang sama. Bedanya, wajah perempuan itu tidaklah menyeramkan seperti mimpi barusan. Hanya berwajah pucat pasi dengan rambut pirang panjangnya.
Malam kemarin, dalam mimpinya, sosok perempuan berkulit putih tersebut seperti mengajaknya melangkah ke ruang kerja. Meski takut, lelaki tersebut lantas mengikutinya. Sebab, ada sesuatu di diri Pak Kasman yang seperti memerintahkan untuk berjalan ke arah yang dituju hantu tadi.
Pak Kasman pada akhirnya harus menyesali keputusannya. Sebab, tepat ketika ia berada di dalam ruang kerjanya, tiba-tiba pintu kayu berwarna kecokelatan tersebut menutup dan terkunci dengan sendirinya. Pak Kasman seketika panik. Sekuat apa pun ia berusaha membuka pintu, namun hasilnya tetaplah nihil. Hingga di satu waktu, lelaki tua berkaca mata tersebut mendapati sesosok perempuan yang dia yakini sebagai hantu noni Belanda berambut pirang yang sempat menghilang itu muncul di hadapannya.
“Siapa kamu?” Pak Kasman beringsut ke pintu yang tak kunjung bisa terbuka. Sedang, hantu perempuan berwajah pucat di hadapannya hanya diam. Tak berucap sepatah kata pun. Masih diam, tiba-tiba saja perempuan tadi mengangkat salah satu tangannya dan menunjuk sebuah foto tua yang sudah lama menggantung di salah satu dinding ruang kerja Pak Kasman. Mau tak mau lelaki itu mengikuti arah tunjukkan tadi.
Setahu Pak Kasman, foto berbingkai kayu yang menggantung di dinding ruang kerjanya tersebut adalah foto lama dari rumah yang baru sebulan ini ia huni. Foto rumah berarsitektur tua khas Belanda zaman dulu yang merupakan warisan dari zaman nenek buyut lelaki tadi. Sengaja, foto itu dipajang di sana. Kenang-kenangan, katanya. Terlebih, foto itu memiliki nilai history.
“Daar[1]! Di sana!” Hantu noni Belanda yang sedari tadi hanya membisu, tiba-tiba saja memekik dengan nada yang memekakkan telinga. Dan saat itu, di malam kemarin, Pak Kasman langsung terbangun dari mimpinya. Seperti yang juga baru saja terjadi.
Barangkali karena mimpinya itulah hantu noni Belanda tadi terus menghantui malam-malamnya. Sebab, mimpi tadi seperti sebuah petunjuk yang tak sedikit pun dilakoni lelaki berambut pendek yang mulai ditumbuhi uban tersebut. Maka, besok pagi, Pak Kasman telah memutuskan untuk memeriksa sesuatu yang barangkali bisa menjadi petunjuk dari foto rumah tua yang menggantung di ruang kerjanya itu. Barangkali, dengan begitu pula, ia harapkan sosok hantu perempuan Belanda tadi tidak lagi menghantui mimpi-mimpinya. Sungguh, lelaki pemilik penerbitan Black Rabbit tersebut ingin dapat tidur dengan nyenyak. Tanpa gangguan.
***
Pagi menyapa. Suara cericit burung gereja dari luar jendela membangunkan Pak Kasman. Lelaki berwajah tampan tak termakan usia namun terkesan dingin itu kemudian meraih kacamatanya dari atas meja kecil di samping lampu tidur. Dengan yakin, masih sambil mengenakan pakaian tidur, Pak Kasman melangkah menuruni tangga rumahnya menuju lantai dasar. Tempat ruang kerjanya berada. Ia ingat akan rencananya dini hari tadi.
Sambil membuka daun pintu ruang kerja berwarna kecokelatan, lelaki berusia nyaris lima puluh tahun tersebut kembali terbayang pada mimpinya. Ia hanya berharap ketika pintu itu dibuka, ia tak menemukan sosok perempuan berwajah pucat seperti di mimpinya. Benar saja, ruangan itu sepi, seperti biasa. Hanya suasana temaram yang ada di hadapan.
Pak Kasman melangkah ke arah jendela dan lantas menyingkap tirai yang sedari tadi menghalangi cahaya matahari pagi untuk masuk. Seketika, ruangan yang tadinya temaram, berubah menjadi terang. Dengan jelas, lelaki itu bisa memandang apa-apa yang ada di dalam ruangan kerjanya tersebut: tumpukan berkas novel yang dikirim penulis ke penerbitan miliknya, laptop yang masih dalam keadaan terbuka di atas meja, juga sebuah foto lama sebuah rumah berarsitektur kuno yang menggantung di dinding. Dan foto itulah yang menjadi tujuannya pagi ini.
“Ada apa sebenarnya dengan foto ini?” Pak Kasman bergumam sambil matanya lekat memandang foto lama rumah di mana kini ia tinggal.
Dengan satu gerakan, Pak Kasman lantas menurunkan foto yang menggantung di dinding tersebut. Ia balik foto itu, lalu mengamati sesuatu yang mungkin ada di bagian belakang bingkai. Nyatanya, tak ada apa-apa. Tak ada yang aneh ataupun janggal di sana.
Sekali lagi Pak Kasman mencoba mengingat-ingat mimpinya. Ia yakin kalau sosok perempuan bergaun kuno khas kolonial Belanda yang menghantui malam-malamnya, menunjuk ke arah foto yang ada di tangannya saat ini. Hingga kemudian sejenak ia berpikir. Bisa jadi sosok hantu noni tadi bukanlah bermaksud menunjuk foto di tangannya, melainkan ke arah dinding tempat foto tadi menggantung.
Dengan ketukan lembut, Pak Kasman memeriksa dinding ruang kerjanya. Benar saja, terdengar pelan suara bergema dari balik dinding. Seperti ada ruang kosong di sana. Mengetuk sekali lagi, lelaki berkacamata tadi menemukan hal yang sama. Semakin yakinlah ia kalau ada sesuatu yang tersimpan di balik dinding ruang kerjanya tersebut. Barangkali itu juga yang ingin ditunjukkan si perempuan dalam mimpinya.
Menyadari hal tadi, Pak Kasman lantas beranjak ke gudang untuk mencari sesuatu. Dapat! Laki-laki itu kemudian menjebol dinding ruangan dengan menggunakan gada yang baru saja dibawa dari gudang. Satu hantaman pertama, hanya menyebabkan sedikit bekas. Juga pada hantaman kedua dan ketiga. Baru di hantaman ketiga, dinding tersebut berlubang. Setelah memperbesar lubang, lelaki berkacamata tersebut menemukan sesuatu di dalamnya. Setumpuk file, buku dan surat dengan kertas berwarna kecokelatan—lantaran dimakan waktu.
Sambil memperbaiki kacamatanya, Pak Kasman mencoba membaca tulisan yang tertulis di lembaran kertas-kertas tadi. Nyatanya, surat tersebut ditulis menggunakan bahasa Belanda yang sama sekali tak dipahaminya. Hanya sebuah buku usang yang lebih mirip catatan harian yang ditulis menggunakan campuran bahasa Indonesia dan Belanda.
Pak Kasman lalu tak tahu mesti bagaimana. Yang kemudian ia lakukan hanya menyimpan surat-surat tersebut. Hingga malamnya, lelaki itu kembali bermimpi dihantui perempuan berambut pirang dengan wajah pucat tersebut. Namun kali ini penampilannya jauh lebih menyeramkan ketimbang sebelumnya. Yang Pak Kasman ingat betul, di leher perempuan tersebut terdapat luka bekas tali gantungan yang terlihat begitu jelas. Dan parahnya, begitu lelaki itu terbangun dari mimpi buruknya, wujud hantu noni Belanda tadi benar-benar muncul di dekat jendela kamar. Begitu nyata. Ia menatap tajam ke arah Pak Kasman. Tak lupa, sosok hantu noni Belanda itu menyeringai dengan senyum yang memperlihatkan deretan geligi berwarna kehitaman. Sungguh, wujudnya teramat menyeramkan dan terkesan mengancam. Pak Kasman bahkan memilih untuk bersembunyi di balik selimut tebalnya.
“Kembalikan apa yang seharusnya menjadi milikku,” kata hantu yang kini dari mulutnya menguarkan aroma menyengat tersebut: bau busuk bangkai.
***
Aroma kemenyan tercium kuat. Menyengat. Kepulan asap dari bara di dalam tembikar menguar ke langit-langit. Di hadapan Pak Kasman, seorang lelaki berperawakan menyeramkan dengan berewok di wajah tampak duduk menyila dengan sorot mata tajam. Namanya, Ki Rawing, dukun tersohor yang diketahui Pak Kasman dari salah satu kenalannya. Karena merasakan ancaman dari hantu yang tempo hari muncul di rumahnya, maka ia memutuskan untuk mencari solusi perkara hal-hal yang berbau mistis tersebut.
Pak Kasman mengalihkan pandangan ke segala perkakas yang terpajang di ruang praktik Ki Rawing. Patung-patung, kepala binatang buas, keris-keris, juga jimat beraneka rupa ada di mana-mana. Belum lagi sesajen dan taburan bunga-bunga yang sengaja diletakkan di hadapan dukun yang katanya tersohor tersebut.
“Dia selalu muncul di mimpi saya, Ki,” keluh Pak Kasman menceritakan semuanya. “Dan terakhir, mereka tidak hanya muncul di mimpi, tapi juga sudah menghantui saya secara terang-terangan, Ki.”
“Jadi, apa maumu?” Ki Rawing memelintir sedikit ujung kumisnya yang lebat.
“Saya mau dia pergi dari rumah saya, Ki. Kalau perlu diusir sekalian. Berapa pun bayarannya, pasti saya lunasi.”
“Oh, kalau soal itu ….” Tiba-tiba Ki Rawing terdiam. Ia tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Pandangan dukun tersohor itu seperti sedang berfokus pada sesuatu yang ada di belakang tubuh Pak Kasman. Pada sesuatu yang tak kasat mata dan berdiri di sana.
Menyadari ada yang aneh, Pak Kasman mengikuti arah pandangan Ki Rawing. Ia membalikkan badan. Tapi, lelaki berkacamata tersebut tidak mendapati apa-apa. Hanya ada udara kosong. “Kenapa, Ki?” tanya Pak Kasman penasaran. Ia hanya merasakan bulu kuduknya seketika meremang.
Ki Rawing kini menunduk, menahan sesuatu. Seperti ada yang menekan kuat bahunya. Tubuh kekar dukun itu sampai terlihat bergetar hebat. Dari bibir Ki Rawing terdengar geraman yang tertahan. Sedang wajahnya merah padam.
“Maaf … saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantumu.” Suara Ki Rawing sedikit terbata. Barangkali karena sesuatu yang tak kasat mata yang semakin kuat menekan kedua bahunya. “Pilihannya hanya dua. Kamu mesti meninggalkan rumahmu atau ….”
“Atau apa, Ki?” Pak Kasman penasaran bukan main. Belum lagi, bulu kuduknya juga dirasa semakin meremang. Lelaki berkacamata itu bahkan sampai sekali mengedarkan pandangan ke sekitar ruang praktik Ki Rawing. Ia berharap, dengan begitu, ia bisa menemukan sesuatu yang mampu menjawab rasa penasarannya. Namun, sekali lagi tidak ada apa-apa di sana.
“… atau kamu harus mengungkapkan peristiwa mengerikan yang pernah terjadi di dalam rumahmu itu dengan cara apa pun,” jelas Ki Rawing kemudian.
“Bagaimana caranya, Ki?”
“Kata makhluk yang menghuni rumahmu itu, dia sudah memberikan padamu.”
“Petunjuk?” Pak Kasman lantas mengeluarkan sebuah buntalan dari dalam tas. Setumpuk berkas yang ia temukan di balik dinding ruang kerjanya. “Apa mungkin ini, Ki?”
Ki Rawing melihatnya sebentar. Setelah membolak-balik beberapa lembar kertas, lelaki berewokan tersebut mengembalikannya pada Pak Kasman. “Saya sama sekali tidak paham apa arti tulisan itu.”
“Sama, Ki. Saya juga kurang tahu. Tapi sepertinya itu catatan peninggalan milik orang Belanda.”
“Ya sudah, sekarang kamu pergi dari sini. Saya tidak bisa membantumu.” Wajah Ki Rawing sudah kembali seperti biasa. Sepertinya apa yang sedari tadi mengganggu dukun itu telah menghentikan aksinya.
“Apa Ki Rawing sungguh tidak bisa membantu saya sama sekali?” Intonasi Pak Kasman seperti memohon. Tampak jelas raut ketakutan di wajahnya.
“Hantu yang ada di rumahmu itu tidak menerima kehadiranku. Energinya terlalu kuat dan negatif.” Ki Rawing menjeda sejenak ucapannya. “Lebih baik kamu segera tinggalkan tempat ini.”
“Tapi, Ki ….”
“Pergi!” bentak Ki Rawing.
Sebab, ternyata sesuatu yang tak kasat mata yang menekan bahunya sedari tadi, tak lain adalah sosok hantu noni Belanda penghuni rumah Pak Kasman. Sekuat apa pun Ki Rawing melawan, ia sama sekali tak berdaya. Energi hantu noni Belanda itu begitu kuat dan penuh dendam. Hantu tersebut sama sekali bukan tandingannya.
Mendengar bentakan Ki Rawing, Pak Kasman tak memiliki pilihan selain meninggalkan kediaman Ki Rawing dengan perasaan kecewa. Sepeninggalan lelaki berkacamata dengan penampilan rapi tersebut, keberadaan hantu noni Belanda ikut menghilang. Tapi, sebelum benar-benar lenyap, Ki Rawing masih bisa melihat hantu perempuan tadi menyeringai ke arahnya, persis di depan pintu.
***
[1] Di sana